Monday, March 1, 2010

Love

Subuh dini hari aku bermimpi berjumpa almarhumah Ibu yang menjelang 4 tahun lalu berpulang. Ini mimpiku yang pertama sejak sekitar setahun lebih tidak pernah memimpikannya lagi. Mungkin karena aku tidak terlalu peduli dengan mimpi. Mimpi selalu aku anggap sebagai kembang tidur saja. Biasan perasaan-perasaan hati yang terpendam saja, termasuk pada awal kepergiannya.

Tapi ada yang menarik dari mimpi kali ini.

Dalam mimpi tersebut aku datang mengendarai sepeda ke sebuah rumah yang sedang mengadakan acara penghormatan kepergian seseorang, dan aku tahu seseorang yang berpulang itu adalah Ibuku. Uniknya, aku tidak melihat situasi atau gambaran jenazah dengan petinya. Hanya melihat kerumunan besar dan suara penata acara yang sebentar lagi akan mengucapkan kata perpisahan melepas jenazah.

Selepas memarkir sepeda aku melihat Ibu berdiri di depan pintu masuk. Wajahnya cerah dan rileks (berbeda dengan terakhir aku lihat, begitu menahan sakit karena kankernya). Beliau menungguku. Kami beranjak keluar bersama melewati beberapa pelayat. Sebelum melewati beberapa pelayat beliau menawarkan untuk berbincang sejenak dengan kondisi badan kami tidak terlihat oleh pelayat. Dan betul kami melihat mereka tapi mereka tidak melihat kami. Aku lihat juga Romo Prasetyo, seorang Imam yang selalu baik dengan keluarga kami.

Di tengah jalan aku bertanya kepada Ibu : "Aku rindu sekali. Apakah Ibu juga rindu sama aku?"

Dengan tenang beliau menjawab : tidak.

Mendengar jawaban itu hatiku menjadi sedih sekali. Dan demi melihat reaksi sedihku Ibu mengatakan lagi : "Tetapi itu di dalam nama Tuhan". Dijelaskan lebih lanjut karena aku masih tidak juga paham : "Ibu sudah ikut Tuhan". Mendengar itu aku menjawab : "maka itu sudah tidak ada lagi emosi ... barangkali ... semua menjadi penuh dan tertuju kepada Tuhan ... ". Sebuah jawaban yang kujawab atas pertanyaanku sendiri, dan tentu tidak memuaskanku.

Suara penata acara kembali kudengar memberangkatkan jenazah. Aku lihat para pelayat berduyun menuju pemakaman. Aku dan Ibu ada bersama mereka. Menjelang makam suasana mulai gelap dan aku tidak bisa melihat jauh ke depan. Tetapi aku tidak ngeri. Gelap yang kurasakan tidak lebih daripada sekedar datangnya maghrib. Tetapi satu hal yang kurasa jelas : langkah Ibu makin cepat dan pasti sedangkan sebaliknya langkah kakiku seperti ada yang membebani. Aku merasa ada tangan yang menghalangi menuju gelap tersebut.

Tiba-tiba aku sadar bahwa waktu kami tidak banyak. Kami akan segera berpisah. Hatiku gelisah karena masih dibebani pernyataan Ibu yang mengatakan tidak lagi rindu kepadaku. Aku berpikir apakah dengan demikian beliau tidak mencintaiku lagi? Maka, untuk menuntaskan pertanyaan tersebut aku berteriak kepada Ibu yang makin menjauh: "Ibu mencintai aku?". Kulihat Ibu mengangguk. Aku ulang pertanyaan sekali lagi dan beliau mengangguk. Dan setelahnya hilang ditelan gelap. Tetapi sebelum tubuhnya betul-betul hilang dalam kegelapan Ibu berteriak mengingatkanku : awas! sembari telunjuknya menunjuk satu titik di tepi jalan yang tiba-tiba menjadi terang. Maka terlihatlah seekor ular, yang siap menyerang. Aku mundur dan Ibu menghilang.

Hampir pukul 07.00 wib. aku terbangun. Mungkin aku tetap seperti biasa, tidak terlalu peduli dengan mimpi. Tetapi kurasakan ada kelegaan dihati karena merasa dicintai. Perasaan dicintai ini yang selalu aku yakin menjadi sumber kekuatan hidup dan kehadiran Tuhan yang lembut, selalu mengampuni dan menerima apa adanya.