Monday, March 5, 2007

Secondary Skin


BUDI PRADONO adalah salah seorang arsitek yang setia kepada proses pencariannya. Salahsatu buah pemikirannya, yaitu Secondary Skin, merupakan hasil rekaman yang diperoleh dari pengalaman bekerja di beberapa tempat dan pernah di pamerkan di Gedung Arsip Nasional 25 November-10 Desember 2005 lalu. Untuk memahami pemikiran yang mendasari karyanya setidaknya ada 2 point yang bisa dijadikan sebagai pendekatan.
Pertama, mengamati perkembangan kota-kota di Indonesia. Dalam bukunya yang berjudul Asian New Urbanism, William S.W. Lim seorang arsitek dan urbanis Singapore menyebutkan bahwa kota-kota di Asia termasuk juga Indonesia merupakan lahan subur untuk menimbun uang. Pemanfaatan lahan untuk komersial, pengembang mengambil keuntungan dengan cara menaikkan harga tanah, Bankers memberi kemudahan pinjaman bagi pembangunan fasilitas komersial. Akibatnya, seringkali fasilitas lainnya seperti ruang publik terlupakan. Sebuah kemenangan kapitalis, begitu dia menyebutnya.
Kedua, fenomena maraknya ulasan mengenai desain, termasuk arsitektur oleh beberapa media yang cenderung terfokus kepada masalah estetika. Tidak salah memang karena faktor ini yang paling mudah dipahami oleh awam. Tetapi dampak dari terlalu seringnya aspek tersebut diangkat kepermukaan menyebabkan faktor lain terlupakan, yaitu nilai-nilai yang diemban oleh arsitektur yang selayaknya dijelaskan juga kepada awam seperti aspek sosial-budaya, lingkungan, dan humaniora lebih dari sekedar masalah estetika, style, atau mode.
Kedua faktor tersebut adalah realita. Dengan beberapa karyanya Budi mencoba melakukan kritik dan dialog dengan keadaan tersebut sehingga tema Secondary Skin, sebuah temuan dari proses berarsitekturnya yang diangkat sebagai wacana kali ini bukan sekedar menjelaskan masalah kulit.

Semangat Asia

Dari proyek arsitektur seperti hunian, studio, resort, dan restaurant, beberapa di antaranya memperlihatkan semangat pengolahan material bambu yang begitu kuat. Tidak semua proyeknya menggunakan material tersebut tetapi dalam pembahasan kali ini bambu tersebut sengaja diangkat karena cukup mempunyai keunikan, yakni menghadirkan semangat alam dan tradisional di dalam konteks kehidupan modern. Bambu yang mempunyai citra garis diatur berderet sehingga membentuk sebuah bidang yang berfungsi sebagai building envelope. Sebagai bidang dia bersifat transparan. Restaurant Kayu Manis di Bali memberikan contoh yang jelas bagaimana bambu berperan sebagai tirai yang mengatur jatuhnya sinar matahari ke dalam bangunan sekaligus menjadi jendela yang menghubungkan visual dari dalam ke luar melalui celah yang akibat pengaturan jarak antar bambu. Dari sisi interior, pertemuan sinar matahari dengan bilah bambu menimbulkan efek dramatis, yakni bayangan yang membentuk pola garis di sekujur bagian dalam bangunan. Dengan teknik yang berbeda Studio Ahmett+Salina Jakarta memperlihatkan ratusan titik bambu pada wajah bangunan. Pada proyek ini bambu-bambu tersebut dipotong menjadi bagian-bagian yang kecil dan dipasang tidak berdiri secara vertikal tetapi horisontal dan memperlihatkan penampangnya. Dari teknik yang dilakukan, Budi tampaknya masih sangat dipengaruhi oleh seseorang yang disebut sebagai guru, yaitu Kengo Kuma, seorang arsitek berkebangsaan Jepang. Kuma memiliki pendekatan desain yang cukup berbeda dari beberapa arsitek Jepang lainnya, katakanlah Tadao Ando yang buah karyanya mengilhami banyak arsitek Indonesia dengan metode penekanan pada kekuatan ruang yang terbentuk dari batasan yang jelas antara solid dan void. Banyak pengamat mengatakan bahwa ruang yang diciptakan Ando begitu bernafaskan budaya Jepang, tetapi Kuma bisa disebut sangat Asia. Semangat ini sangat menarik, mengingat sekarang banyak bermunculan semangat kebangkitan Asia. Asia yang satu. Dalam Living House, sebuah buku yang mengkaji tentang antropolgi arsitektur Asia Tenggara, Roxana Waterson membeberkan data yang menjelaskan filosofi yang melatarbelakangi terjadinya bentuk-bentuk arsitektur di Asia yang “dikatakan” mempunyai kesamaan. Tentang Indonesia sendiri, apakah yang disebut arsitektur Indonesia? Indonesia yang begitu plural? Saya pikir masyarakat harus berani menghilangkan sekat-sekat eksklusif nasionalisme yang sempit dan menerima sebagai bagian dari Asia secara keseluruhan, begitu pula sebaliknya. Bukankah hal tersebut akan semakin memperkaya vocabulary, terutama ketika berhadapan dengan mainstream Barat?

Ada semacam statement dari Budi maupun Kuma yang ingin mengangkat citra tradisional dalam bahasa modern yang bisa ditinjau dari detailnya. Jika diamati lebih dalam tentu bilah-bilah bambu yang menjadi penutup wajah bangunan dan berkesan ‘melayang’tanpa menyentuh tanah tidak berdiri sendiri tetapi dihubungkan dengan struktur utama melalui sebuah connector. Di sinilah potensi modernitas digunakan yakni melalui elemen pendukung fabrikasi (seperti halnya connector tadi) yang digunakan justru untuk mendukung elemen alam agar muncul dalam performa yang tidak lazim dan memberikan impresi yang berbeda. Lantas dimana konsep ini berlaku?

Pada skala arsitektur Secondary Skin adalah metode desain yang memisahkan kulit dengan tubuh atau struktur utama bangunan. Dasar pemikirannya merupakan sikap yang responsif terhadap iklim : pemanfaatan pencahayaan secara maksimal dan mengaturnya melalui wajah bangunan. Metode penerapannya sangat dipengaruhi pemikiran modernism yang memunculkan efek dramatis, bebas, dan tidak terikat sehingga penampilan wajah bangunan menjadi ‘utuh’, sederhana, tenang, tidak banyak pernik. Tidak terganggu dengan adanya tiang dan balok yang pada metode klasik selalu muncul pada level satu sumbu terhadap dinding muka bangunan. Mengikat dari sisi atas, bawah, dan samping sehingga menimbulkan efek membingkai. Budi dengan caranya menjadikan karyanya sebagai media penyampaian visi arsitektur yang sepertinya begitu ingin menjadikan unsur alam sebagai yang penting pada bangunan dan berdialog dengan modernitas, bukan sekedar tempelan atau hiasan tetapi sebagai bagian dari sistem utama yang hidup dan fungsional dengan dasar pemahaman modern: “bidang bambu” tersebut dapat menjadi sebuah dinding, jendela, tirai. Sebuah art-object dalam skala mikro maupun kota.

Pada proyek berskala kota akan dijumpai banyak sistematika daripada bentuk. Budi yang mengaku tertarik dengan metode pendekatan model Belanda selalu mendahulukan pergumulan dengan sistem dan ruang. Pada proyek One Stop Shopping Gallery di Jakarta misalnya, dia mencoba menyelami perilaku masyarakat Indonesia dalam berbelanja. Baik di pusat perbelanjaan sampai dialog dan transaksi antara penjual dengan pembeli di jembatan penyeberangan, pasar, pedestrian hingga orang-orang di mobil pribadi, angkutan umum, halte bis yang secara tidak langsung melakukan dialog terhadap bangunan. Kritik juga dilakukan terhadap pola kota-kota modern yang cenderung monoton. Dalam proyek Urban Housing di Via Apernini Milan Italy, pola pedestrian lama yang berliku dijadikan dasar pembentukan sistem pergerakan dan ruang baru. Kontras dengan lingkungan sekitarnya yang cenderung teratur. Di antaranya disisipkan ruang-ruang informal yang membentuk kegiatan yang bersifat publik dan sosial. Perilaku manusia atau kualitas ruang lama baginya merupakan realita yang sering dilupakan para arsitek tetapi merupakan faktor esensial dalam pergerakan kehidupan. Bagi Budi data tersebut yang seharusnya ditanggapi sebagai sebuah keunikan untuk dikembangkan menjadi bentuk-bentuk baru. Hal ini yang dikatakannya sebagai Secondary Skin.

Sejenak membayangkan beberapa hal di balik terciptanya karya-karya tersebut : proses pengerjaan, maintenance, dampak interaksi material terhadap alam. Cukup mengeluarkan banyak energi. Membutuhkan cukup banyak biaya dan sulit dalam perawatannya. Apakah menjadi sebuah pemborosan? Bisa jadi “ya” jika dipandang dari kacamata proyek nyata yang murni mencari keuntungan, tetapi bisa juga sebaliknya jika kita meletakkan dalam koridor intelektual. Permasalahan terletak ketika mempertemukan dua kutub tersebut : proyek nyata dan “intellectual game”. Di Indonesia faktor yang pertama cenderung dominan. Sebuah proyek lebih dihargai jika mempunyai nilai jual tinggi dan yang menyedihkan, nilai intelektual dihargai dengan cukup diwakilkan oleh nilai estetika. Dengan mengucapkan kata “nyeni”, modern, klasik, minimalis, cozy, seseorang sudah merasa cukup intelek. Nilai luhur yang seharusnya diemban oleh arsitektur seakan cukup terwakili dengan kata-kata tersebut.

Apa yang dilakukan Budi, harus diakui bukanlah hal baru. Jauh beberapa abad sebelumnya para arsitek tradisional sudah melakukan, begitu pula saat ini. Eksplorasi material, mengembangkan perbendaharaan arsitektur tentang ruang, transparansi, dan lain-lain. Beberapa hal yang perlu digarisbawahi dari beberapa karyanya ialah : Pertama, penghargaan terhadap nilai tradisional dan terus diterapkan sesuai konteks saat ini dengan cara mengembangkan sekaligus menjaga jarak terhadap “tradisi dan kebiasaan”. Kedua, penghargaan terhadap perilaku manusia yang seharusnya menjadi aktor utama yang membentuk arsitektur sehingga menjadi berciri. Dan itu semua melalui sebuah proses panjang penuh diskusi. Sebuah langkah yang perlu dilakukan oleh masyarakat yang menginginkan kemajuan, yaitu research and development. Suatu metode yang akan membuat sebuah bangsa berkembang tanpa kehilangan jati dirinya.


---

No comments: