Sunday, October 11, 2009

Lik Tarno Mencari Tuhan


Ini kisah sehari di hari Minggu 4 Oktober di Kampung Sawah. Kisah tentang menemani seorang penggiat sosial PPM Atmajaya Jakarta yang sedang membangun rumah. Mas Tarno namanya. Herman Yosef Sutarna lengkapnya. Aku mengenalnya lewat Lesnanto temanku yang tidak lain adalah kemenakannya.


Pertemuan kami sebetulnya sudah terjadi 2 minggu sebelumnya. Ketika itu Mas Tarno, yang mengakui bahwa dirinya jenis manusia yang tidak dekat dengan Gereja menceritakan keinginannya untuk memiliki sebuah rumah yang dekat dengan bangunan gereja. Tujuannya agar anak-anak - Oka dan Luhita - bisa terjaga keimanannya. Selama ini Mas Tarno merasa tidak memiliki waktu dan kemampuan untuk mendidik anak-anaknya dalam hal kerohanian. Untuk itu dia mempercayakan peran tersebut kepada "gereja" - entah melalui bentuk apa nantinya, bahkan mungkin lewat cara yang paling naif sekalipun : mencari lokasi rumah dekat dengan gereja.


Maka, sebagai ungkapan niat dia membeli sebidang tanah seluas 150 meterpersegi di Kampung Sawah tidak jauh dari gereja Servatius dan sesegera mungkin membangunnya, meskipun dengan metode rumah tumbuh untuk menghemat biaya.


Bersama Lesnanto kami bertiga sempat mendiskusikan konsep rumah mereka. Secara pribadi aku sangat tertarik dengan keinginannya untuk menjaga keimanan anak-anaknya. Tetapi, jujur juga kuungkapkan kepada Mas Tarno dan Les bahwa aku tidak terlalu percaya kepada lembaga gereja apalagi kalau hanya berwujud sebongkah gedung saja. Bagiku, awal pertumbuhan iman seseorang berawal dari keluarga yang secara fisik diwakili oleh rumah. Maka muncullah sebuah pandangan, yaitu untuk menjadikan rumah mereka sebagai gereja. Dan gereja Servatius, tentu kami masih menghormati keberadaannnya sebagai tanda hadir Tuhan, kami lihat bukan lagi sebagai datum (satu-satunya arah) melainkan sebagai teman seperjalanan dalam membangun sebuah Gereja. Gereja Servatius diharapkan mampu memberikan inspirasi melalui kegiatan dan peran sakramental di dalamnya, dan rumah Mas Tarno ... di luar ranah religius diharapkan mampu menjadi tanda kehadiran Tuhan dan Gereja melalui aktifitas penghuninya yang sangat nyata.


Terbersit juga ide untuk mewujudkan cita-cita tersebut dengan cara : menciptakan ruang yang hidup yang tidak berhenti dan selesai pada satu masa melainkan berkembang dan memiliki unsur fisik yang memungkinkan penghuninya ikut memberi sentuhan, ikut berkarya, ikut mewarnai, yang ujungnya diharapkan tercipta dialog antara Suami-Istri-Anak. Lewat dialog-dialog itu nantinya kami sadar pemahaman iman bisa dimasukkan. Dan rencana kami dimulai dari sebuah hari dimana seluruh keluarga bisa berkumpul bersama, melihat gereja Servatius, menyusuri jalan-jalan menuju lokasi, merasakan lingkungannya, berdialog tentang kenapa Ayah-Ibu memilih lokasi tersebut, memberi pengertian kepada anak-anak perihal pembangunan yang harus serba irit dan tidak langsung jadi. Dan untukku secara pribadi - seperti biasa - memberi mereka peluang untuk ikut menentukan ruang dan memilih material.


Pukul 08.30.

Aku dan Lesnanto tiba di Kampung Sawah. Sembari menunggu Mas Tarno yang baru tiba di Jakarta dari Muntilan memboyong tukang-tukang kami mengikuti perayaan Misa Kudus.


Selebran ketika itu adalah Romo Sarjumunarsa. Beliau memberikan kotbah yang menarik tentang kemiskinan. Lumayan, membangunkan aku yang sempet merem karena setiap 5 jam sebelumnya minum 2 butir pain-killer.


Menurut pandangan sang Pastor, seperti halnya agama lain, kemiskinan patut dihindari. Dan cara untuk menghindarinya tidak selalu harus menjadi orang kaya tetapi menjadi orang yang punya niat. Secara khusus kotbah ini menjadi inspirasi dalam diskusi-diskusi kami nantinya.


Selesai misa hujan turun deras sekali. Kami menunggu cukup lama, sampai akhirnya 1 jam kemudian Mas Tarno datang dengan sepeda motor berboncengan dengan Luhita dan seorang kerabat yang dipanggil Pakde, yang rencananya akan mengomandani pembangunan rumah. Kemudian kami berjalan bersama menyusuri kampung yang masih asri : hampir setiap rumah mempunyai teras, halaman, dan penghijauan. Pohon-pohon besar di sepanjang jalan.


***


Lahan milik Mas Tarno diapit dua buah rumah sederhana. Posisinya lebih turun 50 cm dari muka jalan kampung. Di bagian belakang terdapat puluhan pohon nangka besar dan sebuah sumur. Di antara lahan dengan rumah tetangga di sebelah kiri terdapat jalan tanah selebar 1,5 m yang menerus menghubungkan rumah di belakang.


Kami juga bertemu dengan pemilik rumah sebelumnya. Bertandang di ruang tamu yang sederhana sembari minum kopi. Sungguh, sebuah rumah sederhana dan kecil. Lantainya terbuat dari semen yang di beberapa sudut mulai rusak. Biliknya terbuat dari plywood. Pintunya bukan berupa panel tetapi kain gordijn. Atap, seperti umumnya rumah kampung, terdiri dari rangkaian rangka kayu yang terekspos berbalutkan genteng tanah liat yang susunannya tidak terlalu rapat. Bersama pemilik rumah kami juga sempat mengukur ulang, mendirikan patok, dan membuat batas. Tidak profesional tetapi cukup bermodalkan kepercayaan.


Tidak lama kemudian Mbak Anti, istri Mas Tarno, datang bersama putera sulungnya dan 7 orang tukang. Mereka juga membawa plastik yang biasa dipakai untuk tenda dan beberapa peralatan. Entah, aku ngga tahu apa yang selanjutnya mereka lakukan dengan barang-barang tsb. tapi untuk sementara aku sibuk di ruang tamu pemilik tanah sebelumnya. Menerangkan Mas Tarno, Luhita, dan Lesnanto foto contoh rumah yang bisa dijadikan referensi pada tahap pengembangan desain selanjutnya. Sempat juga ngobrol panjang lebar bersama tuan rumah yang adalah buruh serabutan.


Siang hari menjelang sore Lesnanto mengajak makan siang yang ternyata masakannya sudah disiapkan oleh Mbak Anti. Sebuah acara makan siang yang unik : duduk bersama di atas plastik tenda yang difungsikan sebagai tikar, digelar di atas rumput pada lahan yang akan dibangunan nantinya. Seperti model tamasya jaman dulu. Tetapi bagi calon pemilik rumah acara tersebut tidak lain sebagai selamatan. Maka akupun makan bersama mereka. Bersama keluarga calon penghuni rumah, juga bersama para tukang yang malu-malu, dalam suasana mendung di bawah naungan pohon-pohon nangka. Di sini aku belajar untuk mengatasi diri : meskipun kata orang aku jorok serba saru dan seru, tetapi sebetulnya jijikan juga, apalagi kalau harus makan di atas rumput dekat tanah yang basah penuh kotoran dan dekat kamar mandi pula. Oh my God! Hanya karena melihat semua yang hadir semangat maka akupun bertahan. Mereka begitu merayakan peristiwa ini.


Selesai makan kami sedikit berbincang dengan para tukang yang dikomandani Pakde. Membuat beberapa rencana berikutnya yang harus diawali dengan pembersihan lahan. Tidak ada gambar-gambar yang terlalu detail sebagai dasar pijakan. Cukup gambar skematik terukur skalatis, dan selebihnya adalah kepercayaan. Dalam hal ini aku juga tidak ingin mengunci mereka. Asalkan pijakannya sudah betul, yakni pondasi, konstruksi, dan ruang-ruangnya maka selebihnya biarlah mereka yang berperan menentukan perkembangan fisik bangunan, dengan harapan menemukan Tuhan dalam prosesnya yang terekam dalam dialog untuk menentukan segala hal yang terbaik bagi rumah yang akan dihuni. Baik bagi Mas Tarno dan keluarga, juga baik bagi keluarga terhadap lingkungan dan gereja Servatius. Ada keyakinan yang kuat dalam diriku bahwa proses membuat rumah ini akan menjadi sarana terjalinnya relasi antara keluarga Mas Tarno dengan tuhan mereka. Alasan apa yang membuat aku begitu yakin? Karena keluarga Mas Tarno kuihat mempunyai tujuan itu, membuka diri terhadap prosesnya, dan merayakannya.


Sayup-sayup masih kuingat kata-kata Romo Sarjumunarsa dalam kotbahnya tadi pagi :"kita mungkin tidak punya banyak harta benda. Tapi kita tidak miskin karena memiliki niat. Maka, marilah kita cari utangan, cari kredit. Kredit dalam bahasa latin, seperti Credo, berarti percaya".