Friday, March 20, 2009

Equilibrium (2)


Calabria Serra, March, 2009


Sunyi sekali.

Pagi ini , dalam penelitian batin, aku menjawab dorongan hatiku untuk menyelami lebih jauh perkara diriku dengan Dia yang memanggilku.


Di hari-hari yang lalu aku merasa sungguh berada di hadapan wajahNya, bahkan dalam kesepian yang dalam sekalipun, juga di dalam pekerjaan sehari-hari. Aku merasa dijaga dan hangat di dalamnya. Tetapi pagi ini sebersit pertanyaan di hati muncul :"benarkah aku yakin bahwa Dia ada di hadapanku dan aku berada di hadiratNya?"


Damai. Kata pertama yang kubisikkan kepada diriku setelah melihat lebih jauh dorongan yang muncul dalam batin, juga untuk menyadari kehadiranku dalam pagi yang dingin hari ini. Sadar bahwa aku ada, bergerak, bernafas, dan hidup.


Pandanglah Dia. Ajakanku kepada diriku untuk hadir di hadiratNya.


Tetapi entah kenapa aku berhenti setelahnya, dan muncul dalam hati suatu kalimat yang begitu lembut, membisikkan kata-kata yang menggoncang hatiku :"rasakan lebih dalam ... dan dalam ... lebih dalam di lubuk hati ... Coba sejenak lepaskan pikiranmu dan bertanyalah kepada hatimu yang terdalam : apakah aku percaya bahwa Dia ada? Apakah benar Dia ada di hadapanku?" Lalu, seperti tak ada pilihan lagi dan aku menjawab :"Dia tidak ada. Maafkan aku, tetapi aku merasa Engkau tidak ada. Engkau begitu sulit kuraih".


Lonceng berdentang. Tanda ibadat pagi hendak dimulai. Dan hatiku merasa sunyi sekali.


Tuesday, March 10, 2009

Orang-orang Pinggiran (1)

Kemarin sore menyempatkan diri nonton Slumdog Millionaire, sebuah film karya Danny Boyle. Di sini aku tidak akan mengupas sisi sinematografi film tersebut melainkan hanya terkesan dengan setting area kumuh di negara India seperti yang tersaji di film tersebut. Bisa dibayangkan betapa mengerikan hidup di tengan himpitan petak-petak rumah berukuran kecil berdekatan dengan tumpukan sampah yang menggunung. Tidak ada ruang privasi yang memberikan unsur reflektif.
Malam harinya setting tersebut masih terus bergaung dalam pikiranku. Maka, sambil mencecapi aku teringat oleh beberapa figur kumuh seperti pada film itu yang pernah hadir mengisi kehidupanku.

Pak Andreas
Tahun 2007 aku memperoleh ajakan dari Ibu Wardah Hafidz untuk hadir bersama teman-teman UPLINK dalam sebuah workshop 3 hari di Surabaya untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat “Stren Kali”. Panitia Workshop yang dibantu oleh beberapa profesional berupaya mengajak mereka untuk mau peduli terhadap lingkungan tempat tinggalnya : menjaga kebersihan, tidak melawan aturan pemerintah dalam pengelolaan lingkungan, meningkatkan kualitas lingkungan dengan dana yang sebagian disediakan secara mandiri. Dengan cara-cara itu panitia berharap pemerintah tidak bertegar hati melainkan mau memberi mereka kesempatan untuk hidup secara layak.

Dalam workshop banyak wakil masyarakat yang hadir meskipun tidak seluruhnya mempunyai kesadaran yang sama. Ada yang betu-betul bersemangat tetapi banyak juga yang sekedar basa-basi sembari melihat kemana arah angin berhembus. Menguntungkankah atau justru sebaliknya? Dan dari sekian profil yang muncul hanya satu yang kuingat paling bersemangat, yaitu Pak Andreas. Saya lupa latarbelakangnya, tetapi tampaknya dia mempunyai kesadaran untuk menyelamatkan lingkungan dan huniannya dari gempuran pemerintah. Pola pikir yang dia miliki sering berbeda dengan konsep yang diusung panitia dan para konsultan. Dalam beberapakali percakapan aku menangkap ada dorongan dari diri Pak Andreas untuk melawan kebijakan pemerintah, semisal mengkritisi teori mengenai daerah aliran sungai (DAS) yang disampaikan oleh seorang pakar dalam sebuah diskusi ilmiah dimana Pak Andreas diundang hadir. Mereka juga mengusulkan ide-ide yang betul-betul melawan peraturan. Bukan sikap mengkritisinya yang menjadi perhatianku melainkan ada kecenderungan menolak dialog. Ada semacam kemarahan dalam diri mereka sebagai orang tertindas.

Selama perjalanan workshop aku melihat panitia mencoba untuk bersikap netral dengan cara melayani dan menerima ide-ide mereka yang ekstrem untuk kemudian dibimbing ke arah yang lebih realistis dan tidak melawan aturan. Kulihat juga para konsultan begitu sibuk membuat beberapa gagasan. Dalam kamar tidurpun aku sempat berdiskusi dengan beberapa arsitek seperti Cahyo Bandhono dan Antonio Ismael. Mereka tidak berhenti membuat sketsa dan mengontak beberapa relasi di pemerintahan untuk mencari tahu mengenai aturan-aturan yang berlaku.

Sampai suatu titik dimana terjadi semacam kejenuhan.
Waktu sudah mendekati batasnya. Pak Andreas dan beberapa penduduk tetap bersikukuh dengan pendiriannya. Panitia dan konsultan kehabisan energi untuk meladeni mereka. Beberapa dari wakil masyarakat yang hadir ternyata tidak memberi dukungan kepada Pak Andreas dan Panitia karena akan terkena dampak kerugian terhadap asetnya (baru kutahu bahwa dalam tubuh masyarakat kawasan kumuh tersebut tidak seluruhnya miskin, melainkan seperti mafia - yang bukan penduduk setempat - yang memanfaatkan tanah untuk menjalankan bisnis yang seringkali tidak dibenarkan secara aturan lingkungan). Tetapi ada pula beberapa dari penduduk tersebut yang betul-betul miskin. Mereka hanya bisa berdiam diri. Sepertinya betul-betul bodoh dan pasrah.

Malam makin larut. Kulihat beberapa rekan Panitia dan Konsultan surut mengundurkan diri. Lelah dan buntu. Dan Pak Andreas? Aku melihat dia bagaikan orang yang terseret arus banjir bandang. Berteriak keras minta tolong tetapi suaranya kalah dengan deru air. Berusaha memberontak untuk menyelamatkan diri tetapi semakin dia bergerak semakin pula masuk ke pusaran yang menariknya hingga hilang. Dan kami - tepatnya aku – seperti melihat Pak Andreas yang menggelepar. Aku melihat dia berteriak tetapi suaranya makin hilang digantikan alunan musik jazz yang indah.



***

Mang Ucha
Masih kuingat, tepatnya tanggal 1 Juli 2007, aku mengatakan kepada karibku Thay bahwa aku memperoleh hadiah ulang tahun yang spesial : membuat skesta hunian kecil untuk 7 orang penduduk yang tinggal di kolong jembatan di wilayah Muara Karang yang beberapa hari sebelumnya terbakar.

Awalnya Jakfar mengirim sms kepadaku untuk meminta dibuatkan rancangan rumah penduduk tersebut. Jakfar sendiri adalah petugas lapangan Urban Poor Consortium. Posturnya kecil, berwajah khas penduduk Timur-tengah, dan tampak seperti seseorang yang militan. Aku sendiri saat itu masih bekerja di sebuah konsultan arsitektur yang cukup ternama yang biasa mengerjakan pesanan bangunan megah dan mahal. Maka, menerima tawaran Jakfar untukku seperti menerima kado spesial. Tentu saja aku sadar bahwa tidak mungkin aku melakukannya sendiri – yaitu masuk dalam dunia yang betul-betul berbeda – dan untuk itu aku meminta bantuan Cucu Surya, seorang sahabat yang juga seorang arsitek.
Maka untuk selanjutnya kami berdua beberapa kali datang ke perkampungan kumuh di persilangan jembatan tol menuju Cengkareng. Di tempat inilah untuk pertamakali kami bertemu dengan Mang Ucha dan beberapa kepala rumah tangga.

Mang Ucha kutaksir berumur sekitar 40-an tahun. Posturnya kekar dan agak pendiam. Namun demikian, berbeda dengan beberapa penduduk lainnya, dia bersikap cukup simpatik. Bukan yang lainnya tidak simpatik dan ramah, hanya kadangkala aku menyadari perbedaan strata membuat mereka seakan menaruh curiga kepada orang luar yang dianggap lebih mapan. Pun terhadap teman-teman dari Urban Poor Consortium yang lebih kerap berinteraksi, tidak semua penduduk menerima dengan baik. Pemikiran mereka mungkin cenderung praktis dan berharap bantuan yang bersifat instan tanpa harus melalui beragam penyuluhan.

***
Rumah di pemukiman ini umumnya terbuat dari kayu triplek dengan struktur batang kayu. Tidak ada pondasi yang kuat kecuali tumpukan bata sekedar sebagai pengikat bangunan. Tiang perkuatanpun hanya berupa tiang beton bermutu murah. Begitupula dengan yang terjadi pada rancangan baru yang kami buat. Semua gagasan yang kami berdua sampaikan seakan ludes oleh kebiasan dan faktor ekonomi tentunya. Sebelumnya terbayang olehku untuk menerapkan struktur-struktur kayu nan luwes a la arsitek Mangunwijaya. Cukup mahal memang, tapi kami pikir bisa direduksi dengan cara memamnfaatkan material yang lebih murah pada elemen penutup bangunannya. Begitupula dengan pencahayaan dan penghawaan. Betul-betul kami pikirkan. Tapi kami disadarkan juga, dan diberi sebuah pelajaran berharga tentunya, bahwa ilmu dan kemampuan yang kami miliki tidak serta-merta mudah diterima oleh mereka. Memang mereka gembira karena baru kali ini mempunyai rumah yang digambar oleh arsitek. Bahkan sketsa-sketsa kami yang begitu sederhana menjadi barang berharga bagi mereka. Tetapi di luar dugaan kami semua itu tidak lebih dari sekedar konsep belaka. Mereka seakan betul-betul memahami apa yang mereka inginkan karena mereka juga yang mengerjakan sendiri. Beberapa bahan yang dibelipun juga bukan dari kualitas yang baik, bersanding dengan material lama yang masih bisa digunakan. Tapi tak mengapa. Baik aku mapun Cucu betul-betul bersyukur diberi kesempatan untuk memahami nilai arsitektur dari kacamata yang sangat berbeda namun hidup, yang diwujudkan oleh Mang Ucha dan kawan-kawan. Selebihnya dialog-dialog dengan merekalah yang aku nantikan. Seperti pada suatu sore aku belajar apa artinya berjiwa besar :
Mang Ucha bercerita bahwa kebakaran terjadi saat semua orang pergi bekerja sehingga rumah sepi. Mang Ucha sendiri saat itu sedang pergi berjualan makanan gorengan seperti hari-hari biasanya. Tidak ada yang aneh di pagi itu. Ketegangan terjadi saat pulang ke rumah, masing-masing penghuni menemukan rumahnya sudah menjadi arang. Beruntung panas yang ditimbulkan tidak merusak struktur beton jalan tol di atasnya. Tetapi dari pihak mereka dengan terjadi kebakaran saat rata-rata orang pergi maka tidak ada yang menyelamatkan harta benda.

Mencoba bertenggangrasa dengan mereka. Itulah awalan yang umum dilakukan oleh orang-orang yang hendak peduli, termasuk kami. Mencoba menyelami pemikiran mereka, bahkan ada kecenderungan membela. Seperti halnya kami mencoba mengupas informasi yang umum terjadi pada peristiwa kebakaran kawasan kumuh, yaitu disengaja oleh oknum tertentu. Kami mencoba menanyakan hal-hal seperti itu kepada Mang Ucha. Tetapi tak disangka jawabannya adalah : tidak tahu (atau sengaja disembunyikan). Selebihnya mereka memilih sikap untuk tidak memusuhi siapapun. Mereka hanya ingin sesegera mungkin bangkit dari keterpurukan, betapapun lelahnya akibat mengalami kejadian yang berulang-kali seperti ini. Betul-betul kado ulang tahun yang spesial bagiku, yaitu belajar arti jiwa besar dari orang-orang yang betul-betul kekurangan.

Beberapa minggu kemudian aku memperoleh berita bahwa rumah mereka hampir selesai. Aku dan Cucu berencana membuat dekorasi sebagai unsur estetika dengan membuat lukisan pada atapnya sebagai satu-satunya elemen yang terlihat dari jalan tol. Tetapi sayang, tak lama kemudian Jakfar memberikan informasi terbaru bahwa rumah mereka kembali terbakar. Sampai detik ini aku belum mempunyai kesempatan bertemu lagi dengan Mang Ucha karena terlalu sibuk dengan proyek-proyek besar yang kukerjakan. Aku hanya berdoa semoga dirinya tetap berteguh dengan jiwa besarnya karena itulah satu-satunya harta miliknya yang tidak bisa habis dibakar.



bersambung ...

Sunday, March 8, 2009

Jazz dan Kehidupan


“Bro, nonton Java Jazz nggak?”, demikian tanya seorang teman kepadaku di hari Minggu kemarin. Tidak cukup bertanya demikian dia juga menyodorkan koran yang memuat berita pergelaran Java Jazz 2009 yang dihadiri ribuan penonton dan di sisi lain pada koran yang sama, sebuah berita tentang ribuan tenaga kerja Indonesia yang membutuhkan pekerjaan.
“Ironis ya Bro. Biaya pergelaran dan tiketnya cukup mahal. Banyak uang seakan dihamburkan, tetapi sebaliknya ribuan orang butuh uang”.

Kami berdua menyukai musik Jazz meskipun hanya sebagai penikmat. Saya ingat, kira-kira 10 tahun yang lalu musisi jazz Luluk Purwanto bersama Rene van Helsdingen mengadakan tur di beberapa daerah menggunakan Stage Bus. Di Yogyakarta mereka menempati pelataran utara Kraton berdekatan dengan bangsal Pagelaran. Suatu peristiwa yang amat langka terjadi menurut penyair Rendra yang malam itu turut menyumbangkan puisinya. Tetapi yang menarik bagi saya adalah, selain bebas biaya tentunya, pergelaran tersebut dihadiri tidak hanya oleh pecinta jazz tetapi juga orang-orang kampung sekitar yang kemungkinan besar tidak tahun-menahu soal jazz. Beberapa di antaranya adalah beberapa perempuan tua. Profil mereka mirip “mbok bakul” dari desa yang sangat bersahaja : menggunakan kebaya dan kain jarik lusuh yang lazim dipakai para penjual jamu gendong. Mungkin juga mereka adalah penjual makanan seperti jagung bakar, wedang ronde dan lain sebagainya, yang menjajakan dagangannya di malam hari. Malam itu mereka, saya, dan semua audiens duduk di tanah atau berjongkok. Ada yang duduk di pelataran, di teras, atau di bawah pohon beringin tua. Tentu saja kehadiran “mbok-mbok bakul” tersebut menarik hatiku yang bertanya-tanya apakah mereka mengerti tentang jazz?

Permainan Luluk dan Rene indah sekali malam itu. Mereka memainkan beberapa tembang yang salahsatunya sangat saya suka, yaitu tembang tradisional Jawa Ilir-ilir. Tidak berkesan sebagai komposisi musik yang umum karena mereka tidak memainkannya secara utuh melainkan mengambil beberapa penggalan nada yang sangat dikenal oleh masyarakat Jawa dan diolah sedemikian rupa sehingga muncul sebagai sebuah komposisi baru. Sebagai unsur penegasan Jawa, kuingat, Luluk memainkan beberapa alat musik tradisional (yang barangkali bisa disebut juga mainan anak-anak) yang banyak ditemukan di pasar. Dan beberapa kali selama pentas berjalan Rene mengucapkan kata sampun (sudah selesai) atau matur nuwun (terimakasih). Sebuah dialog kecil nan indah. “Mbok-mbok bakul” kulihat tertawa sembari bertepuk tangan. Mereka merasa disapa. Saya rasa mereka tidak memahami jazz sebagai musik melainkan sebagai sapaan. Begitu pula Luluk dan Rene, saya pikir mereka mampu menghadirkan jazz bukan sebagai musik saja melainkan sebagai dialog.

Kembali ke peristiwa hari Minggu kemarin. Karibku itu mengatakan bahwa asyik juga seandainya kami bisa nonton Java Jazz. “Sebetulnya aku juga ingin. Tetapi uangnya setimpal dengan biaya seragam anakku”, katanya sembari duduk di jembatan kayu yang menghubungkan ruang keluarga dengan dapur. Kakinya diayun-ayunkan, memainkan air kolam. Kupikir tidak salah juga pagelaran Java Jazz diadakan, terlebih bila bisa menaikkan harkat bangsa kita di mata dunia. Tetapi seperti yang kami diskusikan di hari Minggu itu, banyak unsur di dunia termasuk musik jazz ialah tidak lebih dari sekedar sarana dalam hidup yang bisa dipakai untuk mengabdi Gusti Allah, yang menurut pikiran bodohku diwujudkan dalam pengabdian kepada sesama manusia yang membutuhkan pertolongan. Selanjutnya tergantung manusia dalam memanfaatkan semua sarana tersebut. Boleh dipakai untuk kepentingan diri sendiri sesaat atau akan lebih baik jika digunakan untuk kepentingan bersama.

“Kalau begitu dana untuk mengadakan pagelaran lebih baik digunakan untuk membantu orang lain ya Bro?”.
“Wah, nanti apresiasi Jazz di Indonesia bisa berhenti dong”, jawabku
“Atau bisa juga fifty-fifty ya. Hasilnya untuk membantu orang lain yang butuh”, balasnya. “Atau semangat musik jazz dimaknai lain, yaitu dijadikan sarana untuk saling membantu seperti cerita tentang “dialog antara Luluk-Rene dengan mbok-mbok bakul” yang kamu tuturkan tadi? Melalui musik mereka menciptakan sesuatu yang lebih dari musik itu sendiri”.
Entahlah. Pikiranku yang bodoh ini tidak mampu berpikir seperti itu. Hanya mengantuk yang kurasakan saat ini. Apalagi tembang kroncong yang dilantunkan Waljinah yang terdengar sayup-sayup dari sebuah compo serasa memberi ketenteraman batin. Ah!