Wednesday, July 22, 2009

Rawaseneng, 12 Mei 2009


Ibadat invitatorium baru saja selesai dikumandangkan waktu aku menginjakkan kaki di pertapaan ini, sebuah biara yang jauh dari keramaian, pada sebuah dataran menghadap gunung Sumbing. Dalam lelahku sisa perjalanan semalam masih kuingat wajah-wajah yang menemaniku selama perjalanan : pengemudi bis asal Maron Temanggung yang menunjukkan dimana aku harus “mengambil” ojek. Juga wajah laki-laki tua yang duduk di sebelahku selama perjalanan - seorang pedagang kelontong di pasar Parakan, dan tukang ojek yang mengantarku melintasi hutan pinus berkabut tebal di wilayah Kandangan. Kuingat pula ekspresi wajah rahib yang menerimaku. Blasius namanya. Nama yang diberikan kepadanya menggantikan nama aslinya : Iwan. Ya, Iwan, atau tepatnya Mas Iwan. Demikian aku mengenalnya. Untuk beberapa saat dia termenung ketika kusebutkan nama itu. Kusebut juga nama kecilku, nama Eyang, dan sebuah alamat rumah di Yogyakarta. Tak berapa lama kemudian senyumnya mengembang. Seperti ada kegembiraan yang memecah kesunyian yang bertahun-tahun dijalani sebagai seorang rahib.

Menjelang pukul 6 pagi.
Lonceng angelus berdentang keras menandakan ibadat pagi di kapel hendak dimulai. Gemanya menembus lembah, menyusup di antara pepohonan, merobek kesunyian dan dingin. Dentangnya yang keras juga memenuhi kamarku yang sangat sederhana dan hening, sebuah kamar tamu bernomor “A” yang bersebelahan dengan “slot” yang menghubungkan kapel dengan hermitage. Sebetulnya aku masih lelah. Tetapi kukuatkan hati untuk bangun dan beranjak ke kamar mandi. Untunglah air hangat bersama udara dingin membangkitkan kesadaranku.

Kapel di pertapaan ini tidak besar. Sebuah kapel khas monastik. Berbeda dengan susunan gereja pada umumnya dimana bangku di letakkan menghadap altar, bangku-bangku atau stal yang digunakan oleh para rahib, yaitu semacam kubikel, tidak menghadap ke altar melainkan terletak di sisi kiri dan kanan ruangan saling berhadapan. Setiap sisi terdiri dari beberapa stal dengan 2 tingkat : satu deret di muka dan satu deret lagi di belakang dengan posisi yang lebih tinggi. Kubikel-kubikel itu tampaknya semacam properti pribadi bagi pemiliknya : tempat mereka bersamadi baik dalam posisi berlutut, bersila, duduk, maupun berdiri.

Di bagian muka adalah altar dengan sebuah tabernakel berhiaskan ukiran kayu di sekelilingnya yang menggambarkan Santa Perawan Maria. Sebuah tongkat salib di letakkan di muka mimbar. Di antara altar dan stal terlihat sebuah tali menjuntai dari plafond ke lantai yang ujungnya dikaitkan pada sebuah hook di dinding sebelah kanan. Tali itu yang menggerakkan lonceng di dalam cupola di atas altar.

Satu demi satu para rahib memasuki ruangan dan menempati stal masing-masing. Mereka memakai jubah putih dengan skapulir dan kerudung hitam. Sambil menunggu ibadat dimulai mereka bermeditasi atau berdoa. Tepat jam menunjukkan pukul 6 pagi secara serentak mereka dan kami semua yang ada berdiri, dan berkumandanglah kidung pembuka dalam alunanan nada gregorian.

Ya Tuhan, bersegeralah menolong aku.
Tuhan, perhatikan hambaMu ini.


Dan diikuti membungkukkan badan seraya berucap :

Kemuliaan kepada Bapa dan Putera dan Roh Kudus.
Seperti pada permulaan, sekarang, selalu, dan sepanjang segala abad.
Amin.


Kidung inilah yang selalu dikumandangkan pada setiap ibadat mengawali antifon dan mazmur.

***

Hari ini aku mengisi waktu dengan tidur atau sekedar mencecap keheningan. Betul-betul sunyi tempat ini. Di dalam kamar, kalau tidak terdengar suara senda gurau para karyawan pertapaan di luar, waktu rasanya seperti berada di titik nol.

Aku membolak-balik halaman beberapa buku yang kubawa. Tapi entah kenapa hatiku seperti menolak membaca. Ada perasaan ingin tinggal diam. Merasakan segala yang ada di tempat ini yang berbalut kesunyian. Berserah. Membiarkan diriku digerakkan oleh sebuah daya yang entah harus kusebut apa, tetapi kurasakan ada. Daya itu hadir seperti angin tetapi aku tidak tahu kemana dia datang atau pergi.

Kesunyian makin terasa karena saat ini memang tidak banyak orang luar yang datang ke tempat ini. Hanya beberapa kelompok kecil yang datang dan pergi. Selebihnya hanya tiga orang yang kutemui, dua di antaranya adalah seorang pastor dan seorang bruder dari sebuah konggregasi yang berbeda. Merekalah teman bicaraku di pertapaan ini, itupun kami lakukan hanya saat makan. Kami juga tidak banyak membicarakan hal-hal yang bersifat rohani, karena - meski aku tidak tahu persis - tetapi bisa menerka tujuan mereka tinggal di tempat ini selama satu bulan, yakni ingin hadir di dalam keheningan dan diterima seperti apa-adanya mereka dan bukan karena status yang mereka sandang.

Kusempatkan juga mengunjungi makam yang terletak di sebuah bukit. Entah mengapa makam selalu menawarkan sebuah nilai tersendiri bagiku. Di dalamnya seringkali bukan kengerian yang aku dapat melainkan kedamaian. Seperti halnya dini hari tadi waktu aku menginjakkan kaki di sini, sembari menunggu disediakannya kamar aku berkanjang ke makam. Dalam kegelapan dan dingin di bawah pohon-pohon besar nan tinggi aku duduk terpekur sendirian. Hening dan tenang sekali. Sejauh mata memandang yang tampak hanya nisan dan salib berwarna putih.

Aku juga mengisi hari dengan bercanda dengan tiga orang rahib dan berbincang cukup serius dengan Pastor Magister. Berbeda dengan tiga rahib yang gemar bercanda itu, yang ditugaskan – atau tepatnya diperbolehkan keluar dan menerima tamu, Pastor Magister yang berdarah Batak lebih berkesan serius. Simple, to the point, dan seperlunya. Sedikit sekali kulihat senyumnya. Tatapan matanya sangat tajam sedang kalimat yang keluar dari mulutnya jauh dari hal-hal romantis seakan mengatakan kepada semua orang yang ditemuinya :”Hey, bangun!! Jangan bermimpi terus!”.

Sesekali kulihat juga Romo Abbas atau pemimpin biara ini berbincang dengan para karyawan dengan bahasa Jawa, mengingatkanku akan sosok Mak Kuwat, Mbah Kasan, atau penduduk desa Gulurejo di Kulon Progo 10 tahun silam.

***

Blasius juga menemaniku. Beberapa kali dalam hari ini dia datang untuk memberikan beberapa informasi tentang kehidupan di pertapaan ini, yang berada di bawah panji sebuah tarekat atau ordo yang sudah berumur ratusan tahun. Mereka menamakan komunitas mereka Ordo Cisterciensis Strictioris Observantiae, tetapi orang-orang mengenalnya sebagai Trappist, sesuai nama tempat komunitas ini didirikan, yaitu di La Trappe Perancis.

Kehidupan para rahib Trappist itu biasa saja. Tidak ada yang sensasional di dalamnya. Tidak ada mujizat-mujizat atau penyembuhan, juga kekuatan-kekuatan supranatural. Yang ada hanyalah orang-orang yang bekerja di perkebunan, pembuatan roti, dan peternakan. Berkotor-kotor mereka. Lebih banyak melakukan pekerjaan tangan daripada bergelut dengan teknologi canggih. Dan di sela pekerjaan-pekerjaan untuk sekedar mempertahankan hidup tersebut mereka melakukan doa dan tapa yang mereka sebut sebagai tugas utama. 6 kali dalam sehari ditambah 1 kali ekaristi. Semuanya dilakukan dalam balutan kesunyian yang mereka katakan sebagai silentium magnum. Ini adalah metode askese. Salah satu cara untuk mengembangkan relasi manusia dengan penciptanya dengan memposisikan diri sebagai pendengar. Apa yang didengar? Adalah suara Sang Pencipta yang diyakini begitu lembut dan hanya bisa ditemukan didalam keheningan. Tetapi bagi para rahib, lebih dari mendengarkan, mereka merelakan diri untuk menjadi kosong agar bisa diisi oleh daya penciptanya. Secara bertahap, bersama kemanusiaannya yang tidak bisa disangkal dan juga terus hidup, mereka berupaya menjadi alat bagi Sang Adi Kodrati. Dan seringkali temuan atau lebih tepatnya tujuannya adalah menjadi sebentuk alat bagi kehidupan dunia yang begitu sederhana. Ibarat bunga di tengah belantara yang harus tetap tumbuh indah meskipun tidak ada yang melihat. Ibarat air sungai yang harus tetap mengalir agar sistem berjalan baik.

“Tidak selalu keheningan dan kesunyian di sini memberikan ketenangan jiwa kalau sang pelaku belum menerima diri apa-adanya sebagai seorang rahib. Menjadi seorang rahib tidak berarti menjadikan mereka suci”, demikian penjelasan Pastor Magister kepadaku.

Benar juga pikirku. Pun doa-doa yang didaraskan mungkin terasa indah bagi mereka yang sesekali mengunjungi tempat ini, terlebih bagi mereka yang mencari penghiburan. Tetapi sebaliknya bisa menjadi sebuah kebosanan bagi mereka yang melakukan secara berulang-ulang setiap hari. Mengulang. Melakukan hal yang sama setiap hari. Hening dan hemat bicara setiap hari, mendaraskan mazmur setiap hari, tidak keluar dari biara, bertemu orang yang itu-itu saja. Konflik antar anggota komunitas sangat dimungkinkan mengingat mereka adalah manusia biasa yang terus belajar. Dan kudengar pula ketika kesadaran itu muncul, yaitu kesadaran bahwa ternyata yang mereka lakukan (menjadi seorang rahib) adalah hal-hal lumrah, biasanya di titik ini rasa kering pada jiwa akan menyelinap. Bahkan yang lebih mengerikan adalah desolasi, sebuah perasaan yang jauh dari Sang Penciptanya.

***

Makan malam sebelum ibadat Completorium.
Seperti biasa, aku bertemu dengan kedua temanku. Bagaikan basa-basi kutanyakan apa perasaan mereka tinggal menyepi selama sebulan di tempat ini. Sebuah senyuman kecil tersungging di bibir mereka. Cukup jelas buatku. Dan pembicaraan kami berlanjut ke topik Blasius – si rahib yang selalu gembira itu :
“Siapapun yang datang kemari pasti kenal Blasius. Orang itu selalu gembira. Eh, dengar-dengar dulu dia kos tempat Kakekmu di Yogya?”. Bruder Thomas bertanya yang hanya kujawab dengan anggukan.

Tambahnya lagi :” Tadi siang dia sempat cerita tentang Kakekmu yang sederhana dan tegas dan Nenek yang pintar membuat bawang goreng. Dia juga cerita masa-masa kuliahnya. Ternyata dia seorang insinyur sipil ya? Teman wanitanya pun banyak katanya”.

Kami tertawa. Di tempat ini Blasius memang terkenal humoris dan apa-adanya. Dia suka mencandai tamu-tamu yang datang. Dia juga sigap dan cerewet seperti bebek. Kelakuannya seakan menjelaskan kepada kami bahwa pertapaan Trappist bukanlah tempat angker. Tapi satu yang mengesankanku yang melebih dari kesan umum yang kami tangkap tentang para rahib di sini adalah Blasius begitu menghayati perannya.

Seorang rahib pernah mengatakan bahwa hanya 20 persen rahib saja yang bisa bertahan di tempat ini. Sisanya memilih jalan hidup masing-masing di luar. Dan bagi mereka yang bertahan tidak berarti perjuangan selesai. Proses membentuk akan terus dialami dengan segala tegangannya yang kadang meluapkan semangat tetapi tidak sedikit menyesakkan. Di titik ini faktor penyerahan menjadi kata kunci dengan tetap mengindahkan sisi kemanusiaan yang meronta. Tentu ini tidak mudah, karena siapapun dia jika masih menganggap dirinya manusia tidak akan menipu diri bahwa menyerahkan dan mempercayakan diri kepada Daya Yang Tidak Tampak bukanlah persoalan mudah, semudah membuka pintu dan masuk ke ruang yang lain, atau semudah mengucapkan kalimat pujian yang indah.

Begitu juga dalam diri Blasius yang gembira dan humoris. Tidak dengan begitu saja kegembiraan dan kesadaran akan peran diraihnya. Dalam kerut wajahnya aku seakan melihat jejak-jejak pertarungan yang hebat antara dirinya dengan tuhannya yang bermuara kepada kekalahan dan sikap menyerah. Menyerah penuh kelelahan yang lambat-laun mengurai rasa amarah yang telah puas diledakkan menjadi api-api kecil yang tidak berarti, berganti menjadi udara sejuk yang menidurkan, memberi peluang kepada seseorang untuk menyelinap. Maka beruntunglah dirinya karena si penyelinap tak lain adalah seseorang yang telah bertarung dengannya. Yang tidak menjarah dan pergi melainkan menempati dan menaburkan benih-benihnya. Fiat Voluntas Tua!

Malam ini di kamar tidur seusai ibadat Completorium, setelah bersama para rahib menerima percikan air suci dari romo Abbas hatiku merasa segala sesuatu di tempat ini sangat biasa. Tidak ada gejolak yang membangkitkan gairah rohani. Tetapi kuingat juga saat masih kecil orangtuaku mengajarkan bahwa mensyukuri hidup yang sebenarnya bukanlah merayakan suatu peristiwa yang penuh sensasi tetapi merayakan segala peristiwa yang berlangsung biasa saja. Dan kuingat juga kehidupan bersama para rahib hari ini. Mereka tampak biasa saja. Bersama mereka tidak ada keinginan berlebih untuk membicarakan segala sesuatu yang bersifat rohani atau doa-doa yang berkesan magis. Tetapi jujur dalam hatiku kurasakan bahwa mereka adalah doa itu sendiri, sejauh aku mengimani bahwa doa bukan semata-mata meminta melainkan keberanian untuk bergumul bersama tuhanku dengan cara berani untuk setia menjawab persoalan hidup hari ini yang nyata.

***