Monday, April 13, 2009

Paskah 2009

Tiga hari berada di Yogyakarta. Hari-hari sengaja kuisi dengan rileks. Kegiatan lebih banyak terfokus pada perayaan Paskah, pun kalau itu berbentuk perjumpaan dengan beberapa orang dan peristiwa.

Menikmati perjumpaan ini bahkan sudah kuawali di kereta Argo Dwipangga ketika berangkat. Menikmati Jakarta yang tenang dan cerah, suasana stasiun Gambir yang ceria : memandang struktur bangunan berwarna hijau, lokomotif buatan General Dynamics yang hilir-mudik, memandang kubah Gereja Imanuel dan beberapa bangunan tinggi di kejauhan, ratusan penumpang yang tampak bersemangat, menikmati kopi hitam bersama kakak di sebuah kedai. Atau berbincang dengan Dibyo-penumpang di sebelahku selama perjalanan, melihat atau tepatnya merasakan suasana setiap stasiun yang kami lewati. Sungguh, aku merasa persinggahan di setiap stasiun selalu memberi suasana eksotis.

Di Yogyakarta keluargaku masih tinggal di daerah yang meskipun di dalam sebuah perumahan, tetapi terletak di pedesaan di kaki gunung Merapi. Jadi suasana dingin, mendung, lembab, hijau, dan sepi sangat akrab dengan diriku. Yang menarik unsur-unsur pegunungan tersebut selain memberi keteduhan dalam jiwa juga menjadi unsur penyeimbang dan menimbulkan kerinduan terhadap unsur kota dan daerah yang bernuansa pesisir di Selatan : kampung Sayidan, Gondomanan, Prawirodirjan, dan Keparakan yang padat, panas, cerah, dan bersih. Begitu pula dengan Kotagede. Selalu saja, wilayah ini menjadi kerinduanku secara khusus. Wilayah Jawa yang teramat tua dan magis. Perpaduan kepadatan bangunan dengan makam ataupun lapangan serta lahan penuh pohon-pohon besar dan tua. Juga tembok-tembok mengesankan benteng yang anggun berpadu dengan jendela-pintu kayu dan teras yang dinaungi atap-atap khas bangunan Jawa berbalut genteng tanah liat. Seluruh unsur yang kujumpai ini terasa betul-betul masuk ke dalam jiwa. Meresap dan mencapai klimaks saat beristirahat sembari membetulkan beberapa sketsa dan minum segelas Jambu Selarong dingin - percampuran antara air jambu biji dengan kayu manis - di sebuah restoran yang berupa bangunan lama.

Tidak kalah mengesankan juga adalah perjumpaanku dengan seorang teman lama. Juli Anto namanya. Kami sudah 9 tahun tidak berjumpa. Dan aku lupa juga bagaimana kami bisa menjulukinya “Badak”. Mungkin karena sepak-terjangnya yang tanpa tedeng aling-aling.

Badak mempunyai penampilan seorang Jawa sejati. Terlihat dari postur, paras dan logat bicaranya. Kemampuannya beradaptasi dengan penduduk sekampung semakin menguatkan kesan sosial yang menjadi ciri-khas masyarakat Jawa umumnya.

Seperti kebetulan bahwa dia dan keluarganya menetap tidak jauh dari rumah kami. Terletak di kampung pedesaan. Rumahnya sangat sederhana namun indah. Dibangun sendiri dengan beberapa tukang. Berupa dinding bata ekspos yang cukup rapi. Bagian struktur betonnya hanya berbalutkan plesteran semen halus. Struktur kayunya menggunakan glugu atau kayu kelapa. Untuk pintu dan jendela dia menggunakan kayu jati muda tanpa finishing sama sekali. Sangat alamiah.

Dia memperkenalkan keluarganya. Nila istrinya sudah kukenal. Tetapi Kinanti anak perempuannya baru kulihat. Seorang perempuan kecil yang pintar dan menggemaskan. Mahir menggambar. Goresannya berani dengan komposisi yang cukup apik, bahkan matang bagi anak seumurnya yang baru memasuki sekolah.

Kami berbincang di teras menghadap lapangan kecil dengan beberapa rumah dan pepohonan di sekelilingnya. Dua cangkir kopi hitam panas dihidangkan. Juga tahu goreng yang dibuat dan dimasak sendiri oleh Nila. Angin segar mengalir memberi kesejukan.
Tentu saja setelah sekian tahun tidak bertemu pembicaraan diawali oleh hal-hal romantis. Tetapi tidak berhenti di situ, kami juga berbicara ke masalah pekerjaan yang ternyata sama, baik yang kualami maupun dia alami sendiri, yakni menghadapi kesulitan yang mengancam bidang properti akhir-akhir ini.

Kadangkala di tengah pembicaraan dia bertegur sapa dalam jarak jauh dengan penduduk yang lewat. Atau seorang tetangga yang membereskan gabah yang dijemur beralaskan tikar. Sekerumunan kecil orang pulang dari acara pernikahan lewat, berpapasan dengan tiga orang anak bersepeda, salahsatunya adalah Vincent yang mengajak Kinanti bermain sepeda. Tidak lama mereka berputar-putar di lapangan. Kinanti memamerkan kemahiran bersepeda di hadapan ayahnya.

Badak tertawa.
”Belum lama dia bisa naik sepeda. Sebelumnya sama sekali tidak berani. Entah kenapa dua hari yang lalu dia minta roda kecil penahan di sepedanya dilepas. Kupikir dia mau belajar dan aku maupun Nila mesti memegangi bagian belakang sepedanya. Ternyata tidak”, katanya sembari membenahi jemuran di samping teras. Angin nakal meluruhkan beberapa pakaian yang dijemur.
Dia bercerita pula tentang kemampuan Kinanti dalam menggambar yang diperoleh secara otodidak. Juga tentang Nila yang bekerja di kota Klaten, yang saban hari harus menempuh jarak 80 kilometer pergi-pulang menggunakan kereta api. Sangat mandiri. Atau tentang pemilik workshop tempat dia bekerja, seorang berkebangsaan Belanda, yang tidak mau bersikap realistis terhadap kondisi lapangan di Indonesia sehingga produk perabot mereka yang diekspor ke Inggris pelan-pelan mengalami penurunan mutu.

Dari seluruh perjumpaanku dengannya aku melihat bahwa Badak atau Juli Anto secara sekilas tidak berubah dengan 9 tahun silam saat masih membantuku membuat maket sebagai bahan studi akhirku. Tetapi dia bertumbuh dan berkembang. Dia mempunyai anak dan istri, mempunyai rumah yang sederhana tetapi asri, pekerjaan yang walaupun tidak memberinya harta melimpah tetapi toh mampu menghidupi keluarga dengan baik. Tetapi yang lebih menarik hatiku adalah otentisitas dia yang terjaga : nilai sosial yang dimilikinya dan kesetiaannya terhadap kesederhanaan hidup dan keluarga yang justru membuatnya bertumbuh. Salahsatu nilai dari kesetiaan yang hidup diantara nilai-nilai yang berkembang kearah hedonisme yang tumbuh di jaman modern akhir-akhir ini.

Maka, ketika dalam ibadat Jumat Agung, pastor selebran yang memimpin upacara mengatakan bahwa tiga hari suci yang dilalui layaknya sebuah retreat, aku mengamininya. Memang selama mempersiapkan Paskah aku tidak selalu mampu berbuat dengan benar. Jatuh dan bangun selalu ada. Tetapi mempersiapkan Paskah tidak selalu terkunci dengan pandangan sempit pada masalah keberdosaan tetapi bagiku lebih kepada menjaga sikap atentif agar bisa mendengarkan suara Sang Pemberi Hidup yang justru ditemukan dalam perjumpaan dengan orang lain dan peristiwa dalam hidup sehari-hari. Sangat manusiawi. Dan Juli Anto yang setiawan, dalam kehidupannya yang sederhana, mengingatkan aku bahwa hidup haruslah dijalani dengan setia penuh syukur, betapapun sederhana ritme dan pengalaman yang dialami.