Pagi-pagi benar Syawal kedatangan tamu; seorang teman bernama
Adek. Dia jauh-jauh datang dari Tanjung Priok khusus menemuinya pagi
itu. Waktu tamu itu datang Syawal masih sibuk membersihkan lumpur di
lantai ruang tamunya. Bekas banjir semalam. Semua barang dan perabot di
letakkan di lantai dua rumahnya yang kecil. Anak dan istrinya sudah
mengungsi ke rumah orang tuanya di wilayah Kali Mati Bendungan Hilir,
yang menurut kabar tak urung terkena banjir juga.
Adek, sang tamu itu, dulu dikenalnya sewaktu masih menjadi tukang palak
di wilayah Rawa Bebek Jakarta Utara. Waktu itu Syawal sering bolak-balik
ke Rawa Bebek untuk membantu membuatkan rancangan penataan lingkungan
pemukiman di bawah kolong tol. Wilayah yang padat memang, dan tidak
layak huni juga sebetulnya. Tetapi gubernur waktu berjanji memberi
tenggang waktu sekitar 2 tahun kepada penduduk untuk tetap bermukim di
kolong tol sembari menanti saat mereka bisa menempati lokasi pemukiman
yang baru. Syaratnya, mereka harus merapikan, merawat, dan menjaga
lingkungan. Saat itulah Syawal berkenalan dengan Mbak Wartiyah, Mang
Ucha, Pak Neon, Pak Kliwon, dan tentu saja : Adek. Dan pada satu
peristiwa dikala gubernur dengan ‘berat hati’ tidak bisa lagi memenuhi
janjinya kepada penduduk, yakni memberi tenggang waktu selama 2 tahun,
sebaliknya demi kampanye pemilihan dirinya sebagai calon gubernur baru
yang membutuhkan slogan keindahan kota untuk mengangkat citranya, maka
pemukiman kolong tol harus menjadi sesaji-tumbal. Berhamburanlah mereka
para penduduk pada suatu malam, menyelamatkan diri dari api yang cepat
sekali melahap rumah-rumah triplek tanpa beton. Beberapa dari mereka ada
yang melawan, termasuk Adek, yang membuahkan cacat pincang pada
kakinya.
Selepas peristiwa itu Syawal tidak lagi
membantu penduduk kolong tol. Dia berkonsentrasi pada pekerjaan barunya :
mengerjakan Mall mewah, renovasi rumah para presiden direktur
perusahaan ternama, hotel, dan lain sebagainya. Beberapa proyek kecil
juga dia kerjakan. Bukan untuk mencari untung tetapi memberi peluang
kerja kepada seorang juru gambar yang tidak pernah mengenyam pendidikan
formal, yaitu Adek. Ya, Adek sang preman Rawa Bebek diajarinya membuat
gambar kerja. Dengan komputer? Oh, tentu tidak. Cukup bermodalkan kertas
putih berukuran A3, pensil, drawing pen ukuran 0.3 dan o.6, spidol kecil dan besar, dan juga penggaris skala. Awalnya, Adek yang dipekerjakan di proyek sebagai office boy dan penjaga gudang, dimintanya juga membantu merevisi gambar kerja handsdrawing.
Tidak membuat gambar baru. Cukup menebalkan garis-garis yang sudah
direvisi sesuai titah Syawal. Tetapi lama kelamaan si mantan tukang
palak itu mewarisi bakatnya dalam menarik garis, lengkap dengan teknik
mengatur ketebalan dan menjaga kestabilan. Suatu bakat yang tidak pernah
disadari oleh si pemilik tubuh itu sendiri. Melihat fenomena ini Syawal
berinisiatif meningkatkan kemampuan si Mas Preman yang sudah mantan
itu. Caranya, Adek dititipkan kepada Pak Tugas Waluyo, menjadi asisten supervisor. Dari Pak Tugas dia belajar membuat marking, menjidar, membuat kerangka, memasang backing
dan penutup. Hasilnya, lambat namun pasti si mantan tukang palak bisa
memahami tahap demi tahap konstruksi sederhana. Dengan kemampuan barunya
itu dia mampu ‘menghidupkan’ gambar kerja, yang teknik menggambarnya
sudah dikuasainya.
Sampai suatu ketika, di suatu malam
sepi kala tukang-tukang beristirahat, Adek menghadap Syawal dan
mengabarkan bahwa sebuah biro konsultan kecil tetapi berskala
international meminangnya. Katanya, Arsitek pemilik biro tersebut
menyukai gambar yang dibuat oleh Adek. Kebenaran logika konstruksinya,
tarikan garis tangannya yang mengesan, juga pengaturan notasi yang rapi
mengingatkan si Arsitek waktu masih berkarya di Amerika. Ah, mendengar
penjelasan Adek, Syawal jadi tersadar. Teknik gambar yang diajarkan
kepada Adek adalah teknik yang diperolehnya dari seorang arsitek Amerika
nun 7 tahun yang lalu, waktu Syawal masih bekerja sebagai arsitek
yunior di sebuah konsultan ternama. Sebuah teknik yang menjadi ciri khas
biro konsultan arsitektur terkenal di dunia : Helmuth Obata and Kassabaum.
Syawal tersenyum. Dalam hatinya berpikir bahwa si mantan tukang palak
ini, yang ditemukan di kekumuhan Rawa Bebek, mulai bergerak mendunia.
Dia menguasai teknik menggambar yang hampir punah. Sebuah teknik jitu
untuk diterapkan di lapangan terutama dalam keadaan mendesak dan tidak
tersedia perangkat komputer. Dan si arsitek Amerika itu, ya ya, mereka
memang jenis manusia yang tidak peduli dengan status pendidikan. Apapun
pendidikan seseorang, jika dia mampu maka layak diberi kesempatan.
Pagi-pagi benar Syawal kedatangan tamu; seorang teman bernama Adek. Dia
jauh-jauh datang dari Tanjung Priok khusus menemuinya pagi itu. Dia
hendak pamit, memasuki kehidupan barunya di Bali dengan posisi dan gaji
yang lebih baik.
“Sudah mantep, Dek?” Syawal bertanya. Kakinya mengibas-ngibaskan air.
“Sudah, Mas. Terimakasih”. Lirih suaranya.
“Ya. Sama-sama. Salamku untuk Mr. Hayden”.
Hening. Mata Adek membasah. Akhirnya dia berucap lagi,
“Terimakasih sekali lagi, Mas. Aku ...”
“Sudah-sudah
... masa lalu jangan jadi beban. Lihat ke depan. Yang penting jangan
lupa sholatmu. Jangan lupa juga sama adik-adikmu. Si Wanto, adikmu,
masih jadi porter di Beos?”
Ketika
Adek melangkah keluar rumah, langit mulai tampak benderang. Syawal
memandangi posturnya yang kurus namun tegap. Kakinya masih tetap
pincang, tetapi berani bangkit dan berjalan. Syawal sadar dia tidak bisa
memberikan banyak hal untuk orang macam Adek. Tapi pikirnya, manusia
macam Adekpun adalah citra Tuhan. Adek memiliki kehidupannya, tubuh dan
potensinya, dan Tuhannya yang setia mendukungnya. Tugas sesamanya,
seperti Syawal sendiri, hanya memberi tempat untuk istirahat sejenak,
mengingatkan potensi yang dimilikinya, dan selebihnya biarlah dia
bangkit dan berjalan sendiri bersama Tuhannya, meskipun masih tertatih
pincang.