Tuesday, December 18, 2007

Surat Untuk Wawan

Mas Wawan, seseorang yang terjebak dalam kesesakan atau jalan buntu selalu mencari "sesuatu di antara yang padat dan sesak" dimana dirinya bisa mendapatkan udara untuk menghirup nafas atau berharap melihat seberkas cahaya. Sesuatu itu bernama "ruang".

Aku bukan orang yang pintar mencari ruang-spiritual ketika berada dalam kesesakan. Merenung dan berdoa malah kadang membuatku tidur. Sebagai manusia aku cenderung berharap sesuatu yang nyata. Kadang sesuatu yang berbau spiritual itu indah kedengarannya tapi memberatkan.

Dalam mendapatkan ruang yang nyata maka harus betul2 mengambil sesuatu yang nyata pula. Maka, aku sangat senang dengan jalan di depan kosku, yang kalau malam sepi banget. Sering kalau 'sesak' aku jalan kaki menyusuri jalan ini jam 1 atau 2 pagi. Entah pergi ke warung teh poci atau ke taman, duduk-diam di bawah pohon cemara dekat kali.

Selama menyusuri jalan, banyak hal dalam pikiranku bisa dilepaskan. Malah kadang2 ada pula ide2 baru. Pada titik ini aku merasa sebagai orang yang sedang menarik nafas, melepaskannya, dst. Lega banget. Ide2 segar yang muncul aku lihat sebagai seberkas cahaya. Kalau lewat salahsatu rumah sering terkenang seorang Eyang yang kalau pagi atau sore berdiri di pagar berbusanakan kaos oblong dan celana panjang atau sarung. Rambutnya selalu rapi. Meskipun aku ngga tau namanya tapi kami selalu bertegur sama. Dia selalu tersenyum.

Sekarang, sang Eyang sudah meninggal. Tapi sering setiap malam hari lewat depan rumahnya aku teringat padanya dan sosoknya 'muncul' di otakku. Tetap tersenyum. Bedanya, senyumnya seperti tidak kenal lelah.

Atau lewat rumah di pojok yang wangi melatinya selalu menggoda. Untuk yang ini aku bela2-in berhenti, menghirup, untuk sekedar mengenang rumah di Jogja atau mengenang Ibuku yang selalu menaburkan melati di kasurku. Lagi-lagi ngecharge ... sadar bahwa kita ada dan dicintai.

Tapi itu sekedar saran aja. Siapa tahu membantu, apalagi dekat rumah Mas Wawan banyak gang2 sepi buat jalan2

Surat Untuk Khristin

Akhir tahun ini aku selalu mempertanyakan kenapa aku masuk dalam situasi pekerjaan yang sebelumnya aku benci. Bahkan dengan gagah-berani meninggalkan kenikmatan kantor lama yang salahsatu fasilitasnya adalah mempunyai waktu libur yang cukup dan manusiawi.

Ternyata aku tidak menemukan jawaban yang merupakan pandangan umum, semisal : "ah, dengan aku kerja keras seperti saat ini tentu akan memperoleh hasil yang lebih baik. Penghasilan, peluang, karier, dll." Sejujurnya nilai2 tsb aku dapatkan, tapi ... kok hatiku mengatakan bukan itu yaa ...

Sampai pada beberapa hari lalu saat internal project meeting dimana project manager kami mengumumkan bahwa item pekerjaan bertambah, beberapa target belum tercapai, tetapi jadwal tidak berubah. Artinya : kebut pekerjaan dan tidak ada libur, bahkan untuk tanggal merah sekalipun, juga hari sabtu dan minggu. Dan seperti biasa pekerjaan dimulai pukul 08.00 sampai 22.00. Mendengar berita ini tentu aku jadi deg-degan. Wah, tiket ke jogja udah aku beli. Piye iki?

Tapi, perintah itu sebetulnya lebih ditujukan pada teman-teman mandor, surveyor, dan tukang. Kami yang berada di level manajerial tentu boleh menikmati libur. Hal ini boleh jadi menghibur hatiku, tapi ada sesuatu yang bikin aku tidak tenang. Aku melihat wajah para mandor dan para surveyor. Sebutlah Pak Yono, Pak Redi, Pak Priadi, Pak Bachruddin yang lantas terdiam. Tidak berani mengemukakan pendapat apalagi membantah karena mereka tahu perintah tersebut mutlak terutama bagi 'wong cilik' seperti mereka. Mereka hanya bisa tersenyum dan mencoba mencairkan suasana dengan saling bercanda. Hanya Pak Priadi yang dengan terpaksa mengajukan ijin sebentar demi menemani anaknya yang menikah di Sukabumi dengan catatan selesai acara harus kembali ke proyek.

Aku masih diam. Sampai saat pergi ke toilet aku lihat seorang tukang. Udah sepuh. Umurnya kira2 70 tahun. Kami memanggilnya 'Simbah'. Masih memegang palu penghancur beton yang beratnya lebih dari sepuluh kilo (bukan palu biasa). Bersama beberapa rekannya dia melaksanakan tugas membongkar dinding beton penahan struktur lift setebal 30cm, setinggi 4m, dengan panjang 6m. Resiko terjerumus ke dalam lubang lift tentu di depan mata. Juga resiko jatuh dan tersangkut jalinan besi beton yang bisa merobek tubuh manusia. Belum lagi debu halus yang setiap hari dihisap bahkan ketika mereka tidur di mess yang lembab tanpa bisa melihat cahaya. Makan makanan murah yang dijual tanpa tahu mutu kesehatannya. Gaji mereka demikian kecil.

Cukup melihat satu contoh itu saja, dan seakan ada yang berbisik di hati :"Seto, maukah sejenak kamu bertoleransi dan menemani mereka?".

Monday, December 10, 2007

Surat Untuk Aris

Mas Aris .. Mantapz banget ceritanya!!!
Jangankan kereta bisnis. Suatu kali aku & Bismo nekat numpak ekonomi. Harganya? cuma 38 ribu rupiah!! Ceritanya kami pengen 'ngecharge', selain mengenang masa2 perjuangan dulu he he ... Ga baik ya kalo kelamaan hidup di satu titik aja. Jadi, ada baiknya otak ini digoncang-goncang biar lebih peka dan kreatif.

Kami naik dari stasiun Senen. Sampe di dalam gerbong sandaran kursinya tegak semua. Tapi masih lebih bagus. Jamanku masih ngere dulu gerbong ekonomi kursinya dibikin dari rotan. Buset!! Trus, judulnya kami memang dapet seat-number, tapi pas sampe tempatnya kursinya udah dipake orang yang pastinya ga akan merasa salah. Malah dengan enteng minta maaf dan ijin untuk menduduki. Wis jan! Buru2 Bismo milih tidur di bawah pake koran. Lebih anget dan ditanggung pules les.

Sepanjang jalan ga bisa tidur. Setiap menit ada aja orang 'jualan'. Ngupoyo-upo orang Jawa bilang, atau mengais rezeki. Ngamen pasti. Ngemis ... selalu ada dengan modus operandi yang diceritakan Mas Aris. Ada puluhan malah. Jualan? Pasti. Bersih2 aisle atau koridor gerbong dengan cara glesotan dan nyapu sana-sini .. hmmm ... ga terlalu baru juga. Yang baru adalah : Setelah koridor di bersihin ada satu orang lagi yang tadinya udah nunggu di deket wc. Maka jadilah dia semprot pewangi sana-sini sambil minta uang.

Pengamen. Ada yang baik2 ada pula yang nodong. Malah ada yang gak terima dikasih 500 perak. Tapi yang paling seru adalah seperti Mas Aris bilang :pengamen bencong. Dari suaranya aja udah kedengeran sejak dia di gerbong sebelumnya. Suaranya yang bariton juga ngalahin bunyi bogie roda kereta yang "jdhar-jdher" . Nah, yang paling "mengerikan" adalah bahwa ketika setiapkali abis nerima uang, si pengamen bencong itu berucap "terimakasih suami" he he he ... Mending tidur aahh ... daripada dibilang suami ...

Yang begini ini akan ketemu waktu kereta masuk stasiun Wates pagi hari. Biasanya ada 3 waria. Pede banget, dengan dandanan yang mencolok plus "gitar" kotak kayu dengan senar karet yang hanya menghasilkan 3-4 nada, tapi bisa ngiringin lagu apapun. Sebagian besar syair lagu berupa celotehan mereka yang selalu berakhir dengan kalimat tekewerkewerrrr ... klueerrrrr ....

Toilet? Jangan harap buang hajat di ekonomi. Lha wong closetnya aja buat sandaran kepala orang tidur.

Di setiap stasiun. Yah, yang namanya kereta murah pasti langganan disalip sama yang namanya senja utama, taksaka, argolawu, dan juga argo2 lainnya itu ... Tapi yang ngangenin adalah hiruk-pikuk orang jualan. Dari jenis barang yang dijual orang sambil merem tahu kereta udah sampe mana. Jadi semacam landmark. Nasi bungkus bisa dipastikan kereta masuk Cirebon. Nopia dan gethuk goreng? tentu Purwokerto. Nasi ikan ayam .. nah ini khas Jogja. Hanya orang Jogja yang menyebut daging dengan kata ikan (iwak). Iwak pitik, iwak asu, iwak sapi. Buat yang ga ngerti akan mikir : ikan berbentuk ayam ... jadi ada ayam berenang di sungai atau laut. Gitu?

Makanan & minuman. Buat teman2 yang suatu ketika akan naik kereta ekonomi. Belilah minuman panas sejak pertamakali diedarkan. Ditanggung (insya Allah) masih bersih. Itu aja masih sering nemuin bagian gelas yang licin dan berlendir hiiii ...
Tapi soal minuman, kami seneng banget dengan penjual minuman sachet (coffeemix, kopi kapal api, dll ). Selain terjamin kebersihannya aku juga belajar ilmu design product dari mereka. Pinter banget mengemas thermos, untaian sachet minuman, cangkir plastik dalam satu kemasan. Hebat!!

Dari semua keriuhan itu ada juga yang mengharukan. Sebut aja para masinis yang harus bertanggungjawab terhadap ratusan penumpang. Suatu ketika aku melongokkan kepala dari pintu. Melihat mereka jaga malam ketika semua orang tertidur pulas. Buka mata lebar-lebar di dalam kereta yang berkecepatan tinggi. Kadang sebagian badan keluar jendela. Kasih semboyan atau kode kepada petugas sinyal di darat di daerah perbukitan atau hutan yang jauh dari keramaian kota. Semakin mengharukan kalau melihat petugas sinyal tersebut udah sepuh, menaik-turunkan lampu di tangannya. Apalagi kalau pas ujan. Gaji mereka kecil. Kadang habis hanya untuk menghabiskan malam bersama pelacur di stasiun. Kalah terhadap himpitan kebutuhan hidup dan kelelahan, atau mungkin juga meredam rasa salah ketika malam2 melihat orang tertabrak dan tergilas lokomotif yang dikemudikannya. Penumpang ga pernah tahu ...

hmmm ... ngangeni ... semoga perjalanan bersama Nila dan keluarga menyenangkan. Juga untuk sowan Simbah di Wonosari. Wah, peristiwa yang sangat indah ya ...

Friday, December 7, 2007

Eyang Putri

*Mengenang 1000 hari wafatnya Ibu E. Surajinah

Tahun 1988. Saat itu saya kembali memulai kegiatan sebagai miesdinaar setelah sekitar 3 tahun meninggalkan kelompok ini. Wajah-wajah baru yang saya temui memberi kesan bahwa kelompok ini begitu hidup dan berkembang, dan wajah-wajah lama memberikan gambaran sebuah penerimaan kembali secara tulus. Membuat saya merasa seperti “pulang ke rumah”. Di antara wajah lama tersebut hadir seorang lelaki sepuh. Posturnya kecil dengan rambut putih. Parasnya ramah dengan senyum selalu mengembang. Kami memanggilnya Eyang Joko. Sosok inilah yang berperan dalam menjaga kemurnian dan eksistensi miesdinaar dengan tetap mengemban nilai-nilai luhur “Ad Maiorem Dei Gloriam”. Sungguh, Eyang Joko sangat memberi inspirasi dalam kehidupanku sampai saat ini. Masih ingat dalam benakku ketika bertandang ke rumahnya. Berbicara tentang Injil, Talmud, dan Khaballa, tentang para Santo, Bapa-bapa Gereja, para skolastikat dan religius, tentang musik Gregorians, bahkan berbicara menjadi manusia apa adanya yang menyadarkan saya bahwa Tuhan selalu hadir di dalam kesederhanaan dan kelemahan manusia yang bahkan jauh dari unsur religius. Semakin manusiawi semakin illahi.

Eyang Joko adalah sosok yang antusias dalam bercerita. Tetapi seperti halnya merasakan aliran angin yang lembut di antara gesekan bambu, ketika sedang berbincang saya selalu mencuri-curi pandang sosok lain yang sangat lembut dibalik ‘kekuatan’ seorang Eyang Joko, yaitu seorang perempuan yang hadir dengan senyum dan bahasa tubuh yang anggun. Kami memanggilnya Eyang Putri.

Sering kita dengar bahwa dalam kehidupan sebuah sistem tidak bisa berjalan tanpa dukungan sistem yang lain. Sebuah jembatan yang tampak kokoh dan megah tidak akan berfungsi baik kalau tidak didukung ikatan lainnya melalui unsur mekanik yang terkecil sekalipun. Rumpun bambu harus digerakkan oleh angin yang tak kentara agar berderak menyuarakan irama alam yang membius jiwa. Angin itu juga yang menghantar harum bambu dan diterima oleh indera yang menjadi teduh. Itulah Eyang Putri yang saya kenal. Seorang yang memberi dukungan dengan tidak terlihat.

“She is my Angel”, begitu kata Eyang Joko mengomentari sang Istri.
Bagi saya pribadi, seperti halnya sang suami, Eyang Putri adalah sosok yang memberi inspirasi. Tetapi lebih dari itu, dibalik kehadirannya berbalut busana Jawa sederhana yang membuat dirinya layak dipanggil Ibu dan Eyang, beliau adalah sebuah ‘rumah’ dan ‘rahim’ yang menyerap energi buruk penghuninya agar mampu berjalan lagi. Dalam parasnya saya mengerti akan makna keheningan, kedamaian, ketulusan, dan kesetiaan.

Saturday, December 1, 2007

Warung

Suatu malam di sebuah warung di wilayah Bendungan Hilir Jakarta.
Warung ini menyediakan ketan yang diurapi dengan srundeng kelapa, teh poci, mie rebus, aneka 'gorengan' dan minuman lainnya. Berukuran lebihkurang 6x8m warung ini terdiri dari beberapa fungsi ruang, yaitu tempat persiapan, area memasak, kamar mandi, meja saji, dan tentu saja bangku tamu. Tidak ada dinding yang membatasi ruang per ruang secara jelas, kecuali kamar mandi, yang pada sebagian dindingnya terdapat bukaan. Pembatas biasanya terbuat dari partisi kayu rendah, seperti halnya struktur penopang dinding dan atap yang semuanya terbuah dari kayu. Sambung-menyambung tanpa kaidah yang benar, menopang atap seng yang selalu bocor di kala hujan.

Ada beberapa lampu sebagai penerangan. Masing-masing lampu terangkai oleh kabel yang merayapi struktur bangunan yang warnanya hitam karena kusam atau jelaga. Tetapi yang menarik dari warung ini adalah aktifitasnya yang selalu hidup. 24 jam non-stop. Dilayani oleh beberapa pramusaji muda, rata-rata perempuan dan berasal dari kota-kota di wilayah pantai utara Jawa. Mereka, selain melayani dengan sigap, juga bercengkerama dengan para pembeli yang duduk berhimpitan di bangku kayu panjang menghadap meja besar berisikan makanan dan minuman. Seperti halnya para pembeli kelas atas menghadap sushi-bar. Mereka, para pembeli itu muncul dari beragam profesi dan strata : karyawan, tukang sol sepatu, sopir bajaj, kuli bangunan, sopir ojek, koster gereja, bahkan beberapa 'seniman kalah' yang cukup mempunyai nama, juga beberapa orang yang dianggap abnormal. Sebut saja Yanto, seorang penderita keterbelakangan mental yang sehari-hari bekerja mengatur lalu-lintas di persimpangan jalan. Atau Tante, sebut saja begitu, seorang perempuan setengah baya dan pemulung berparas ayu, atau entah siapa namanya, seorang gila yang fasih berbahasa Inggris yang sambil tertawa gemar mengatakan kepada orang-orang : "Jesus Christ ... Erlangga Kertapati from Yahudi he he he ...".

Suatu petang, aku minum teh poci di warung ini yang kebetulan saat itu agak sepi, sembari membaca sebuah buku religius.Tak lama muncul laki-laki kecil. Iwan namanya. Bekerja sebagai buruh proyek Departemen Pekerjaan Umum.

"Mas tahu Pasar Genjing' kan? Nah di situ ada proyek perbaikan saluran", katanya membuka percakapan.
"Mas Iwan kerja di situ?", balasku
"Ya".
"Lalu, tinggalnya dimana?"
"Lha di situ. Di bedeng di taman belakang warung ini. Mas sudah lama di Bendungan Hilir?"
"Kira-kira setahun. Di tempat yang ada mobil travelnya", jawabku.
"Oo ... Mas Sopir?"
"Bukan. Saya kerja di bangunan".
"Oooo .... ". Parasnya yang masih tampak bocah tampak berpikir. Manggut-manggut.
"Sering ke warung ini, Mas?" tanyanya lagi.
"Dulu, waktu masih sering pulang sore. Sekarang pulangnya malam. Jadi sudah jarang", jawabku sambil tertawa. Mencoba mencairkan suasana.

Salah seorang pramusaji perempuan menyajikan kopi susu baginya. Dibalas Iwan dengan candaan yang menyerempet, tapi halus dan tidak cabul.

"Mas asalnya mana?", Iwan bertanya lagi
"Jogja. Dan Mas?"
"Jombang. Mas tahu Jombang?".
"Hmmm ...", jawabku sambil mulutku tetap berkonsentrasi pada mie rebus. Dan dia melanjutkan ocehannya lagi :
"Sebenarnya saya cuma bingung aja. Kok ada orang top di sini?"
"Top? Top bagaimana?".
"Iya. Top. Orang seperti Mas kok mau makan di sini?", dia bertanya sembari cengar-cengir.

Sejenak aku menjadi salah tingkah. Terlebih saat dirinya mengatakan bahwa parasku bukan seperti orang Jawa, yang membuat diriku teringat seorang penjual bakso yang suatu malam mengatakan bahwa wajahku mirip orang India. Edan!!

Merasa mendapat teman bicara Iwan menanyakan buku apa yang aku baca. Jujur, aku menjadi semakin rikuh. Hendak menjelaskan apa kepadanya? Menjelaskan temanya bagiku membuat obrolan menjadi berat. Hanyalah membolak-balik buku dengan tidak jelas yang bisa kulakukan. Lagi-lagi salah tingkah seperti orang tertangkap basah selingkuh. Dan juga, lagi-lagi Iwan hanya berkata "Ooo...". Parasnya yang menandakan bahwa dirinya masih bocah berkesan berpikir sesuatu. Manggut-manggut.

***
Di dekat kantor tempat aku bekerja dahulu, di wilayah Sunter Jakarta Utara, ada sebuah warung tempat aku dan teman-teman biasa mangkal sore. Sekedar melepas penat. Memang, kantor kami saat itu mempunyai habit yang cukup aneh. Jam masuk kerja adalah jam 9.30. Dilanjutkan dengan makan siang pukul 11.00 siang sampai pukul 12.00, kadang sampai pukul 13.00. Dilanjutkan lagi dengan acara makan siomay di sore hari pukul 15.00, masuk kerja lagi sampai waktunya pulang, yaitu pukul 17.00. Aneh memang.

Warung tempat kami mangkal adalah warung kecil. Terbuat dari kayu dengan atap "emplekan" dari seng dengan sebuah jendela display. Di warung yang menyediakan berbagai makanan kecil, minuman, barang keperluan sehari-hari, dan mie rebus ini tinggal sebuah keluarga. Letaknya di sudut jalan sehingga memungkinkan untuk memiliki teras kecil yang diisi bangku di bawah kerindangan pohon carson.

Sang suami, pemilik warung ini, bekerja sebagai petugas keamanan sekolah yang berada di seberangnya. Anaknya satu orang. Setiap hari bermain keliling kompleks dan kampung bersama teman-teman sebayanya demi menghindari omelan Ibundanya, seorang wanita gemuk berambut keriting dan bermata juling ini yang senantiasa menemani kami. Masih segar dalam ingatanku bagaimana si Ibu ini meracik sayuran bagi keluarganya, meskipun katanya tidak pernah habis dan kemudian ditawarkan ke orang lain termasuk kami.

Masih ada lagi seorang tokoh yang kerap menemani kami di warung ini. Paijo namanya. Orang asal Klaten Jawa Tengah. Seorang penjual siomay yang selalu tersenyum. Menjajakan siomaynya menggunakan sepeda onthel. Siomaynya siomay kampung. Enak dan laris, sehingga lidahku yang kenyang dalam kesulitan ekonomi maupun lidah Evelyn, seorang teman kantor yang mirip aktris Gong-Li, sangat cantik, rela menikmatinya. Dan Paijo inilah yang selalu menemani kami bersama si Ibu gemuk keriting. Mereka mengenal kami, bercanda apa-adanya, selalu menanyakan jika salah satu dari kami tidak hadir, terutama Mbak Evelyn tentunya. Tentu, hati siapa yang tidak tersentuh demi melihat sang bintang yang menawan mau menyapa mereka dan duduk 'gelesotan' makan siomay di emperan? Pun mereka tercenung ketika mengetahui bahwa si Mbak Gong-Li ini hijrah ke London. Bekerja di sebuah konsultan ternama di sana dan belum lama ini namanya muncul sebagai tim desain di sebuah buku. Atau sebaliknya, begitu terharu kami ketika mendengar berita gempa di Jawa Tengah meluluhlantakkan rumah Mas Paijo.

***
Warung ada dimana-mana di setiap sudut kota di negeri ini. Seringkali kehadirannya tidak sekedar menandakan aktifitas ekonomi semata yang mengatakan "engkau adalah kawan jika engkau dan aku terlibat dalam perkara bisnis". Tidak! Warung malah seringkali hadir sebagai sebuah hati yang siap menerima, tidak peduli nilai ekonomi yang diperolehnya. Dan bersama mereka, para pemilik warung dan orang-orang yang terlibat di dalamnya, jika kita mau membuka diri dan hati dengan sangat sederhana sekalipun kita akan merasakan sebuah "kehadiran" yang suatu saat akan bermakna ketika diri ini merasa kesepian. Menyadarkan bahwa kita ada untuk mereka, begitu juga sebaliknya. Menyadarkan bahwa setiap manusia tidak sendiri dalam berziarah di muka bumi. Seperti halnya berita yang kami terima dari London : "Ga gampang hidup sebagai perantauan di sini. Kangen kalian!!. Apa kabar Paijo? Kangen siomaynya nih". Dan kami yang membaca tertawa, menyeletuk :"Eh ... jangan-jangan si Paijo lama ngga kelihatan karena nyusul Evelyn ke London ya. Jualan siomay dia di sana ... ha ha ha ha!!!".

Sunday, November 25, 2007

Friend in The Lord




Sore itu saya tiba di sebuah tempat yang sangat luas, sepi, dan sejuk. Penuh pohon tua dengan ukuran yang besar di halaman yang terletak di antara dua buah bangunan. Masing-Masing bangunan mempunyai koridor panjang yang berfungsi sebagai teras dengan meja-bangku kayu model lama di beberapa tempat, berpadu dengan lantai ubin semen mengkilap.

Setelah memarkir sepeda motor saya masuk ke sebuah pintu di bawah tangga. Dan setelah pintu aku buka tampaklah sebuah halaman yang luas ditutupi rumput yang (lagi-lagi) diapit oleh dua bangunan panjang di sisi kiri dan kanannya. Masing-masing bangunan terdiri dari dua lantai dan mempunyai banyak pintu. Salahsatu dari pintu tersebut terbuka dan muncul seorang laki-laki agak gemuk dan berkulit putih. Sejenak memandang aku yang masih kebingungan.
"Baru pertama ya Mas? Ambil aja salah satu kamar", katanya menyapaku.
"Terimakasih. Oya, saya Seto."
"Leo". Kami berjabat tangan.

Aku ambil sebuah kamar.
Seperti bangunannya, pintu kamar ini tampaknya belum pernah diperbarui kecuali dicat ulang. Aku masuk, dan tampaklah sebuah suasana ruang yang sangat sederhana meskipun cukup luas. Lantainya terbuat dari ubin semen mengkilap dan ceilingnya berupa plat beton ekspos dengan tekstur anyaman bambu. Dua buah tempat tidur di sisi kiri dan kanan. Satu terbuat dari besi dan satu lagi dari kayu. Pada tempat tidur besi terdapat kasur berbalutkan sprei putih, dan pada tempat tidur kayu terdapat kasur berbalutkan sprei kain jarik. Aku letakkan tas di kasur. Sebuah Injil, buku doa, buku catatan, pena, dan I-Pod aku keluarkan dan tempatkan di meja kayu, berdekatan dengan cerek plastik berisi air putih dan sebuah gelas. Pakaian aku keluarkan, dan ah! aku melihat lemari kayu, sebuah gantungan baju pada permukaan pintu, dan sebuah washbasin. Di dekat washbasin bertengger tempat penjemur pakaian dan handuk.

Setelah tertata semuanya aku duduk. Merenung, merasakan harum ruangan yang aroma dan segala isinya mengingatkanku pada rumah lama Eyang. Seluruhnya. Material ruangnya, bangku-kursinya, lemarinya, juga pintu jendela model bangunan Jengki tahun 60-an.. dan ah ya ... panas sekali di sini. Untuk itu mataku mencari-cari penyegar udara dan akhirnya tertumbu pada sebuah kipas angin. Setelah kipas angin aku nyalakan, diriku yang masih gamang mencoba duduk-diam kembali. Merenung, dan dalam hati berkata "Tuhan, aku di sini."

***
Pukul 19.00 setelah makan malam yang penuh canda.
Puncta.
Dalam puncta, seorang biarawan muda menjelaskan bahan renungan yang bertajuk Friend in The Lord. Dia berbicara dengan pola kalimat yang melompat dan agak gagap. Suaranya lirih. Tapi semua kelemahannya itu diakuinya. Dan tentu saja bagi kami bukan kelemahannya yang pokok tetapi intisari materi yang disampaikannya dengan baik. Friend in The Lord menjabarkan konsep berkomunitas yang baik dan berpusat pada Allah. Didasarkan pada komunikasi yang jujur dan tulus. Sharing and loving yang tidak memusatkan diri kepada kebutuhan afeksi dan nostalgia, tetapi memberikan dirinya untuk sahabat, seperti halnya Isa Sang Putera memberikan diriNya bagi orang lain. Dan tema inilah yang menjadi bahan dasar renungan saat itu. Renungan yang dicari bukan dengan diskusi atau doa-doa permintaan, melainkan dengan silentium magnum. Keheningan yang absolut, seperti yang dijabarkan seorang biarawan muda lainnya : "Setelah puncta ini kita memasuki silentium sampai acara ini selesai. Bukan kita yang berbicara, tetapi biarkan Dia berkata-kata. Gunakan waktu sebaik mungkin untuk merenung. Terserah. Dimana saja. Boleh di kamar, di taman, atau dimanapun. Usahakan tidak ada pembicaraan yang tidak perlu. Sekian, dan kita kumpul lagi dalam doa malam di kapel".
***


Meditasi malam selama satu jam, atau doa hadir pada subuh, misa pagi yang berbaur dengan penduduk setempat, pada waktu makan, aktifitas di kamar masing-masing, dan juga saat coloquiuum atau wawancara dengan seorang biarawan. Semuanya berbalut keheningan. Mereka, pada biarawan muda itu, dahulu juga manusia seperti kami. Manusia yang bekerja mencari uang, hidup dalam rutinitas pekerjaan, mempunyai karier dan jabatan, mempunyai keinginan untuk menikah. Manusia seutuhnya yang mencinta dan berseksual. Pun saat ini mereka tetap manusia apa adanya.

"Entahlah Frater. Saya sulit mempunyai gambaran sebuah pernikahan", kataku memulai percakapan.
"Mas, Saya dulu juga seperti anda. Ada ketakutan dan kekhawatiran. Tapi coba renungkan ini : Bayangkan sebuah perkawinan, tentu dengan pasangan yang ideal menurut Mas. Rasakan keindahan dan kesusahannya. Lalu bandingkan dengan kalau Mas memilih menjadi Imam dan hidup selibat. Mana yang lebih kuat. Tapi bukan itu pokoknya, melainkan kalau Mas merasa menikah dan berseksual adalah sesuatu yang indah, syukuri hal itu karena itu adalah sebuah anugerah. Justru dengan ini anda diajak untuk menyadari ketika anda memilih hidup selibat tidak lain karena kesadaran untuk sebuah tugas dan mengikuti Dia. Selibat jangan dilakukan karena pelarian atau karena ketidakmampuan mencinta dan berseksual."

Para biarawan muda itu. Mereka adalah manusia seperti kami dan akan tetap menjadi manusia apa adanya sampai kapanpun. Mereka telah, sedang, akan terus melewati tantangan sebagai selibater yang menyerahkan hidupnya pada sesuatu yang tidak tampak. Sesuatu yang lembut dan hening berlawanan dengan gemerlap dunia. Untuk itulah mereka hadir bagi kami yang mempunyai kegelisahan yang sama. Hadir untuk menemani. Bukan untuk menawarkan, terlebih memaksakan. Hadir untuk menjelaskan bahwa memilih hidup sebagai awam pada umumnya adalah sama baik dengan hidup selibat secara khusus demi Dia. Sama baik dan sama-sama terberkati. Sama-sama tidak ada yang salah. Dan ketika tiba saatnya menjatuhkan pilihan, apapun itu, mereka akan tetap bergembira bagi kami.

***
Di kamar yang sunyi aku kembali merenung dan bertanya :"lantas, kenapa aku ada di sini Tuhan? Aku tidak pernah meminta. Awalnya aku hanya mencoba membukakan pintu bagi tamu yang datang di malam-malam yang lalu. Kukira tamu itu adalah Ibuku yang sakit yang sempat aku temani hingga akhir hayatnya. Atau Ayahku yang di hari tuanya begitu sederhana dan penuh penyesalan atas kesombongan masa lalunya, dan saat ini begitu dekat denganku. Atau buruh-buruh di proyek yang senang aku berikan senyum dengan sedikit obrolan. Atau kukira Mbak Wartiyah dan Mang Uca yang mempunyai rumah di kolong jembatan, yang beberapa bulan lalu habis dibakar dan digusur.... Tetapi setelah pintu kubuka tak satupun dari mereka kulihat."

Sampai akhirnya aku begitu lelah. Ingin membuang semua persoalan ini. Sangat sadar dalam diriku bahwa aku masih harus berhadapan lagi dengan pekerjaanku besok, yaitu merenovasi gedung yang sangat menyita waktuku. Jangankan untuk berdoa, sekedar examen conscientiae atau memeriksa batinpun aku tak punya waktu. Aku memang lemah, rapuh, dan kotor. Tapi kenapa aku di sini? Entahlah. Aku lelah dan ingin tidur. Tetapi semakin memejamkan mata bait-bait nyanyian itu, meskipun sayup, tetap terdengar :

Take, O Lord, and receive my entire liberty,
my memory, my understanding and my whole will.
All that I am and all that I possess You have given me.
surrender it all to You to be disposed of according to Your will.
Give me only Your love and Your grace;
with these I will be rich enough,and will desire nothing more.

Monday, November 19, 2007

Bulan di Asia

Kemarin malam aku membongkar koleksi kaset lama. Banyak juga ... dan kotor. Satu persatu aku ambil dan bersihkan, sampai akhirnya jatuh pada salahsatu album yang aku suka, bertajuk Bulan di Asia yang dimainkan oleh kelompok JavaJazz. Ini sebuah grup jazz yang muncul pada tahun 90-an. Dengan memainkan nada kombinasi pentatonik-diatonik kelompok ini mampu menarik perhatian publik pada NorthSea Jazz Festival di Den Haag Belanda. Dan Bulan di Asia hadir dengan imaji yang kuat di antara alunan nada mainstream modern lainnya. Tidak hanya nada-nadanya tetapi juga judul yang diusung. Cantik, eksotis, genit, penuh warna, sekaligus agung dan mistis.

Yudi, seorang kawan sekaligus pianis suatu ketika menjelaskan bahwa seorang musisi jazz hidup-larut dalam ritme nada yang dimainkannya : improve, ekspresif, "melompat", nada sengau, sinkop, fretless, memainkan rasa. Mereka bagaikan berjalan beriringan tetapi masing-masing berdiri pada layer yang berbeda. Namun demikian ada unsur yang selalu menjaga agar tetap ada dialog dan harmoni. Dan tentang layer sendiri, aku mengenalnya kira-kira sepuluh tahun silam ketika masih belajar di fakultas arsitektur. Kami diajarkan bagaimana mengolah layer dalam proses perancangan. Kami diajak membaca data kehidupan : sejarah, aktifitas, budaya, filosofi, religi, fungsi, program, sirkulasi, dan masih banyak lainnya. Mengolahnya, meletakkan masing-masing unsur pada pola yang berbeda, dan di tempatkan dalam satu bidang. Mirip menjahit kain-kain perca menjadi satu selimut, sehingga terbentuklah ruang dan waktu yang baru.

***

Minggu, 18 November 2007. Waktu itu menunjukkan pukul 21.30 wib. Hujan turun deras di Jakarta Selatan. Masih dengan menggunakan raincoat aku mengetuk pintu sebuah rumah di Kampung Duku yang lampunya masih benderang. Terdengar suara ceria anak-anak di dalamnya. Masih ada kehidupan pikirku.

Tak lama kemudian muncul mas Wawan dari balik pintu, diikuti Bening yang mengenakan piyama. Keduanya tertawa. Ah, nyaman rasanya. Disambut dengan sebuah kegembiraan, dingin di badan tidak terasa.

Beberapa menit kemudian Bening yang anggun pamit tidur, dan berganti muncul sang adik, si genit Kanya yang juga mengenakan piyama. Dirinya mencuri perhatian kami yang sudah berbincang panjang -lebar. Tentang kegiatan akhir-akhir ini, tentang diriku yang jatuh cinta, tentang teman, tentang buruh-buruh proyek, tentang bagaimana saat ini beberapa dari antara kami menduduki posisi yang baik dalam pekerjaan. Seringkali di tengah pembicaraan, Kanya mencium pipi Bapaknya. Tanpa bermaksud memutuskan pembicaraan kami sang Bapak berganti mencium pipinya dan melontarkan rayuan mesra, dan kemudian obrolan berlanjut lagi. Aneh, aku tidak merasa terganggu. Bahkan merasa kehadirannya, meskipun dalam aras yang berbeda dengan pembicaraan kami terasa bagaikan sesuatu yang alami dan saling mengisi. Sulit bagiku untuk menjelaskannya.

Lagi.
Kanya merengek minta tidur dekat dengan Bapaknya. Jadilah si Nok ini tidur di sofa berbantalkan guling panjang dengan percaya akan satu janji: nanti tidur dengan Bapak.

Wedang Sekoteng bersama tempe dan tahu bacem disuguhkan. Tak lupa kacang kulit. Kami berbicara tentang silencium. Mengolah rencana-rencana dan berharap Tuhan berkenan akan rencana retret yang akan datang. Kami juga berbincang tentang arti komunitas, mengkritisi, mempertanyakan makna dibalik kata, pandangan positif akan para sahabat. Lagi-lagi si Nok yang genit duduk.

"Lho kok ngga tidur?", tanya sang Bapak. Dijawab dengan gelengan kepala, dan sebuah ciuman mendarat di bibirnya. Nok Kanya tertawa. Aku menimpali : "lho kok oom Seto ngga dicium?". "Ayo cium Oom!," sang Bapak memprovokasi. Si Nok menggeleng. Tanpa persetujuan sebuah ciuman mendarat di pipinya. Kami tertawa.

Petir berkeliaran di udara. Masih hujan. Motorku tampak mengkilap gagah dibalik pintu. Mas Wawan mengucapkan sebuah kalimat yang malam itu bagiku terdengar bak kalimat samawi : "Kalau dipikir-pikir, apa artinya dia bagiku? Kenapa dia harus hadir di tengah keluargaku? Siapa dia?".

"Dan seorang individu dengan jatidiri yang berbeda," aku menimpali.

"Ya," jawabnya. Tangannya terus membelai si Nok yang mulai tertidur. Nyaman dan hangat. Menunggu janji sang Bapak yang akan mengajaknya tidur. Wajahnya terlihat cantik, seperti wajah bulan. Bulan dengan wajah yang sangat Asia. Ya, Bulan di Asia.

Wednesday, November 14, 2007

Ki Moy


Suatu sore aku mampir ke wilayah Kali Besar Jakarta. Sekedar untuk memuaskan rasa kangen terhadap suasana kota tua, apalagi udara saat itu tidak terlalu panas. Sangat menyenangkan untuk sejenak lepas dari rutinitas dengan cara membuat sketsa. Maka jadilah, berbekal bangku kaki tiga yang bisa dilipat, beberapa lembar kertas sketsa, dan pensil tentunya, aku mencari posisi yang tepat.

Sejenak mata aku arahkan ke seluruh wilayah ini. Menatap deretan bangunan-bangunan tua di tepi jalan raya di sisi Timur dan Barat yang dipisahkan oleh sungai besar yang dulu dikenal sebagai Grootegracht. Airnya kotor berwarna hitam pekat. Pelan sekali alirannya, penuh sampah, dan berbau.

Dulu bangunan-bangunan ini berfungsi sebagai sentra perdagangan yang dikelola oleh para pedagang keturunan Cina, Eropa, dan Vereenigde Oostindische Compagnie. Sungai di depannya menjadi lalu-lintas kapal yang masuk melalui Pelabuhan Sunda Kelapa, melewati ‘djembatan inten’ yang sosoknya masih bertengger sampai sekarang. Di masa jaya kala itu orang mengenal wilayah ini dengan nama Iacatra yang akhirnya berubah menjadi Batavia, Jayakarta, dan akhirnya Jakarta. Pelaut Portugis menamainya ‘Zamrud Asia’. Tetapi sekarang keadaannya berbeda. Gedung-gedung tua yang bahkan menurut para ahli sejarah Belanda tidak ada duanya di dunia bahkan di Eropa sekalipun, tidak berfungsi apa-apa. Diam tidak terawat. Beberapa ruangnya menyisakan tempat untuk para gelandangan, pengemis, dan pelacur yang menyediakan jasa bagi para pengemudi truk di dekat wilayah pergudangan untuk melepas lelah. Unloading. Beberapa bangunan lainnya difungsikan kembali sebagai kantor swasta dan pemerintah, juga tempat hiburan yang dikuasai oleh mafia kelas atas.

Suatu pagi di tempat yang sama bersama Pater Adolf Heuken kami melihat kerumunan di sekitar kali besar. Seseorang mengatakan ada bayi dibuang. Mendengar itu saya menoleh kepada Pastor Jesuit tersebut. Dia hanya bergumam lirih : “Ah, masih ada saja yang seperti ini”.

***
Pensil sudah di tangan. Aku mulai dengan menaksir bangunan. Tiba-tiba terdengar sebuah sapaan. Aku menoleh dan melihat seorang perempuan tua sudah berdiri di sampingku. Badannya kecil, pakaiannya dekil. Rambutnya sedikit ikal. Dia mengatakan tertarik melihat aku melukis. Dia mengaku bernama Ki Moy. Wanita keturunan Cina. Semasa mudanya berprofesi sebagai tukang pijit berkelas, lady escort, dan cabo atau pelacur (mungkin diambil dari kata Ca Bau). Memang, jika diamati lebih jauh kekumalan tubuhnya tidak menutupi sisa kecantikannya. Dia mengaku berasal dari keluarga kaya.

“Wah, harusnya Ibu enak dong. ‘Kan keluarga Ibu kaya semua”, begitu saya menanggapi obrolannya.

“Ngga lah, mereka jahat. Mereka buang saya. Udah deh .. saya minta duitnya aja. Buat makan nasi kecap. Sepuluh rebu aja. Kalo ada lebih juga boleh .. he he .. Kalo nggak ada ya udah. Besok ketemu aja di sini. Besok ke sini ‘kan? Saya tiap hari liwat sini.”

“Memangnya Ibu tinggal dimana?”

“Di sana tuh … di kolong jembatan Inten. Di sana banyak cabonya lho. Duapuluh rebuan. Tapi Jelek-jelek. Yang cakep di sana no … di Petak Sembilan deket Gloria. Cabonya Cina. Cakep-cakep. Boleh buat situ deh. Situ apa tadi? Arsitek ya? Tukang ngitung bangunan ya? Kaya dong. Cocok deh buat situ”.

Selama obrolan berlangsung aku hanya bisa tertawa atau senyum. Uang sejumlah duapuluh ribu aku berikan, dan dengan ucapan terimakasih dia pergi dengan sebelumnya meninggalkan sebuah pesan : “Anak laki saya juga tukang ngitung bangunan. Tinggalnya di Cengkareng. Tolong temuin dia. Bilang dia saya sayang sama dia. Saya ngga minta dia harus ketemu saya. Besok kasih tahu saya ya. Kalau cari saya di kolong Jembatan Inten. Bilangin dia saya sayang sama dia”.

***
Saat itu senja hari sewaktu aku melihat sosoknya yang kecil pergi. Dalam hati aku berpikir bagaimana seseorang bisa dengan mudah percaya kepada orang yang baru dikenalnya. Dia juga percaya bahwa aku mengenal anaknya hanya karena kami sama-sama tukang ngitung bangunan. Kedengarannya bodoh. Tapi bisa jadi permintaannya adalah ungkapan kerinduan yang ingin disampaikan yang selama ini tidak tahu kepada siapa dia ingin sampaikan. Sebagai manusia saya hanya bisa terharu tetapi tidak bisa berbuat lebih banyak. Hanya ada rasa ingin bertemu dengannya lagi dan mengatakan : “Ibu, saya sudah bertemu dengan anak Ibu. Dan dia mengatakan bahwa sayang kepada Ibu”.

Dari situ saya hanya berharap, suatu ketika, siapa tahu, diakhir hidupnya dia tetap seorang cabo miskin yang kesepian, setidaknya bisa meninggal dengan hati tenang karena ‘tahu’ anaknya mencintainya.

Wednesday, October 31, 2007

Dr. Satrio - Rasuna Said

Kemarin malam saya berjalan kaki menyusuri jalan Dr. Satrio menuju Rasuna Said. Lalu lintas sangat padat. Awalnya tidak merasa heran karena sehari-hari kondisinya memang demikian. Tapi beda kali inisemua kendaraan berhenti. Kemudian, dalam jarak kira-kira 50 meter ke depan baru tampak kerumunan. Saya pikir sebuah kecelakaan. Ternyata benar. Orang ditabrak sepeda motor kata seorang tukang parkir. Di sebelah kanan di tengah jalan dua orang menebar pasir kesebuah genangan darah. Di sebelah kiri di tengah kerumunan seorang ustadz sedang berjongkok mendoakan korban ditemani dua orang polisi. Sesosok tubuh dengan posisi menelungkup di trotoir. Bagian kepala ditutup kertas koran. Tubuhnya kecil, pakaiannya dekil. Dia sudah mati.

Sebisa-bisanya saya berdoa. Tapi dalam hati lebih banyak dipenuhi rasa haru. Haru terhadap korban, haru terhadap penabrak yang dalam kondisi shock di bawa masuk ke mobil polisi, juga haru terhadap orang-orang yang menonton. Ada yang menaruh simpati, tapi (tanpa bermaksud buruk sangka) ada juga yang sekedar menganggap kejadian seru yang bisa dijadikan bahan cerita ke orang-orang. Muncul juga rasa aneh dalam hati demi membayangkan apa yang ada dibenak anak itu beberapa saat sebelum kematiannya. Mungkin dia punya banyak rencana, keinginan, dan berpikir ke depan tanpa pernah tahu sesaat lagi dirinya akan berpindah alam.Tapi ada lagi yang membuat hati saya terketuk : lelehan air mata seorang anak kecil di gendongan Ibunya. Sang Ibu tidak bereaksi sedih, bahkan berkesan biasa. Bisa dipastikan mereka bukan anggota keluarga. Anak itu tidak menangis keras, tapi mungkin merasakan kesedihan. Kesedihan itu seperti muncul secara spontan tanpa dirinyayang masih berusia sekitar 5 tahun mampu menalar lebih jauh apa yang terjadi. Di dalam pikiranku, spontanitas tersebut menyiratkan gerakan hati yang jujur, dalam, dan bersih. Saya yang selama berjalan dipenuhi pikiran dan kekhawatiran akan pekerjaan, kehidupan, keuangan, dan lain-lain yang membawa kepada sikap egois menjadi begitu ingin belajar lepas-bebas seperti anak itu. Sejenak berani untuk memberikan hati kepada orang lain tanpa buru-buru menilainya terlebih dahulu.

Saya percaya jiwa korban itu bahagia, seperti halnya saya percaya malam itu Tuhan berbicara kepada saya melalui lelehan air mataseorang anak. Memang Tuhan itu sangat lembut, tapi kehadiranNya kerapkali nyata dan meninggalkan sebuah tanda.

Friday, October 26, 2007

God Lives in The Details

Dulu, para guru dan mahaguruku sering menyatir kalimat seorang mahaguru arsitektur, yang mengatakan bahwa Tuhan hadir dalam setiap detail.

***

Dalam tubuh kota Jakarta yang porak-poranda terdapat sebuah detail, yakni kampung kecil yang mempunyai sebuah pelataran yang berfungsi sebagai open-public-space. Di tepian common space tersebut hadir sebuah rumah mungil nan asri dimana keluarga Yohanes Krisnawan hidup di dalamnya.

Saya membayangkan diriku duduk di pelataran tersebut, memandang teras dan ruang tamu yang terang benderang. Tentu, tak lain karena ada sebuah perhelatan, memperingati ulang tahun Kanya, puteri kedua pasangan Wawan-Nela. Dalam imajinasi, saya bayangkan kemeriahan tersebut membawa kegembiraan bagi orang-orang di sekitarnya, seperti halnya Kanya yang suatu saat saya temui sedang bergembira menjalin komunikasi dengan teman sekampungnya di balik pintu pagar. Padahal saat itu waktu menunjukkan pukul 10 malam. Tetapi suaranya yang ceria seakan menyusup koridor kampung, tanaman rambat, tiang-tiang jemuran, pintu-pintu rumah menularkan kegembiraan. Atau rengekan mesranya demi melihat sang Bapak mengeluarkan sepeda motornya. Atau juga sang kakak, Bening, yang dengan lembut-tak kentara menuliskan doa-doanya pada sesobek kecil kertas. Untuk teman, untuk sang adik, untuk burung piaraan, untuk Bapak dan Ibunya.

Memang, Tuhan selalu hadir menyusup dalam hal-hal terkecil dalam unsur kehidupan. Juga dalam sebuah rumah kecil nan asri, yang terletak dalam sebuah kampung yang mungkin dipandang sebelah mata. Dan saya percaya, selalu dimana Tuhan hadir, Dia mendirikan mezbahNya. Mendirikan altar bagi kita untuk memanjatkan doa-doa bagi sesama, bagi kota, bagi dunia.

***

dpersembahkan untuk Mas Wawan, Mbak Nela, Bening, dan Kanya

Monday, August 13, 2007

Tidur




Salah satu gejala yang dirasakan beberapa teman ketika menghadapi praktek kuliah kerja nyata adalah sulit tidur pada hari-hari pertama mereka tinggal di tempat yang bukan wilayah mereka. Mereka menjadi begitu kelelahan pada hari-hari berikutnya karena tidak mempunyai kesempatan secara utuh untuk melepaskan semua energi dalam tubuhnya yang saling berbenturan.

Ketika tidur manusia berada dalam titik apa adanya sebagai dirinya. Posisi tubuh, gerak, mimik wajah yang sesungguhnya tidak dapat ditutupi. Seorang teman, Andre namanya, yang ketika banjir datang melanda Jakarta segera mengemasi barang dan memindahkan ke sebuah kamar kosong di lantai dua. Sesampainya di kamar tersebut dirinya terbengong demi melihat Dinar, seorang teman kos yang berprofesi sebagai foto model tidur dengan mimik yang lucu dengan wajah tak karuan. "Wah, boleh jadi dia seorang model yang sehari-hari cantik. Tapi begitu tidur tetep aja ngowos", begitu komentar Andre. "Apa itu ngowos?" tanya Okky yang juga seorang foto model asal Bali. "Ya itulah. Lihat sendiri. Mulut menganga, suara dengkuran ngga karuan".
Ah, Okky yang cantik dan natural menjadi salah tingkah dan semakin cantik. Semoga kami tidak melihatnya ketika sedang tidur.


***


"Ah kalau aku hanya bisa tidur di kamarku sendiri, sejelek apapun kamarku itu", begitu kata Bernardus yang sehari-hari kami sapa wedhus (kambing). Rasanya Ben tidak sedang membanggakan kamarnya yang tidak mewah. Mungkin dia benar bahwa sebuah ruang kamar adalah cerminan pribadi penghuninya sehingga hanya kepada kamarnya dia bisa merasa nyaman dan aman. Bagaimana tidak? Kamar selalu memberikan dirinya untuk didandani sesuai keinginan penghuninya. Kamar juga menjadi saksi bisu tingkah laku dan ungkapan perasaan. Jadi, kalau ada orang bisa tidur di sembarang tempat tentu dia adalah sosok yang amat luwes dan mampu membuat dirinya berdamai dengan setiap ruang-waktu dan menjadikannya sebagai kamar.


"Orang macam ini mirip keong. Kemana-mana bawa kamarnya. Biasanya, orang macam ini hatinya gelisah. Manajemennya pasti jelek", begitu Ben berteori.
"Sembarangan. Jadi kamu pikir si Deni, Samuel, Eron, Aan tipe orang seperti itu? Menurut aku kok ngga. Apalagi Sam. Dia sangat rapi."
"Sam mungkin beda. Dia bisa tidur dengan enak di atas loker studio karena udah sering lembur di sini. Jadi udah kenal ruangannya dan merasa aman. Coba kamu suruh dia tidur di koridor deket tangga. Mana mau dia?".
"Huayah!! Siapa juga yang mau tidur di situ. Spooky Man!"

Tapi betul, suatu ketika aku melihat ada orang tidur di tangga. Anis Temi tidur dengan bibir mencium step tangga. Atau beberapa teman yang tidur nyenyak di lantai bordes sehingga membuat orang lain yang lewat harus bersikap seperti orang yang melewati makam. Mungkin betul bahwa mereka tipe orang yang bisa mempunyai perasaan damai di banyak tempat tapi bisa jadi material turut menyumbang kenyamanan yang membuat mereka rela bersikap macam gelandangan. Ubin lantai yang dingin misalnya mampu membuat orang luruh di atasnya.


***


Suatu hari di atas kereta Mutiara Selatan menuju Yogyakarta dari Bandung, aku duduk di bordes sembari menyesali diri kenapa tadi berangkat ke stasiun terlambat. Di sebelahku, dua orang laki-laki asyik tertidur. Badan mereka terlipat di ruang gerbong yang sempit. Melihat pemandangan tersebut, di tengah goncangan dan derak roda kereta yang keras aku berpikir bahwa struktur tubuh manusia begitu indah dan hebat. Mampu menyesuaikan diri dengan kondisi ruang meskipun dalam hatinya belum tentu ada perasaan nyaman. Data-data dan teori standar arsitektur yang dikemukakan oleh Neufert yang kami pelajari di sekolah rasanya menjadi hambar. Standar tersebut tentu baik diterapkan pada wadah kehidupan manusia di semua tempat. Sayangnya, dapat diterapkan jika suatu bangsa berada dalam kondisi sejahtera. Lantas, bagaimana dengan bangsa atau masyarakat yang karena banyak hal tidak kunjung sejahtera? Apakah harus dibumi hanguskan dan diganti dengan wadah yang sesuai standar atau mencoba berkompromi, setidaknya untuk sementara waktu ditetapkan standar yang sesuai kondisi? Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pembuat keputusan seringkali menerapkan standar berdasarkan apa yang mereka pikir atau mengambil nilai dari budaya lain yang jelas belum tentu sesuai.

Menurut saya praktis saja. Sebuah standar harus dibaca bukan sebagai aturan baku tetapi sebuah guidance yang mampu menanggapi perkembangan manusia. Bukan seperti kitab suci yang dikunyah mentah karena pada akhirnya nilai manusia itu sendiri yang perlu diperhatikan. Saya percaya, ketika Ernst Neufert membuat standarisasi ruang dan Le Corbusier menemukan The Modulor dan The Golden Section, semua bermula dari unsur manusia. Memberi penghargaan kepada tubuh manusia untuk memperoleh kenyamanan dan ujung-ujungnya adalah membuat manusia bisa beristirahat dan tidur dengan tenang agar irama kehidupan bisa berjalan dengan seimbang. Sebaliknya dapat dibayangkan jika jutaan energi buruk muncul ketika manusia tidur memenuhi atmosfer.

Sunday, August 5, 2007

Aku Melihat Rosarioku Bertumpuk dengan Gumpalan Uang Kertas Limaribu dan Beberapa Receh Logam

Aku melihat rosarioku tergeletak di meja, bertumpuk menjadi satu dengan gumpalan uang kertas limaribu dan beberapa receh uang logam. Sebuah rosario kayu yang diberikan oleh seorang Pastor Diosesan kepada Ibu dengan sedikit cerita singkat tentang permohonannya kepada Kanjeng Ibu agar selalu memberi kekuatan kepada Ibu. Rosario yang dikirim melalui pos tersebut aku terima tepat tiga hari setelah Ibu dimakamkan.

Di dalam kebiasaanku, benda-benda yang kuletakkan bertumpuk berarti aku ambil dari satu tempat. Entah dari saku kemeja atau celana. Menurut kebiasaanku pula, rosario selalu aku letakkan pada tempat yang "terhormat", terpisah dengan benda-benda lainnya, dan mudah dicapai tangan. Tujuannya agar tidak rusak ketika "diambil paksa" atau putus karena terikat benda-benda lain tersebut. Tetapi dibalik itu sejak kecil aku memang memahami bahwa benda-benda seperti rosario, meskipun hanyalah sebuah benda atau alat, harus diletakkan secara hormat. Tak peduli dengan omongan yang mengatakan bida'ah dan penyembahan berhala. Yang jelas jiwaku tak tega untuk meletakkannya secara sembarangan. Secara jujur aku mengakuinya ada nilai kudus di dalamnya meskipun pemiliknya tak kunjung kudus.

Ketika aku melihatnya menggumpal menjadi satu bersama uang kertas dan beberapa receh logam hatiku mengatakan bahwa aku sedang terburu-buru. Terlalu sibuk. Baik hari ini atau bahkan beberapa hari sebelumnya. Ya, aku memang terlalu sibuk. Baik dalam urusan pekerjaan kantor atau pekerjaan lainnya yang bahkan penuh nilai religiositas dan kemanusiaan. Dan seperti halnya membiarkan rosarioku tergumpal bersama uang kertas limaribu dan beberapa receh logam, kesibukanku membuat aku membiarkan orang-orang yang seharusnya aku cintai dan aku perhatikan.

Thursday, July 5, 2007

Titip Refa

Tanggal 23 Juni 2007 aku menerima pesan dari Bapak melalui sms. Mengabarkan bahwa Norman adikku lulus ujian nasional. Bukan hanya itu. Dikatakan juga bahwa seratus persen murid di tempat dia bersekolah juga lulus. Dalam hati aku tersenyum. Ada rasa lega dan bangga yang besar demi mengingat perjuangan yang kami sekeluarga lalui bersama untuk bisa menyekolahkan adikku yang satu ini. Maklum, kami bukan dari kalangan berada.

Tahun 2003 yang lalu adalah tahun terburuk dalam karier Bapak. Peristiwa bom yang meluluhlantakkan Paddy's Restaurant di jalan Legian Bali sertamerta juga menghancurkan usaha perjalanan wisata yang sudah ditekuninya selama bertahun-tahun. Demikianlah saat itu, dengan kekuatan yang diperoleh entah darimana Bapak menjual semua asetnya demi bisa memberikan gaji terakhir bagi para karyawannya; mbak Yus sang sekretaris, Pak Min yang office boy, dan Pak Riniyanto sang pengemudi, yang telah mengabdi bahkan sejak aku dan kakak-kakakku masih kecil.

Usaha Bapak tidak berskala besar. Pas-pasan saja. Jadi tidak heran kalau tidak ada sisa harta yang bisa diandalkan saat itu kecuali sebuah sepeda motor yang dibeli dengan cara kredit dan uang tabungan yang kian menipis. Aku, saat itu masih bekerja di sebuah biro konsultan besar di Jakarta. Tapi apalah arti kata “besar” dalam kehidupan ekonomi di negara yang berantakan dan tidak mampu memberikan jaminan minimal untuk sebuah kehidupan yang layak. Serba sulit. Serba harus menahan diri. Ditambah bagi kaum urban seperti aku, kakak-kakakku, dan beberapa kawan yang betul-betul harus berdiri di atas kaki sendiri.

Tetapi hidup memang sebuah perhelatan akbar. Banyak tarian yang harus dimainkan. Dan apapun tariannya tentulah akan tampak indah jika digerakkan dengan sepenuh hati, bukan dengan keluhan. Maka jadilah, dengan semangat tersebut kami menambal “dinding yang berlubang” agar “kapal” tidak karam. Termasuk agenda saat itu adalah membantu Norman untuk dapat melanjutkan belajar di sekolah menengah pertama. Ah, tapi ini jangan dibaca sebagai kisah kepahlawanan. Bukan. Ini murni rasional : bahwa harus ada tali estafet yang harus terus bersambut agar kehidupan tidak luruh. Maka mengingat peristiwa itu semua patutlah kami saat ini bersyukur atas kelulusannya. Adikku memang bisa diandalkan. Setidaknya atas usaha terakhirnya yang membuahkan nilai baik dan sikap serta pola pikir yang membuatnya dengan mudah diterima di sebuah sekolah menengah umum swasta bermutu. Murah? Tentu tidak! Dan sekali lagi kami harus “menari” lagi. Ngamen.

Dibalik peristiwa syukur tersebut ada satu orang lagi yang perlu selalu kami ingat, yaitu Ibu. Tiga tahun yang lalu dia memainkan peran sebagai layaknya Ibu bagi Norman yang adalah saudara kandung bagi kami tetapi berlainan Ibu. Ibulah yang sejak awal mengingatkan Bapak dan kami semua dari sejak pengumuman penerimaan, jadwal pengembalian formulir, pengambilan nomor tes, dan lain sebagainya. Tetapi dari semua peran tersebut yang terpenting adalah posisi tawarnya yang masih baik sebagai bekas guru dan petugas unit kesehatan sekolah di tempat Norman akan bersekolah. Tentu hal ini sangat membantu kami yang harus mengakui secara jujur berada dalam situasi keuangan yang lemah. Masih segar dalam ingatanku saat dirinya lapor sesampainya aku di Jogja. Lapor atas usahanya menawar.

“Dik Wisnu, sebagai bekas guru di sini tawaranku masih dihargai atau tidak?”, tanyanya kepada Pak Wisnu, seorang teman baik, dan bekas guru kami yang masih setia mengabdi.
“Oh lha iya to Bu. Tapi buat siapa?”
“Ya buat anakku to”.
“Anakmu yang mana? Semua sudah pada lulus dan gede-gede to?”
“Anakku yang mana? Anakku ya anakku! Norman Mahardhika namanya. Dia yo anakku”. Ngotot

Ah, Ibu memang hanya seorang guru. Guru pelajaran menyanyi, koor, dan juga pencipta lagu yang tidak pernah komersil. Baik saat masih bertugas di sekolah ini, maupun ketika akhirnya memilih “pensiun” dirinyapun masih mengajar di sekolah lain, di Instansi Pemerintah Daerah yang getol kalau ada lomba tahunan antar departemen, bahkan pernah juga di Akademi Angkatan Udara. Untuk yang aku sebut terakhir ada kesan mendalam yang tampak dalam cerita-ceritanya; bagaimana dirinya selalu dijemput menggunakan bis besar berwarna biru tua. Sesampainya di lokasi langsung di sambut oleh Taruna tertua yang melaporkan bahwa mereka siap untuk berlatih. Diingatnya juga bagaimana mereka memberi hormat ketika Ibu masuk ke dalam ruangan. Dan hasilnya : sebuah paduan suara dengan semangat militer yang setiap bulan sekali mempersembahkan koor untuk upacara misa di gereja Kidul Lodji. Tetapi begitulah. Dirinya tetap seorang guru honorer yang penghasilan terakhir sekitar tiga tahun sebelum wafatnya hanya tigaratus ribu rupiah sebulan. Tetapi semua kekurangan itu tidak melunturkan jiwa pendidik dan kecintaannya terhadap anak-anak dan sebisa mungkin menolong mereka yang membutuhkan. Salahsatu anak yang dikasihinya adalah Refa. Nama lengkapnya adalah Yohanes Refa Cahyo Kurniawan.

***
Refa lahir dari pasangan Pak Sukar dan Mbak Ten. Wajahnya bersih dan tampan. Seumur dengan Norman adikku. Dia rajin mengaji, pintar, dan budi pekertinya halus. Sangat mengerti akan kondisi orangtuanya yang sangat miskin.

Mbak Ten, begitu kami memanggilnya, adalah perempuan sederhana yang tidak sempat mengenyam pendidikan formal. Tulang punggung keluarga. Perawakannya kecil, penurut, tetapi kadangkala emosinya meledak-ledak. Mungkin hal tersebut disebabkan pendidikannya yang terbatas sehingga sulit mengolah kesulitan hidup yang dihadapi. Mbak Ten bekerja untuk keluarga kami, dalam hal ini membantu Ibu mengurus rumah dan menjaganya saat malam hari. Dahulu, sebelum kami mengambil perawat yang mengurus luka kanker payudara yang hinggap di tubuh Ibu, kalau terjadi sesuatu seperti jatuh dari tempat tidur atau pendarahan misalnya, mbak Tenlah satu-satunya orang yang bisa diandalkan. Berani melihat kanker, melihat bulir-bulir daging busuk dan darah yang mengucur serta membersihkannya. Ora jijikan. Tidak mudah jijik begitu kata Ibu mengomentari keteguhan dan kesetiaan mbak Ten. Begitu setianya sehingga mulutnyapun nyaris rapat sempurna, mematuhi pesan sang majikan untuk tidak menceriterakan kondisi yang sebenarnya jika anak-anak bertanya. Di mataku mbak Ten adalah seorang malaikat. Dirinya selalu menyiapkan teh hangat yang sangat nikmat kalau aku pulang ke rumah Ibu, atau air panas untuk mandi dengan tidak lupa kebiasaannya menaburkan daun sirih. Selalu, pada saat-saat seperti ini aku merasa menjadi raja.

Pak Sukar mempunyai wajah yang tampan. Perawakannya tidak tinggi tetapi cukup kekar. Sejak kecil kami sudah mengenalnya. Dahulu dia bekerja membantu Pakde Mardi, saudara iparnya, sebagai pengrajin logam sepuh. Membuat benda-benda seperti sendok, lambang garuda pancasila, logo kraton, dan lain sebagainya. Sering, sewaktu aku masih duduk di bangku sekolah dasar, ketika hendak pergi ke warung Bu Muh, berhenti sejenak saat melewati bengkel milik mereka. Ruangannya kecil. Berukuran 2 x 3 meter dengan atap emplekan atau tambahan karena ruangan yang mereka gunakan untuk bekerja sebetulnya adalah pojok halaman. Ruangan ini cukup gelap. Lantainya tanah. Dindingnya hitam akibat hangus oleh api yang digunakan untuk mencairkan logam. Mereka bekerja dengan cara berjongkok atau duduk pada sebuah dhingklik. Sebagai anak kecil aku senang melihat api yang menyala-nyala tersebut. Membesar dan panas ketika Pak Sukar meniupkan udara dari mulutnya ke dalam tungku secara manual menggunakan pipa besi. Pekerjaan inilah yang akhirnya memberikan kebutaan pada kedua matanya. Saat ini, di dalam kegelapan dunia, dirinya masih berusaha mengais rejeki sebagai niyaga. Memainkan rebab dalam satu kelompok penabuh gamelan pada acara Sendra Tari Ramayana yang diadakan untuk menjamu wisatawan. Lokasinya tidak jauh dekat rumah kami. Sebagai niyaga dengan jadwal yang tidak sering penghasilannya sangatlah kecil. Sisa harinya selalu digunakan untuk memainkan rebab. Duduk di sebuah kursi di muka pintu kamar menghadap halaman yang berbatasan dengan rumah kami. Suara gesekannya rengeng-rengeng, pelan, kadang datar. Sendu, meditatif, menarik rasa dan emosi ke dalam situasi hening. Dia tahu bahwa aku dan Ibu suka mendengarkan permainannya.

Begitu miskin keluarga itu. Jika tidak dibantu oleh beberapa sanak, Refa tentu tidak dapat bersekolah. Keadaan mereka yang serba sulit dan sikap mereka yang baik menggerakkan hati Ibu untuk menjadikan mbak Ten sebagai pengurus rumahnya. Untuk memberi tambahan penghasilan.
“Untuk Refa. Anak itu baik. Bapak Ibunya ngga punya apa-apa. Kasihan kalau sampai ngga sekolah”, kata Ibu suatu hari. Aku hanya bisa mengangguk

***

Peristiwa itu kembali muncul dalam benakku ketika pelan-pelan kegembiraan hati atas kelulusan Norman mulai mengendap. Titip Refa. Kata-kata tiba-tiba itu muncul kembali. Pelan dan lirih, tetapi menghentakkan hati. Mengingatkan akan sesuatu yang terlupa. Kata-kata itu muncul dari mulut Ibu yang lemah, dalam pandangan mata yang nanar di sebuah kamar rumah sakit yang dingin dan temaram. Waktu itu bulan Maret menjelang April. Ibu sudah habis-habisan berjuang melawan kekuatan kanker yang sudah mencapai stadium terminal. Menggerogoti paru-paru dan jantungnya. Sudah hampir dua minggu kami menungguinya dalam kelelahan. Baik fisik maupun mental. Masih sempat sejenak melihat tawa dan semangatnya yang perlahan tapi pasti pudar berganti menjadi pikiran yang meracau, badan yang menolak makanan, bola mata yang memudar menjadi abu-abu, melihat bayang-bayang di balik kehidupan.

27 Maret 2006. Waktu kira-kira menunjukkan pukul sepuluh malam. Suasana sangat sepi dan dingin. Aku berjaga sendiri, duduk di samping Ibu yang tidur dengan posisi miring menghindari rasa sakit pada sisi kanan badannya. Tangannya merangkul guling dan telapaknya menggenggam pembatas tempat tidur. Kakinya bergerak secara berkala dengan irama yang tetap. Menurut suster yang merawatnya itu tanda bahwa dia begitu menahan sakit. Aku tidak percaya karena tidak keluar keluhan dari mulutnya. Hanya kadang kepanasan dan minta untuk digosok atau disejukkan. Tetapi kaki itu terus bergerak bahkan ketika matanya yang mulai nanar terpejam.

Aku menatap wajahnya. Dagu kusandarkan pada tepi kasur dekat tangan Ibu demi menahan badan yang mulai lelah. Tiba-tiba mata Ibu terbuka dan kamipun bertatapan. Aneh, tiba-tiba ada ketakutan bercampur kesedihan merayapi hatiku, demi melihat orang yang pernah mengandung aku. Perempuan keras dan kuat pendiriannya. Teguh dalam kemiskinan dan penderitaan. Rela memberikan bahu bagi anak-anaknya untuk berpijak di atasnya dan meraih bintang-bintang di langit. Hidup dalam kesendirian dan kesepian. Dan saat ini dia berada dalam kondisi sakratul.

“I love you Ma”.
“Love you too”. Suaranya lirih dan berat. Sembari mengusap kepalaku. Sesuatu hal yang lama tidak kurasakan. Belaian lembut seorang Ibu kepada anaknya.
“Maafin aku Ma”.
“Pasti”, jawabnya
“Kamu bangga?”, dia bertanya. Aku mengangguk tersenyum.
“Nanti kalau Mama sudah ngga ada, tolong kamu kasih uang ke Mbak Ten. Cincin Mama ada di lemari di bawah tumpukan baju. Kamu ambil. Koor nanti biar Mas Joko yang urus. Kalau sempet bawa Mama ke gereja dan mampir ke rumah." Dan berakhir pada satu permintaan : "Titip Refa”.

Saat itu mulutku seperti dibungkam. Dan aku seperti melihat sebilah pedang menancap di dadaku. Menembus pelan masuk ke badan inchi per inchi … terus … terus ke dalam Terasa sakitnya. Dan ketika mulutku bisa terbuka yang terlontar bukanlah kata-kata penghiburan tetapi sebuah kalimat “Ya”. Saat itu aku merasa berjabat tangan dengan kematian yang aura kehadirannya mulai terasa, pelan tapi pasti, merangkul Ibuku yang kembali memejamkan mata dengan tarikan nafas yang teduh. Aku menangis. Di dalam kegelapan dan dinginnya kamar lepas kendali seluruh kekuatan dan kesombonganku sebagai laki-laki, dan akhirnya aku tahu itulah saat terakhir kami bertatapan dan berbicara.

Monday, May 28, 2007

Eyang Waras

Bagi Wegig pulang ke Yogya adalah sebuah peristiwa yang menggairahkan. Bertemu dengan teman-teman lama, ngobrol dengan Bapak dan adik, jalan-jalan menikmati situasi kotagede yang magis, nyekar ke makam Ibu, dan juga seperti biasa; nyekar ke makam Eyang Waras. Yang terakhir ini adalah seseorang yang mempunyai kesan tersendiri dalam hatinya. Sebutan Eyang tidak lain karena usianya yang sudah tua sewaktu Wegig mengenalnya. Sekitar tujuhpuluh tahun waktu itu. Di masa mudanya Eyang Waras adalah seorang Soverdian. Hidup sebagai anggota tarekat dalam sebuah biara Katolik yang akhirnya harus rela meninggalkan status biarawan karena sadar bahwa dirinya adalah seorang homoseksual. Kehidupan selanjutnya selepas membiara dibaktikan sebagai guru dan pembimbing rohani di sebuah gereja tertua di kota Yogyakarta dimana Wegig terlibat aktif di dalamnya. Dari pertemuan dengan Eyang Waras dirinya memperoleh pengalaman religius dengan sangat sederhana namun berkesan: sebagai messdiener dan mulai menyukai lagu-lagu gregorian.

“Menjadi messdiener adalah menjadi pelayan”, begitu kata Eyang Waras suatu hari. “Beda kalau kamu ikut kegiatan lain yang penuh acara ini dan itu. Banyak dikenal, banyak yang suka. Lha kalau messdiener, sekali tampil di depan ya itu tadi. Melayani. Jadi pembantu. Yang jadi fokusnya adalah Imam. Tapi apapun itu menjadi seorang pelayan adalah sebuah tugas yang harus diterima dan dikerjakan dengan senang hati.”

Kalimat tersebut kembali terngiang dibenak Wegig ketika menyusuri trotoir di tepi taman kota. Seperti angin yang bertiup lembut. Tidak terasa kehadirannya tetapi mampu mengalihkan kesadarannya menuju masa lalu. Di sisi kanan sebuah bis melaju kencang disusul sepeda motor dan mobil yang berpacu menyambut traffic light yang menyala kuning. Anginnya menerpa badan, menggoyang tas bawaan yang menjadi semakin berat. Sekelompok pasukan brigade mobil berjaga-jaga di depan sebuah gedung berpagar tinggi lengkap dengan untaian kawat duri. Di sisi kiri, kelompok besar pepohonan rimbun terlihat memancarkan kesejukan. Tetapi hamparan panorama tersebut tidak mampu mencuri perhatiannya yang sedang berkelana ke masa duapuluh tahun silam, di dalam sebuah bangunan gereja tua dimana dirinya berkumpul setiap minggu bersama teman-teman messdiener di bawah bimbingan Eyang Waras. Sebuah gereja yang tidak besar tetapi tinggi dan panjang. Tiang-tiangnya berbalut logam berwarna merah maroon dengan ukiran klasik di ujung atas. Seringkali burung-burung gereja bersarang di sana. Diingatnya juga seluruh dinding altar berbalut pecahan genteng tanah liat yang mengkilap. Di sebelah kiri altar terdapat pintu masuk menuju sakristi, yaitu sebuah ruang persiapan bagi imam dan petugas upacara. Di tempat inilah baju-baju misdienaar, sang pelayan, digantung siap pakai dekat sebuah lemari yang mempunyai cermin di bagian luar daun pintunya. Di tempat ini pula Romo Kijm, seorang Imam Belanda yang gemar menghisap rokok commodore, suatu ketika dengan kedua telapak tangan memegang kepala Wegig dan mengarahkan ke muka cermin. “Kalau sisiran yang rapi. Jangan seperti jalan semut”, katanya sembari meletakkan jari telunjuk ke garis belahan rambut yang berkelok. Atau Romo Waskito, juga seorang Imam Belanda yang mempunyai nama asli Joseph Vossen, yang selalu mengingatkan untuk tidak mengikat lengan jubah pada pinggang. Suatu hal yang selalu dilakukan oleh messdiener berbadan besar untuk menyiasati jubah yang kekecilan sebelum ditutup dengan pakaian putih yang menutupi badan dari leher atas hingga batas lutut. Peraturan serba tertib, rapi, dan disiplin. Tampaknya di mata Romo-romo itu seorang pelayan bukanlah hamba. Pelayan adalah salahsatu jenis pekerjaan. Setara dengan pekerjaan sebagai arsitek yang dijalani Wegig saat ini.

Terdengar gema yang muncul dari sebuah pengeras suara di stasiun. Mengabarkan rangkaian kereta api yang baru datang. Wegig tersadar. Lamunannya buyar. "Ah, sudah hampir sampai rupanya", gumamnya. Di depannya tampak kesibukan sebuah stasiun. Diliriknya arloji. Masih lama. Kereta api yang ditumpanginya akan berangkat tiga jam lagi. Masih banyak waktu baginya untuk berjalan ke wilayah tua Menteng. Mampir ke sebuah kafe kecil bernuansa kolonial sembari meneguk coklat panas tanpa krim dengan dark chocolate di mulut sangat mengasyikkan. Tetapi entah kenapa dirinya lebih memilih menunggu di stasiun. Maka jadilah dia naik ke lantai atas menuju teras yang diperuntukkan bagi penumpang rangkaian kereta yang akan dinaikinya. Dipandangnya teras di seberang. Dulu, tempat dimana dia berdiri khusus diperuntukkan bagi penumpang eksekutif, dan yang diseberang diperuntukkan bagi penumpang dengan kelas di bawahnya. Sekarang sudah tidak lagi. Tetapi bukan berarti pemerataan sudah terjadi. Yang dia tahu penumpang dengan kelas di bawah eksekutif ditempatkan di stasiun lain di wilayah kecamatan Senen yang padat dan rawan. Bangunannyapun kusam dan tidak terawat. Terkesan miskin dan terlantar.

***
Pukul tiga lebih dini hari. Kereta baru melewati stasiun Purwokerto. Berhenti sebentar menurunkan penumpang dan memberi sedikit kesempatan kepada penjual makanan untuk sekedar melongokkan kepala melalui pintu gerbong. Tidak ada penumpang yang tertarik. Kebanyakan dari mereka masih tenggelam dalam selimut tipis masing-masing. Hanya beberapa orang yang terjaga termasuk Wegig. Duduk selonjoran di kursi. Setengah mukanya tertutup kain selimut yang melindungi hidungnya dari serbuan gas pengharum ruangan. Matanya menatap ke luar di balik kaca jendela, tetapi pikirannya tidak seirama dengan apa yang dilihatnya. Di otaknya masih terbayang Eyang Waras. Eyang yang sederhana dan saleh itu hidupnya tidak selalu indah dan beroleh penghormatan sebagai orang yang berbakti dengan tulus kepada gereja dan masyarakat. Sudah biasa didengarnya gunjingan yang mengatakan bahwa dirinya kerap mengundang para lelaki muda, termasuk para messdiener didikannya yang sedang tumbuh dewasa ke dalam kamarnya secara pribadi. Dalihnya adalah semacam memberi bekal kepada anak-anak yang sedang tumbuh agar lebih siap dalam menjalani dunia dewasa dengan lebih terbuka secara benar. Pun almarhumah Ibu Wegig yang sangat menyayangi, dan selalu memandang Eyang Waras secara positif sempat menanyakan hal itu suatu ketika.
“Tadi dipanggil Eyang?”
“Iya Bu. Dari jam tiga sore”.
“Oh. Ngobrol apa aja?” Ada seuntai senyum di bibirnya. Tampak santai, tetapi matanya yang teduh menyiratkan rasa takut bercampur sikap hati-hati demi menghormati Wegig, anaknya yang mulai tumbuh dewasa. Atau masih ada harapan dalam hati yang membuat dirinya tetap percaya bahwa Eyang Waras tetap ‘waras’ dan bisa dia percaya.
“ngg … Eyang ngomong banyak soal psikologi. Eyang juga cerita bahwa Eyang Putri adalah istri yang baik dan seorang malaikat. Bisa memahami keadaannya. Tadi di kamarnya aku juga membaca kitab Talmud. Hebat!! Darimana Eyang bisa punya kitab itu ya ..”.
"Tapi kamu ... eh .. dia tidak minta macam-macam kan?". Seperti ada beban besar terangkat setelah berani mengungkapkan pertanyaan ini.
"Ah tidak Bu. Sejujurnya, Eyang Waras sempat meminta hal itu. Tapi aku tegas katakan tidak. Dan untuk itu dia sangat hormat dan berjanji untuk berbuat macam-macam". Lega.
"Syukur. Syukur kalau begitu. Ibu juga percaya bahwa Eyang itu baik. Yang penting kamu bisa jaga diri saja".

Eyang Waras adalah laki-laki pintar. Tutur katanya yang sopan selalu menarik hati orang yang mendengarnya. Dia fasih dalam ilmu psikologi dan seksologi. Menguasai lima bahasa dengan sempurna : Inggris, Jerman, Belanda, Jawa, dan Latin. Kemampuan ilmu filsafat dan teologinya? Sebagai bekas seminaris tak diragukan. Berbekal talenta tersebut dia mampu menjalankan peran sebagai guru dengan baik. Menjadi mata air bagi jiwa yang kering dan ketakutan. Sayang, hanya satu yang menjadi ganjalan dalam hidupnya. Dia seorang homoseksual dan tinggal di kampung yang masih memegang pandangan lama. Dan sebagai orang yang dekat dengannya Wegig tahu bahwa gunjingan itu memang benar adanya. Tetapi, untuk meyakinkan diri suatu kali dengan berani dia menanyakan secara langsung hal itu. Dan Eyang Waras dengan jujur menyatakan kebenaran berita tersebut.

Tak urung ada rasa khawatir juga dalam diri Wegig. Ada ketakutan jangan-jangan semua diskusi dengannya selama ini hanya sebuah perangkap meskipun hatinya tetap mengakui ada nilai-nilai positif di dalamnya dan sangat membantu dirinya yang sedang beranjak dewasa. Tak apalah. Toh dirinya sudah menunjukkan sikap. Lihat saja nanti apakah dalam perjumpaan berikutnya Eyang Waras konsisten dengan apa yang diucapkannya. Tapi satu sikap Eyang Waras yang sangat dipujinya; kerendahan hati untuk mengakui kelemahannya. Tidak menampik hujatan yang ditujukan kepadanya. Sebaliknya senyum selalu ada pada wajahnya dan konsisten betul akan pelayanan terhadap gereja dan Tuhan.

***
Di kerkop, begitu orang Yogya dulu menyebut kata kerkhoft, kompleks pemakaman dalam bahasa Belanda. Dengan hati-hati Wegig memegang duapuluhan batang dupa. Posisi tubuhnya sedikit meringkuk untuk melindungi api dari terpaan angin. Tak lama kemudian ujung batang-batang dupa tersebut cerah menjadi bara. Asapnya halus meliuk mengikuti aliran angin, dan aroma musk segera menyebar. Aroma yang sangat digemari oleh Ibu. Sekian detik dirinya dibawa mundur ke suatu sore hari ketika sedang memasukkan batang dupa pada sebuah dudukan terbuat dari belahan bambu dan kemudian diletakkan pada permukaan piano rusak yang difungsikan sebagai meja untuk menampung benda-benda dekorasi ruangan. Ibu duduk di sofa. Kami berbincang santai sembari menikmati suara rengeng-rengeng gesekan rebab Pak Sukar di rumah sebelah. Teduh sekali. Damai, pulang, menjadi murni dan apa adanya.
"Ah Ibu, aku kangen.", desahnya

Pemakaman ini ada sejak jaman Belanda. Kondisinya seperti pemakaman di Jawa pada umumnya. Ada makam yang cukup berbalut tanah, ada yang ditutup dengan nisan dengan bentuk yang beragam. Banyak pohon tua terutama jambu air dan pace. Tetapi dekat makam Ibu ada pohon kamboja yang tumbuh seperti tidak disengaja. Di bawahnya ada makam seorang pahlawan. Sederhana sekali. Hanya berupa gundukan tanah dengan penanda berupa tongkat bambu runcing dan bendera kecil yang selalu berkibar. Keduanya terbuat dari besi dan seng yang dicat dengan semacam cat minyak. Jalan setapak sulit ditemukan di sini. Mungkin dulu ada tetapi akhirnya digunakan untuk makam-makam baru. Sangat padat dan tidak teratur. Tetapi entah kenapa selalu ada rasa teduh ketika Wegig berada di dalamnya. Mungkin karena ada makam Ibu di sini, atau bisa juga karena dia sudah mengenal tempat ini sejak kecil. Bermain perang-perangan bersama Aditya, seorang sahabat yang sekarang menjadi seorang perwira polisi. Tempat persembunyiannya adalah gundukan makam, pohon, sumur, atau batu nisan. Senapannya adalah batang kayu dengan pelontar peluru terbuat dari tali karet. Pelurunya adalah potongan tangkai daun pepaya.

Hening. Angin bertiup terasa sejuk di muka membuat mata semakin ingin lama terpejam. Bau harum kamboja yang luruh ke tanah, berbaur dengan harum dupa, melati, dan kanthil. Tanah kering-panas yang baru saja disiram. Aromanya meneduhkan hati.

"Sendirian saja to Mas?"
Wegig sedikit terkejut tapi tak lama roman mukanya berubah cerah setelah mengetahui bahwa pemilik suara berat dengan nada sopan tersebut adalah Pak Bejo, seorang tukang becak bersahaja dari desa Sedayu Bantul yang sudah bertahun-tahun mengabdi pada keluarganya, terutama Ibu. Baginya, Pak Bejo sudah seperti saudara sendiri. Maka tidak ada rasa beban dalam hatinya ketika pengayuh becak tersebut undur diri setelah menyapa dan berbincang sejenak, sekedar untuk memberi kesempatan berdoa. Dan Wegig menjanjikan untuk bertemu sepulang dari nyekar nanti.

***
HERMAN sudah jauh-jauh hari berjanji kepada Wegig untuk bertemu di Yogya. Dan janji itu ditepati. Pukul lima lebih delapan menit dia datang ke pemakaman. "Walah aku telat!! Maaf maaf!!", teriaknya dari kejauhan sambil tergopoh-gopoh menyusuri jalan setapak makam. Raut mukanya terlihat gembira. Dengan sengaja diinjaknya beberapa nisan untuk memotong jalur sembari keluar kata maaf dari mulutnya. Kedua sahabat itu berjabat tangan. Sudah lama betul mereka tidak bertemu terlebih setelah Herman menikah dan bermukim di Semarang. Bagi Wegig Herman benar-benar sahabat. Tidak sekedar teman. Memang dulu semasa kuliah mereka sering mabuk dan bolos besama. Tapi sekarang Herman bekerja menangani pemukiman rakyat miskin sedang dirinya bekerja di sebuah konsultan yang menangani proyek-proyek besar. Sahabatnya itu sudah menikah dan dirinya belum. Pun kalau kebetulan berada dalam satu kota mereka belum tentu dapat bertemu dengan alasan kesibukan. Tapi satu hal yang dicatat oleh Wegig, yaitu ketika sekali waktu dapat bertemu, meskipun sejenak, mereka betul-betul berbagi dan saling menguatkan. Seperti juga saat ini dia seakan tahu apa yang menjadi kegelisahan Wegig dalam menjalani kehidupan sebagai arsitek di kota besar. Sarat dengan mengikuti nilai-nilai pasar. Pasar yang menciptakan persaingan dan membawa para arsitek berlomba untuk mencari popularitas. Pasar yang membawa arsitektur ( yang seharusnya mengemban nilai sosial, budaya, kemanusiaan secara jujur ) ke dalam satu nilai yang dibentuk oleh lifestyle model kapitalis. Pasar yang menempatkan orang-orang yang tidak mampu mengikuti pola permainnya berada di pinggir. Pasar yang ramai tetapi kehilangan semangat keramaian sesungguhnya.

"Nah, lantas kamu sendiri bagaimana? tanya Herman. Lanjutnya lagi, "Sama saja. Kamu pikir pekerjaanku yang seakan penuh nilai moral dan kemanusiaan menyenangkan? Sebaliknya Gig, tidak gampang kerja untuk orang-orang miskin. Di satu sisi mencoba untuk selalu mempunyai perhatian untuk mereka, tetapi kalau tidak hati-hati malah bisa membuat mereka manja, merasa selalu benar sebagai orang tertindas meskipun kenyataannya sering juga mereka nakal. Juga apakah kamu pikir dengan menyandang judul membantu orang kecil lantas beroleh ucapan terimakasih dengan tulus? Belum lagi masalah internal sesama tim. Dimanapun itu, apapun judulnya, pekerjaan pastilah sama. Kukira kamu tahu betul itu."

Sejenak diam.

Herman benar. Aku tidak ingin membandingkan secara hitam-putih. Kedua sisi itu sama-sama punya nilai positif. "Mungkin aku cuma lelah", katanya. Kecewa karena tidak mampu mengikuti mainstream. Yang bisa dilakukan adalah mengikuti logika aliran hidup; harus membiayai diri sendiri, juga Bapak dan Adik. Selebihnya, ibarat orang menunggu di halte bis, bertemu dan ngobrol dengan orang lain. Syukur bisa membantu kalau orang itu punya kesulitan. Pendeknya menjadi arsitek adalah membuat orang lain gembira. Tidak peduli apakah namanya muncul ke permukaan atau tidak. Sepertinya bodoh memang. Tetapi biarlah, masih banyak peran dalam hidup jika kita menyetel pada gelombang memberi kegembiraan untuk sesama.

Pernyataannya ini menimbulkan rasa lega dalam diri Wegig. Serasa ada beban besar yang terangkat. Merasa menjadi manusia baru nan segar dengan mau mengakui sebagaimana dirinya. Dan entah mengapa tiba-tiba muncul semangat baru untuk berani menghadapi arus hidup. Apapun itu.

Herman tersenyum. Pembicaraan kali ini tidak sertamerta dapat membuat semua masalah hilang. Tetapi bersama sahabatnya ini pembicaraan terasa seperti saling menguatkan. "Sudah sore. Kamu harus balik ke Jakarta to? Sampai ketemu lagi kalau begitu," Herman membuka suara.

Makam sebentar lagi tutup. Tapi Wegig belum sempat nyekar ke makam Eyang Waras. Tempatnya saja lupa. Seingatnya makamnya ada di barisan sebelah timur di dekat makam-makam tua yang tidak terurus. Tapi tak apalah. Lainkali saja, karena sore ini Wegig secara batin sudah bertemu dengannya. Belajar darinya untuk menerima diri apa adanya. Menjadi diri sendiri dan menghadapi hidup dengan senyum dan kerendahan hati. Menjadi pelayan.

Sejenak terbayang posturnya yang kecil dengan rambut putih berdiri dengan penuh percaya diri. Mengajarkan bagaimana mempersembahkan dupa di altar. "Pelan-pelan cah bagus ... ya, pegang rantainya dengan tangan kanan ... angkat tangan kananmu ke depan ... ayunkan pedupaan dengan pelan. Mata ke satu arah. Jangan jelalatan! Yang anggun ... bawa semua umat ke dalam hening kepada Tuhan ...".

Dan asap dupa yang harum itu membumbung tinggi ke langit-langit altar yang terbuat dari kayu berbentuk kubah.
Te Deum Laudamus
Te Dominum Confitemur
....

Monday, April 9, 2007

Langit


MENJELANG hari kelahiranmu kota Yogyakarta sedang dalam situasi mencekam. Seluruh mahasiswa di Indonesia, juga yang ada di Yogyakarta berdemonstrasi, meminta agar Presiden Indonesia kedua, Soeharto, turun dari kekuasaanya.

Waktu itu aku masih menjalani proses tugas akhir untuk yang ketiga kalinya, setelah duakali sebelumnya tidak lulus. Pagi itu aku dapat kabar dari Eyang Kung dan Eyang Ani bahwa Bu Ayik yang sedang mengandung kamu masuk Rumah Sakit Panti Rapih. Pak Mok, aku dengar juga sudah datang ke Yogya. Jadilah sore itu aku jalan kaki sejauh kira-kira dua kilometer dari kampusku di daerah Klitren ke Panti Rapih. Kondisi jalanan cukup santai, meskipun kebanyakan orang baik yang berjalan kaki, naik mobil atau sepeda motor pergi dengan terburu-buru, karena pada masa demonstrasi seperti itu setiapkali senja turun sering diadakan sweeping oleh aparat keamanan. Itu juga yang bikin aku akhirnya meninggalkan sepeda motor Suzuki Crystal di parkiran kampus. Aku titipkan ke Pak Satpam. Pak Sartono dan Pak Eko.

Sore itu udara cerah dan hangat. Aku memilih untuk berjalan lewat depan Rumah Sakit Bethesda di jalan Jenderal Sudirman yang ditumbuhi pohon-pohon besar. Nyaman sekali. Lebar jalannya sekitar duabelas meter, dan trotoir atau tempat pejalan kaki sekitar tiga meter. Selain banyak pohon bangunan-bangunannya juga tertata baik. Beberapa di antaranya adalah bangunan lama peninggalan jaman Kolonial Belanda. Kalau malam hari banyak penjual makanan yang menggelar dagangannya di dalam tenda. Orang-orang biasa menyebutnya warteg, singkatan dari Warung Tegal. Kok ada kata Tegal? Aneh ya .. ha ha …. Memang sih, menurut cerita orang istilah “tegal” diambil dari orang-orang dari wilayah Tegal, Pekalongan, Pemalang, dan wilayah Pantai Utara lainnya yang gemar berjualan makanan murah di pinggir jalan. Akhirnya, siapapun yang berjualan makanan di pinggir jalan di sebut warteg.

Mereka membuka warungnya di atas trotoir. Seringkali memakan badan jalan sehingga pejalan kaki sulit lewat. Di depan Rumah Sakit Bethesda ada dua warteg yang selalu aku ingat. Pertama, warteg “ Tiga Saudara” yang menjual Sop Kaki Kambing. Dulu Pak Mok, Bude Lala, aku sering diajak Eyang Kung makan di tempat ini. Kita mesti ambil mangkok beling dan memilih lauk yang disajikan dalam sebuah baskom kaleng. Lauknya macam-macam. Ada telinga, hidung, lidah, kaki dan semua bagian badan kambing. Setelah kita pilih sang juru masak akan mencampurkan lauk dengan kuah yang diambil dari panci besar, diaduk sebentar, kemudian kuahnya dikembalikan lagi ke panci. Mungkin biar kuahnya meresap ke dalam daging. Baru setelah itu mentega nabati minyak samin Cap Onta dicampurkan sekalian dengan irisan daun bawang, garam, merica, atau bumbu lainnya, dan terakhir campur lagi dengan kuah tadi. Disajikan dengan emping mlinjo atau kalau suka boleh dicampur dengan pula dengan acar timun yang disimpan dalam toples plastik. Enak sekali. Oya, selain daging dan “teman-temannya”, ada juga lauk istimewa, yaitu otak yang disajikan dalam bungkusan daun. Makanan ini enak sekali. Tapi karena waktu itu harganya mahal Eyang Kung hanya mengijinkan satu orang yang beli, Bude Lala misalnya, kemudian dibagi-bagi … ha ha ha ….

Warung kedua adalah sebuah warung rokok berukuran sekitar satu meter kali dua meter. Bisa dipindah dengan cara didorong, seperti yang banyak kamu lihat di Jakarta. Kalau sempat ngintip, warung rokok ini di dalamnya cuma bisa muat untuk dua orang yang tiduran atau duduk dengan posisi selonjoran. Sangat sempit dan terbatas karena dipakai juga untuk menyimpan barang-barang dagangan dan tape-recorder. Kadang yang jaga warung satu orang, kadang dua orang. Biasanya mereka bergantian. Ada juga yang membawa anaknya yang kalau ngantuk ditidurkan di dalam di atas gelaran kardus atau tikar dan berselimutkan selendang atau jaket. Sebagai alat penerangan mereka memakai lampu petromaks atau lampu pijar yang listriknya diambil dari bangunan sekitarnya. Di dekat Rumah Sakit Bethesda ada juga warung seperti ini. Yang punya dan tinggal di dalamnya seorang Ibu sepuh seumuran Eyang Ning. Sederhana sekali penampilannya. Waktu terjadi kepanikan lantaran ratusan orang lari akibat saling lempar batu antara demonstran dan tentara, Ibu itu hanya bisa teriak histeris. Panik, takut, dan bingung karena tubuhnya yang lemah tidak mampu menyelamatkan diri. Waktu itu dia hanya bisa jongkok sambil menangis di antara ratusan orang yang lari sambil teriak. Untung ada orang baik yang menarik tangannya, menyuruh Ibu itu untuk menyelamatkan diri masuk ke dalam warung lewat pintu warung yang sempit. Sementara itu orang-orang masih teriak dan Ibu tua itu hanya bisa menangis pasrah di dalam.

Di halaman Rumah Sakit Panti Rapih aku masih lihat tentara berjaga-jaga di sekitar bunderan Universitas Gadjah Mada, tempat Bu Ayik sekolah dulu. Aku masuk lewat pintu depan, terus lewat taman dan corridor yang menghubungkan bangunan di sebelah utara dan selatan. Aku suka suasana corridor ini. Lantainya terbuat dari ubin semen yang semakin sering dilewati orang akan semakin mengkilap. Tiang terbuat dari kayu menopang rangka-rangka kayu atap yang kelihatan. Tidak banyak dinding penutup sehingga bisa melihat taman dan membuat suasana yang akrab dan nggak ngeri. Beberapa tahun kemudian sewaktu menunggu Eyang Ani yang sakit, setiap malam aku sering sendirian lewat corridor ini untuk beli teh di warung angkringan di depan Rumah Sakit. Setelah melewati beberapa corridor aku sampai di sebuah taman, dan melihat Pak Mok duduk termenung ditemani Oom Andi. Di tengah taman itu ada pohon Palem yang masih kecil. Bentuknya seperti botol. Aku Tanya ke Pak Mok “Siapa nama anakmu nanti?” Pak Mok dengan bercanda menjawab : Palem Botol. Aku dan Oom Andi tertawa.

Tidak lama kemudian seorang bayi lahir. Mungil dan lucu sekali. Aku menciumnya dan terasa harum alami bayi yang meneduhkan hati.
“Sapa jenenge?”
“Langit. Langit Bijak”.



***

Hari ini, tepatnya tanggal 9 April 2007 aku memperoleh sebuah puisi dari Langit yang dikirim Pak Mok lewat email. Sebuah puisi pendek. Begini bunyinya :

BUNGA

Bunga kau sunguh harum
Warnamu indah
Banyak jenismu
Ada Mawar,Melati,Anggerek dan lain-lain

Indah sekali dirimu
Pemandangan tak indah tanpamu
Ku suka bunga
KU ingin Bunga ku selalu merawatmu
taman di Indonesia banyak bunganya

Bunga....
Ku janji akan merawatmu
Ku sangat menyayangimu

LANGIT 8 APRIL 2007 MINGGU



***
Kamu menyebut bunga.
Dalam kehidupan manusia senang menggunakan kata bunga untuk mengungkapkan sesuatu hal yang mencitrakan semangat cinta, sesuatu yang dianggap menguntungkan, menggembirakan, atau sesuatu yang tumbuh dari pokoknya, membuat segala hal menjadi berkembang dan mampu melihat segala tersebut dengan indah.

Bunga adalah kasih.
Paus Johannes Paulus II sering meletakkan karangan bunga di hadapan lukisan Bunda Maria yang dibuat pada jaman Byzantium atau di bawah patung Maria Immaculatta sebagai penghormatan kepada Ibu Maria. Doa Rosario yang diberikan Bunda Maria kepada Santo Dominikus Guzman mempunyai arti mawar, dan mawar adalah bunga. Sewaktu seseorang memberikan bunga kepada seseorang yang lain, saat itu juga dia mengucapkan kasih yang mungkin tidak bisa dikatakan lewat kata-kata. Itu berarti bunga selain bermakna kasih juga bermakna doa, sepertinya halnya kita menaburkan bunga di pusara orang yang kita cintai sebagai ungkapan doa dan kasih, atau penduduk beragama Hindu di Bali yang selalu menyertakan bunga sebagai sajian kepada Yang Maha Kuasa dalam upacara keagamaannya. Tanpa disadari bunga mempunyai makna yang indah dan berharga.

Teruslah merawat bunga dan menyayanginya sampai hatimu menyatu dan kamu menjadi bunga bagi dunia. Seorang bijak mengatakan ketika melihat bunga yang indah di tumpukan sampah orang enggan untuk membuang sampah tersebut karena takut akan melukai dan mencabut bunga itu. Karena bunga tersebut tumpukan sampah menjadi sangat berharga. Ketika kamu tumbuh dewasa dan melihat segala sesuatu di dunia tidak semuanya indah dan menyenangkan : orang-orang miskin dan terlantar, pemukiman yang kumuh, dan lain sebagainya, jadilah bunga bagi mereka agar keindahanmu membuka hati banyak orang untuk tidak membuang “sampah” tersebut, tetapi menjadikannya baik. Jadilah menyatu dengan mereka agar mereka tidak tercabut karena bunga adalah milik Tuhan, sehingga tidak seorangpun berhak untuk mencabutnya. Dan melalui dirimu doa-doa setiap orang dipersembahkan.

Dipersembahkan untuk keponakan tercinta : Alesandra Langit Bijak

Wednesday, March 7, 2007

Kampung Alun-alun di Kotagede

KATA alun-alun berasal dari bahasa Belanda, aloon-aloon, yang berarti lapangan. Sangat kontras dengan ruang yang dimaknainya. Sedikit pun tidak ada lapangan pada kampung ini, selain deretan rumah berhadapan yang dipisahkan jalan selebar sekitar tiga meter.

Kampung ini merupakan bagian kecil dari wilayah Kotagede, sebuah kota tua di tenggara Yogyakarta. Lebih dari kota penghasil kerajinan perak, Kotagede menyimpan banyak misteri sejarah berdirinya Kerajaan Mataram. Seperti pola beberapa kampung di Kotagede yang mengingatkan kita pada ghetto, Kampung Alun-alun dilingkupi dinding (benteng) yang memisahkannya dari kampung lainnya. Hanya dua pintu gerbang di sisi timur dan barat yang menghubungkannya dengan dunia luar, dan gerbang kecil yang mempertemukannya dengan gang-gang sempit sunyi meditatif penghubung antarkampung.

Kampung Alun-alun berada di sisi selatan "pusat" keramaian, yaitu Pasar Kotagede melalui jalan utama Pasareyan. Tidak seperti penggalan beberapa wilayah di Kotagede lainnya, suasana ruang pada jalur pencapaian ini terasa lebih magis. Pepohonan tua yang rindang, reruntuhan dinding tebal berlumut yang memperlihatkan struktur bata pembentuknya, mengiringi perjalanan menuju tempat ini. Di situs sakral Kompleks Mesjid Agung Mataram terdapat dua kolam yaitu Sendang Seliran dan Sendang Kemuning, makam Panembahan Senopati, makam keluarga Kerajaan Yogyakarta dan Surakarta, memperkuat nilai magis dan menegaskan wilayah selatan adalah wilayah sakral.


***
MEMASUKI Kampung Alun-alun, terasa suasana hangat, akrab, dan bersih. Rumah-rumah tersebut bersusun berjajar arah timur-barat, saling berhadapan dengan ruang memanjang di tengah sebagai pemisah, yang juga berfungsi sebagai jalan umum. Skala bangunan terasa rendah dan akrab layaknya permukiman rakyat Jawa tradisional. Rasa akrab akan semakin terasa dengan mudahnya mata "menangkap" tritisan (atap pendek pelindung wajah bangunan) dan badan atap seolah begitu dekat, yang dibungkus genteng tanah warna terakota.
Beberapa bangunan masih menyimpan detail yang dalam pola pikir perancangannya sangat menghargai pertemuan antarelemen struktur dengan memberikan ornamen. Misalnya, tritisan yang menjadi penutup teras, disangga konsol kayu yaitu sistem struktur penyangga atap (yang menjadi perantara peyaluran gaya vertikal dari atap ke tiang), diukir dengan pola klasik Jawa yang jarang ditemui di rumah-rumah umumnya.

Kulit muka pada beberapa bangunan bersifat ambigu. Terdiri dari beberapa modul panel kayu fleksibel yang bisa dibongkar pasang. Suatu saat tampak tertutup masif yang hanya menyisakan sedikit lubang kecil sebagai jendela. Sebaliknya, kadang bersifat cair ketika semua modul panel kayu tersebut dibuka sehingga tampak ruang di baliknya yang bersifat semi-publik. Dalam konsep rumah Jawa, ruang ini biasa berfungsi sebagai ruang tamu atau menampung aktivitas yang sifatnya publik formal, di mana penghuni akan menunjukkan statusnya sebagai yang berkuasa. Masyarakat menyebutnya pendopo. Di sisi selatan, bangunan tidak selalu berfungsi sebagai rumah tinggal. Beberapa di antaranya adalah pelataran, ruang terbuka bersifat semi-publik dengan struktur atap berbentuk joglo. Ada yang masih asli, tetapi ada juga yang sudah dimodifikasi dengan gaya eklektik dan menyatu dengan bangunan.

Posisi lapangan ini tidak jauh dari Kampung Alun-alun. Secara logika, adanya bangunan pendopo bersifat publik di sisi selatan Kampung Alun-alun, menandakan lapangan tersebut pernah menjadi sesuatu yang penting yang menjadi fokus bagi penataan ruang keseluruhan di sekitarnya, sehingga jika ada bangunan di sekelilingnya mereka akan menempatkan area publik atau area depannya pada sisi selatan. Perlakuan ini tampaknya hendak memaknai wilayah kepemilikan masing-masing rumah tersebut. Di muka rumah yang satu kita merasakan sentuhan susunan batu kali berbentuk bujur sangkar berukuran 30X 30 cm. Di muka rumah lain terasa tatanan batu koral hitam atau semen plester abu-abu khas bangunan Kolonial, dan masih banyak lagi. Ketika terdengar bunyi dering telepon di rumah sisi selatan, dering itu disambut dengan munculnya orang dari rumah sisi utara berlari menuju rumah selatan menyeberangi jalur pemisah kampung. Seorang laki-laki menerangkan kepada kami, bahwa dulu setiap rumah berhadapan di dalam kampung ini mempunyai satu pemilik, dan penggalan jalan yang terbuka ini dapat dikatakan sebagai halaman tengah yang sebenarnya bersifat privat dan berfungsi sebagai penghubung antarbangunan. Ruas jalan ini menyatu dengan teras yang mempunyai ukuran beragam. Ada yang bisa menampung seperangkat kursi tamu dan menampung manusia cukup banyak, beratapkan kanopi cukup luas pula sehingga ruang yang dinaunginya terasa dingin dan sejuk. Beberapa lainnya lebih sederhana, hanya berbentuk pembatas samping badan jalan (buk) setinggi 40 cm dan beratapkan tritisan pendek.
Pada bagian muka bangunan dengan teras besar terdapat pintu ganda berukir pada daunnya, yang merupakan pintu masuk utama ke rumah induk. Seperti ornamen yang memberi makna lebih pada elemen struktur, ukiran pada pintu menunjukkan bangunan ini menyandang strata penting pemiliknya. Barangkali dulu merupakan rumah tinggal pembesar. Hal itu dipertegas dengan pemakaian atap joglo. Pada konsep rumah Jawa hanya bangunan pentinglah yang memakai atap joglo.

Sore hari, aktivitas beristirahat berganti menjadi aktivitas keluar yang lebih sibuk. Serombongan orang dari luar kampung melintas, beberapa sambil menuntun sepeda motor. Sebuah rumah yang juga berfungsi sebagai toko kerajinan perak di sisi timur mulai berkemas tutup. Sebaliknya, rumah yang berdekatan dengan pintu masuk kampung sebelah barat yang berfungsi sebagai biro jasa pemotretan tetap menjalankan aktivitasnya. Tampak bahwa kampung ini sering dijadikan jalur pintas bagi penduduk sekitarnya. Dan halaman tengah yang privat memang telah berubah menjadi jalan umum. Tidak heran jika beberapa penduduknya tanggap untuk menjadikan area komersial.

Terlepas dari ikatan sejarah yang mengiringinya, saat ini Kampung Alun-alun merupakan sosok yang mampu menjadi penyeimbang bagi perubahan budaya yang semakin global. Eksistensi ruang dan bangunan di dalamnya adalah museum yang menjadi wacana bagi perkembangan arsitektur. Di dalam kebisuan itulah terdapat kesadaran dan penghargaan yang tinggi terhadap hasil budaya masa lalu dan lingkungan. Dengan bertahannya eksistensi bangunan lama berikut kehidupan di dalamnya, saat ini ketika masyarakat dibingungkan dengan wacana arsitektur dengan simbol-simbol yang semakin global bahkan nyaris kehilangan identitas, Kampung Alun-alun muncul untuk menjelaskan pentingnya identitas yang berakar dari budaya sendiri. Sebuah budaya yang telah mengalami proses panjang pematangan yang bermuara pada keharmonisan antara manusia pengguna dan lingkungannya. Antara mikrokosmos dan makrokosmos. Sebuah produk arsitektur yang sarat dengan nilai kemanusiaan.


---
dimuat di Koran Kompas Minggu, 30 Juni 2002 - http://www.kompas.com/kompas-cetak/0206/30/iptek/kamp15.htm

Paham Modern dan Arsitektur Indonesia

KALAU saat ini membaca literatur mengenai perancangan arsitektur di Indonesia dan beberapa bidang perancangan lainnya akan sering ditemui dua kata ini : klasik dan modern. Dua kata itu begitu sering muncul, seakan sudah mewakili nilai-nilai arsitektur yang ada saat ini. Khususnya tentang paham modern dalam arsitektur. Nilai ini begitu diagungkan oleh mereka yang menyakininya dan dianggap sebagai tolok ukur lifestyle dan kreatifitas. Berbekal keyakinan tersebut mereka melontarkan kritik terhadap nilai yang dianggap berseberangan, yaitu klasik, tradisional, atau berbagai aliran yang bagi mereka tidak mengikuti jaman. Seperti kita tahu, modernisme lahir dari situasi yang penuh keprihatinan dan keterpurukan akibat perang Dunia I dan II di Eropa. Hancurnya kota-kota dan rusaknya sistem perekonomian membuat masyarakat mengubah pandangannya dalam mempertahankan dan membangun kembali tatanan kehidupan. Kata-kata seperti simple, efisiensi, fungsional, fleksibilitas, anti-ornamen dipahami sebagai konsep dalam berarsitektur yang ‘harus’ ditaati para arsitek. Bentuk dan estetika hanyalah akibat yang diolah berdasarkan kemampuan material. Bukan yang bersifat tempelan atau kosmetik. Dengan demikian terbaca bahwa apa yang menjadi dasar pemikiran mereka adalah sistem, bukan estetika, yang diungkapkan melalui teknologi bahan dan konstruksi, mekanikal-elektrikal, ukuran, fungsi, sekuens ruang, furniture, dan beragam lainnya. Dengan instrumen tersebut arsitektur dijaga agar tetap menjalankan perannya sebagai wadah aktifitas dalam konteks hemat biaya sesuai dengan tuntutan jaman saat itu. Modernisme juga sering dikaitkan dengan Jepang. Bangsa ini pernah mengalami keterpurukan yang sama dengan Eropa. Dampaknya adalah apa yang kita lihat sekarang yaitu teknologi yang sangat maju, etos kerja dan tingkat kompetisi yang tinggi, mandiri dan percaya diri, efisien dalam memanfaatkan waktu dan tempat. Pada dekade 90-an dunia arsitektur mengenal nama seperti Tadao Ando, Kazuyo Sejima, Kengo Kuma, dan beberapa arsitek modern Jepang lainnya sejajar dengan nama-nama dari benua lain yang muncul lebih dahulu, seperti Mies Van De Rohe dan Le Corbusier. Di Indonesia para arsitek tersebut mempunyai tempat di hati praktisi dan pemerhati arsitektur.

Karya-karya mereka yang sering disebut berjiwa Zen, hening, dingin, puitis mengilhami banyak arsitek modernis. Karya-karya yang mencerminkan budaya disiplin tinggi dan presisi. Dengan karya-karyanya tersebut mereka dianggap mewakili keberadaan Jepang di dunia dalam bidang rancang-bangun yang oleh para kritikus sering disebut bergaya modern-minimalis. Berabad-abad yang lalu, jauh sebelum Jepang tumbuh menjadi modern seperti sekarang spirit Zen sudah mengakar di kehidupan mereka dalam lingkungan yang tumbuh secara tradisional. Mereka tinggal dalam naungan bangunan-bangunan berukir indah dengan beragam tatacara kehidupan. Jika dilihat lebih dalam spirit Zen ini (yang dikaitkan dengan karakter modern seperti yang muncul pada buah karya arsitek Tadao Ando dan kawan-kawan) sejatinya tidak hadir melalui rupa bentuk tetapi lebih kepada sistem kehidupan spiritual yang menjaga keseimbangan tatanan kehidupan terhadap sesama dan lingkungan yang lebih besar. Begitu juga dengan keharusan beradaptasi dengan kondisi alam yang cukup keras. Masyarakat Jepang sudah mempunyai bibit tersebut selama berabad-abad yang semakin tumbuh dengan adanya peristiwa pada akhir perang dunia II. Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa modernisme tidak selalu identik dengan sesuatu yang simple secara visual, tetapi lagi-lagi harus dipahami sebagai sebuah sistem. Hal ini juga ditunjukkan dengan keragaman bahasa dan gaya pada arsitektur modern, baik di Jepang maupun di negara Barat. Setelah masa krisis berhasil dilalui terjadi pergeseran pemahaman tentang konsep modern. Kondisi ekonomi yang membaik menumbuhkan kembali apresiasi masyarakat akan arsitektur yang sebelumnya sempat hilang. Modernitas tidak lagi dianggap sebagai nilai yang paling benar. Sebaliknya apresiasi terhadap yang irasional yang diungkapkan melalui estetika, unsur dekoratif dan ornamental yang membangkitkan kenangan dan sejarah juga dianggap perlu. Tetapi di dalam pergeseran tersebut tetap ada yang tertinggal dari semangat modern, misalnya kesederhanaan, efisiensi, dan ketepatan yang justru semakin eksis dengan didukung teknologi maju. Dasar-dasar semangat modernisme tetap terjaga dan mengakar dalam kehidupan.

Kembali ke dunia arsitektur di Indonesia.
Dalam diskusi-diskusi yang terjadi baik di kalangan masyarakat awam maupun praktisi arsitektur, pengucapan kata modern lebih sering terjadi pada lingkup pemahaman estetika. Para arsitek modernis juga sering ‘terjebak’ dalam pemahaman ini. Membuat dan menjelaskan ide-ide modernitas tanpa diikuti dengan semangat yang sesungguhnya. Bagaimana tidak? Karena sejujurnya masyarakat Indonesia belum pernah merasakan kehancuran seperti yang dialami masyarakat Eropa dan Jepang. Sebuah peristiwa yang membangkitkan pola pikir rasional dan sistematis yang menempatkan kebutuhan sebagai nilai utama dan bukan keinginan. Salahsatu pendekatan yang dapat digunakan untuk memahami pemikiran modern dalam konteks kondisi Republik ini adalah dengan mengambil nilai dasar pemikirannya yaitu kebutuhan, yang begitu erat hubungannya dengan masyarakat marjinal, yaitu mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan. Dalam merekalah banyak kebutuhan mendasar yang harus dipecahkan termasuk melalui media arsitektur, ialah mencukupi hunian murah pada lahan yang terbatas. Dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Ikatan Arsitek Indonesia dua tahun yang lalu, arsitek Han Awal menjelaskan bahwa dalam perkembangan pasca-modern begitu banyak arsitek muncul dengan beragam bahasa masing-masing. Tetapi, di dalam keberagaman tersebut tetap ada sebuah benang merah yang menyatukan yaitu paham modernisme yang awalnya disampaikan oleh para pengajar di Bauhaus kepada para mahasiswanya menular sampai kepada para arsitek generasi berikutnya baik di Jerman sendiri maupun di beberapa negara lainnya, bahkan di negara yang belum banyak terkena arus modernisasi sekalipun. Para arsitek generasi baru tersebut tentu lahir dalam situasi yang berbeda. Yang terlahir di negara modernpun merasakan nilai-nilai tersebut sebagai turunan kesekian dari nilai modern yang sesungguhnya. Modernisme diadopsi sesuai dengan kondisi kultur masing-masing, sehingga muncul gejala-gejala baru. Sebagai contoh adalah Art-Deco yang muncul di era Rationalism pada tahun 1920-an. Di Indonesia dikenal sebagai langgam Kolonial karena kehadirannya berkaitan dengan masa-masa kolonialisme. Beberapa bahkan menyebut klasik karena jelas sekali penggunaan kaidah-kaidah klasik dalam pengaturan komposisi dan skala bangunan. Semua gejala tersebut meyakinkan bahwa paham modern ‘hanya’ sebuah konsep. Sebuah solusi bagi permasalahan yang dipecahkan secara efisien dan cerdik. Ketika para arsitek meletakkan asas-asas tersebut ke dalam nilai-nilai lokal akan terjadi sebuah bentuk baru. Modernitas tidak lagi dipahami secara murni, tetapi lebih kepada perannya sebagai ‘penyegar’, sehingga muncul berbagai langgam seperti modern-classic, modern-ethnic, neo-modern, dan beberapa langgam lainnya. Itulah yang terjadi di dunia, dan tumbuh subur terutama di negara yang belum memiliki budaya modern dalam arti sesungguhnya, seperti di Indonesia misalnya. Setiap bangsa mempunyai keunikan budaya dengan permasalahannya. Sudah selayaknya jika arsitektur tidak sekedar dijadikan ajang perdebatan paham terlebih pada level estetika. Alangkah lebih baik energi yang ada dipakai untuk mengembangkan keunikan nilai-nilai lokal dan mengolah sensitifitas terhadap kebutuhan masyarakat saat ini, sehingga arsitektur lebih mempunyai peran bagi kota bagi dunia.
---