Monday, March 5, 2007

Jakarta Oldtown


Tulisan ini merupakan hasil diskusi bersama antara Budi Lim, Pater Heuken, Abidin Kusno, Hendra, Ivan Oktovian, Seto, Deny, Aditia Chandra Dewa, Rosa Yulita Wardhani, Suryono Herlambang. Pernah di publikasikan di Mailing-list ARS-UKDW@yahoogroups.com

SUDAH lima tahun hidup di Jakarta tetapi belum sekalipun menyentuh wilayah kota lama yang menurut cerita banyak orang merupakan wilayah yang eksotis. Sampai pada suatu ketika berkesempatan mengunjunginya. Bersama Pater Heuken, seorang Jesuit yang juga sejarawan, arsitek Budi Lim, dan beberapa rekan sekantor yang merelakan sebagian waktu pribadinya di hari Minggu. Pater, demikian kami memanggilnya, seorang yang betul-betul mengenal wilayah Kota secara dalam. Demikian juga Budi Lim yang mempunyai pengalaman tinggal di wilayah ini pada masa kecilnya di tambah kecintaan dan pengetahuannya tentang urban design.

Wilayah Kota Lama yang dikenal dengan sebutan “KOTA” terbagi dalam beberapa blok : pertama, Institusi pemerintahan dimana di dalamnya terdapat bangunan kolonial formal yang saat ini dikuasai pemerintah seperti Museum Fatahilah, Museum Seni dan Keramik, Bank Mandiri, dan beberapa milik swasta seperti Café Batavia. Sisa-sisa suasana formal masih terasa dengan adanya ruang terbuka dengan pola simetris yang menjadi orientasi bagi beberapa bangunan tersebut. Kedua, wilayah transportasi darat yang menghubungkan Batavia dengan wilayah luar. Di wilayah ini berdiri sebuah stasiun yang begitu terkenal, yang sekarang bernama Jakarta Kota. Stasiun yang mempunyai keindahan detail konstruksi ini merupakan karya arsitek Frans Johan Laurens Ghijsels, seorang arsitek kebangsaan Belanda yang lahir di Indonesia yang juga seorang pelopor berdirinya biro arsitektur di Indonesia. Beberapa karyanya terdapat juga di Yogyakarta seperti Gedung Bank Negara Indonesia 46 dan Panti Rapih. Blok ketiga adalah wilayah Sunda Kelapa. Merupakan pelabuhan dan pintu masuk menuju Batavia yang saat ini perannya digantikan oleh Tanjung Priok. Meski begitu perannya sebagai pelabuhan masih berfungsi. Banyak kapal-kapal Phinisi bersandar di sini. Membawa kayu atau bahan makanan. Di wilayah ini juga masih tersimpan beberapa karya arsitektur yang baik yang sekarang berfungsi sebagai Café Galangan, Museum Bahari, sebuah Mesjid yang sudah ‘diperkosa habis-habisan’, dan sebuah museum Menara kontrol pelabuhan. Keempat, wilayah Pintu Kecil yang sejak dahulu sampai sekarang dikenal sebagai pusat tekstil Indonesia. Daerah ini merupakan China Town dan perdagangan regional. Masyarakat China di sini membaur dengan masyarakat keturunan Arab dan Betawi.Tentu banyak bangunan China selain beberapa Mesjid yang unik karena didesain oleh arsitek Eropa. Kelima, wilayah Roa Malaka yang dahulu merupakan pusat perdagangan internasional. Di dalamnya terdapat bangunan gudang dengan langgam art-deco. Dan keenam dan yang sangat menarik, wilayah Kali Besar. Dalam konteks sejarah, Kota Lama Jakarta mempunyai peran penting sebagai pusat pemerintahan, perekonomian, dan budaya. Dapat pula dikatakan, pola yang dimiliki KOTA merupakan contoh pola sebuah penataan kota yang baik. Dan dari wilayah atau blok-blok penting tersebut Kali Besar merupakan unity dari semuanya yang berperan sebagai pendukung fungsi perdagangan internasional. Ditata berupa deretan blok bangunan kolonial dengan tipologi kantor di sisi Timur dan Barat yang saling berhadapan dan dipisahkan oleh sebuah Kali ( sungai ). Dahulu sungai ini merupakan sarana transportasi perdagangan yang bisa dimasuki kapal hingga wilayah Hayam Wuruk dan Gajah Mada sekarang. Sebuah jembatan eksotis khas Eropa, yaitu Jembatan Intan menghubungkan sisi Barat dan Timur.

Bagi pecinta heritage akan ‘senang’ berjalan di wilayah ini terutama pada pagi dan sore hari. Merasakan skala ruang yang nyaman, perubahan suasana, dan menikmati keindahan detil bangunan bahkan beberapa bisa dirasakan sisa-sisa kualitas ruang dalamnya.

Kali Besar

Saat ini Kali Besar hidup dengan kondisi yang memprihatinkan karena tidak ada konsep yang jelas dalam perencanaan masterplannya sehingga banyak bangunan ditinggalkan, tidak terawat, dan digunakan untuk aktifitas negatif. Keterpurukan ini diperkuat dengan lingkungan yang tidak terjaga akibat pengembangan kota Jakarta yang tidak berpijak pada pola sebelumnya. Tampaknya pemerintah lebih memfokuskan diri kepada bagaimana memperoleh pendapatan sebesar-besarnya tanpa mempertimbangkan faktor lain.Terlihat sekali betapa mudahnya bangunan-bangunan dengan pola besar (large grain) dibangun. Keberadaannya memberi intervensi yang kuat pada eksisting, terutama di wilayah dengan pola kampung atau fine grain. Menurut Budi Lim menempatkan sebuah bangunan raksasa di wilayah fine grain akan menimbulkan 2 hal : berdampak kepada kemajuan lingkungan sekitarnya atau kegagalan. Entah merupakan kebetulan atau tidak banyak diantaranya yang gagal dan berdampak kepada munculnya ruang-ruang yang hilang, kemacetan yang parah, hilangnya nilai-nilai etika, dan munculnya aktifitas negatif seperti pelacuran dan kejahatan lainnya. Dalam tulisannya pada buku Asian New Urbanism, William S.W. Lim, seorang Arsitek dan Urban Designer dari Singapore berpendapat hal ini merupakan gejala yang terjadi pada pembangunan kota-kota di Asia. Sebuah kemenangan kapitalisme. Asia menjadi wilayah yang menarik untuk menimbun uang. Pemerintah lebih mengutamakan penggunaan tanah untuk kepentingan komersial, Developer mengambil kesempatan dengan cara menaikkan harga tanah melebihi aturan yang berlaku, Bankers dengan mudahnya memberi pinjaman untuk pembangunan fasilitas komersial. Dan dengan alasan kepentingan pasar ‘mereka’ mensyahkan berdirinya tempat perjudian, pelacuran, dan lain-lain. Tidak heran tanpa adanya kebijakan penataan yang kuat Kali Besar dan KOTA dengan mudah dikuasai oleh para mafia.

Saat pertamakali melihat wajah Kali Besar terbayang keindahan wilayah ini dahulu. Saat mendekati deretan bangunan tua semakin terasa bahwa Indonesia mempunyai banyak perpustakaan arsitektur yang layak dipelajari. Bahkan, menurut cerita beberapa orang berkewarganegaraan Belanda yang sempat meneliti wilayah ini dikatakan bahwa di negerinya tidak terdapat bangunan seindah ini. Permata dari Timur, begitu pelaut Portugis menyebut Iacatra atau Batavia. Sebuah kota yang dibangun berdasarkan kecintaan. Terlepas dari sisi penjajahan, ada nilai yang bisa dipetik hikmahnya, yaitu bahwa para arsitek Belanda yang datang dan membangun di Indonesia adalah manusia-manusia yang mempunyai kecintaan tinggi terhadap alam dan kultur Indonesia. Untuk itu desain-desain yang muncul bukan berlanggam Eropa murni tetapi merupakan dialog dengan budaya setempat dengan keseriusan pengerjaan detail yang tinggi. Tidak heran kalau masyarakat Eropa tidak menemukan langgam ini di negeri mereka.

Namun lebih jauh, dalam beberapa diskusi kami diingatkan kembali untuk mengerti fungsi, kehidupan, dan permasalahan Kali Besar secara sesungguhnya, baik dalam konteks sejarah maupun kekinian. Sempat juga berhadapan dan bernegosiasi dengan para mafia yang curiga kepada kami. Atau mencoba memahami bahwa tidak ada keinginan dari pemerintah untuk memperhatikan wilayah kota tua kecuali jika bisa memberikan keuntungan secara individual. Pada akhirnya menjaga keindahan bangunan tua hanya merupakan alasan kecil dari sekelompok alasan lain yang lebih besar yang harus disampaikan kepada masyarakat, para investor, atau orang-orang yang mau berbaik hati untuk menyumbangkan dananya untuk perbaikan kota lama. Ada banyak alasan logis lainnya yang mesti diutamakan selain masalah estetika.Tetapi itulah pelajaran mengenai urban design yang kami peroleh. Membutuhkan energi besar untuk masuk ke dalamnya. Tetapi itu semua merupakan pelajaran yang sangat berharga untuk memperkaya cara berpikir seorang arsitek. Setidaknya ada tiga kata kunci yang ditemukan untuk memahaminya : rasionalitas, netralitas, dan totalitas.


***

No comments: