Tuesday, June 7, 2011

Mengenang Ibu

Lebih kurang 35 tahun aku hidup bersama Ibu. Dari sekian waktu yang terlewati bersama, hubungan kami yang paling intim ialah saat aku masih berada dalam kandungannya. Sejarah itu tentu tidak dapat aku ingat, tetapi aku bersyukur karena berkat catatan yang ditulis oleh Bapak aku bisa memperoleh sedikit gambaran tentang hubungan kami. Dalam catatannya Bapak menulis kira-kira demikian : sewaktu mengandung aku, wajah Ibu berseri dan sumeleh. Kasih sayangnya tertumpah pada Bapak.


Ibu adalah manusia berwatak keras. Perempuan bedhil dia. Seingatku, aku sulit memahami beberapa keputusannya. Terutama saat dia memilih mengisi hidup dengan pekerjaan-pekerjaan yang tidak memberi keuntungan besar. Hidup di kampung dan menjadi guru honorer bergaji rendah misalnya, atau membuat lagu-lagu rohani.


Pernah suatu malam, kira-kira 1 tahun sebelum wafatnya, Ibu dengan gembira menunjukkan kepadaku selembar sertifikat yang menyatakan bahwa dirinya menjuarai lomba cipta lagu rohani. Kutanya apa hadiahnya. Dengan gembira Ibu menjawab sejumlah rupiah yang tidak besar. Kutanya lagi mau apa dengan uang itu. Dijawabnya lagi, hendak disimpan. Barangkali bisa menutupi beberapa kebutuhan nanti, katanya.


Aku pandangi sertifikat dan master bertuliskan not angka dan syair yang dibuatnya dengan mesin ketik kuno. Tetapi pikiranku menggantung pada jawaban terakhirnya tadi. Jawaban yang membuatku malam itu tidak bisa tidur dan memilih duduk di lincak bambu di halaman, sembari memandangi Pakde Mardi, tetangga kami, yang setiap malam mondar-mandir di luar. Juga beberapa orang yang hilir mudik di gang depan rumah kami. Semua situasi malam itu dibalut menjadi satu bersama keheningan, udara dingin, dan harum melati. Pintu-pintu rumah tetangga sudah tertutup. Hanya lampu di dalam yang tampak dari luar. Kadang juga suara anak-anak di dalam rumah. Dalam hening aku berpikir, “unsur apakah yang ada di tempat ini? Di kota ini? Orang-orang dan lingkungannya, sehingga membentuk Ibu menjadi sosok yang memilih berkaul stabilitas seperti seorang rahib?”.


Ibu juga sosok yang setia. Setia dengan hidup apa adanya. Setia artinya bukan suatu sikap heroik melainkan mau menerima sebuah proses; dihancurkan sekaligus dibentuk menjadi baru. Bukan tanpa keluh kesah, tangisan, dan kemarahan tentunya. Dari semua proses yang dijalaninya, ada sikap kreatif dalam menghadapinya, yang diungkapkan dalam pekerjaan dan ruang tinggalnya. Maka tak heran, banyak simbol dan makna di rumahnya. Simbol dengan makna di dalamnya itulah yang selalu menjadi kerinduanku.


Stabilitas, setia, berproses, memaknai setiap kesulitan. Itu seperti menaiki sampan di lautan mengejar cakrawala. Tetapi, seperti yang pernah disampaikan oleh seorang Guruku, cakrawala atau horizon itu ada dan tiada. Dia harus ada agar manusia memiliki batas sehingga tidak hilang muspra di dalam kehidupan yang serba luas dan penuh misteri. Tetapi kemana pun manusia bergerak, cakrawala ikut bergerak dan tidak tersentuh.


Kupikir benar. Hidup Ibu, meskipun stabil menetap di suatu lingkungan yang membentuk karakternya, tetapi selalu bergerak, berubah, dan penuh ketidakpastian. Segala ketidakpastian itu seperti halnya teks not-not angka yang dibuatnya pada selembar kertas; ditulis, dinyanyikan, diuji dengan organ kecil, untuk kemudian dicoret, diperbaiki, dan dimaknai baru. Terus dan terus. Pada gilirannya lagu tersebut harus selesai, tampaknya hal itu tidak lebih dari sekedar target saja.


Ibu setia pada teks-teks itu. Dia tidak mencampuradukkan mazmur dan sinetron. Dan kesetiaanya pada teks-teks yang tidak pernah pasti sangat membantuku dalam memaknai hidup yang selalu bergerak, tidak pasti, dan yang memohon untuk selalu didefinisikan secara baru.


Kuingat waktu aku masih berumur 7 tahun, Ibu membawaku ke toko ‘Semangat’ yang menjual beragam barang. Di toko itu jiwa kecilku tertarik pada sebuah botol minum kecil berisi air jeruk. Aku menyukai botol itu karena bentuknya yang bulat, dan juga isinya yang bagiku sangat mewah. Keesokan hari, ketika air jeruk habis, jiwa kecilku sedih karena masih menganggap botol dan isinya yang kami beli semalam adalah satu makna yang sama. Air jeruk habis, pikirku, hilang pula makna botol itu. Padahal, betapa aku ingin membanggakannya di depan teman-teman.


Tetapi Ibu memasukkan air jeruk yang lain ke dalam botol minuman itu sembari mengatakan, “Tak apa. Yang penting bisa dipakai dan kamu bisa bawa ke sekolah untuk bekal dan ditunjukkan kepada teman-teman.” Aku menurut. Dan betul, dari hari ke hari botol itu selalu berguna sekaligus berubah makna: dari botol air jeruk menjadi botol air teh, bahkan tempat menyimpan koin uang.


Akhir-akhir ini, ketika hidupku semakin memohon untuk dimaknai secara baru, Ibu hadir dalam bayanganku. Dia hadir berdiri di sampingku. Telunjuknya menunjuk pada suatu berkas cahaya yang sangat terang, yang tidak terlihat bentuknya, tetapi seperti matahari. Ibu berkata kepadaku:


“Jangan kamu lihat telunjuk Ibu. Lihatlah cahaya yang terang itu”.


Aku menjawab,”Tapi, apa itu? Aku tidak mengerti apa yang bersinar seperti cahaya itu?”.


Katanya lagi, “dekati!”.


Kujawab lagi, “Aku takut. Aku tidak tahu apakah itu?”.


Untuk terakhir kali Ibu berkata, “Dekati! Bukan dengan pikiran duniawimu, tapi dengan cinta”.


Selanjutnya, Ibu hilang dari pandanganku. Tetapi samar kudengar suara lembut bernyanyi. Suara Ibu. Dia melantunkan kidung Maskumambang :


Jatining dumadi kan nuwuhken wiji

Muga tunggak rila

Yen palwa brangta wus wanci

Bebadreng bayu baskara.


(Hakikat semesta bila menunbuhkan benih

Semoga tonggak rela

Apabila biduk asmara sudah sampai saat

Mengembara di angin di matahari).

Wednesday, June 1, 2011

Kebebasan Krisharjanto

Ambrosius hari ini banyak merenung di dalam kelas. Matanya fokus pada kertas, jemarinya sibuk membuat sketsa, dan pikirannya pergi ke ‘suatu tempat’ entah dimana. Namun demikian sebagian kesadarannya terantuk pada sesuatu yang menarik hatinya, yaitu kalimat yang diucapkan temannya, Nino, yang sedang bercerita di depan kelas tentang Friedrich Wilhelm Nietzsche.

“Maka, Thus Spoke Zarathustra bercerita tentang Overman. Sang manusia super yang melampaui manusia. Manusia ideal yang menurut Nietzsche harus ada sebagai konsekuensi dari kematian Tuhan. Tuhan sudah mati! Kematian Tuhan harus terjadi jika manusia ingin menjadi mahluk yang utuh dan mulia; sang Overman, sang Superman. Ujung dari semua itu adalah freedom! Kebebasan!”, demikian Nino berapi-api.

Kebebasan, kebebasan, dan kebebasan ... kata-kata ini muncul berulang dalam di pikiran Ambrosius. Jika ada kebebasan lantas kenapa ada orang yang ‘tidak bebas’? Anak-anak pandai yang tidak bisa mengenyam pendidikan? Anak-anak yang terluka hati karena perceraian orang tua? Orang-orang yang disingkirkan? Memang bebaslah seorang anak untuk memperoleh pendidikan. Tapi toh kenyataannya banyak yang tersandung oleh beragam aturan. Aturan yang dibuat manusia untuk mengatur kebebasan demi menghormati kebebasan. Di kelas ini pun tidak semua muridnya pandai. Tetapi mereka seharusnya patut bersyukur bisa memperoleh kesempatan belajar lebih tinggi. Seharusnya .. ya seharusnya, mengingat di luar sana banyak anak-anak pandai terlantar begitu saja. Tetapi ‘seharusnya’ selalu berselisih pendapat dengan ‘kenyataannya’. Demikianlah hidup.

Memikirkan kebebasan dan anak-anak pandai yang tidak sempat mengenyam pendidikan, pikiran Ambrosius mundur ke beberapa tahun silam, saat dirinya masih duduk di bangku kuliah.

Saat itu siang hari menjelang sore, di sebuah bangunan sekolah tua sederhana yang sepi dia bertemu seorang teman lama; Krisharjanto. Kris, begitu teman itu biasa dipanggil, adalah teman sebangku Ambrosius waktu masih SMP. Dia adalah salah satu anak terpandai yang pernah dimiliki sekolah tempat mereka belajar dulu. Anak buruh tani dia. Ayahnya sehari-hari menggarap beberapa petak sawah yang terletak di samping sekolah mereka.

Layaknya anak petani, figur Kris sangat sederhana. Posturnya tinggi, kurus, dan berkulit gelap. Bicaranya lantang dan keras seakan-akan ruang kelas adalah area persawahan. Kris selalu memakai seragam dari bahan sederhana. Sepatu bermerk ‘Warrior’ yang dipakainya tampak kusam, berpadu dengan kaos kaki tipis yang seakan tidak lekat pada kaki sehingga harus dikencangkan dengan karet gelang.

Tetapi Kris sangat pandai meskipun duduk di bangku paling belakang. Memang, deretan bangku paling belakang selalu diidentikkan dengan wilayah anak-anak bodoh dan bebal, sehingga guru kami menyebutnya: ‘anak-anak terbelakang’. Maksudnya adalah anak-anak bodoh bebal yang duduk di bangku paling belakang. Tetapi nilai itu tidak berlaku bagi Kris; sang ahli matematika, bahasa, dan sejarah.

Sore itu mereka berdua berbincang setelah hampir 10 tahun tidak berjumpa. Mereka bertukar pengalaman, bercerita perjalanan dan pergumulan hidup hampir 10 tahun terakhir. Ambrosius bangga bisa bercerita tentang pendidikan arsitektur yang hampir selesai dijalaninya. Tentang ilmu-ilmu yang diperolehnya. Begitu pula dengan pengalaman-pengalaman yang menggairahkan jiwa idealisme seorang anak muda. Semula dia juga berharap cerita yang sama menggairahkannya keluar dari mulut Kris; cerita tentang kehebatannya di seputar dunia akademik. Tentu pantaslah seorang Krisharjanto yang pandai hidup secara gemilang di dunia akademik.

Tetapi, cerita itu tidak keluar dari mulut Kris. Hanya ada senyum di wajahnya yang anak petani. Wajah yang makin keras dan kasar rautnya. Wajah yang hadir bersama rambutnya yang merah dan tak teratur. Bersama pula kaos oblong putih serba bolong, dan celana pendek lusuh yang menunjukkan betisnya yang jejeg sewarna gula-geseng. Dia hanya bercerita selepas SMP tidak ada lagi kesempatan melanjutkan studi. Ayahnya yang sekedar buruh tani tak sanggup membiayai. Adik-adiknya 3 orang. Maka kemudian kertas ijazahnya hanya menjadi pajangan; kertas yang menyatakan bahwa Kris adalah lulusan terbaik.

Tetapi Kris sempat berkata juga, tentang suatu hal yang tidak akan pernah dilupakan Ambrosius, yaitu kebebasan. Ya, kebebasan, atau tepatnya menyikapi keadaan yang diterimanya dengan sikap bebas dan lepas. Awalnya terdengar aneh bagi Ambrosius. Bagaimana mungkin menerima keadaan yang mengekang kesempatan untuk maju adalah suatu kebebasan? Tidakkah itu sekedar sikap menghibur diri belaka? Tetapi Kris memang anak petani tulen. Anak alam dia. Dia belajar bahwa alam selalu bergerak memberi kebaikan. Maka, pelajaran dari alam memberinya kesadaran bahwa memang betul setiap manusia memiliki kebebasan. Tetapi kebebasan haruslah mengarah kepada kebaikan. Karena kebebasan dan kebaikan sudah menjadi kodrat dalam diri manusia, seperti 2 sisi pada satu keping mata uang. Seperti alu yang bisa dipakai untuk menumbuk gabah sekaligus untuk memukul-membunuh. Nah, petani yang waras tentu akan memilih mempertemukan alu dengan lumpang pasangannya. Untuk menumbuk gabah. Kesadaran mempertemukan alu dengan lumpang inilah yang menjadikan dunia baik dan pada tempat semestinya. Mendaratkan kebebasan agar tidak berada di awang-awang.

Masih segar dalam pikiran Ambrosius tentang perjumpaan terakhir dengan Kris. Mereka pergi bersama dari sekolah tua di tepi sawah menuju jalan besar. Ambrosius mengendarai sepeda motor keluaran terbaru. Disampingnya Krisharjanto mengendarai sepeda bermerk Raleigh yang sudah kusam. Pada jok belakang ditumpuknya tumpukan gabah yang diikat dengan tali. Mereka tidak lagi membincangkan keramaian dunia akademik, tetapi tentang angin sore yang hangat semilir, harum tanah yang disiram air hujan, air teh tubruk dengan gula batu di warung pak Pujo.