Tuesday, December 16, 2008

Equilibrium (1)



“Adalah baik menanti dengan diam pertolongan TUHAN. Adalah baik bagi seorang pria memikul kuk pada masa mudanya. Biarlah ia duduk sendirian dan berdiam diri kalau TUHAN membebankannya” – (Ratapan 3 : 26-28)

Namaku Don Paolo. Nama ini diberikan kepadaku delapan tahun yang lalu saat aku resmi hidup di tempat ini, yaitu suatu tempat yang dikenal sebagai Certosa di Serra San Bruno atau Charterhouse of Serra Saint Bruno, sebuah biara monastik Ordo Carthusian di pegunungan Calabria Serra Italia. Nama tersebut diberikan untuk menggantikan nama lamaku Wegig Pangauban karena aku sudah dianggap mati. Tidak ada lagi masa lalu bagiku, juga masa depan. Yang ada hanya saat ini.

Kata “Don” di depan namaku mempunyai arti yang sama dengan kata Dom, singkatan dari Dominus, yang berarti master atau tuan, yang sering disandangkan pada para rahib. Terdengar mewah penuh kuasa tetapi sebetulnya tidak.

Delapan tahun yang lalu aku masih menikmati hidup sebagai seorang creative director pada sebuah perusahaan advertising besar di Jakarta. Hidup dari proyek satu ke proyek lainnya, mempunyai gaji besar yang memungkinkan aku untuk memperoleh segala hal yang dapat memuaskan keinginanku sebagai orang muda yang tidak pernah merasa puas. Ketika itu aku merasa sudah menjadi manusia seutuhnya. Semua hal bisa aku raih.


Tetapi ada juga sisi lain dari diriku, katakanlah, sesuatu yang berseberangan dengan kehidupan glamourku, yaitu betapa aku mencintai keluargaku dan berani memberikan sebagian harta yang aku miliki untuk membantu mereka. Aku juga mempunyai kepedulian terhadap orang-orang miskin. Pernah suatu ketika terjadi peristiwa yang membuat aku begitu menghabiskan banyak energi untuk membantu orang-orang yang rumahnya digusur. Entah kekuatan darimana kuperoleh, aku menghimpun sumbangan dan menyalurkannya. Semua itu kulakukan atas inisiatif sendiri dengan dibantu beberapa orang teman. Tapi peristiwa itu kuceritakan kembali bukan sebagai bentuk kepongahan. Bukan! Aku sedikitpun tak hendak menyanjung diri sendiri. Aku hanya ingin mengatakan bahwa masih bersyukur karena masih diberi sekelumit kecil kemauan untuk berbagi. Dan jujur kukatakan kepadamu bahwa pelepasan energi dalam peristiwa itu sangat menentramkan hatiku. Tapi aku tetaplah aku yang tidak tertarik untuk bergabung dengan teman-teman di sebuah LSM untuk membantu masyarakat kecil. Bagiku hidup tetaplah mesti jelas : mempunyai gaji yang cukup, kenyamanan, dan status.



***



Certosa di Serra, seperti umumnya biara Carthusian lainnya, dirancang menurut prinsip baku Ordo Carthusian yang dibuat oleh bapa pendiri : St. Bruno. Terdiri atas kumpulan hermitage (sel) yang disatukan oleh cloister yang berakhir di area bersama : gereja, refectory, dan chapter. Keduanya dipisahkan oleh pintu masuk menuju area dimana para rahib yang bertugas mengerjakan kebutuhan biara bekerja di dalamnya.

Hari-hariku di Serra diisi dengan menerjemahkan buku atau mengerjakan pekerjaan tangan lainnya. Aku mengerjakan itu semua dalam workshop atau sel pribadi, sebuah sel bernomor B, yang merupakan bagian dari kelompok sel rahib yang dipersiapkan menjadi imam atau sering disebut cloistered monk. Tidak hanya bekerja tetapi juga makan, meditasi, berdoa, dan lectio divina. Semua kulakukan sendiri tanpa berbicara dan bertatapan dengan penghuni sel lainnya kecuali diperlukan, itupun harus seijin dari Don Thierry, Pastor Prior biara ini atau di kalangan biara Benedictine dan Cistercian lazim disebut Abbas atau pemimpin biara.


Bila tiba waktu makan, aku pergi ke pintu depan menuju sebuah loket yang bisa diakses dari dalam dan dari luar. Di loket ini rantang makanan yang berisi nasi saffron dan sayuran di letakkan oleh seorang Bruder yang bertugas di dapur. Setelah kuambil aku naik ke lantai atas. Rantang makanan kuletakkan di meja menghadap jendela. Setelah berdoa aku menyantapnya dalam keheningan dan kesendirian.

Sebagai seorang Carthusian kami hidup secara solitude dan menjaga silentium magnum atau keheningan total. Namun demikian bukan berarti samasekali tidak bertemu dengan penghuni lain. Ada beberapa moment yang memberi kami kesempatan untuk saling bertemu, semisal mendaki gunung, makan bersama setiap hari minggu atau hari raya (sambil mendengarkan bacaan rohani yang dibacakan oleh salah seorang rahib), ibadat ekaristi dan ibadat komunal lainnya. Satu kenangan yang kuingat, delapan tahun lalu, waktu itu merupakan malam awal mula tinggal di tempat ini : aku keluar sel menuju gereja yang berjarak sekitar 100 meter dari cloister tempat aku tinggal untuk mengikuti conventual mass. Aku berjalan melewati koridor bangunan lama yang gelap sepi dengan diiringi dentang lonceng. Sangat magis tetapi waktu itu aku lebih merasa sebagai sesuatu yang menyeramkan. Ada saat dimana aku bertemu dengan rahib lain di koridor. Namun kami tidak bertegur sapa. Equilibrium. Ini kata yang tepat untuk menggambarkan kehidupan kami ini. Perpaduan antara senobit dan eremit, antara hidup bersama dalam komunitas dengan kesendirian.




Di gereja aku bertemu dengan teman-teman sekomunitas. Ada 30 orang rahib di sini. Dua orang dari kami masih baru. Satu orang berstatus postulant. Dia orang Texas berumur 27 tahun dan satu lagi yang enam tahun lebih tua berasal dari Jepang, sedang menjalani masa novisiat. Ada juga satu orang rahib Orthodox dari Mount Athos Abbey yang ingin merasakan kehidupan di Serra ini. Kami mengambil posisi pada stall masing-masing. Mengumandangkan kidung dan pujian yang dilantunkan dalam alunan Gregorian Chant. Kadang kami duduk, kadang berdiri, membungkuk ketika pujian dilantunkan, atau berlutut yang disebut formae. Semua dilakukan tanpa iringan musik sama sekali. Memang, berbeda dengan ritual misa pada umumnya, ritual misa Carthusian atau sering disebut missale cartusiense disesuaikan dengan konsep ordo yang mengutamakan keheningan.

***
Hidup seorang Carthusian adalah hidup dalam keheningan di hadirat Allah. Tugas utamanya adalah berdoa bagi keselamatan orang lain dan dunia. Bukan bagi diri sendiri. Untuk itu sejak awal bergabung Pastor Prior wanti-wanti mengatakan bahwa aku harus menganggap diriku mati dan terus belajar untuk tidak terikat lagi pada dunia. Sel bolehlah dianggap sebagai peti mati. Hubungan dengan keluarga hanya boleh dilakukan tiap 3 bulan (tanpa meninggalkan sel tentunya). Menggunakan internet? Ah, kuingat sewaktu masih bekerja aku bisa tiap jam menggunakan internet. Tapi sekarang hanya dua kali dalam setahun! Begitu juga dengan televisi, radio, atau telfon seluler. Tidak ada kontak samasekali dengan alat-alat itu. Informasi dari luar kami peroleh melalui koran Osservatore Romano dan Avvenire, atau dari para tamu yang disampaikan melalui Pastor Prior.

***

Pagi ini adalah minggu kedua menjelang Paskah. Sekujur badanku rasanya sakit sekali seperti hendak demam. Sebetulnya sudah sedari pagi aku bangun, tapi aku betul-betul tersadar ketika mendengar suara traccola yang dibawa keliling oleh Don Vicario beberapa menit yang lalu. Alat berupa batang kayu dengan roda layaknya mesin pemotong rumput itu berisik sekali suaranya. Memang, pada masa pra-paska, sebagai bentuk penghayatan kepada Kristus menjelang sakratul maut-Nya, gereja tidak mengijinkan bunyi-bunyian atau segala hal yang bersifat meriah. Tuguran kalau orang Jawa bilang. Larangan tersebut berlaku juga untuk lonceng yang biasa jadi penanda bagi kami. Cara ini menciptakan suasana yang makin sepi. Atau, mungkin juga perasaan sepi itu merupakan luapan hatiku yang didera kesepian yang dalam akhir-akhir ini : Sepi. Doa yang terasa kering dan hambar. Merasa bodoh. Rindu yang dalam akan Indonesia. Dan yang paling mengerikan adalah Tuhan serasa tidak ada. Bahkan, akupun mulai mempertanyakan keberadaan-Nya.


Mungkin Herman benar. Delapan tahun yang lalu sebelum aku memutuskan meninggalkan dunia hingar-bingar di Jakarta untuk masuk dalam kesunyian di sini karibku itu mengatakan seandainya aku jenuh dengan dunia kerjaku dan ingin lebih banyak berbuat untuk orang lain kenapa harus dengan cara masuk biara dan menyendiri? Bukankah melayani tidak berarti harus menjadi seorang religius? Bukankah dengan berkeluarga dan berkarya sebagai awam di tengah hiruk-pikuk dunia akan lebih memberi banyak manfaat untuk orang lain? Bukankah berdoa bisa dilakukan kapan dan dimanapun, tidak perlu menyendiri? Dan masih banyak bukankah lainnya yang dilontarkan kepadaku. Menghadapi semua pertanyaannya, secara jujur aku tidak mampu menjawabnya. Kuakui semua pendapatnya adalah benar. Dan kuakui juga bahwa semakin aku mendekat pada-Nya dalam keheningan semakin Dia diam. Bisu.


Don Thierry, ketika mengunjungi selku, yakni pada awal mula aku diterima sebagai seorang novis, menanyakan banyak hal mengenai keadaanku, terutama tentang hidup doa. Aku menjawab bahwa aku begitu bergembira. Aku katakan bahwa suasana di Serra begitu indah dan hening sehingga aku merasa begitu dekat dengan Tuhan. Doa-doaku terasa meluap indah dan menggembirakan. Tetapi tanpa kusangka jawaban yang diberikan Sang Pastor Prior sangat singkat dengan mimik muka sedikit cemberut. Kuingat dia mengatakan :”Huh, tetapi sayang sekali bahwa Tuhan yang kita ikuti adalah Tuhan yang diam.” Aku bingung dengan arti dari jawabannya. Sampai suatu ketika dia mengunjungi selku lagi dan menanyakan hidup doaku, maka aku menjawab :”Sudah beberapa minggu ini aku merasa kering Pater. Doaku seakan tidak dijawab. Tidak selamanya keheningan memberikan luapan kegembiraan”. Tak kusangka akan jawabannya, dan dia mengatakan :”Bagus. Memang demikian seharusnya. Itu normal bagi kita para Carthusian. Tugas kita adalah berada di dalam keheningan di hadapan Allah. Maka tidak heran kalau Diapun juga diam dan bisu. Tetapi itulah inti sebuah iman, yakni ketika kita percaya bahwa Dia ada bukan karena adanya penghiburan rohani. Percaya bahwa Dia ada bukan karena mukjizat yang dilakukan-Nya melainkan bersikap seperti Centurion Romawi yang ketika melihat Yesus mati dalam kondisi babak-belur dan kalah, tetapi dia mengatakan : memang betul Dia Anak Allah.”


Terus terang, sangat sulit menjalani hidup sebagai rahib yang sehari-hari berada di dalam keheningan, karena bagaimanapun kami adalah manusia normal yang mampu mencinta dan berseksual. Sepuluh tahun yang lalu sebelum aku betul-betul memutuskan memilih jalan hidup sebagai rahib beberapa teman dan keluarga menyarankan aku untuk bergabung dengan salahsatu konggregasi atau serikat religius. Tante Vivi, adik Ayah yang punya kenalan pastor dimana-mana namun hidupnya dipenuhi gosip menyarankan agar aku menjadi imam praja atau diosesan. Seperti Romo Mangunwijaya katanya. Karya dan sepak-terjangnya nyata. Siapa tahu malah bisa jadi paus, atau paling tidak uskup atau kardinal. Kalau menjadi rahib baginya tidak ada gengsinya. Tapi ada satu pendapat yang selalu ditandaskannya, yaitu dia selalu mensejajarkan panggilan dengan kehidupanku sebagai profesional. Baginya seorang yang sudah mengalami asam-garam dalam dunia nyata tentu sulit hidup dalam keheningan. Waktu itu aku sangat setuju dengan pendapatnya, namun lambat-laun aku percaya bahwa bukan itu inti persoalannya.


Memang akhirnya aku memilih untuk dibimbing oleh salahsatu serikat religius tetapi bukan diosesan. Alasan yang kusampaikan kepada orang-orang adalah karena dalam hatiku kecilku aku tidak ingin menjadi imam. Menjadi seorang religius bagiku tidak berarti harus menjadi imam. Kalaupun menjadi imam hal itu bukanlah tujuan utama. Dan tentang panggilan itu sendiri, ah, entahlah. Sebelumnya samasekali aku tidak berminat menjadi seorang religius. Sama sekali tidak pernah! Vocation itu justru muncul melalui kakakku yang melihat tingkah polahku. Di matanya, meskipun aku dikepung kehidupan glamor tetapi aku selalu sibuk untuk orang lain sampai-sampai tidak menghasilkan apapun secara finansial. Artinya, tidak ada peningkatan ekonomi. Apalagi berbisnis. Jangankan memperoleh keuntungan, setiap melakukan negosiasi di otakku yang ada adalah hanya ingin membantu dan cukup senang memperoleh ucapan terimakasih. Begitu pula soal relasiku dengan perempuan yang tidak kunjung jelas. Melihat itu semua kakakku menyarankan agar aku memberikan energiku dengan menjadi religius. Awalnya kutampik saran itu seraya mencemooh. Tetapi lambat laun aku merasa seperti bertemu seorang sahabat yang telah lama menungguku, padahal aku sudah meninggalkannya.

Melalui bimbingan beberapa calon imam di sebuah serikat selama kurang lebih 2 tahun, aku memperoleh banyak hal. Salahsatunya adalah memahami arti hadir di hadapan Tuhan dalam keheningan, seperti halnya Elia yang menemukan Tuhan dalam angin sepoi-sepoi basa. Bukan dalam gempa, guntur, dan api. Tuhan ditemukan dalam kekosongan yang membuat manusia harus menetralkan nilai keduniawiannya. Tuhan ditemukan dalam kerinduan manusia untuk menyatu dengan-Nya dan hadir dihadapan-Nya, bukan untuk meminta-minta melainkan seperti seorang anak yang duduk dalam pangkuan orangtuanya sekedar untuk menemukan kehangatan dan mempercayakan segala hal yang dimilikinya. Tuhan ditemukan dalam kegelapan agar manusia mampu melihat terang-Nya.

Dalam bimbingan mereka pula aku diajak untuk berani melihat jejak-jejak masa laluku, betapapun buruknya. Bukan untuk diratapi melainkan untuk diterima dan diobati. Tetapi yang membuatku terpana dan berteriak halleluya!! adalah dalam semua jejak masa laluku terekam Tuhan yang sedang bekerja. Dia membawaku ke dalam situasi sulit agar suatu saat aku bisa menjadi teman bagi orang yang mengalami hal serupa, seakan-akan menyakitiku tetapi tidak meninggalkan aku. Karena bagaimana mungkin aku bisa menunjukkan kepada orang lain bahwa di puncak sebuah gunung ada jurang kalau aku sendiri belum pernah ke sana atau bahkan jatuh ke dalamnya? Dalam jejak masa laluku juga terekam peristiwa-peristiwa yang menyatakan bahwa aku mencintai keheningan tanpa menjadi orang gila yang membenci dunia. Bahkan sebaliknya. Sebuah bibit yang membawaku kepada kehidupan biara monastik. Pun dalam kehidupan awam aku percaya bahwa sebuah panggilan sebetulnya sudah disiapkan bibitnya oleh Tuhan sejak awal. Panggilan sekali-kali bukanlah sesuatu yang baru dalam kehidupan manusia yang dipanggil. Hal ini yang membuatku akhirnya menolak pendapat Tante Vivi.


***

Kesepian yang kualami, atau lazimnya dialami para rahib, memang bukan seperti penyakit yang bisa diobati begitu saja. Salahsatu cara untuk mengobatinya adalah dengan masuk dan mengenali kehidupan monastik itu sendiri. Spiritualisme dipahami dengan dilakukan secara langsung, mengikuti petuah dari seorang bapa rohani yang sangat terkenal di kalangan rahib, yaitu masuklah ke dalam selmu maka dia akan mengajarkan kepada bagaimana cara bertahan. Masih belum habis keherananku terhadap diri sendiri. Aku dulu yang begitu bebas sekarang mengurung diri dalam kesunyian. Lebih dari itu, aku bahkan memutuskan untuk menerima kaul stabilitas. Sumpah hidupku adalah untuk Tuhan, sesama, komunitas, dan tempat dimana aku tinggal. Tidak akan berpindah untuk selamanya. Tidak terikat lagi ruang dan waktu. Seluruh waktuku adalah doa sampai aku dan hidupku menjadi doa itu sendiri. Sayangnya, hal itu tidak serta merta membuat kami menjadi orang suci, tetapi sebaliknya kami disadarkan bahwa cara hidup yang kami pilih tidak lebih baik daripada orang lain. Pilihan hidup menjadi seorang rahib atau religius adalah salahsatu cara dari sekian ribu cara mengabdi Tuhan di dunia. Dan itu harus dilakukan dengan penuh kesadaran.



***

Pagi ini Pastor Prior mengunjungiku lagi. Kuceritakan kepadanya mengenai kesepian dan kekeringan yang menderaku, tetapi dia cuma tersenyum. Kuceritakan bahwa aku merindukan berelasi dengan perempuan, tetapi dengan sikap kebapakan dia hanya mengatakan bahwa dengan demikian aku adalah laki-laki yang sehat dan normal. Untuk itu sudah sepatutnya aku bersyukur. Dia hanya mengajakku untuk menyerahkan semua yang kurasakan kepada Tuhan dengan jujur dan rendah hati tanpa mencoba untuk berteori, beralasan, dan membela diri. Dengan demikian pikiran dan hati menjadi lebih mudah untuk terbuka terhadap rahmat. Seperti halnya Maria tidak serta-merta bisa menerima apa yang disampaikan Gabriel. Karena kerendahan hati dan keberanian untuk mengakui kekurangannya maka Tuhan memberinya pencerahan. Dan hari ini, dalam ibadat malam bersama, aku betul-betul membayangkan diriku bagai seorang anak yang menghampiri ayahnya, tanpa bicara duduk di pangkuan, masuk dalam dekapan, dan dengan tenang tidur dengan penuh keyakinan bahwa dirinya akan dijaga. Tidak perlu khawatir akan hal lain meskipun tahu bahwa tantangan hidup akan terus menghampirinya. Dalam keyakinan akan bapanya, sang anak melantunkan doa bagi orang-orang yang dicintainya, bagi kota, bagi dunia.




***