Wednesday, March 7, 2007

Paham Modern dan Arsitektur Indonesia

KALAU saat ini membaca literatur mengenai perancangan arsitektur di Indonesia dan beberapa bidang perancangan lainnya akan sering ditemui dua kata ini : klasik dan modern. Dua kata itu begitu sering muncul, seakan sudah mewakili nilai-nilai arsitektur yang ada saat ini. Khususnya tentang paham modern dalam arsitektur. Nilai ini begitu diagungkan oleh mereka yang menyakininya dan dianggap sebagai tolok ukur lifestyle dan kreatifitas. Berbekal keyakinan tersebut mereka melontarkan kritik terhadap nilai yang dianggap berseberangan, yaitu klasik, tradisional, atau berbagai aliran yang bagi mereka tidak mengikuti jaman. Seperti kita tahu, modernisme lahir dari situasi yang penuh keprihatinan dan keterpurukan akibat perang Dunia I dan II di Eropa. Hancurnya kota-kota dan rusaknya sistem perekonomian membuat masyarakat mengubah pandangannya dalam mempertahankan dan membangun kembali tatanan kehidupan. Kata-kata seperti simple, efisiensi, fungsional, fleksibilitas, anti-ornamen dipahami sebagai konsep dalam berarsitektur yang ‘harus’ ditaati para arsitek. Bentuk dan estetika hanyalah akibat yang diolah berdasarkan kemampuan material. Bukan yang bersifat tempelan atau kosmetik. Dengan demikian terbaca bahwa apa yang menjadi dasar pemikiran mereka adalah sistem, bukan estetika, yang diungkapkan melalui teknologi bahan dan konstruksi, mekanikal-elektrikal, ukuran, fungsi, sekuens ruang, furniture, dan beragam lainnya. Dengan instrumen tersebut arsitektur dijaga agar tetap menjalankan perannya sebagai wadah aktifitas dalam konteks hemat biaya sesuai dengan tuntutan jaman saat itu. Modernisme juga sering dikaitkan dengan Jepang. Bangsa ini pernah mengalami keterpurukan yang sama dengan Eropa. Dampaknya adalah apa yang kita lihat sekarang yaitu teknologi yang sangat maju, etos kerja dan tingkat kompetisi yang tinggi, mandiri dan percaya diri, efisien dalam memanfaatkan waktu dan tempat. Pada dekade 90-an dunia arsitektur mengenal nama seperti Tadao Ando, Kazuyo Sejima, Kengo Kuma, dan beberapa arsitek modern Jepang lainnya sejajar dengan nama-nama dari benua lain yang muncul lebih dahulu, seperti Mies Van De Rohe dan Le Corbusier. Di Indonesia para arsitek tersebut mempunyai tempat di hati praktisi dan pemerhati arsitektur.

Karya-karya mereka yang sering disebut berjiwa Zen, hening, dingin, puitis mengilhami banyak arsitek modernis. Karya-karya yang mencerminkan budaya disiplin tinggi dan presisi. Dengan karya-karyanya tersebut mereka dianggap mewakili keberadaan Jepang di dunia dalam bidang rancang-bangun yang oleh para kritikus sering disebut bergaya modern-minimalis. Berabad-abad yang lalu, jauh sebelum Jepang tumbuh menjadi modern seperti sekarang spirit Zen sudah mengakar di kehidupan mereka dalam lingkungan yang tumbuh secara tradisional. Mereka tinggal dalam naungan bangunan-bangunan berukir indah dengan beragam tatacara kehidupan. Jika dilihat lebih dalam spirit Zen ini (yang dikaitkan dengan karakter modern seperti yang muncul pada buah karya arsitek Tadao Ando dan kawan-kawan) sejatinya tidak hadir melalui rupa bentuk tetapi lebih kepada sistem kehidupan spiritual yang menjaga keseimbangan tatanan kehidupan terhadap sesama dan lingkungan yang lebih besar. Begitu juga dengan keharusan beradaptasi dengan kondisi alam yang cukup keras. Masyarakat Jepang sudah mempunyai bibit tersebut selama berabad-abad yang semakin tumbuh dengan adanya peristiwa pada akhir perang dunia II. Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa modernisme tidak selalu identik dengan sesuatu yang simple secara visual, tetapi lagi-lagi harus dipahami sebagai sebuah sistem. Hal ini juga ditunjukkan dengan keragaman bahasa dan gaya pada arsitektur modern, baik di Jepang maupun di negara Barat. Setelah masa krisis berhasil dilalui terjadi pergeseran pemahaman tentang konsep modern. Kondisi ekonomi yang membaik menumbuhkan kembali apresiasi masyarakat akan arsitektur yang sebelumnya sempat hilang. Modernitas tidak lagi dianggap sebagai nilai yang paling benar. Sebaliknya apresiasi terhadap yang irasional yang diungkapkan melalui estetika, unsur dekoratif dan ornamental yang membangkitkan kenangan dan sejarah juga dianggap perlu. Tetapi di dalam pergeseran tersebut tetap ada yang tertinggal dari semangat modern, misalnya kesederhanaan, efisiensi, dan ketepatan yang justru semakin eksis dengan didukung teknologi maju. Dasar-dasar semangat modernisme tetap terjaga dan mengakar dalam kehidupan.

Kembali ke dunia arsitektur di Indonesia.
Dalam diskusi-diskusi yang terjadi baik di kalangan masyarakat awam maupun praktisi arsitektur, pengucapan kata modern lebih sering terjadi pada lingkup pemahaman estetika. Para arsitek modernis juga sering ‘terjebak’ dalam pemahaman ini. Membuat dan menjelaskan ide-ide modernitas tanpa diikuti dengan semangat yang sesungguhnya. Bagaimana tidak? Karena sejujurnya masyarakat Indonesia belum pernah merasakan kehancuran seperti yang dialami masyarakat Eropa dan Jepang. Sebuah peristiwa yang membangkitkan pola pikir rasional dan sistematis yang menempatkan kebutuhan sebagai nilai utama dan bukan keinginan. Salahsatu pendekatan yang dapat digunakan untuk memahami pemikiran modern dalam konteks kondisi Republik ini adalah dengan mengambil nilai dasar pemikirannya yaitu kebutuhan, yang begitu erat hubungannya dengan masyarakat marjinal, yaitu mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan. Dalam merekalah banyak kebutuhan mendasar yang harus dipecahkan termasuk melalui media arsitektur, ialah mencukupi hunian murah pada lahan yang terbatas. Dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Ikatan Arsitek Indonesia dua tahun yang lalu, arsitek Han Awal menjelaskan bahwa dalam perkembangan pasca-modern begitu banyak arsitek muncul dengan beragam bahasa masing-masing. Tetapi, di dalam keberagaman tersebut tetap ada sebuah benang merah yang menyatukan yaitu paham modernisme yang awalnya disampaikan oleh para pengajar di Bauhaus kepada para mahasiswanya menular sampai kepada para arsitek generasi berikutnya baik di Jerman sendiri maupun di beberapa negara lainnya, bahkan di negara yang belum banyak terkena arus modernisasi sekalipun. Para arsitek generasi baru tersebut tentu lahir dalam situasi yang berbeda. Yang terlahir di negara modernpun merasakan nilai-nilai tersebut sebagai turunan kesekian dari nilai modern yang sesungguhnya. Modernisme diadopsi sesuai dengan kondisi kultur masing-masing, sehingga muncul gejala-gejala baru. Sebagai contoh adalah Art-Deco yang muncul di era Rationalism pada tahun 1920-an. Di Indonesia dikenal sebagai langgam Kolonial karena kehadirannya berkaitan dengan masa-masa kolonialisme. Beberapa bahkan menyebut klasik karena jelas sekali penggunaan kaidah-kaidah klasik dalam pengaturan komposisi dan skala bangunan. Semua gejala tersebut meyakinkan bahwa paham modern ‘hanya’ sebuah konsep. Sebuah solusi bagi permasalahan yang dipecahkan secara efisien dan cerdik. Ketika para arsitek meletakkan asas-asas tersebut ke dalam nilai-nilai lokal akan terjadi sebuah bentuk baru. Modernitas tidak lagi dipahami secara murni, tetapi lebih kepada perannya sebagai ‘penyegar’, sehingga muncul berbagai langgam seperti modern-classic, modern-ethnic, neo-modern, dan beberapa langgam lainnya. Itulah yang terjadi di dunia, dan tumbuh subur terutama di negara yang belum memiliki budaya modern dalam arti sesungguhnya, seperti di Indonesia misalnya. Setiap bangsa mempunyai keunikan budaya dengan permasalahannya. Sudah selayaknya jika arsitektur tidak sekedar dijadikan ajang perdebatan paham terlebih pada level estetika. Alangkah lebih baik energi yang ada dipakai untuk mengembangkan keunikan nilai-nilai lokal dan mengolah sensitifitas terhadap kebutuhan masyarakat saat ini, sehingga arsitektur lebih mempunyai peran bagi kota bagi dunia.
---

2 comments:

Anonymous said...

thx yah infox...

http://sketsa-archie.blogspot.com

..thx..

noe_annoe said...

sa link yah...

http://sketsa-archie.blogspot.com

..thx..