Tuesday, September 29, 2009

Sang Pembawa Pesan


Dulu orang-orang selalu memanggilku dengan sebutan Dik. Kependekan dari kata Adik. Karena aku sempat terlahir sebagai anak ragil atau bungsu.


Tahun 1978 aku pernah mempunyai seorang adik laki-laki yang sekarang terbaring berbungkus kain kafan bersama jasad Ibu, bertetangga dengan para sesepuh dan kerabat. Kelahirannya nyaris membuatku urung menjadi anak bungsu. Dan setelah peristiwa kematiannya tidak terbayangkan olehku akan mempunyai seorang adik lagi. Maka dalam tahun-tahun selanjutnya aku tetaplah anak bungsu.


Tak disangka, pada tahun 1992 lahirlah seorang laki-laki. Dialah adikku sekarang. Lahir dari rahim yang berbeda dengan kami, ketiga saudaranya.


Dia diberi nama Norman Mahardika. Kata Mahardika diambil karena hari lahirnya yang bertepatan dengan hari kemerdekaan Indonesia. Tetapi untuk “Norman”, kali ini Bapakku tidak lagi berfilosofi seperti ketika memberikan aku dan kedua kakakku nama. Kata “Norman” diambil secara praktis saja : waktu itu Bapak yang sangat menyukai cerita kepahlawanan sedang gandrung dengan Jenderal Norman Schwarzkopf, serigala padang gurun di pertempuran Teluk.

Banyak pertanyaan muncul di seputar kelahiran Norman. Seperti disebut di atas, dia lahir dari rahim yang berbeda sehingga mereka yang melihatnya menyangsikan nilai harmoni di antara kami, dan tentu saja ketulusan kami terhadapnya. Pertanyaan itu secara tidak langsung rasanya lebih ditujukan kepada kami kakak-kakaknya, terutama aku yang selalu nyaris bungsu.

Kehidupan terus bergulir. Bersama kedua kakakku aku terus bertumbuh. Melewati masa sebagai pelajar SMU, hidup sebagai mahasiswa arsitektur, sebagai pekerja di bidang industri arsitektur. Kami juga melewati masa-masa ketegangan pencarian jati diri. Menjadi berjarak dengan Bapak-Ibu. Kadang menentang mereka tetapi juga belajar memahami dan menerima kemanusiaan mereka dengan segala potensi dan kerapuhannya.

Sampai akhirnya bisa berpijak di atas kaki sendiri dan merefleksikan kembali perjalanan hidup, aku melihat tidak ada yang janggal dalam hubungan kami dengan Norman. Ketidakharmonisan hubungan seperti yang ditakutkan oleh beberapa orang dulu hanyalah pikiran yang serba terbelenggu kebiasaan berpikir negatif. Sebaliknya, kuingat bahwa kami banyak terlibat peristiwa yang membuat saling menemani. Menemani dia bermain dan mengenal alam, bercerita tentang ragam keilmuan. Ketika dia beranjak dewasa kami berbagi tentang kehidupan yang lebih luas. Bahkan, yang lebih mengesankanku, dalam sebuah kesempatan aku diperkenankan menjadi wali dalam sakramen Krisma baginya. Menemaninya dalam sebuah peristiwa maha penting dalam kehidupannya sebagai seorang Katolik. Masih kuingat dan kusimpan dalam hati ketika tanganku memegang pundaknya dan di saat yang sama Monseigneur Ignatius Suharyo menumpangkan tangan di kepala Norman. “Terimalah Roh Kudus”, kata Sang Uskup, diiringi alunan lembut bait Veni Creator Spiritus yang berkumandang di sebuah gereja di lingkungan Biara Missionarium a Sacra Familia.

Saat aku menulis cerita ini Norman adalah seorang pemuda berumur 18 tahun. Menanti babak berikutnya sebagai seorang mahasiswa. Kulihat dia begitu gelisah menanti peristiwa-peristiwa yang akan terjadi nanti di depan. Sebagai orang yang pernah melewati masa-masanya aku bisa merasakan ketakutan, keraguan, semangat, dan kegembiraannya.

Dia juga cerdas dan sangat sensitif. Seorang pemaaf yang sejak kecil harus belajar menerima adanya dua Ibu. Dia sangat mencintai Ibu kandungnya dan Ibuku yang selalu kompak untuk urusan tarik suara ketika dirinya masih bergabung dengan kelompok paduan suara anak-anak.

Dia juga sangat bangga dengan sekolahnya – yang semuanya berisikan murid laki-laki – terutama dengan praktek ajaran mencari tuhan dalam kehidupan yang dijalani melalui penghayatan dalam pekerjaan sebagai buruh tambang kapur di Wonogiri, sebagai penjual bensin eceran, atau pencuci gerbong kereta api.

Tetapi bagiku, di antara rasa khawatir dan semangatnya dalam menapak masa depan, tersirat rasa percaya yang besar akan dirinya. Percaya bahwa kehadirannya di dunia bukan sekedar buah dari permainan asmara Kama-Ratih yang akhirnya lahir dalam sebuah keluarga yang rapuh. Pelan-pelan disingkapkan bagiku tentang peran seorang anak yang selama 18 tahun kami temani, yang sejak kecil sudah merasakan pahit-getir kehidupan. Bagiku dia seperti seorang malaikat yang harus hadir di tengah kerapuhan sebuah keluarga. Dia hadir untuk hidup berdua dengan Bapak. Menemani beliau yang saat ini kesepian dan jatuh di hari tuanya. Dia menggantikan peran kami - kakak-kakaknya yang harus pergi jauh.

Dia juga menjadi rahim bagi kami. Menjadi tanda agar selalu setia untuk menjalani kehidupan dengan rendah hati dan tidak keduniawian. Menjadi tanda bahwa hidup tidak melulu terarah bagi diri sendiri. Bagiku kehadiran Norman menjadi sebentuk alat yang melatih hati agar tetap dalam kondisi hening, agar mampu melihat apa yang bisa kulakukan untuk mempersiapkan jalannya. Barangkali, kehadirannya dalam keluarga kami yang rapuh hanya sebagai persiapan untuk memasuki tugas-tugas yang diembankan kepadanya.

Friday, September 18, 2009

Mata Satya

Satya temanku. Dia teman sejak aku kecil, saat kami hidup sebagai anak kampung Prawirodirjan nun 25 tahun yang lalu. Dulu perawakannya kecil. Kami sering main perang-perangan bersama di kuburan Belanda, berenang di bendungan kali Code di wilayah Mergangsan atau kali Gajah Wong di Muja-muju. Kami juga sering mengunjungi museum pesawat di Maguwo sembari mimpi menjadi penerbang, atau mencuri-curi waktu naik kereta barang dari stasiun Lempuyangan ke stasiun Tugu.

Sampai studi di bangku universitas kami masih tetap awet berteman baik, bahkan sampai sekarang, meskipun tidak secara rutin bertemu dan bersapa. Tentu tidak lain karena kesibukan masing-masing. Aku sibuk dengan peranku sebagai arsitek dan dia sibuk sebagai seorang penulis lepas. Tetapi, dibanding aku yang arsitek, kuakui kemampuannya membuat sketsa tangan jauh lebih baik dariku.

Sudah lama kami tidak bertemu. Dan kemarin malam di dalam kamarku yang sepi menjelang Idul Fitri – tidak kusangka – aku dikejutkan dengan sms darinya. Ingin bertemu denganku katanya, mencuri waktu di sela kedatangannya di Jakarta yang hanya beberapa hari saja. Maka jadilah kami bertemu di sebuah gerai kopi di Jakarta Pusat.

Aku tertawa dan terpana waktu melihat dirinya masuk ke gerai kopi. Satya makin subur dan gemuk. Berbeda dengan 5 tahun yang lalu. Tapi satu yang rasanya tetap, selalu setia dengan blue-jeans dan kaos polos lengan pendek. Sangat khas dirinya.

Dia masih setia juga dengan sketch-book. Bedanya dengan dulu dimana yang dibawa adalah sketch-book tebal dan besar, kali ini tampak lebih praktis, yaitu setengah folio. Cara menempatkan pena juga berubah : digenggam dalam tangan saja. Tidak lagi digantung di leher kaos yang sering meninggalkan noda tinta di dada.

Ditemani hot chocolate dan black coffee kesukannya kami berbincang, tetapi tidak selalu dipenuhi dengan pembicaraan yang panjang lebar serba kangen-kangenan. Kadang kami saling memandang saja sembari tersenyum. Ya, itu bahasa yang kami miliki sebagai sahabat. Dia memahamiku dengan segala tingkah-polahku. Begitupun aku memahami sifat pendiamnya di balik keriaanya. Banyak yang tidak tahu bahwa sebetulnya dia pendiam. Sangat pendiam. Hanyalah karena kebaikan hatinya yang selalu ingin membuat orang lain merasa nyaman maka dirinya bersikap luwes, dan kadang penuh banyolan yang membuat orang tertawa. Tapi sering dalam situasi tertentu aku melihatnya dalam ujud aslinya. Diam, merenung-hening. Sifat yang mungkin hanya diketahui oleh sedikit orang saja, dan kutebak : kekasihnyapun tidak tahu.

Sebagai sahabat kami merasa senang dengan sekedar ditemani. Misalnya malam itu sembari membuat sketsa dia berbicara sekelumit kalimat namun mengandung makna yang dalam. Kadang wajahnya tidak menatapku sama sekali melainkan sketch-book yang digores-goresnya dengan tinta seakan-akan lembaran kertas itu adalah diriku.

“Belum berniat menikah juga?”,tanyaku
“Belum. Kamu sendiri? Entahlah. Sering aku mencari-cari apa yang salah dalam diriku. Tapi semakin dicari tidak juga ketemu. Yang ada aku malah dihadapkan pada banyak peristiwa yang membuatku bingung untuk memilih. Tapi mungkin itu juga bias dari sifatku ya … kamu kan tahu aku peragu. Tapi ….”
“Tapi apa?”
“Hmm … kadang aku tidak terlalu merasa bersalah dengan keraguanku. Sering itu seperti sebuah insting yang sangat kuat dan akhirnya tetap berbuah pada kepastian yang baik yang justru akan menjadi tidak baik kalau aku tidak mengikuti keraguanku”.

Aku tertawa. Kubiarkan saja dirinya dengan pola pikirnya yang aneh untuk ukuran dunia modern. Tapi kuakui, Satya yang peragu dan hati-hati, Satya yang sederhana dan memiliki sifat generous sudah berulangkali melakukan kebaikan untuk orang lain dibanding dengan diriku. Tidak hanya kebaikan, bahkan dengan mataku sendiri kulihat Satya dengan mata hatinya menegakkan harkat hidup beberapa orang, yang bahkan jarang bisa dilakukan oleh para pemimpin modern saat ini. Beberapa orang besar yang kukenal melihat kemampuan Satya ini dan mereka ingin merengkuh dia. Tapi Satya tetap sosok yang kukenal. Dia lebih ingin tenggelam dan tidak tampak.

“Aku bertemu dengan mataku”, katanya lagi. Wajahnya semakin lekat menatap sketch-book dan jemarinya semakin menekan pena yang berbuah pada goresan-goresan tegas.
“Mata? Mata apa? Aku ngga paham?”
“Ingat 15 tahun yang lalu?” tanyanya mengingatkanku.
Ah, akhirnya kuingat. Pikiranku mundur ke masa lalu. Mungkin hanya beberapa detik tetapi sepertinya lama sekali.

Yang disebut mata itu adalah kekasihnya. Seorang perempuan Cina. Perempuan cantik yang sangat dicintai Satya, menurutnya, seumur hidupnya. Perempuan yang sangat fasih berbahasa inggris dan penuh ambisi untuk maju di tengah kemampuan finansial keluarganya yang tidak mendukung. Aku sangat tahu kisah percintaan mereka yang penuh perjuangan dan tantangan. Di mataku kehidupan mereka berdua lebih dari soal percintaan. Sebagai arsitek aku selalu mengibaratkan hubungan mereka sebagai proyek membangun menara. Ada sebuah kerjasama yang baik, tapi ada kalanya menara belum juga selesai tetapi mereka sudah berada di ketinggian. Di situlah mereka bisa memandang alam sekitar yang cantik yang tidak bisa dilihat ketika berada di bawah.

Hati manusia yang tertawan oleh keindahan yang lebih luas mengundang hasrat untuk terbang. Lepas bebas agar bisa terbang lebih jauh dan memandang alam di kejauhan lebih dekat. Dan itulah yang terjadi, setidaknya apa yang kutangkap dari pernyataan Satya menanggapi perpisahan dengan kekasihnya.

Mendengar berita itu aku tidak banyak komentar. Aku hanya menerima saja apa yang Satya ungkapkan kepadaku : bahwa dia, meskipun pedih, menerima dengan tulus kepergian kekasihnya – perempuan yang selalu diibaratkan mata baginya - demi kasihnya kepada perempuan itu. “Asal dia bahagia. Aku bahagia kalau dia bahagia”, katanya lirih.

Kumandang azan dari mesjid agung Kotagede mengiringi kalimatnya. Di kejauhan aku melihat orang-orang datang untuk sembahyang. Langit mulai gelap. Dan Satya, kulihat dia duduk bersila. Diam dan hening larut bersama suara azan. Dalam imajinasiku aku melihat seorang Samurai tegak diam menantang musuh yang akan merebut kekasihnya. Dia berdiri menghadang lawan, berkata kepada kekasihnya : lari! Mata hatiku melihat Satya menghadang lawan, tapi aku tidak melihat siapa lawannya. Orang lainkah … atau dirinya sendiri?

***

Harum aroma kopi menyadarkanku. Satya masih duduk di hadapanku tetapi matanya menoleh ke belakang. Melihat orang-orang bersorak, menonton pertandingan sepak bola melalui siaran televisi.

“Lantas, kamu melihatnya lagi? Dimana? Apa kabar dia?”. Aku mengawali pembicaraan setelah Satya berbalik lagi menghadapku.
“Umm … kemarin kami bertemu. Aku masih ngga habis pikir bagaimana dia bisa menemukan alamatku. Kau’kan tahu, setelah dia menikah aku memutuskan menyudahi kontak. Samasekali.”

“Dia dalam kondisi baik,” katanya lagi. “Hebat. Dia betul-betul mataku. Dia sudah berkeliling dan melihat kota-kota dunia. Suatu hal yang selalu kuimpikan tapi belum terlaksana. Tetapi tidak seperti orang lain yang sekedar mengatakan “aku pernah di sini”, dia bisa bercerita tentang kehidupan setiap kota dan negara yang disinggahinya lengkap dengan nilai-nilainya. Begitu hidup, sehingga mendengar ceritanya aku seperti menguyah makanan yang aku suka dan menikmatinya”.

Kubiarkan Satya bercerita seperti anak kecil yang gembira karena menemukan dunia baru. Biar saja. Kulihat dia sedang jatuh cinta. Kupahami itu dari penjelasannya tentang arti ‘mata’ yang baginya lebih dari sekedar pernah melihat kota-kota dunia. Baginya, perempuan mantan kekasihnya itu, masih seperti dulu mampu menumbuhkan semangat hidup Satya.

“Lantas, kenapa dia kembali mencarimu? Kamu bilang dia terkesan membenci dan menjauhimu waktu kalian putus dulu.”

Diam. Tidak ada jawaban. Dia seperti disadarkan oleh sesuatu. Kemudian dia berkata lagi. Lirih :”suaminya pasti hebat. Tentu dia seorang yang bisa memberikan dunia. Tidak seperti aku”.

“Ya, tidak seperti kamu. Orang gila yang sukanya main petak-umpet. Serba tidak mau kelihatan dan suka menghilang. Nah, kulihat dari nomor sms yang kamu kirim tadi … nomormu ganti lagi ya? Dasar sok misterius … incognito”.

Kami tertawa. Bebarengan dengan sorak-sorai goal penonton sepak bola.