Monday, December 17, 2012

Adek

Pagi-pagi benar Syawal kedatangan tamu; seorang teman bernama Adek. Dia jauh-jauh datang dari Tanjung Priok khusus menemuinya pagi itu. Waktu tamu itu datang Syawal masih sibuk membersihkan lumpur di lantai ruang tamunya. Bekas banjir semalam. Semua barang dan perabot di letakkan di lantai dua rumahnya yang kecil. Anak dan istrinya sudah mengungsi ke rumah orang tuanya di wilayah Kali Mati Bendungan Hilir, yang menurut kabar tak urung terkena banjir juga.
            Adek, sang tamu itu, dulu dikenalnya sewaktu masih menjadi tukang palak di wilayah Rawa Bebek Jakarta Utara. Waktu itu Syawal sering bolak-balik ke Rawa Bebek untuk membantu membuatkan rancangan penataan lingkungan pemukiman di bawah kolong tol. Wilayah yang padat memang, dan tidak layak huni juga sebetulnya. Tetapi gubernur waktu berjanji memberi tenggang waktu sekitar 2 tahun kepada penduduk untuk tetap bermukim di kolong tol sembari menanti saat mereka bisa menempati lokasi pemukiman yang baru. Syaratnya, mereka harus merapikan, merawat, dan menjaga lingkungan. Saat itulah Syawal berkenalan dengan Mbak Wartiyah, Mang Ucha, Pak Neon, Pak Kliwon, dan tentu saja : Adek. Dan pada satu peristiwa dikala gubernur dengan ‘berat hati’ tidak bisa lagi memenuhi janjinya kepada penduduk, yakni memberi tenggang waktu selama 2 tahun, sebaliknya demi kampanye pemilihan dirinya sebagai calon gubernur baru yang membutuhkan slogan keindahan kota untuk mengangkat citranya, maka pemukiman kolong tol harus menjadi sesaji-tumbal. Berhamburanlah mereka para penduduk pada suatu malam, menyelamatkan diri dari api yang cepat sekali melahap rumah-rumah triplek tanpa beton. Beberapa dari mereka ada yang melawan, termasuk Adek, yang membuahkan cacat pincang pada kakinya.
            Selepas peristiwa itu Syawal tidak lagi membantu penduduk kolong tol. Dia berkonsentrasi pada pekerjaan barunya : mengerjakan Mall mewah, renovasi rumah para presiden direktur perusahaan ternama, hotel, dan lain sebagainya. Beberapa proyek kecil juga dia kerjakan. Bukan untuk mencari untung tetapi memberi peluang kerja kepada seorang juru gambar yang tidak pernah mengenyam pendidikan formal, yaitu Adek. Ya, Adek sang preman Rawa Bebek diajarinya membuat gambar kerja. Dengan komputer? Oh, tentu tidak. Cukup bermodalkan kertas putih berukuran A3, pensil, drawing pen ukuran 0.3 dan o.6, spidol kecil dan besar, dan juga penggaris skala. Awalnya, Adek yang dipekerjakan di proyek sebagai office boy dan penjaga gudang, dimintanya juga membantu merevisi gambar kerja handsdrawing. Tidak membuat gambar baru. Cukup menebalkan garis-garis yang sudah direvisi sesuai titah Syawal. Tetapi lama kelamaan si mantan tukang palak itu mewarisi bakatnya dalam menarik garis, lengkap dengan teknik mengatur ketebalan dan menjaga kestabilan. Suatu bakat yang tidak pernah disadari oleh si pemilik tubuh itu sendiri. Melihat fenomena ini Syawal berinisiatif meningkatkan kemampuan si Mas Preman yang sudah mantan itu. Caranya, Adek dititipkan kepada Pak Tugas Waluyo, menjadi asisten supervisor. Dari Pak Tugas dia belajar membuat marking, menjidar, membuat kerangka, memasang backing dan penutup. Hasilnya, lambat namun pasti si mantan tukang palak bisa memahami tahap demi tahap konstruksi sederhana. Dengan kemampuan barunya itu dia mampu ‘menghidupkan’ gambar kerja, yang teknik menggambarnya sudah dikuasainya.
            Sampai suatu ketika, di suatu malam sepi kala tukang-tukang beristirahat, Adek menghadap Syawal dan mengabarkan bahwa sebuah biro konsultan kecil tetapi berskala international meminangnya. Katanya, Arsitek pemilik biro tersebut menyukai gambar yang dibuat oleh Adek. Kebenaran logika konstruksinya, tarikan garis tangannya yang mengesan, juga pengaturan notasi yang rapi mengingatkan si Arsitek waktu masih berkarya di Amerika. Ah, mendengar penjelasan Adek, Syawal jadi tersadar. Teknik gambar yang diajarkan kepada Adek adalah teknik yang diperolehnya dari seorang arsitek Amerika nun  7 tahun yang lalu, waktu Syawal masih bekerja sebagai arsitek yunior di sebuah konsultan ternama. Sebuah teknik yang menjadi ciri khas biro konsultan arsitektur terkenal di dunia : Helmuth Obata and Kassabaum. Syawal tersenyum. Dalam hatinya berpikir bahwa si mantan tukang palak ini, yang ditemukan di kekumuhan Rawa Bebek, mulai bergerak mendunia. Dia menguasai teknik menggambar yang hampir punah. Sebuah teknik jitu untuk diterapkan di lapangan terutama dalam keadaan mendesak dan tidak tersedia perangkat komputer. Dan si arsitek Amerika itu, ya ya, mereka memang jenis manusia yang tidak peduli dengan status pendidikan. Apapun pendidikan seseorang, jika dia mampu maka layak diberi kesempatan.
            Pagi-pagi benar Syawal kedatangan tamu; seorang teman bernama Adek. Dia jauh-jauh datang dari Tanjung Priok khusus menemuinya pagi itu. Dia hendak pamit, memasuki kehidupan barunya di Bali dengan posisi dan gaji yang lebih baik.

“Sudah mantep, Dek?” Syawal bertanya. Kakinya mengibas-ngibaskan air.
“Sudah, Mas. Terimakasih”. Lirih suaranya.
“Ya. Sama-sama. Salamku untuk Mr. Hayden”.

Hening. Mata Adek membasah. Akhirnya dia berucap lagi,

“Terimakasih sekali lagi, Mas. Aku ...”
“Sudah-sudah ... masa lalu jangan jadi beban. Lihat ke depan. Yang penting jangan lupa sholatmu. Jangan lupa juga sama adik-adikmu. Si Wanto, adikmu, masih jadi porter di Beos?”

            Ketika Adek melangkah keluar rumah, langit mulai tampak benderang. Syawal memandangi posturnya yang kurus namun tegap. Kakinya masih tetap pincang, tetapi berani bangkit dan berjalan. Syawal sadar dia tidak bisa memberikan banyak hal untuk orang macam Adek. Tapi pikirnya, manusia macam Adekpun adalah citra Tuhan. Adek memiliki kehidupannya, tubuh dan potensinya, dan Tuhannya yang setia mendukungnya. Tugas sesamanya, seperti Syawal sendiri, hanya memberi tempat untuk istirahat sejenak, mengingatkan potensi yang dimilikinya, dan selebihnya biarlah dia bangkit dan berjalan sendiri bersama Tuhannya, meskipun masih tertatih pincang.