Monday, December 20, 2010

Menemani

Seorang perempuan yang kutemui di angkot tadi siang bercerita tentang berita yang baru saja dibacanya di sebuah koran. Dia mencoba menjelaskan kembali apa yang ditulis pada berita tersebut dan mengomentarinya demikian: Seorang anak korban perceraian tampil di sebuah media massa. Dia ditanya perihal calon suami ibunya, yang menurut rencana akan menikah lagi. Tentu, kalau dia sayang kepada ayahnya, dia akan menjawab ayahnyalah yang terbaik. Barangkali, kalau ayahnya hendak menikah lagi nanti, dan sang anak menyayangi ibunya, dia juga akan menjawab ibunya yang terbaik. Kemudian dia menambahkan lagi, “Tapi itu wajar to, Mas. Bahwa ada seorang anak membela ayah atau ibunya karena dia mempunyai cinta. Tapi, apa yang dia rasakan waktu mengatakan mendukung apapun pilihan orang tuanya. Rak gendheng to, bocah seusia itu bisa omong begitu. Lha itu yang tua si anak atau bapak-ibunya?”. Aku cuma tersenyum mendengar itu. Mataku masih terpaku pada pengamen di dekat jendela sopir, yang penampilannya ngudubilahi serba asal-asalan.

Tapi tak urung terpikir juga kata-kata perempuan itu. “Apa yang Mbak bilang tadi? Mbak katakan si anak punya cinta? Alhamdulillah kalau begitu. Waras selaras dengan selera Zat yang melahirkannya. Tapi sayang cinta yang satu beda dengan cinta yang satunya. Maksudnya? Lha iya, cinta si anak waktu membela bapaknya itu cinta yang dipunyai seorang anak. Seorang anak yang sesungguhnya; yang masih suka dikeloni dan diciumi. Yang masih punya kejujuran seorang anak. Lha kalau sudah mendukung apapun pilihan orang tua, ya punten dalem sewu, betapa luhur hatinya, Mbak, tapi pedih juga. Anak mana yang mau orang tuanya cerai? Di mata anak dunia serba bagus. Seperti puzzle memang, tapi serba ketemu dan cocok. Tapi berani mendukung pilihan orang tua padahal dirinya masih ingin didekap dikeloni? Nah, nah ... hikiii ... mesti dudu jiwane bocah. Jiwane Wara Srikandi yang agung tapi penuh daya amuk kepada Resi Bisma. Agung tapi gamang. Satria dia. Tahu unggah-ungguh. Tapi kalau sudah tercubit prinsipnya, wah wah ... seorang Resi yang paling agung pun luruh ditangannya”.

“Betul, Mas. Semogalah jiwa anak-anak itu secantik Wara Srikandi, tapi pada keagungannya, dan bukan pada amuknya”.

"Bisa, Mbak. Insya Allah, Gusti Allah mboten sare. Tuhan tidak tidur".

"Lha, kalau Tuhan tidak tidur lantas siapa yang menemani?"

"Ya, mungkin kita-kita ini”.

Angkot bergerak berangkat. Langit senja terlihat jingga. Di sudut terminal orang-orang berkerumun beristirahat; ngopi sambil mengaso, main kartu menghilangkan penat. Sebisa mungkin patuh pada perintah alam yang menyampaikan pergeseran waktu, juga si pengamen yang ngudubilahi tadi. Di jalan mulai terlihat warna-warna Natal di papan-papan reklame yang diterangi lampu. Ratusan laron mengerumuni sinarnya. Indah dan mewah warna-warna itu. Tapi semogalah ... ya semoga, tidak menyilaukan kehadiran seorang Bayi yang kelahiranNya dirayakan oleh warna-warna itu. Seorang Bayi Agung yang nyaris tidak mempunyai seorang bapak. Hanya karena rahmat Allah maka sang bapak tidak menceraikan ibuNya. Tapi ya bukan rahmat Allah saja. Rahmat Allah bisa bekerja sempurna kalau manusia mau terbuka menerima. Dan si bapak memang cuma tukang kayu biasa saja. Ibunya juga; seperti mbok-mbok ndeso biasalah. Tapi yang biasa-biasa biasanya lebih gampang menerima warta, setidaknya dalam batinnya. Ora keminter. Gusti Allah memang tidak butuh yang pintar, tapi butuh yang mau menemaniNya. Ngancani.

Friday, October 22, 2010

Wira

Malam itu udara terasa gerah di Bali. Aku tidur dalam sebuah bilik kecil bersama seorang teman, Pak Artam namanya. Ya, kami lelah sekali malam itu setelah seharian penuh bergelut dengan proyek-proyek yang masih sangat membutuhkan perhatian. Tentu, sesuatu yang sejuk kami harapkan untuk memberi ketenangan. Cukuplah suhu udara yang nyaman sebetulnya. Tidak lebih. Sebagai orang-orang lapangan kami terbiasa tidur dalam kondisi seadanya. Tetapi udara di Sanglah malam itu tidak sedikitpun memberi perhatian kepada kami. Tiba-tiba, di sela gelisah, telfon selulerku berdering; panggilan dari Jakarta, dari seorang sahabat : Berna. Kulirik arloji. Pukul satu dini hari.

‘’Mas, sudah tidur?’’

‘’Yup. Kenapa, Nduk?’’, jawabku dengan suara yang kubuat semerdu mungkin. Pikirku; apa dia tidak sadar sudah pukul berapa sekarang?

‘’Ngga. Cuma mau minta bantuan. Kenal orang-orang yang sedia jadi donor darah?’’

‘’Malam ini?’’

‘’Ya. Buat seorang bayi. Anaknya temenku. Sudah kritis’’.

Selebihnya dia bercerita panjang lebar tentang kondisi anak tersebut, yang ternyata belum sempat diberi nama. Aku yang hampir memejamkan mata hampir tidak mendengar semua yang dikatakannya. Akhirnya dia menyudahi pembicaraan dan mengatakan akan menunggu kabar dariku.Duh,Gusti Allah, aku capek sekali. Besok saja cari bantuan, pikirku. Lagi pula malam seperti ini? Bukankah hampir semua orang terlelap? Tapi tak urung hatiku gelisah. Berkali-kali bantal kubalik, sampai tiba-tiba seperti ada sebentuk pikiran merasuki otakku dan mengatakan alangkah lebih baik diselesaikan sekarang sehingga besok tidak terlalu menjadi beban pikiran. Maka jadilah. Beberapa nama kuhubungi dan ... sangat mengejutkan ... dalam waktu tak kurang dari tigapuluh menit tiga orang sudah menyatakan kesediaannya. Yang lain memberi nomor lembaga-lembaga yang layak dimintakan tolong. Dengan semangat aku mengabari Berna. Kuminta agar dia menghubungi lembaga dan para pendonor yang sudah bersedia. Selanjutnya, tak lebih dari dua puluh menit dia menghubungiku lagi. Dengan nada suara gembira dia mengatakan bahwa para pendonor siap dan untuk sementara semua cukup. Dia juga berkali-kali mengucapkan terimakasih.

‘’Mas, tahu’kan. Ibu anak itu sahabatku. Terimakasih!’’.

‘’Ya, ya’’, kataku. Di otakku saat itu cuma ada satu kata : tidur.

Legian Bali, hari keempat setelah Berna menghubungiku. Aku tiba-tiba ingin tahu perkembangan anak itu. Kutanyakan kepada Berna. Dia mengatakan bahwa anak itu sudah pergi untuk selamanya. Sing Murbeng Dumadi, Allah maha pengasih punya cara yang lebih baik untuk menyatakan cintaNya.

‘’Sempat transfusi darah?’’, tanyaku.

‘’Sempat, Mas. Tapi lumayan terlambat. Duh, maaf aku ngga sempat kasih kabar’’. Dan selanjutnya kudengar dia menangis. Juga minta doa.

Meskipun hatiku haru, tapi entah kenapa aku selalu memandang bahwa kematian adalah kehidupan itu sendiri. Menangis dalam kesedihan adalah sebentuk ungkapan cinta, tetapi lambat laun cinta itu juga yang akan menjadikannya sebuah senyum. Bukan, bukan kematian itu yang terus menjadi pikiranku, melainkan aku teringat akan seseorang, Wira namanya.

Di malam yang panas itu, sesaat setelah Berna meminta informasi tentang para pendonor, aku menghubungi Wira. Wira adalaha sahabatku di Jogja. Dia memberi cukup banyak informasi tentang pendonor golongan darah AB seperti yang diminta. Informasinya sangat berguna dan membantu. Tapi setelah beroleh kabar tentang kepergian anak itu, dia mengaku bahwa sebetulnya dirinya juga bergolongan darah AB. Menjadi sebuah penyesalan baginya karena sebetulnya mampu untuk menyumbang darah dalam waktu cepat. Baik si Anak maupun Wira ada dalam satu kota yang sama. Apalah arti waktu bagi orang Jogja terlebih di malam hari. Semua bisa ditempuh sesegera mungkin. ‘’Kalau saja aku mau lebih peduli, barangkali anak itu masih hidup ...’’, sesalnya. ‘’Aku terlalu menggampangkan. Aku cuma merasa cukup dengan memberi banyak informasi dan percaya Gusti Allah sendiri yang akan melanjutkan. Duh, Gusti, nyuwun pangapunten ...’’

Aku tersenyum mendengar penyesalannya. Tentu bukan karena aku senang bahwa Wira menyesal. Tidak begitu. Kok seperti orang suci saja. Senyumku senyum getir sebetulnya. Hanya aku merasa akhirnya sampai juga pada pemahaman bahwa Gusti Allah bisa melakukan apa saja termasuk bertindak sendiri menyembuhkan si Anak. Tapi tak urung Dia juga selalu membutuhkan bantuan manusia. Ah, konsep macam apa lagi ini; menganggap Tuhan tidak kuasa tanpa peran manusia? Memang Actus-puruslah Dia. The unmoved-moverkata Aristoteles; penggerak yang tak bergerak. Yang adi-kodrati dan kekal. Sangcausa-prima. Tapi kalau sang pimpinan yang serba bisa membutuhkan bantuan bawahan, maka pertanyaannya : apa dan siapakah sang bawahan itu sehingga sang pemimpin membutuhkan bantuannya? Begitu spesialkah dia? Entahlah.

Pak Artam memanggil dari kejauhan. Dari bahasa tubuhnya kutahu ada yang harus cepat diputuskan di lapangan. Maka aku segera membayar makanan, kemudian berlari dalam hiruk-pikuk jalan Padma. Kepada Wira hanya kukirimkan sebuah pesan singkat : thank you, Brother.

Ciko

Hanya kucing kecil, budukan ... lagi tidak bersih. Kutemukan malam hari di pinggir jalan waktu hujan selesai mengguyur. Dia berteriak keras. Sangat keras. Awalnya tidak aku pedulikan, tapi teriakannya yang keras seakan melempar energi yang meruntuhkan kebekuan hati. Melampaui makna yang awalnya kulihat hanya sekedar kucing. Makna itu terus menampakkan dirinya yang sejati dan frekuensinya tersambung dengan pengalaman masa laluku. Tepat di titik itu aku seakan mengenali sesuatu lebih dari sekedar kucing; kepedihan, kesepian, dan ketakutan.

Maka, aku beranikan mengambilnya. Dia diam waktu aku meletakkan pada lengan, sedangkan aku berpikir, ‘’hendak di letakkan dimana di rumah nanti?” Rumah yang aku tempati adalah rumah komunitas. Meskipun aku tahu bahwa pada dasarnya teman-temanku baik adanya tetapi kami tidak punya cukup waktu untuk mengurusnya. Kuputuskan memberinya tempat di pojok carport yang cukup hangat pada sebuah kardus dan kain dengan harapan sang induk datang mengambilnya. Semangkuk kecil susu kusorongkan, yang dibalas dengan tatapan dingin. Dia sepertinya tahu aku hendak masuk rumah lagi dan meninggalkan dirinya di carport. Dia berteriak. Suaranya terdengar dari dalam rumah.

Seorang teman memberi nama : Ciko. Barangkali untuk mengenang kucing kesayangannya dulu. Ciko selalu berteriak keras setiap mendengar suara. Seperti anak ketakutan yang ingin dipeluk. Tetapi yang unik, yaitu setiap aku datang untuk memberinya makan dia berlari mendekat. Dia hanya ingin mendekat dan berlari cepat mengejarku setiap kali aku meninggalkannya. Sesekali dia kubiarkan masuk rumah dan memanjati lenganku dengan kakinya yang gemetar. Pada saat seperti itu dia diam seribu bahasa. Sebaliknya berteriak keras ketika kutinggalkan di luar. Pernah sekali melalui jendela kulihat dia tetap setia duduk dalam waktu lama sambil berteriak keras dan memandangi pintu yang kututup; pintu tempat aku masuk. Selanjutnya, dalam kelelahan dia menyerah pergi ke kotak kardusnya. Entah kenapa suatu rasa terbersit dalam hatiku, ‘’aku menolaknya’’. Mungkin dia cuma kucing. Tapi perasaan yang melampaui keberadaannya sebagai kucing terus muncul.

Malam menjelang hari ketiga aku memindahkan Ciko ke Garasi. Kupikir agar lebih hangat dan aman dari ancaman luar dan badai. Tapi baik malam itu atau esok paginya dia tetap berteriak keras, menatap dengan dingin susu dan makanan yang kuberikan, dan tentu saja, mengejarku. Malam hari di hari ketiga teriakannya mulai berkurang. Kadang ada kadang berhenti. Ah, kupikir dia mulai tenang. Syukurlah.

Pagi hari keempat selesai ibadat pagi. Aku tidak mendengar suaranya. Di Garasi kulihat dia mendengkur tidur dalam kardusnya. Aku lega melihatnya bisa istirahat. Maka kuletakkan dengan hati-hati semangkuk susu menggantikan yang lama yang tidak pernah disentuhnya. Setelahnya aku kembali ke kamar.

Tetapi di dalam kamar hatiku mengatakan sesuatu. Kudatangi kembali Garasi. Aku memandangi kucing kecil tersebut dengan lebih jelas. Dia memang tidur tetapi bukan dalam sebuah istirahat tenang. Matanya yang terbuka menatap nanar. Tubuhnya lemas. Nafasnya pelan dan sesekali terdengar lengkingan lirih suaranya. Tidak ada reaksi apapun ketika tubuhnya kuangkat. Dia menjelang kematiannya ... dalam kesesakan, kesepian dan kesedihan. Dia sudah menyerah. Tidak didapatkannya tempat bersandar di bumi ini. Suatu tempat yang bisa memeluknya. Saat itu aku yang merasa hampa hati membawanya ke kamar. Memberinya tempat yang terbaik dan hangat selama menunggu kepergiannya. ‘’Sudah terlambat’’, seperti ada yang berbisik. Tapi tak apalah. Siang hari menjelang sore kucing kecil itu pergi selamanya. Bersama dengan tanah terakhir yang menutup kuburnya, aku teringat kembali saat dia berjuang mempertahankan harapan untuk beroleh kehangatan tapi harus kembali ke kardusnya dengan lengkingan kesedihan dan kesepian yang dalam. ‘’Ah, aku sudah menolaknya’’.

Barangkali hanya kucing kecil. Budukan lagi. Tapi kesepiannya menyebarkan sebuah tanda. Dalam frekuensi yang sama aku menangkap tanda itu, yang sepertinya pernah hadir dalam realita hidupku. Aneh, Ciko si kucing kecil itu pelan-pelan semakin menampakkan kejujurannya yang melampaui dirinya sebagai seekor kucing. Dia menampakkan diri sebagai anak kecil. Berawal dari satu orang, menjadi puluhan, ratusan dan ribuan. Semuanya berlari mengejar sambil berteriak. Menggapai harapan dalam ketakutan dan kesepian, tetapi berakhir dalam penolakan. Tiba-tiba terdengar bisikan, “jangan lagi menolak. Jangan!”. Tapi bagaimana mungkin? Ada ribuan anak! Aku lari menghindar dalam pelukan doa ibadat malam. Aneh, selama ini aku mencari makna dari doa-doa yang kudaraskan, dan malam itu semuanya bertemu dalam sebuah kesatuan penuh waktu aku mengucapkan; ’’untuk mereka yang sedih karena kesepian dan ditolak. Semoga Tuhan memberi damai kepada mereka ... damai yang tidak pernah diberikan oleh dunia’’. Aku menjadi tahu bahwa selalu ada rahmat bagi turunnya damai, tetapi rahmat itu membutuhkan banyak tangan yang rela untuk menyalurkannya. Meminta damai bagi mereka tidaklah cukup. Ketika teman-teman menyanyikan Kidung Maria, aku menangis. Hari itu Selasa malam, 19 Oktober 2010.

* Untuk anak-anak yang kesepian dan ditolak.

Monday, March 1, 2010

Love

Subuh dini hari aku bermimpi berjumpa almarhumah Ibu yang menjelang 4 tahun lalu berpulang. Ini mimpiku yang pertama sejak sekitar setahun lebih tidak pernah memimpikannya lagi. Mungkin karena aku tidak terlalu peduli dengan mimpi. Mimpi selalu aku anggap sebagai kembang tidur saja. Biasan perasaan-perasaan hati yang terpendam saja, termasuk pada awal kepergiannya.

Tapi ada yang menarik dari mimpi kali ini.

Dalam mimpi tersebut aku datang mengendarai sepeda ke sebuah rumah yang sedang mengadakan acara penghormatan kepergian seseorang, dan aku tahu seseorang yang berpulang itu adalah Ibuku. Uniknya, aku tidak melihat situasi atau gambaran jenazah dengan petinya. Hanya melihat kerumunan besar dan suara penata acara yang sebentar lagi akan mengucapkan kata perpisahan melepas jenazah.

Selepas memarkir sepeda aku melihat Ibu berdiri di depan pintu masuk. Wajahnya cerah dan rileks (berbeda dengan terakhir aku lihat, begitu menahan sakit karena kankernya). Beliau menungguku. Kami beranjak keluar bersama melewati beberapa pelayat. Sebelum melewati beberapa pelayat beliau menawarkan untuk berbincang sejenak dengan kondisi badan kami tidak terlihat oleh pelayat. Dan betul kami melihat mereka tapi mereka tidak melihat kami. Aku lihat juga Romo Prasetyo, seorang Imam yang selalu baik dengan keluarga kami.

Di tengah jalan aku bertanya kepada Ibu : "Aku rindu sekali. Apakah Ibu juga rindu sama aku?"

Dengan tenang beliau menjawab : tidak.

Mendengar jawaban itu hatiku menjadi sedih sekali. Dan demi melihat reaksi sedihku Ibu mengatakan lagi : "Tetapi itu di dalam nama Tuhan". Dijelaskan lebih lanjut karena aku masih tidak juga paham : "Ibu sudah ikut Tuhan". Mendengar itu aku menjawab : "maka itu sudah tidak ada lagi emosi ... barangkali ... semua menjadi penuh dan tertuju kepada Tuhan ... ". Sebuah jawaban yang kujawab atas pertanyaanku sendiri, dan tentu tidak memuaskanku.

Suara penata acara kembali kudengar memberangkatkan jenazah. Aku lihat para pelayat berduyun menuju pemakaman. Aku dan Ibu ada bersama mereka. Menjelang makam suasana mulai gelap dan aku tidak bisa melihat jauh ke depan. Tetapi aku tidak ngeri. Gelap yang kurasakan tidak lebih daripada sekedar datangnya maghrib. Tetapi satu hal yang kurasa jelas : langkah Ibu makin cepat dan pasti sedangkan sebaliknya langkah kakiku seperti ada yang membebani. Aku merasa ada tangan yang menghalangi menuju gelap tersebut.

Tiba-tiba aku sadar bahwa waktu kami tidak banyak. Kami akan segera berpisah. Hatiku gelisah karena masih dibebani pernyataan Ibu yang mengatakan tidak lagi rindu kepadaku. Aku berpikir apakah dengan demikian beliau tidak mencintaiku lagi? Maka, untuk menuntaskan pertanyaan tersebut aku berteriak kepada Ibu yang makin menjauh: "Ibu mencintai aku?". Kulihat Ibu mengangguk. Aku ulang pertanyaan sekali lagi dan beliau mengangguk. Dan setelahnya hilang ditelan gelap. Tetapi sebelum tubuhnya betul-betul hilang dalam kegelapan Ibu berteriak mengingatkanku : awas! sembari telunjuknya menunjuk satu titik di tepi jalan yang tiba-tiba menjadi terang. Maka terlihatlah seekor ular, yang siap menyerang. Aku mundur dan Ibu menghilang.

Hampir pukul 07.00 wib. aku terbangun. Mungkin aku tetap seperti biasa, tidak terlalu peduli dengan mimpi. Tetapi kurasakan ada kelegaan dihati karena merasa dicintai. Perasaan dicintai ini yang selalu aku yakin menjadi sumber kekuatan hidup dan kehadiran Tuhan yang lembut, selalu mengampuni dan menerima apa adanya.