Tuesday, March 6, 2007

Puri Brata

Awalnya, di tanah tempat kompleks ini didirikan berdiri sebuah ndalem, yaitu bangunan rumah tinggal tradisional Jawa lengkap milik keluarga Brotosoedibjo. Atas gagasan Romo Rohadi Widagdo, seorang Rohaniwan Katolik yang juga merupakan kerabat keluarga, ndalem yang ada dikembangkan menjadi sebuah ‘area meditatif’ untuk menampung kegiatan rohani yang terbuka untuk semua agama, kegiatan spiritual lainnya, atau bahkan seperti hal yang sederhana, yaitu memberi tempat bagi seseorang yang sekedar membutuhkan keheningan. Semua dikemas dalam konsep Back to Nature. Di tempat ini pula masyarakat setempat akan diberi kesempatan untuk bekerja dan mengembangkan diri. Mereka berperan sebagai tukang, sebagai waiter, dan sebagai pengrajin dimana mereka diberi kesempatan menjual hasil kerajinan di Gallery yang sudah disediakan dengan sebelumnya diberi pembinaan dahulu tentunya.

Ruang dan Bentuk

Dalam rancangannya, di dalam lahan seluas lebihkurang 6000 m2 ini arsitek menetapkan pembagian area yang diatur berdasarkan pemahaman masyarakat tradisional akan arsitektur. Tentang hubungannya dengan Tuhan, alam, dan sesama sesuai dengan jiwa kegiatan rohani yang dikandungnya. Bagi tim perancang tampaknya tidak terlalu sulit menerjemahkan filosofi tersebut ke dalam rancangan mengingat sebelumnya mereka pernah hidup dan berkarya dalam kurun waktu cukup lama di Pulau Bali, sebuah tempat yang dikenal masih memegang akar budaya tradisional dengan kuat termasuk dalam penataan lingkungan binaan. Dan mengenai Bali ini cukup membuat salah seorang dari tim arsitek khawatir. Sempat terlontar pertanyaan apakah proyek yang dikerjakannya ini terlalu ke-Bali-balian, mengingat beberapa unsur fisik arsitektur Bali jelas tampil dalam rancangannya. Seperti adanya Kul-kul, sistem terasering yang digunakan untuk menciptakan perbedaan ruang dan privacy melalui permainan ketinggian lantai, atau beberapa unsur yang mempunyai kaitan dengan karakter tradisional Bali lainnya sedangkan lahan dimana proyek mereka kali ini berpijak mempunyai nafas budaya yang berbeda. Dengan demikian mereka lebih bersikap untuk memadukan kedua unsur budaya tersebut dan mempertegas suasana alami sebagai benang merah karena unsur alam Bali maupun Jawa tidak terlalu berbeda.

Ada tiga hirarki ruang dalam kompleks ini yang mengatur tingkat privacy. Pertama, ruang dengan tema Hubungan Manusia dengan Manusia. Di tempat ini interaksi antar penghuni atau penghuni dengan pengguna lainnya mempunyai prosentase yang lebih besar dibanding dua ruang setelahnya. Di ruang ini juga terdapat fasilitas publik seperti Gallery cinderamata, Amphitheatre, dan Restaurant. Kedua, ruang dengan tema Hubungan Manusia dengan Alam; dan ketiga, Manusia dengan Tuhan. Di dalam kedua area ini suasana hening lebih terasa.

Material

Hunian pada kompleks ini dirancang berbentuk bungalow dengan tipe standar dan family. Beberapa di antaranya terdiri dari dua lantai. Dibentuk dengan gaya tradisional, menggunakan teknologi tradisional, memanfaatkan material lokal dengan pemecahan detail tradisional pula. Seluruh badan bangunan seakan ‘terukir’ oleh material alam layaknya bangunan klasik. Jarang sekali ada bidang polos-kosong sebagai penyeimbang. Dari cara-cara tersebut terbaca cara pandang perancang dalam memaknai keseimbangan pada estetika arsitektur yaitu penyatuan total terhadap lingkungan.

Dua statement terbaca pada bahasa material yang disampaikan, baik dalam pemanfaatan, pengolahan, dan perlakuannya yang terjaga konsistensi ide-ide dialogisnya terhadap masyarakat dan lingkungan. Pertama, penggunaan material lokal seperti bambu, kayu, batu kapur, genteng tanah liat memberi kesan membumi, mengakar pada karakter geografis dimana bangunan tersebut berdiri, menimbulkan harmoni bagi masyarakat sekitar; kedua, melalui karakter material yang rustic arsitek memberikan ruang gerak bagi pekerja-pekerja bangunan yang berasal dari penduduk setempat. Mereka, pada umumnya adalah pekerja tradisional yang tidak terbiasa dengan pekerjaan dengan tingkat presisi yang cukup tinggi. Sesuai dengan sifatnya yang alami dan didukung dengan konsep yang menempatkan bangunan secara kontekstual, material-material tersebut jika disandingkan dengan kemampuan tukang yang terbatas bisa menjadi ‘benar’.

Beberapa material yang digunakan, meskipun merupakan material lokal, dalam penerapannya tampaknya dipandang sesuatu yang baru oleh para pekerja setempat.Teraso digunakan sebagai bahan penutup lantai kamar tidur dan meja wastafel di kamar mandi. Bukan berbentuk tile tetapi dibuat dengan sistem cor seperti lazimnya orang membuat lantai dari semen. Begitu pula dengan material yang digunakan sebagai penutup area outdoor seperti tangga dan teras dibuat dengan sistem cetak negatif dengan cara memasukkan campuran bubuk batu dengan semen dan air pada cetakan berukuran 30 x 30 cm dengan sebelumnya memberikan daun, akar, atau benda lain yang ingin ditampilkan sebagai pola pada permukaannya. Kedua teknik tersebut merupakan ilmu baru yang mereka peroleh, sedangkan paduan batu candi dan batu koral yang digunakan sebagai penutup dinding dan lantai kamar mandi, dan pancuran bambu pada kamar mandi memberikan wacana baru dari segi estetika penataan material dan alternatif material pembentuk ruangan yang berbeda dengan yang mereka kenal selama ini.

Tinggal di Puri Brata berarti harus paham betul akan misi yang dibawanya, yaitu ketenangan yang menyatu dengan lingkungan. Tidak ada fasilitas layaknya penginapan mewah, seperti kolam renang atau televisi misalnya, termasuk makanan yang disediakan. Semua tampil sederhana. Teh tubruk dan pisang goreng, menu tradisional untuk makan pagi, atau menikmati nasi goreng di sebuah rumah makan desa di malam hari. Sangat khas.

Secara keseluruhan atmosfer di dalam kompleks ini terasa sangat eklektik dan romantis. Tetapi dibalik itu tercermin sikap positif arsitek yang dengan hati-hati mencoba melakukan dialog atas apa yang dipahaminya selama ini dengan budaya baru yang ditemuinya. Hal ini perlu dilakukan agar karya yang terbangun tidak menjadi benda yang asing bagi lingkungannya. Lebih dari itu, ada sikap pembelajaran kepada masyarakat setempat mengenai makna sebuah rumah, manfaat material lokal, dan nilai tradisional bagi konteks saat ini karena sejujurnya, apa yang dibuat oleh tim arsitek ini bukan hal yang baru bagi masyarakat setempat. Mandi di pancuran di lingkungan alami atau tinggal di rumah yang menyatu dengan alam, dan berbahankan material alami pula. Tetapi, kadangkala hal seperti ini perlu dibuat (tentu dengan beberapa pembaruan di dalamnya) untuk mengingatkan kembali kebanyakan masyarakat terutama masyarakat pedesaan yang saat ini tidak lagi memandang bangunan tradisional sebagai sesuatu yang berkualitas. Mereka lebih menginginkan tinggal di omah gedhong. Rumah berdinding bata, pilar Yunani, dengan jumlah, ukuran, dan posisi ruang seperti yang ditawarkan pada perumahan umum standar.

Tradisional tidak selalu identik dengan masa lalu dan kuno. Selalu ada informasi di dalamnya yang bisa dikembangkan untuk disesuai dengan fungsi yang dibutuhkan saat ini. Dan ini sudah dilakukan oleh beberapa negara maju. Mengembangkan teknologi, kekuatan material, sense of space arsitektur tradisional, sampai perilaku manusianya untuk diterapkan dalam sistem kehidupan yang lebih moderen. Keduanya merupakan satu rangkaian proses. Nilai arsitektur lama akan terus melengkapi dan memperkaya perkembangan arsitektur selanjutnya karena arsitektur tradisionalpun pernah menjadi moderen di jamannya.

---

No comments: