Wednesday, March 7, 2007

Kampung Alun-alun di Kotagede

KATA alun-alun berasal dari bahasa Belanda, aloon-aloon, yang berarti lapangan. Sangat kontras dengan ruang yang dimaknainya. Sedikit pun tidak ada lapangan pada kampung ini, selain deretan rumah berhadapan yang dipisahkan jalan selebar sekitar tiga meter.

Kampung ini merupakan bagian kecil dari wilayah Kotagede, sebuah kota tua di tenggara Yogyakarta. Lebih dari kota penghasil kerajinan perak, Kotagede menyimpan banyak misteri sejarah berdirinya Kerajaan Mataram. Seperti pola beberapa kampung di Kotagede yang mengingatkan kita pada ghetto, Kampung Alun-alun dilingkupi dinding (benteng) yang memisahkannya dari kampung lainnya. Hanya dua pintu gerbang di sisi timur dan barat yang menghubungkannya dengan dunia luar, dan gerbang kecil yang mempertemukannya dengan gang-gang sempit sunyi meditatif penghubung antarkampung.

Kampung Alun-alun berada di sisi selatan "pusat" keramaian, yaitu Pasar Kotagede melalui jalan utama Pasareyan. Tidak seperti penggalan beberapa wilayah di Kotagede lainnya, suasana ruang pada jalur pencapaian ini terasa lebih magis. Pepohonan tua yang rindang, reruntuhan dinding tebal berlumut yang memperlihatkan struktur bata pembentuknya, mengiringi perjalanan menuju tempat ini. Di situs sakral Kompleks Mesjid Agung Mataram terdapat dua kolam yaitu Sendang Seliran dan Sendang Kemuning, makam Panembahan Senopati, makam keluarga Kerajaan Yogyakarta dan Surakarta, memperkuat nilai magis dan menegaskan wilayah selatan adalah wilayah sakral.


***
MEMASUKI Kampung Alun-alun, terasa suasana hangat, akrab, dan bersih. Rumah-rumah tersebut bersusun berjajar arah timur-barat, saling berhadapan dengan ruang memanjang di tengah sebagai pemisah, yang juga berfungsi sebagai jalan umum. Skala bangunan terasa rendah dan akrab layaknya permukiman rakyat Jawa tradisional. Rasa akrab akan semakin terasa dengan mudahnya mata "menangkap" tritisan (atap pendek pelindung wajah bangunan) dan badan atap seolah begitu dekat, yang dibungkus genteng tanah warna terakota.
Beberapa bangunan masih menyimpan detail yang dalam pola pikir perancangannya sangat menghargai pertemuan antarelemen struktur dengan memberikan ornamen. Misalnya, tritisan yang menjadi penutup teras, disangga konsol kayu yaitu sistem struktur penyangga atap (yang menjadi perantara peyaluran gaya vertikal dari atap ke tiang), diukir dengan pola klasik Jawa yang jarang ditemui di rumah-rumah umumnya.

Kulit muka pada beberapa bangunan bersifat ambigu. Terdiri dari beberapa modul panel kayu fleksibel yang bisa dibongkar pasang. Suatu saat tampak tertutup masif yang hanya menyisakan sedikit lubang kecil sebagai jendela. Sebaliknya, kadang bersifat cair ketika semua modul panel kayu tersebut dibuka sehingga tampak ruang di baliknya yang bersifat semi-publik. Dalam konsep rumah Jawa, ruang ini biasa berfungsi sebagai ruang tamu atau menampung aktivitas yang sifatnya publik formal, di mana penghuni akan menunjukkan statusnya sebagai yang berkuasa. Masyarakat menyebutnya pendopo. Di sisi selatan, bangunan tidak selalu berfungsi sebagai rumah tinggal. Beberapa di antaranya adalah pelataran, ruang terbuka bersifat semi-publik dengan struktur atap berbentuk joglo. Ada yang masih asli, tetapi ada juga yang sudah dimodifikasi dengan gaya eklektik dan menyatu dengan bangunan.

Posisi lapangan ini tidak jauh dari Kampung Alun-alun. Secara logika, adanya bangunan pendopo bersifat publik di sisi selatan Kampung Alun-alun, menandakan lapangan tersebut pernah menjadi sesuatu yang penting yang menjadi fokus bagi penataan ruang keseluruhan di sekitarnya, sehingga jika ada bangunan di sekelilingnya mereka akan menempatkan area publik atau area depannya pada sisi selatan. Perlakuan ini tampaknya hendak memaknai wilayah kepemilikan masing-masing rumah tersebut. Di muka rumah yang satu kita merasakan sentuhan susunan batu kali berbentuk bujur sangkar berukuran 30X 30 cm. Di muka rumah lain terasa tatanan batu koral hitam atau semen plester abu-abu khas bangunan Kolonial, dan masih banyak lagi. Ketika terdengar bunyi dering telepon di rumah sisi selatan, dering itu disambut dengan munculnya orang dari rumah sisi utara berlari menuju rumah selatan menyeberangi jalur pemisah kampung. Seorang laki-laki menerangkan kepada kami, bahwa dulu setiap rumah berhadapan di dalam kampung ini mempunyai satu pemilik, dan penggalan jalan yang terbuka ini dapat dikatakan sebagai halaman tengah yang sebenarnya bersifat privat dan berfungsi sebagai penghubung antarbangunan. Ruas jalan ini menyatu dengan teras yang mempunyai ukuran beragam. Ada yang bisa menampung seperangkat kursi tamu dan menampung manusia cukup banyak, beratapkan kanopi cukup luas pula sehingga ruang yang dinaunginya terasa dingin dan sejuk. Beberapa lainnya lebih sederhana, hanya berbentuk pembatas samping badan jalan (buk) setinggi 40 cm dan beratapkan tritisan pendek.
Pada bagian muka bangunan dengan teras besar terdapat pintu ganda berukir pada daunnya, yang merupakan pintu masuk utama ke rumah induk. Seperti ornamen yang memberi makna lebih pada elemen struktur, ukiran pada pintu menunjukkan bangunan ini menyandang strata penting pemiliknya. Barangkali dulu merupakan rumah tinggal pembesar. Hal itu dipertegas dengan pemakaian atap joglo. Pada konsep rumah Jawa hanya bangunan pentinglah yang memakai atap joglo.

Sore hari, aktivitas beristirahat berganti menjadi aktivitas keluar yang lebih sibuk. Serombongan orang dari luar kampung melintas, beberapa sambil menuntun sepeda motor. Sebuah rumah yang juga berfungsi sebagai toko kerajinan perak di sisi timur mulai berkemas tutup. Sebaliknya, rumah yang berdekatan dengan pintu masuk kampung sebelah barat yang berfungsi sebagai biro jasa pemotretan tetap menjalankan aktivitasnya. Tampak bahwa kampung ini sering dijadikan jalur pintas bagi penduduk sekitarnya. Dan halaman tengah yang privat memang telah berubah menjadi jalan umum. Tidak heran jika beberapa penduduknya tanggap untuk menjadikan area komersial.

Terlepas dari ikatan sejarah yang mengiringinya, saat ini Kampung Alun-alun merupakan sosok yang mampu menjadi penyeimbang bagi perubahan budaya yang semakin global. Eksistensi ruang dan bangunan di dalamnya adalah museum yang menjadi wacana bagi perkembangan arsitektur. Di dalam kebisuan itulah terdapat kesadaran dan penghargaan yang tinggi terhadap hasil budaya masa lalu dan lingkungan. Dengan bertahannya eksistensi bangunan lama berikut kehidupan di dalamnya, saat ini ketika masyarakat dibingungkan dengan wacana arsitektur dengan simbol-simbol yang semakin global bahkan nyaris kehilangan identitas, Kampung Alun-alun muncul untuk menjelaskan pentingnya identitas yang berakar dari budaya sendiri. Sebuah budaya yang telah mengalami proses panjang pematangan yang bermuara pada keharmonisan antara manusia pengguna dan lingkungannya. Antara mikrokosmos dan makrokosmos. Sebuah produk arsitektur yang sarat dengan nilai kemanusiaan.


---
dimuat di Koran Kompas Minggu, 30 Juni 2002 - http://www.kompas.com/kompas-cetak/0206/30/iptek/kamp15.htm

No comments: