Sunday, June 8, 2008

Ari

Aku berlari di bawah jalan tol dan mendadak berhenti ketika hendak menyeberang jalan berikutnya. Semua kendaraan beradu kencang dengan sorot lampu yang tajam. Seorang laki-laki yang berdiri di sebelah kiriku, sembari memegang gitar, memberanikan diri menyeberang-menembus aliran kendaraan. Ah, kuberanikan juga diriku mengikutinya.

“Harus nekat Mas,” katanya sembari tertawa setelah kami sampai di seberang. Aku hanya tertawa. Mau jawab apa? Aku tidak terlalu mengenalnya. Lagipula aku tidak bisa mendengar seluruh kalimatnya akibat deru kendaraan.

Metromini yang aku tunggu datang. Betul, nomornya 640, jurusan Pasar Minggu – Tanah Abang. Harus agak menajamkan mata sedikit untuk mengenalinya. Dalam keadaan gelap seperti ini sering nomor 640 tertukar dengan 604, dan sangat sial jika itu terjadi terlebih jika simpanan uang di kantong atau dompet hanya pas-pasan.

Aku mengambil tempat di sisi samping koridor bus karena kakiku yang panjang bisa sangat tersiksa jika duduk di bagian “dalam” dekat jendela. Sempit sekali. Kulihat laki-laki itu juga duduk di bangku yang sejajar dengan bangkuku.

“Kalau ngga cepat ngga bisa nyebrang, Mas”, katanya masih sembari tertawa.
“Ya. Untung ada Mas. Jadi saya bisa ikutan nyebrang”, kataku sambil mengulurkan selembar limaribuan ke tangan kondektur.
“Mau pulang Mas? Mulai jam berapa tadi?”, tanyaku lagi
“Jam enam. Ya, ini mau pulang.”
“Pulang ke?”
“Depok”.

Hening sejenak.
“Asli mana Mas?” dia bertanya lagi.
“Jogja”.
“Jogjanya?”
“Sleman. Mas?”
“Malang, Mas. Sering pulang dong?”
“Ngga juga. Kalau dihitung-hitung empat bulan sekali”.
“Ha-ha … aku malah sudah lama ngga pulang Mas”.
“Oya?”
“Ya. Sudah limabelas tahun. Ha-ha-ha...”

Akhirnya kami berkenalan juga. Namanya Ari. Dia bercerita bahwa dirinya pernah mengenyam pendidikan tinggi di FISIPOL Universitas Gajah Mada. Sayang tidak lama, hanya sampai semester tiga. Faktor ekonomi penyebabnya. Dirinya juga tampak baik dan ramah. Posturnya yang tinggi, kurus, tampan, dan bersih tidak menyiratkan sosok pengamen. Bicaranya lugas dan cepat.

Kami tidak sempat bicara banyak. Yah, paling-paling seputar pekerjaan kami masing-masing, itupun pada tataran yang umum. Kuceritakan juga pengalamanku di beberapa proyek, perjumpaanku dengan "orang-orang proyek" yang merintis dari nol hingga sukses.

Tidak lama kemudian turun di sebuah halte di depan kantor POLDA sembari mengucap salam dan mengatakan :"Kalau cari saya di sini Mas. Bilang aja Ari". Beberapa detik berikutnya hanya sosoknya yang kulihat dari jendela bis. Berlari kecil sambil menyapa beberapa pengamen kecil.

Bus kembali melaju kencang dan makin kencang. Berbelok di putaran Semanggi hanya dengan sedikit rem yang membuat badan penumpang terlempar ke sisi kanan. Gedung-gedung terlihat indah dan megah. Di antara teriakan kondektur yang makin gahar masih terngiang di telingaku perkataan Ari : "yang membedakan kita Mas, Mas punya status dan saya tidak". Ah Ari, aku tidak bisa jawab pernyataanmu. Tepatnya tidak berani, karena aku takut hanya akan menjadi hiburan belaka yang jauh dari kenyataan. Sedangkan kita semua tahu, terutama dia yang sudah menjalaninya, bahwa kerapkali hati kita mengatakan semua orang adalah sama tetapi kenyataan seringkali juga mengatakan sebaliknya. Hanya sedikit perasaan melintas, membayangkan ketika dirinya masih kuliah tentu mempunyai beribu angan dan cita-cita sepertiku.

Bus sampai halte Bendungan Hilir. Beragam orang bergegas keluar dan masuk. Bergantian, bertabrakan, membawa rasa lelah. Sebuah sedan cantik yang merasa terhalangi membunyikan klaksonnya keras-keras. Tidak ada tanggapan dari bus yang sudah busuk dengan penumpang kelelahan di dalamnya. Kondektur makin berteriak gahar di atas trotoir :"Abang! Abang! Sarinah!".