Saturday, October 4, 2008

Pulang Kampung

Pulang kampung selalu menjadi saat yang menggembirakan. Terutama pada masa Idul Fitri suasana kegembiraan pulang kampung seakan muncul pada performa puncaknya. Entah mulai kapan budaya ini muncul, tetapi yang jelas pesta ini dinikmati tidak hanya oleh umat Muslim tetapi juga umat lainnya. Dan kalau boleh aku simpulkan pesta ini sering bukan sebentuk pesta perayaan agama melainkan pesta “kemenangan” kaum urban. Kelegaan luar biasa setelah satu tahun bekerja di perantauan, kerelaan berjuang mati-matian memperoleh cara untuk pulang-bahkan dengan cara yang tidak manusiawi sekalipun, “kekalahan” para pimpinan perusahaan dimana banyak diantara mereka tidak mempunyai kuasa untuk menahan hasrat para karyawan yang sudah sangat mendamba pulang, teriakan kegembiraan bagi mereka yang memperoleh kesempatan dan tangisan bagi yang gagal.

***
Di proyek tempatku bekerja, satu bulan sebelum hari kemenangan para urban tersebut, suasana pelan-pelan menjadi tidak kondusif untuk bekerja. Suasana begitu santai dan gembira. Semua orang berbicara tentang rencana liburan. Beberapa di antara kami mulai kasak-kusuk cari tahu harga tiket sampai rencana nekat untuk membolos kerja beberapa hari sebelum liburan dimulai. Beberapa lainnya bermalas-malasan. Menikmati suasana dampak menjelang liburan. Tapi dari semua peristiwa itu yang sering kurasakan adalah : ada keakraban di sana-sini. Rata-rata orang tersenyum. Dan yang tidak boleh dilupakan yang menjadi gejala beberapa tahun ini, yaitu pulang kampung menggunakan sepeda motor. Gejala ini mungkin dipicu akibat banyaknya jumlah pemudik yang lebih besar dibandingkan jumlah transportasi yang tersedia, juga harga tiket yang mahal. Sementara itu harga sepeda motor amat sangat terjangkau kaum menengah bawah. Sepeda motor dengan kualitas baik bahkan. Bukan “barang jelek” seperti waktu aku masih kuliah dulu.

***
Nyu Parwono.
Dia adalah engineer di proyek tempat aku bekerja dulu. Seorang pemuda asal Klaten Jawa Tengah. Umurnya sekitar 28 tahun. Perawakannya sedang agak subur. Pintar dan berdedikasi tinggi.

Nyu cukup mapan secara finansial. Kulirik, kemapanannya bukan hasil bekerja selama di Jakarta-meskipun ini juga membantu, tetapi karena dia mempunyai banyak aset di daerahnya : mempunyai beberapa ekor sapi, yang bagi kebanyakan masyarakat merupakan simbol kekayaan.

“Tapi memang bener Pak. Sapi mahal harganya. Bisa mencapai sembilan juta seekor. Nah, saya mempunyai lima ekor. Itu’kan berarti saya punya tabungan sejumlah empatpuluh lima juta rupiah”, begitu Nyu menjelaskan.

“Wah hebat dong. Aku aja ngga punya tabungan sebanyak itu”, jawabku.
“Ah masa sih Pak. Bohong. Tapi ‘gini lho Pak. Sapi itu mendatangkan keuntungan, terutama yang perempuan dan pedhet (anak sapi). Yang perempuan lebih mahal dan aset karena dia akan melahirkan sapi-sapi baru.”

“Itu dipiara terus? Lha kapan jadi uangnya?”, tanyaku
“O, ‘gini Pak. Kalau saya butuh uang sapi saya jual.”
“Lalu kamu ijin cuti untuk bawa sapimu ke pasar?”, tanyaku lugu
“O, ndak juga Pak. Saya bisa suruh Paklik yang biasa ngurusi sapiku. Hasilnya kita bagi dua. Atau bisa juga salah seekor sapi betinaku saya kawinkan dengan pejantan milik orang lain. Hasilnya adalah pedhet to? Nah, setelah pedhet lahir saya bagi dua dengan pemilik pejantan tersebut. Dia atau saya bisa pilih. Mau pedhet atau uang pengganti. Kalau saya ambil pedhet maka saya beri dia uang sejumlah harga pedhet, begitu sebaliknya. Mudheng Pak?”

“Mbuh. ‘Ra mudheng aku”.

Tapi betul. Tahun ini Nyu menjual sapinya dan membeli sepeda motor baru. Sebuah Honda Tiger keluaran terbaru.

“Wah mantap Nyu”, kataku sambil mengelus-elus motor barunya.
“Iya lah Pak. Bakal saya pakai mudik lebaran”, jelasnya

Aku cukup kaget mendengar kalimat itu : Bakal saya pakai mudik lebaran. Setahuku Nyu sangat anti mudik menggunakan sepeda motor. Mengerikan katanya.

“Tapi Honda Tiger je Pak. He-he-he … Tiger Tiger …”, katanya terkekeh sambil menepuk “Macan” barunya. Bangga sekali dia.


Maka, ketika aku dan kakakku berada dalam mobil dalam perjalanan pulang ke Yogya dan melihat ratusan sepeda motor melaju di depan kami, bahkan tak segan-segan beradu kuat dan kecepatan dengan mobil yang melaju dengan kecepatan 80 km/jam, aku teringat akan Nyu. Tapi tak apalah. Kupikir Nyu masih muda, seorang diri, dan waras. Masih kuat dan terjaga refleksnya. Dan sepeda motornya itu lho : Honda Tiger 200 cc. Tapi yang terpampang dan ikut beradu kecepatan bersama kami ini kebanyakan menggunakan motor jenis bebek. Meskipun kuat tapi dinaiki oleh dua orang dengan beberapa barang besar yang diikat pada rak tambahan terbuat dari kayu. Semacam sepeda motor long vehicle jadinya. Belum lagi ransel di punggung pembonceng dan di antara kaki pengemudi. Bahkan yang lebih mengerikan adalah mereka membawa anak (banyak di antaranya masih balita bahkan bayi!), di letakkan di antara Ayah dan Ibunya. Muka menghadap dada sang Ibu. Terjepit, dibungkus jaket dan kain selimut dengan kaki mengangkang. Ah, sesak sekali. Dan mereka harus melakukan perjalanan selama lebih kurang 16 jam! Menghadapi angin, hujan, terik matahari dan dingin.


Akupun pernah melakukan hal serupa juga di pertengahan tahun 2006. Tapi saat itu kondisi fisik dan sepeda motorku sangat prima. Dan yang paling penting adalah aku pergi sendiri dan tidak ada target waktu sehingga memungkinkan “berjalan” santai di jalan yang tidak macet karena bukan libur lebaran. Tapi jujur, perjalanan terasa berat. Pada awalnya gembira. Tetapi ketika fisik dan pikiran mulai lelah dan benda-benda bawaan mulai bergeser dari tempatnya rasa aman mulai berkurang.


Sering kudengar banyak komentar mengenai cara pulang kampung seperti ini : tidak masuk akal. Bodoh! Pun aku juga sedih demi melihat mereka, terutama yang membawa anak kecil. Tak jarang kudengar dari koran dan televisi bahwa banyak di antara mereka yang mengalami kecelakaan atau sang anak meninggal karena sakit dan sesak terhimpit. Kalau sudah begini apalah makna pulang kampung untuk berlebaran?
Tapi dalam beberapa hal aku juga mencoba berempati demi apa mereka melakukannya. Memang mahal harga sebuah kemerdekaan dan kegembiraan. Memang mahal harga yang harus diterima dari kemisikinan akibat ekonomi yang tidak dikelola dengan baik. Memang mahal harga pendidikan yang menyebabkan kebodohan dan cara pikir yang sempit.

Thursday, October 2, 2008

Rawaseneng, 2 Oktober 2008


Mendung cukup lama menggantung di atas Kandangan Rawaseneng di wilayah Temanggung. Memberikan kesan dingin di area pemakaman di tempat aku berdiri, setelah beberapa saat sebelumnya mengikuti ibadat sore dengan menyanyikan doa serta mazmur dan ditutup dengan nyanyian Salve Regina yang indah.

Seorang rahib menyapaku. Kutebak usianya berkisar 70-an tahun. Saat itu dia sedang duduk berbincang dengan dua orang perempuan. Melihat kehadiranku mereka lantas mempersilahkan aku bergabung. Maka kamipun berkenalan.

Tidak ada tema serius. Pembicaraan lebih banyak mengarah kepada hal-hal yang bersifat nostalgia dan menyenangkan meskipun kadangkala ada beberapa tekanan serius dalam cerita yang keluar dari mulut sang rahib tua tersebut. Tetapi itu tidak banyak, dan bisa jadi suasana santailah yang dibutuhkan : menikmati keheningan dan mengendapkan hati, sesekali berbagi pengalaman untuk bersama-sama belajar didengar dan mendengarkan. Tapi bagiku yang baru berkenalan dengan mereka hal tersebut bukan menjadi sesuatu yang penting. Diterimanya kehadiranku itulah yang kurasa lebih penting.

Aku melirik arloji. Hampir pukul 18.00. “Hmm, saatnya pulang”, pikirku. Ketika berpamitan aku mendengar ada sedikit kalimat keluar dari mulut sang rahib yang memberi getaran pada hatiku :”Kehidupan di sini memang unik. Tapi sebaiknya tekuni dulu kehidupan di luar agar tidak menjadi gumunan (mudah silau), yang hanya akan berakhir pada kekecewaan.”

Lonceng kapel berdentang. Suasana tetap dingin ketika aku berjalan keluar. Hanya sesekali lenguhan sapi terdengar memecah kesunyian. Di pintu gerbang kulihat seorang rahib yang lebih muda. Dia memakai jubah putih, celemek kerja warna hitam panjang menutupi dari bahu, punggung, dada, dan paha. Sebuah cappucin menutupi tengkuk. Dia berjalan agak tergesa.

Aku melangkah pulang.
---------