Wednesday, March 7, 2007

Kampung Alun-alun di Kotagede

KATA alun-alun berasal dari bahasa Belanda, aloon-aloon, yang berarti lapangan. Sangat kontras dengan ruang yang dimaknainya. Sedikit pun tidak ada lapangan pada kampung ini, selain deretan rumah berhadapan yang dipisahkan jalan selebar sekitar tiga meter.

Kampung ini merupakan bagian kecil dari wilayah Kotagede, sebuah kota tua di tenggara Yogyakarta. Lebih dari kota penghasil kerajinan perak, Kotagede menyimpan banyak misteri sejarah berdirinya Kerajaan Mataram. Seperti pola beberapa kampung di Kotagede yang mengingatkan kita pada ghetto, Kampung Alun-alun dilingkupi dinding (benteng) yang memisahkannya dari kampung lainnya. Hanya dua pintu gerbang di sisi timur dan barat yang menghubungkannya dengan dunia luar, dan gerbang kecil yang mempertemukannya dengan gang-gang sempit sunyi meditatif penghubung antarkampung.

Kampung Alun-alun berada di sisi selatan "pusat" keramaian, yaitu Pasar Kotagede melalui jalan utama Pasareyan. Tidak seperti penggalan beberapa wilayah di Kotagede lainnya, suasana ruang pada jalur pencapaian ini terasa lebih magis. Pepohonan tua yang rindang, reruntuhan dinding tebal berlumut yang memperlihatkan struktur bata pembentuknya, mengiringi perjalanan menuju tempat ini. Di situs sakral Kompleks Mesjid Agung Mataram terdapat dua kolam yaitu Sendang Seliran dan Sendang Kemuning, makam Panembahan Senopati, makam keluarga Kerajaan Yogyakarta dan Surakarta, memperkuat nilai magis dan menegaskan wilayah selatan adalah wilayah sakral.


***
MEMASUKI Kampung Alun-alun, terasa suasana hangat, akrab, dan bersih. Rumah-rumah tersebut bersusun berjajar arah timur-barat, saling berhadapan dengan ruang memanjang di tengah sebagai pemisah, yang juga berfungsi sebagai jalan umum. Skala bangunan terasa rendah dan akrab layaknya permukiman rakyat Jawa tradisional. Rasa akrab akan semakin terasa dengan mudahnya mata "menangkap" tritisan (atap pendek pelindung wajah bangunan) dan badan atap seolah begitu dekat, yang dibungkus genteng tanah warna terakota.
Beberapa bangunan masih menyimpan detail yang dalam pola pikir perancangannya sangat menghargai pertemuan antarelemen struktur dengan memberikan ornamen. Misalnya, tritisan yang menjadi penutup teras, disangga konsol kayu yaitu sistem struktur penyangga atap (yang menjadi perantara peyaluran gaya vertikal dari atap ke tiang), diukir dengan pola klasik Jawa yang jarang ditemui di rumah-rumah umumnya.

Kulit muka pada beberapa bangunan bersifat ambigu. Terdiri dari beberapa modul panel kayu fleksibel yang bisa dibongkar pasang. Suatu saat tampak tertutup masif yang hanya menyisakan sedikit lubang kecil sebagai jendela. Sebaliknya, kadang bersifat cair ketika semua modul panel kayu tersebut dibuka sehingga tampak ruang di baliknya yang bersifat semi-publik. Dalam konsep rumah Jawa, ruang ini biasa berfungsi sebagai ruang tamu atau menampung aktivitas yang sifatnya publik formal, di mana penghuni akan menunjukkan statusnya sebagai yang berkuasa. Masyarakat menyebutnya pendopo. Di sisi selatan, bangunan tidak selalu berfungsi sebagai rumah tinggal. Beberapa di antaranya adalah pelataran, ruang terbuka bersifat semi-publik dengan struktur atap berbentuk joglo. Ada yang masih asli, tetapi ada juga yang sudah dimodifikasi dengan gaya eklektik dan menyatu dengan bangunan.

Posisi lapangan ini tidak jauh dari Kampung Alun-alun. Secara logika, adanya bangunan pendopo bersifat publik di sisi selatan Kampung Alun-alun, menandakan lapangan tersebut pernah menjadi sesuatu yang penting yang menjadi fokus bagi penataan ruang keseluruhan di sekitarnya, sehingga jika ada bangunan di sekelilingnya mereka akan menempatkan area publik atau area depannya pada sisi selatan. Perlakuan ini tampaknya hendak memaknai wilayah kepemilikan masing-masing rumah tersebut. Di muka rumah yang satu kita merasakan sentuhan susunan batu kali berbentuk bujur sangkar berukuran 30X 30 cm. Di muka rumah lain terasa tatanan batu koral hitam atau semen plester abu-abu khas bangunan Kolonial, dan masih banyak lagi. Ketika terdengar bunyi dering telepon di rumah sisi selatan, dering itu disambut dengan munculnya orang dari rumah sisi utara berlari menuju rumah selatan menyeberangi jalur pemisah kampung. Seorang laki-laki menerangkan kepada kami, bahwa dulu setiap rumah berhadapan di dalam kampung ini mempunyai satu pemilik, dan penggalan jalan yang terbuka ini dapat dikatakan sebagai halaman tengah yang sebenarnya bersifat privat dan berfungsi sebagai penghubung antarbangunan. Ruas jalan ini menyatu dengan teras yang mempunyai ukuran beragam. Ada yang bisa menampung seperangkat kursi tamu dan menampung manusia cukup banyak, beratapkan kanopi cukup luas pula sehingga ruang yang dinaunginya terasa dingin dan sejuk. Beberapa lainnya lebih sederhana, hanya berbentuk pembatas samping badan jalan (buk) setinggi 40 cm dan beratapkan tritisan pendek.
Pada bagian muka bangunan dengan teras besar terdapat pintu ganda berukir pada daunnya, yang merupakan pintu masuk utama ke rumah induk. Seperti ornamen yang memberi makna lebih pada elemen struktur, ukiran pada pintu menunjukkan bangunan ini menyandang strata penting pemiliknya. Barangkali dulu merupakan rumah tinggal pembesar. Hal itu dipertegas dengan pemakaian atap joglo. Pada konsep rumah Jawa hanya bangunan pentinglah yang memakai atap joglo.

Sore hari, aktivitas beristirahat berganti menjadi aktivitas keluar yang lebih sibuk. Serombongan orang dari luar kampung melintas, beberapa sambil menuntun sepeda motor. Sebuah rumah yang juga berfungsi sebagai toko kerajinan perak di sisi timur mulai berkemas tutup. Sebaliknya, rumah yang berdekatan dengan pintu masuk kampung sebelah barat yang berfungsi sebagai biro jasa pemotretan tetap menjalankan aktivitasnya. Tampak bahwa kampung ini sering dijadikan jalur pintas bagi penduduk sekitarnya. Dan halaman tengah yang privat memang telah berubah menjadi jalan umum. Tidak heran jika beberapa penduduknya tanggap untuk menjadikan area komersial.

Terlepas dari ikatan sejarah yang mengiringinya, saat ini Kampung Alun-alun merupakan sosok yang mampu menjadi penyeimbang bagi perubahan budaya yang semakin global. Eksistensi ruang dan bangunan di dalamnya adalah museum yang menjadi wacana bagi perkembangan arsitektur. Di dalam kebisuan itulah terdapat kesadaran dan penghargaan yang tinggi terhadap hasil budaya masa lalu dan lingkungan. Dengan bertahannya eksistensi bangunan lama berikut kehidupan di dalamnya, saat ini ketika masyarakat dibingungkan dengan wacana arsitektur dengan simbol-simbol yang semakin global bahkan nyaris kehilangan identitas, Kampung Alun-alun muncul untuk menjelaskan pentingnya identitas yang berakar dari budaya sendiri. Sebuah budaya yang telah mengalami proses panjang pematangan yang bermuara pada keharmonisan antara manusia pengguna dan lingkungannya. Antara mikrokosmos dan makrokosmos. Sebuah produk arsitektur yang sarat dengan nilai kemanusiaan.


---
dimuat di Koran Kompas Minggu, 30 Juni 2002 - http://www.kompas.com/kompas-cetak/0206/30/iptek/kamp15.htm

Paham Modern dan Arsitektur Indonesia

KALAU saat ini membaca literatur mengenai perancangan arsitektur di Indonesia dan beberapa bidang perancangan lainnya akan sering ditemui dua kata ini : klasik dan modern. Dua kata itu begitu sering muncul, seakan sudah mewakili nilai-nilai arsitektur yang ada saat ini. Khususnya tentang paham modern dalam arsitektur. Nilai ini begitu diagungkan oleh mereka yang menyakininya dan dianggap sebagai tolok ukur lifestyle dan kreatifitas. Berbekal keyakinan tersebut mereka melontarkan kritik terhadap nilai yang dianggap berseberangan, yaitu klasik, tradisional, atau berbagai aliran yang bagi mereka tidak mengikuti jaman. Seperti kita tahu, modernisme lahir dari situasi yang penuh keprihatinan dan keterpurukan akibat perang Dunia I dan II di Eropa. Hancurnya kota-kota dan rusaknya sistem perekonomian membuat masyarakat mengubah pandangannya dalam mempertahankan dan membangun kembali tatanan kehidupan. Kata-kata seperti simple, efisiensi, fungsional, fleksibilitas, anti-ornamen dipahami sebagai konsep dalam berarsitektur yang ‘harus’ ditaati para arsitek. Bentuk dan estetika hanyalah akibat yang diolah berdasarkan kemampuan material. Bukan yang bersifat tempelan atau kosmetik. Dengan demikian terbaca bahwa apa yang menjadi dasar pemikiran mereka adalah sistem, bukan estetika, yang diungkapkan melalui teknologi bahan dan konstruksi, mekanikal-elektrikal, ukuran, fungsi, sekuens ruang, furniture, dan beragam lainnya. Dengan instrumen tersebut arsitektur dijaga agar tetap menjalankan perannya sebagai wadah aktifitas dalam konteks hemat biaya sesuai dengan tuntutan jaman saat itu. Modernisme juga sering dikaitkan dengan Jepang. Bangsa ini pernah mengalami keterpurukan yang sama dengan Eropa. Dampaknya adalah apa yang kita lihat sekarang yaitu teknologi yang sangat maju, etos kerja dan tingkat kompetisi yang tinggi, mandiri dan percaya diri, efisien dalam memanfaatkan waktu dan tempat. Pada dekade 90-an dunia arsitektur mengenal nama seperti Tadao Ando, Kazuyo Sejima, Kengo Kuma, dan beberapa arsitek modern Jepang lainnya sejajar dengan nama-nama dari benua lain yang muncul lebih dahulu, seperti Mies Van De Rohe dan Le Corbusier. Di Indonesia para arsitek tersebut mempunyai tempat di hati praktisi dan pemerhati arsitektur.

Karya-karya mereka yang sering disebut berjiwa Zen, hening, dingin, puitis mengilhami banyak arsitek modernis. Karya-karya yang mencerminkan budaya disiplin tinggi dan presisi. Dengan karya-karyanya tersebut mereka dianggap mewakili keberadaan Jepang di dunia dalam bidang rancang-bangun yang oleh para kritikus sering disebut bergaya modern-minimalis. Berabad-abad yang lalu, jauh sebelum Jepang tumbuh menjadi modern seperti sekarang spirit Zen sudah mengakar di kehidupan mereka dalam lingkungan yang tumbuh secara tradisional. Mereka tinggal dalam naungan bangunan-bangunan berukir indah dengan beragam tatacara kehidupan. Jika dilihat lebih dalam spirit Zen ini (yang dikaitkan dengan karakter modern seperti yang muncul pada buah karya arsitek Tadao Ando dan kawan-kawan) sejatinya tidak hadir melalui rupa bentuk tetapi lebih kepada sistem kehidupan spiritual yang menjaga keseimbangan tatanan kehidupan terhadap sesama dan lingkungan yang lebih besar. Begitu juga dengan keharusan beradaptasi dengan kondisi alam yang cukup keras. Masyarakat Jepang sudah mempunyai bibit tersebut selama berabad-abad yang semakin tumbuh dengan adanya peristiwa pada akhir perang dunia II. Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa modernisme tidak selalu identik dengan sesuatu yang simple secara visual, tetapi lagi-lagi harus dipahami sebagai sebuah sistem. Hal ini juga ditunjukkan dengan keragaman bahasa dan gaya pada arsitektur modern, baik di Jepang maupun di negara Barat. Setelah masa krisis berhasil dilalui terjadi pergeseran pemahaman tentang konsep modern. Kondisi ekonomi yang membaik menumbuhkan kembali apresiasi masyarakat akan arsitektur yang sebelumnya sempat hilang. Modernitas tidak lagi dianggap sebagai nilai yang paling benar. Sebaliknya apresiasi terhadap yang irasional yang diungkapkan melalui estetika, unsur dekoratif dan ornamental yang membangkitkan kenangan dan sejarah juga dianggap perlu. Tetapi di dalam pergeseran tersebut tetap ada yang tertinggal dari semangat modern, misalnya kesederhanaan, efisiensi, dan ketepatan yang justru semakin eksis dengan didukung teknologi maju. Dasar-dasar semangat modernisme tetap terjaga dan mengakar dalam kehidupan.

Kembali ke dunia arsitektur di Indonesia.
Dalam diskusi-diskusi yang terjadi baik di kalangan masyarakat awam maupun praktisi arsitektur, pengucapan kata modern lebih sering terjadi pada lingkup pemahaman estetika. Para arsitek modernis juga sering ‘terjebak’ dalam pemahaman ini. Membuat dan menjelaskan ide-ide modernitas tanpa diikuti dengan semangat yang sesungguhnya. Bagaimana tidak? Karena sejujurnya masyarakat Indonesia belum pernah merasakan kehancuran seperti yang dialami masyarakat Eropa dan Jepang. Sebuah peristiwa yang membangkitkan pola pikir rasional dan sistematis yang menempatkan kebutuhan sebagai nilai utama dan bukan keinginan. Salahsatu pendekatan yang dapat digunakan untuk memahami pemikiran modern dalam konteks kondisi Republik ini adalah dengan mengambil nilai dasar pemikirannya yaitu kebutuhan, yang begitu erat hubungannya dengan masyarakat marjinal, yaitu mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan. Dalam merekalah banyak kebutuhan mendasar yang harus dipecahkan termasuk melalui media arsitektur, ialah mencukupi hunian murah pada lahan yang terbatas. Dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Ikatan Arsitek Indonesia dua tahun yang lalu, arsitek Han Awal menjelaskan bahwa dalam perkembangan pasca-modern begitu banyak arsitek muncul dengan beragam bahasa masing-masing. Tetapi, di dalam keberagaman tersebut tetap ada sebuah benang merah yang menyatukan yaitu paham modernisme yang awalnya disampaikan oleh para pengajar di Bauhaus kepada para mahasiswanya menular sampai kepada para arsitek generasi berikutnya baik di Jerman sendiri maupun di beberapa negara lainnya, bahkan di negara yang belum banyak terkena arus modernisasi sekalipun. Para arsitek generasi baru tersebut tentu lahir dalam situasi yang berbeda. Yang terlahir di negara modernpun merasakan nilai-nilai tersebut sebagai turunan kesekian dari nilai modern yang sesungguhnya. Modernisme diadopsi sesuai dengan kondisi kultur masing-masing, sehingga muncul gejala-gejala baru. Sebagai contoh adalah Art-Deco yang muncul di era Rationalism pada tahun 1920-an. Di Indonesia dikenal sebagai langgam Kolonial karena kehadirannya berkaitan dengan masa-masa kolonialisme. Beberapa bahkan menyebut klasik karena jelas sekali penggunaan kaidah-kaidah klasik dalam pengaturan komposisi dan skala bangunan. Semua gejala tersebut meyakinkan bahwa paham modern ‘hanya’ sebuah konsep. Sebuah solusi bagi permasalahan yang dipecahkan secara efisien dan cerdik. Ketika para arsitek meletakkan asas-asas tersebut ke dalam nilai-nilai lokal akan terjadi sebuah bentuk baru. Modernitas tidak lagi dipahami secara murni, tetapi lebih kepada perannya sebagai ‘penyegar’, sehingga muncul berbagai langgam seperti modern-classic, modern-ethnic, neo-modern, dan beberapa langgam lainnya. Itulah yang terjadi di dunia, dan tumbuh subur terutama di negara yang belum memiliki budaya modern dalam arti sesungguhnya, seperti di Indonesia misalnya. Setiap bangsa mempunyai keunikan budaya dengan permasalahannya. Sudah selayaknya jika arsitektur tidak sekedar dijadikan ajang perdebatan paham terlebih pada level estetika. Alangkah lebih baik energi yang ada dipakai untuk mengembangkan keunikan nilai-nilai lokal dan mengolah sensitifitas terhadap kebutuhan masyarakat saat ini, sehingga arsitektur lebih mempunyai peran bagi kota bagi dunia.
---

Fungsi pada Rumah Tinggal

FUNGSI. Kata ini sangat erat dengan pandangan modern yang lahir di Eropa akibat perang dunia I dan II. Hancurnya kota, hunian, fasilitas umum, dan perekonomian membuat masyarakat Eropa harus berhitung secara cermat dalam membangunnya kembali. Fungsi menjadi salahsatu dasar utama dalam perancangan.

Di dalam dunia akademik di Indonesia pada akhir 1980-an, functionalism sering menjadi bahan ejekan karena dianggap mematikan kreatifitas. Kritik terhadap paham ini adalah dinilai tidak memberi ruang gerak bagi sisi lain kehidupan seperti identitas budaya untuk diterjemahkan dalam arsitektur. Produk yang dihasilkan berupa ruang terkotak-kotak dengan bentuk yang terjadi akibat susunan ruang yang diatur seperlunya. Di Indonesia kesalahpahaman akan functionalism terjadi akibat kurangnya pemahaman masyarakat akan nilai intelektual pada arsitektur. Bagi kebanyakan orang arsitektur dipandang sebagai produk teknis-konstruktif sarat dengan perhitungan matematis. Dan fungsi tidak dipandang dari sudut lain kecuali sekedar mewadahi kebutuhan dasar seperti tidur, makan, berkumpul, dan lain-lain. Hanya beberapa saja yang mengerti bahwa dibalik beban konstruktif yang disandang arsitektur mengemban nilai humaniora yang besar dimana setiap kebutuhan harus ditelaah lebih dalam dari segala sisi kehidupan yang dimiliki pengguna. Booming real estate turut memperkuat anggapan keliru tersebut. Banyak rumah dibangun sebagai komoditas bisnis dengan modul dan program ruang standar, juga estetika bersifat kosmetik sekedar tampil menawan. Hal itu dilakukan tentu dengan tujuan mencari keuntungan. Ironisnya, cara tersebut menjadi acuan bagi masyarakat dalam memandang sebuah rumah tinggal. Fungsi yang sebenarnya menjadi dasar pemikiran dalam sebuah proses perancangan menjadi rendah kedudukannya.

Tetapi benarkah fungsi tidak memberi ruang gerak kepada kreatifitas? Rasanya tidak. Lihatlah beberapa pemikiran arsitek seperti Alvar Aalto misalnya yang sangat memikirkan secara matang fungsi dan program ruang pada karyanya. Bahkan, dalam sebuah pengantar untuk beberapa karyanya yang dipamerkan di Museum Nasional Jakarta akhir-akhir ini disebutkan bahwa jika kita termasuk orang yang menghargai fungsi akan mudah menyerap pemikiran pada karya-karya arsitek Finlandia tersebut.

Tidak berhenti di situ. Keindahan alam Finlandia pada proyek Villa Mairea misalnya, disikapi sebagai unsur positif untuk memperkaya fungsi yang ada sehingga muncul penataan ruang yang tidak sekedar terkotak tetapi mempunyai dialog dengan alam dengan alur dan suasana ruang yang kaya.

Seperti layaknya bangsa Eropa yang terbentuk atas perkembangan budaya yang intens sejak ribuan tahun yang lalu Alto memiliki semangat craftmanship. Baginya estetika dan detail harus dimaknai secara mendalam dan diolah dengan serius. Hal tersebut tercermin dari caranya mengolah elemen struktur, detail tangga, pintu, dinding, dan lainnya secara artistic dan spesifik.

Dengan cara yang tidak jauh berbeda arsitek Eko Prawoto pada proyek rumah tinggal bagi pasangan seniman tari di Yogyakarta ‘mempertanyakan kembali’ makna ruang tamu yang dalam pandangan masyarakat umum selama ini selalu berada di bagian depan rumah di antara beberapa ruang seperti ruang tidur utama dan ruang keluarga. Ruang tamu dirancang sebagai sesuatu yang luwes mudah berganti peran menjadi aula untuk menari atau tempat berkumpul dan berdiskusi. Suasananyapun berkesan informal. Sebagian dilingkupi dinding masif namun masih menyisakan celah sehingga memungkinkan kontak visual dan suara dengan lingkungan luar. Ruang tidur bahkan tidak terdapat di lantai dasar. Semua ruang yang bersifat pribadi di tempatkan di lantai atas yang dihubungkan dengan sebuah koridor menghadap lingkungan pedesaan di sekelilingnya.

Contoh di atas menjelaskan bahwa fungsi bukan sebuah benda mati. Dia adalah syarat dasar dari arsitektur sebagai produk desain yang harus mampu mewadahi kebutuhan penghuninya. Dan kebutuhan sebagai unsur pembentuk fungsi sebetulnya menawarkan keunikan yang lahir dari karakter manusia penggunanya yang selalu berbeda pada setiap individu, sehingga jelas tidak mungkin diperlakukan secara kaku.

Indonesia sebagai bagian dari bangsa Asia mempunyai kualitas pemahaman filosofi dan etetika yang tinggi. Segala hal disikapi secara hati-hati dan penuh makna sehingga seringkali mengaburkan rasionalitas. Seperti saat ini misalnya, dalam konteks yang berbeda dengan yang dialami masyarakat Eropa setelah perang dunia, Indonesia bisa dikatakan tengah mengalami proses modernisme sesungguhnya akibat tekanan ekonomi dimana banyak sisi kehidupan harus dirasionalisasi dan dihitung cermat. Begitu juga dalam merancang hunian, khususnya bagi pengguna yang memiliki lahan dan dana terbatas. Untuk mengemas agar huniannya tampak lebih indah seringkali menggunakan cara mengutamakan estetika dan menganggap kebutuhan serta fungsi ruang cukup seadanya. Produk yang dihasilkan tampak indah tetapi kurang mewadahi kebutuhan sebagai personal yang unik. Gejala yang cukup memprihatinkan saat ini adalah pemahaman akan kemewahan sebuah rumah dinilai dari penampilan dan mahalnya material yang digunakan demi sebuah status. Persepsi ini seharusnya dibalik. Kebutuhan harus diutamakan, kemudian ditelaah sesuai kehidupan saat ini dan mendatang. Dikaji apakah sesuatu yang diinginkan merupakan kebutuhan ataukah keinginan? Diperlukan atau tidak diperlukan? Sehingga memberikan pandangan akan fungsi ruang yang tidak kaku namun sesuai dengan karakter penghuni. Seperti halnya rumah sepasang penari karya Eko Prawoto. Jika berbagai kebutuhan dapat dikemas dalam satu fungsi kenapa tidak, sehingga lahan yang terbatas tidak habis dan masih tersisa untuk meletakkan unsur lain yang memperkaya ruang. Estetika, pada akhirnya nanti ketika kondisi keuangan semakin membaik dapat diterapkan. Tetapi suasana ruang dengan fungsi yang mewadahi karakteristik penghuni sudah benar dahulu. Untuk mencapai itu semua dibutuhkan keberanian dan kejujuran terhadap diri sendiri akan kebutuhan, pemahaman akan kehidupan manusia bahkan terhadap diri sendiri.

---


Tuesday, March 6, 2007

Puri Brata

Awalnya, di tanah tempat kompleks ini didirikan berdiri sebuah ndalem, yaitu bangunan rumah tinggal tradisional Jawa lengkap milik keluarga Brotosoedibjo. Atas gagasan Romo Rohadi Widagdo, seorang Rohaniwan Katolik yang juga merupakan kerabat keluarga, ndalem yang ada dikembangkan menjadi sebuah ‘area meditatif’ untuk menampung kegiatan rohani yang terbuka untuk semua agama, kegiatan spiritual lainnya, atau bahkan seperti hal yang sederhana, yaitu memberi tempat bagi seseorang yang sekedar membutuhkan keheningan. Semua dikemas dalam konsep Back to Nature. Di tempat ini pula masyarakat setempat akan diberi kesempatan untuk bekerja dan mengembangkan diri. Mereka berperan sebagai tukang, sebagai waiter, dan sebagai pengrajin dimana mereka diberi kesempatan menjual hasil kerajinan di Gallery yang sudah disediakan dengan sebelumnya diberi pembinaan dahulu tentunya.

Ruang dan Bentuk

Dalam rancangannya, di dalam lahan seluas lebihkurang 6000 m2 ini arsitek menetapkan pembagian area yang diatur berdasarkan pemahaman masyarakat tradisional akan arsitektur. Tentang hubungannya dengan Tuhan, alam, dan sesama sesuai dengan jiwa kegiatan rohani yang dikandungnya. Bagi tim perancang tampaknya tidak terlalu sulit menerjemahkan filosofi tersebut ke dalam rancangan mengingat sebelumnya mereka pernah hidup dan berkarya dalam kurun waktu cukup lama di Pulau Bali, sebuah tempat yang dikenal masih memegang akar budaya tradisional dengan kuat termasuk dalam penataan lingkungan binaan. Dan mengenai Bali ini cukup membuat salah seorang dari tim arsitek khawatir. Sempat terlontar pertanyaan apakah proyek yang dikerjakannya ini terlalu ke-Bali-balian, mengingat beberapa unsur fisik arsitektur Bali jelas tampil dalam rancangannya. Seperti adanya Kul-kul, sistem terasering yang digunakan untuk menciptakan perbedaan ruang dan privacy melalui permainan ketinggian lantai, atau beberapa unsur yang mempunyai kaitan dengan karakter tradisional Bali lainnya sedangkan lahan dimana proyek mereka kali ini berpijak mempunyai nafas budaya yang berbeda. Dengan demikian mereka lebih bersikap untuk memadukan kedua unsur budaya tersebut dan mempertegas suasana alami sebagai benang merah karena unsur alam Bali maupun Jawa tidak terlalu berbeda.

Ada tiga hirarki ruang dalam kompleks ini yang mengatur tingkat privacy. Pertama, ruang dengan tema Hubungan Manusia dengan Manusia. Di tempat ini interaksi antar penghuni atau penghuni dengan pengguna lainnya mempunyai prosentase yang lebih besar dibanding dua ruang setelahnya. Di ruang ini juga terdapat fasilitas publik seperti Gallery cinderamata, Amphitheatre, dan Restaurant. Kedua, ruang dengan tema Hubungan Manusia dengan Alam; dan ketiga, Manusia dengan Tuhan. Di dalam kedua area ini suasana hening lebih terasa.

Material

Hunian pada kompleks ini dirancang berbentuk bungalow dengan tipe standar dan family. Beberapa di antaranya terdiri dari dua lantai. Dibentuk dengan gaya tradisional, menggunakan teknologi tradisional, memanfaatkan material lokal dengan pemecahan detail tradisional pula. Seluruh badan bangunan seakan ‘terukir’ oleh material alam layaknya bangunan klasik. Jarang sekali ada bidang polos-kosong sebagai penyeimbang. Dari cara-cara tersebut terbaca cara pandang perancang dalam memaknai keseimbangan pada estetika arsitektur yaitu penyatuan total terhadap lingkungan.

Dua statement terbaca pada bahasa material yang disampaikan, baik dalam pemanfaatan, pengolahan, dan perlakuannya yang terjaga konsistensi ide-ide dialogisnya terhadap masyarakat dan lingkungan. Pertama, penggunaan material lokal seperti bambu, kayu, batu kapur, genteng tanah liat memberi kesan membumi, mengakar pada karakter geografis dimana bangunan tersebut berdiri, menimbulkan harmoni bagi masyarakat sekitar; kedua, melalui karakter material yang rustic arsitek memberikan ruang gerak bagi pekerja-pekerja bangunan yang berasal dari penduduk setempat. Mereka, pada umumnya adalah pekerja tradisional yang tidak terbiasa dengan pekerjaan dengan tingkat presisi yang cukup tinggi. Sesuai dengan sifatnya yang alami dan didukung dengan konsep yang menempatkan bangunan secara kontekstual, material-material tersebut jika disandingkan dengan kemampuan tukang yang terbatas bisa menjadi ‘benar’.

Beberapa material yang digunakan, meskipun merupakan material lokal, dalam penerapannya tampaknya dipandang sesuatu yang baru oleh para pekerja setempat.Teraso digunakan sebagai bahan penutup lantai kamar tidur dan meja wastafel di kamar mandi. Bukan berbentuk tile tetapi dibuat dengan sistem cor seperti lazimnya orang membuat lantai dari semen. Begitu pula dengan material yang digunakan sebagai penutup area outdoor seperti tangga dan teras dibuat dengan sistem cetak negatif dengan cara memasukkan campuran bubuk batu dengan semen dan air pada cetakan berukuran 30 x 30 cm dengan sebelumnya memberikan daun, akar, atau benda lain yang ingin ditampilkan sebagai pola pada permukaannya. Kedua teknik tersebut merupakan ilmu baru yang mereka peroleh, sedangkan paduan batu candi dan batu koral yang digunakan sebagai penutup dinding dan lantai kamar mandi, dan pancuran bambu pada kamar mandi memberikan wacana baru dari segi estetika penataan material dan alternatif material pembentuk ruangan yang berbeda dengan yang mereka kenal selama ini.

Tinggal di Puri Brata berarti harus paham betul akan misi yang dibawanya, yaitu ketenangan yang menyatu dengan lingkungan. Tidak ada fasilitas layaknya penginapan mewah, seperti kolam renang atau televisi misalnya, termasuk makanan yang disediakan. Semua tampil sederhana. Teh tubruk dan pisang goreng, menu tradisional untuk makan pagi, atau menikmati nasi goreng di sebuah rumah makan desa di malam hari. Sangat khas.

Secara keseluruhan atmosfer di dalam kompleks ini terasa sangat eklektik dan romantis. Tetapi dibalik itu tercermin sikap positif arsitek yang dengan hati-hati mencoba melakukan dialog atas apa yang dipahaminya selama ini dengan budaya baru yang ditemuinya. Hal ini perlu dilakukan agar karya yang terbangun tidak menjadi benda yang asing bagi lingkungannya. Lebih dari itu, ada sikap pembelajaran kepada masyarakat setempat mengenai makna sebuah rumah, manfaat material lokal, dan nilai tradisional bagi konteks saat ini karena sejujurnya, apa yang dibuat oleh tim arsitek ini bukan hal yang baru bagi masyarakat setempat. Mandi di pancuran di lingkungan alami atau tinggal di rumah yang menyatu dengan alam, dan berbahankan material alami pula. Tetapi, kadangkala hal seperti ini perlu dibuat (tentu dengan beberapa pembaruan di dalamnya) untuk mengingatkan kembali kebanyakan masyarakat terutama masyarakat pedesaan yang saat ini tidak lagi memandang bangunan tradisional sebagai sesuatu yang berkualitas. Mereka lebih menginginkan tinggal di omah gedhong. Rumah berdinding bata, pilar Yunani, dengan jumlah, ukuran, dan posisi ruang seperti yang ditawarkan pada perumahan umum standar.

Tradisional tidak selalu identik dengan masa lalu dan kuno. Selalu ada informasi di dalamnya yang bisa dikembangkan untuk disesuai dengan fungsi yang dibutuhkan saat ini. Dan ini sudah dilakukan oleh beberapa negara maju. Mengembangkan teknologi, kekuatan material, sense of space arsitektur tradisional, sampai perilaku manusianya untuk diterapkan dalam sistem kehidupan yang lebih moderen. Keduanya merupakan satu rangkaian proses. Nilai arsitektur lama akan terus melengkapi dan memperkaya perkembangan arsitektur selanjutnya karena arsitektur tradisionalpun pernah menjadi moderen di jamannya.

---

Monday, March 5, 2007

Jakarta Oldtown


Tulisan ini merupakan hasil diskusi bersama antara Budi Lim, Pater Heuken, Abidin Kusno, Hendra, Ivan Oktovian, Seto, Deny, Aditia Chandra Dewa, Rosa Yulita Wardhani, Suryono Herlambang. Pernah di publikasikan di Mailing-list ARS-UKDW@yahoogroups.com

SUDAH lima tahun hidup di Jakarta tetapi belum sekalipun menyentuh wilayah kota lama yang menurut cerita banyak orang merupakan wilayah yang eksotis. Sampai pada suatu ketika berkesempatan mengunjunginya. Bersama Pater Heuken, seorang Jesuit yang juga sejarawan, arsitek Budi Lim, dan beberapa rekan sekantor yang merelakan sebagian waktu pribadinya di hari Minggu. Pater, demikian kami memanggilnya, seorang yang betul-betul mengenal wilayah Kota secara dalam. Demikian juga Budi Lim yang mempunyai pengalaman tinggal di wilayah ini pada masa kecilnya di tambah kecintaan dan pengetahuannya tentang urban design.

Wilayah Kota Lama yang dikenal dengan sebutan “KOTA” terbagi dalam beberapa blok : pertama, Institusi pemerintahan dimana di dalamnya terdapat bangunan kolonial formal yang saat ini dikuasai pemerintah seperti Museum Fatahilah, Museum Seni dan Keramik, Bank Mandiri, dan beberapa milik swasta seperti Café Batavia. Sisa-sisa suasana formal masih terasa dengan adanya ruang terbuka dengan pola simetris yang menjadi orientasi bagi beberapa bangunan tersebut. Kedua, wilayah transportasi darat yang menghubungkan Batavia dengan wilayah luar. Di wilayah ini berdiri sebuah stasiun yang begitu terkenal, yang sekarang bernama Jakarta Kota. Stasiun yang mempunyai keindahan detail konstruksi ini merupakan karya arsitek Frans Johan Laurens Ghijsels, seorang arsitek kebangsaan Belanda yang lahir di Indonesia yang juga seorang pelopor berdirinya biro arsitektur di Indonesia. Beberapa karyanya terdapat juga di Yogyakarta seperti Gedung Bank Negara Indonesia 46 dan Panti Rapih. Blok ketiga adalah wilayah Sunda Kelapa. Merupakan pelabuhan dan pintu masuk menuju Batavia yang saat ini perannya digantikan oleh Tanjung Priok. Meski begitu perannya sebagai pelabuhan masih berfungsi. Banyak kapal-kapal Phinisi bersandar di sini. Membawa kayu atau bahan makanan. Di wilayah ini juga masih tersimpan beberapa karya arsitektur yang baik yang sekarang berfungsi sebagai Café Galangan, Museum Bahari, sebuah Mesjid yang sudah ‘diperkosa habis-habisan’, dan sebuah museum Menara kontrol pelabuhan. Keempat, wilayah Pintu Kecil yang sejak dahulu sampai sekarang dikenal sebagai pusat tekstil Indonesia. Daerah ini merupakan China Town dan perdagangan regional. Masyarakat China di sini membaur dengan masyarakat keturunan Arab dan Betawi.Tentu banyak bangunan China selain beberapa Mesjid yang unik karena didesain oleh arsitek Eropa. Kelima, wilayah Roa Malaka yang dahulu merupakan pusat perdagangan internasional. Di dalamnya terdapat bangunan gudang dengan langgam art-deco. Dan keenam dan yang sangat menarik, wilayah Kali Besar. Dalam konteks sejarah, Kota Lama Jakarta mempunyai peran penting sebagai pusat pemerintahan, perekonomian, dan budaya. Dapat pula dikatakan, pola yang dimiliki KOTA merupakan contoh pola sebuah penataan kota yang baik. Dan dari wilayah atau blok-blok penting tersebut Kali Besar merupakan unity dari semuanya yang berperan sebagai pendukung fungsi perdagangan internasional. Ditata berupa deretan blok bangunan kolonial dengan tipologi kantor di sisi Timur dan Barat yang saling berhadapan dan dipisahkan oleh sebuah Kali ( sungai ). Dahulu sungai ini merupakan sarana transportasi perdagangan yang bisa dimasuki kapal hingga wilayah Hayam Wuruk dan Gajah Mada sekarang. Sebuah jembatan eksotis khas Eropa, yaitu Jembatan Intan menghubungkan sisi Barat dan Timur.

Bagi pecinta heritage akan ‘senang’ berjalan di wilayah ini terutama pada pagi dan sore hari. Merasakan skala ruang yang nyaman, perubahan suasana, dan menikmati keindahan detil bangunan bahkan beberapa bisa dirasakan sisa-sisa kualitas ruang dalamnya.

Kali Besar

Saat ini Kali Besar hidup dengan kondisi yang memprihatinkan karena tidak ada konsep yang jelas dalam perencanaan masterplannya sehingga banyak bangunan ditinggalkan, tidak terawat, dan digunakan untuk aktifitas negatif. Keterpurukan ini diperkuat dengan lingkungan yang tidak terjaga akibat pengembangan kota Jakarta yang tidak berpijak pada pola sebelumnya. Tampaknya pemerintah lebih memfokuskan diri kepada bagaimana memperoleh pendapatan sebesar-besarnya tanpa mempertimbangkan faktor lain.Terlihat sekali betapa mudahnya bangunan-bangunan dengan pola besar (large grain) dibangun. Keberadaannya memberi intervensi yang kuat pada eksisting, terutama di wilayah dengan pola kampung atau fine grain. Menurut Budi Lim menempatkan sebuah bangunan raksasa di wilayah fine grain akan menimbulkan 2 hal : berdampak kepada kemajuan lingkungan sekitarnya atau kegagalan. Entah merupakan kebetulan atau tidak banyak diantaranya yang gagal dan berdampak kepada munculnya ruang-ruang yang hilang, kemacetan yang parah, hilangnya nilai-nilai etika, dan munculnya aktifitas negatif seperti pelacuran dan kejahatan lainnya. Dalam tulisannya pada buku Asian New Urbanism, William S.W. Lim, seorang Arsitek dan Urban Designer dari Singapore berpendapat hal ini merupakan gejala yang terjadi pada pembangunan kota-kota di Asia. Sebuah kemenangan kapitalisme. Asia menjadi wilayah yang menarik untuk menimbun uang. Pemerintah lebih mengutamakan penggunaan tanah untuk kepentingan komersial, Developer mengambil kesempatan dengan cara menaikkan harga tanah melebihi aturan yang berlaku, Bankers dengan mudahnya memberi pinjaman untuk pembangunan fasilitas komersial. Dan dengan alasan kepentingan pasar ‘mereka’ mensyahkan berdirinya tempat perjudian, pelacuran, dan lain-lain. Tidak heran tanpa adanya kebijakan penataan yang kuat Kali Besar dan KOTA dengan mudah dikuasai oleh para mafia.

Saat pertamakali melihat wajah Kali Besar terbayang keindahan wilayah ini dahulu. Saat mendekati deretan bangunan tua semakin terasa bahwa Indonesia mempunyai banyak perpustakaan arsitektur yang layak dipelajari. Bahkan, menurut cerita beberapa orang berkewarganegaraan Belanda yang sempat meneliti wilayah ini dikatakan bahwa di negerinya tidak terdapat bangunan seindah ini. Permata dari Timur, begitu pelaut Portugis menyebut Iacatra atau Batavia. Sebuah kota yang dibangun berdasarkan kecintaan. Terlepas dari sisi penjajahan, ada nilai yang bisa dipetik hikmahnya, yaitu bahwa para arsitek Belanda yang datang dan membangun di Indonesia adalah manusia-manusia yang mempunyai kecintaan tinggi terhadap alam dan kultur Indonesia. Untuk itu desain-desain yang muncul bukan berlanggam Eropa murni tetapi merupakan dialog dengan budaya setempat dengan keseriusan pengerjaan detail yang tinggi. Tidak heran kalau masyarakat Eropa tidak menemukan langgam ini di negeri mereka.

Namun lebih jauh, dalam beberapa diskusi kami diingatkan kembali untuk mengerti fungsi, kehidupan, dan permasalahan Kali Besar secara sesungguhnya, baik dalam konteks sejarah maupun kekinian. Sempat juga berhadapan dan bernegosiasi dengan para mafia yang curiga kepada kami. Atau mencoba memahami bahwa tidak ada keinginan dari pemerintah untuk memperhatikan wilayah kota tua kecuali jika bisa memberikan keuntungan secara individual. Pada akhirnya menjaga keindahan bangunan tua hanya merupakan alasan kecil dari sekelompok alasan lain yang lebih besar yang harus disampaikan kepada masyarakat, para investor, atau orang-orang yang mau berbaik hati untuk menyumbangkan dananya untuk perbaikan kota lama. Ada banyak alasan logis lainnya yang mesti diutamakan selain masalah estetika.Tetapi itulah pelajaran mengenai urban design yang kami peroleh. Membutuhkan energi besar untuk masuk ke dalamnya. Tetapi itu semua merupakan pelajaran yang sangat berharga untuk memperkaya cara berpikir seorang arsitek. Setidaknya ada tiga kata kunci yang ditemukan untuk memahaminya : rasionalitas, netralitas, dan totalitas.


***

Membangun Dengan Hati


RUMAH. Kita mengenalnya sebagai sebuah benda dimana manusia tinggal dan berlindung. Sebuah tempat dimana manusia meletakkan sisi pribadi kehidupannya yang terdalam.

Beberapa minggu setelah terjadi gempa yang meluluhlantakkan Yogyakarta dan Jawa Tengah, Ibu Ning Subanar seorang ahli kecantikan di Yogyakarta mengungkapkan keinginannya untuk membangun sebuah Gandhok Kotangan, begitu beliau menyebutnya, yang akan difungsikan sebagai gudang, kamar Mbok Nung seorang Abdi yang telah melayaninya selama bertahun-tahun, dan tentu saja ruang keluarga. Didalam kebudayaan Jawa Gandhok diartikan sebagai rumah atau Omah yang sesungguhnya karena merangkum ruang-ruang yang diperuntukkan untuk kegiatan internal keluarga yang bersifat intim. Kembali kepada Ibu Ning Subanar. Idenya merupakan tanggapan terhadap apa yang dialami fisik rumahnya akibat gempa. Dirinya mengambil sisi positif dari sebuah peristiwa bencana dan menganggapnya sebagai challenge dengan menciptakan lingkungan kehidupan baru yang merupakan rajutan dari lingkungan kehidupan sebelumnya. Terangkum dalam sebuah benda yang disebut rumah. Sikap tersebut menjadi contoh bahwa sebuah rumah dapat menjadi belahan jiwa bagi penghuninya. Semacam alter-ego. Bentuk lain dari manusia yang menempatinya. Oleh karenanya wajar jika diperlakukan sebagai sesuatu yang sakral.

Dengan semangat yang sama nun jauh di Selatan kota Yogyakarta, di sebuah desa yang bernama Ngibikan, sekelompok kecil masyarakat yang memperoleh bantuan dari Dana Kemanusiaan Kompas bekerjasama membenahi lingkungan mereka yang betul-betul rata dengan tanah. Jika berkesempatan melihat kondisi mereka saat ini kita tidak akan percaya kalau sebelumnya kengerian dan keputusasaan sempat menjadi roh dalam tubuh desa mereka. Adalah Maryono, “arsitek” yang berhasil memberikan semangat kepada sekelompok masyarakat tersebut. “Yang penting adalah pengarahan Mas”. Kata tersebut (pengarahan) terus bergulir dari mulutnya seakan menjadi kata kunci mewakili semua sistem pembangunan yang berjalan. Diceriterakannya bahwa pada awalnya semua orang hanya bisa pasrah dan nrimo pandum sebagai korban. Sebagai korban mereka merasa menjadi wong cilik yang hanya bisa menunggu bantuan dari para penderma. Dan sebagai wong cilik mereka tidak berhak menuntut apapun. Maryono tidak bisa menerima logika tersebut. Berbekal pengalaman sebagai mandor bangunan dia mengajak masyarakat untuk tidak hanya mengharapkan bantuan karena bagaimanapun kehidupan mereka haruslah mereka sendiri yang membangun. Dimulai dari memberi pengarahan kepada beberapa warga agar menghargai setiap serpihan rumah yang hancur untuk dipergunakan kembali sehingga terbentuklah rumah-rumah yang setengah dari materialnya merupakan daurulang dari rumah terdahulu.

Temporer vs Permanen

Rumah-rumah tersebut tampak baru dengan struktur kayu yang mengandalkan kekuatan jepit, penutup atap asbes, dan sebagaian dinding menggunakan material Glassfibre Reinforced Cement (GRC). Ditengah maraknya isu standarisasi beton sebagai material tahan gempa teknik ini cukup menuai kritik dari berbagai kalangan. Meskipun tidak seluruhnya terbukti benar struktur beton dinilai permanen karena mempunyai kekuatan lebih daripada kayu dalam menahan gempa, dan tentu saja tahan lama karena rayap macam apa yang bersedia untuk memakannya. Dibandingkan dengan kayu beton juga dinilai lebih ramah lingkungan. Dalam proyek ini material kayu sebagai struktur sengaja dipilih dengan alasan menghargai nilai lokal dan cepat dalam pengerjaannya. Berbeda dengan beton kayu juga lebih luwes dalam penyesuaian di lapangan. Tetapi lebih dari itu penghargaan tehadap nilai lokal pada proyek ini adalah memanfaatkan kemampuan yang dimiliki masyarakat yang sebagian dari mereka berprofesi sebagai tukang kayu. Dengan demikian ada usaha untuk menumbuhkan harga diri dan semangat masyarakat yang terkena bencana.

Kayu, dengan sifatnya yang ringan memang berkesan temporer. Tetapi perkembangan arsitektur di dunia menunjukkan bahwa pengertian kata temporer harus dibedakan dari kekuatan. Sesuatu yang bersifat temporer tidak sertamerta lemah dalam kekuatan. Yang menarik dari perdebatan antara dua makna kata tersebut bukan terletak pada perwujudan material yang digunakan tetapi kepada pemahaman yang benar mengenai detail dan konstruksi. Setiap material jika dikaji secara mendalam akan ditemukan unsur kekuatan dan cara penanganannya. Dan sejujurnya, inilah sisi kelemahan bangsa kita yang sering mengabaikan pentingnya Research and Development. Kita cenderung untuk bersikap sebagai konsumen. Menerima sesuatu yang sudah disediakan oleh produk modern siap saji sebagai sesuatu yang benar. Mengabaikan kekuatan lokal yang semestinya bisa dikembangkan. Development tidak lagi menjadi sebuah proses yang terus mematangkan tetapi selalu mengulang dari awal.

Membangun Dengan Hati

Beberapa rumah yang dibangun oleh warga Ngibikan tetap berada pada setting layout rumah yang lama. Tujuannya untuk mempertahankan kebutuhan ruang kehidupan seperti yang pernah ada selama ini. Cukup besar layaknya rumah di pedesaan. Cara ini berbeda dengan yang lazim diterapkan oleh beberapa institusi penyumbang dana yaitu membuat hunian massal dengan luasan yang sudah ditentukan. Bahkan di antaranya memasukkan unsur-unsur ‘rumah kota’ yang jauh dari budaya kehidupan masyarakat setempat. Semisal membuat dapur lengkap dengan bak cuci modern layaknya real estate. Cara seperti ini perlu dikritisi. Alih-alih membantu meningkatkan taraf hidup. Yang terjadi justru bisa sebaliknya, melahirkan sebuah budaya baru yang tidak sejalan dengan jiwa penghuninya.

Cara pembangunan secara seragam memang tidak salah terlebih dalam konteks membantu mempercepat pulihnya sebuah tatanan kehidupan yang rusak akibat bencana. Ada faktor waktu dan pendanaan yang menjadi prioritas pertimbangan. Pun yang dilakukan Maryono dan sebagian masyarakat Ngibikan juga tidak lepas dari cara tersebut. Bentuk bangunan dan sebagian material tetap sama. Hanya yang perlu dihargai adalah sikap dimana penerima bantuan tidak didudukkan sebagai korban dan si pemberi adalah Sinterklaas yang berhak mengatur. Ada ‘ruang’ yang disediakan bagi pemilik untuk meletakkan hati pada rumah barunya. Ada penghargaan akan nilai sejarah yang harapannya dapat membantu memberi kesadaran bahwa sebuah bencana tidak sertamerta merubah hidup manusia seratus delapanpuluh derajat dan memusnahkan semua nilai yang pernah ada.

Membangun kembali rumah dan lingkungan yang diperuntukkan bagi korban bencana yang masih eksis bukan sekedar memenuhi target tanpa memperhitungkan dampak terhadap kehidupan selanjutnya, karena sekali lagi sebuah rumah adalah belahan jiwa penghuninya dan menyumbang bagi pembentukan wajah lingkungan. Dalam kasus di Yogyakarta dan Jawa Tengah kerusakan akibat gempa banyak menghilangkan karakteristik sebuah budaya yang dapat dilihat melalui bentukan arsitekturnya. Tetapi jika hal itu harus terjadi dan oleh karenanya ciri-ciri fisik tersebut hilang, lalu apakah yang bisa dipertahankan selain sesuatu yang bersifat non-fisik? Dan hal tersebut bisa bertahan jika hubungan dengan masa lalu tetap terjalin. Bukan sebuah romantisme tetapi merupakan alat untuk menjalin kesinambungan. Itulah yang dilakukan oleh Maryono dan warga Ngibikan. Bersama sekelompok arsitek yang tergabung dalam Eko Prawoto Architectural Workshop yang membantu dalam pengolahan konsep, mereka mempertahankan pola ruang dan sebagian material eksisting yang dipadankan dengan unsur baru. Melalui rumah baru yang dibangun dengan hati mereka mencoba melihat bahwa sebagai manusia mereka masih mampu bangkit secara utuh dan mempunyai harga diri.


***

Secondary Skin


BUDI PRADONO adalah salah seorang arsitek yang setia kepada proses pencariannya. Salahsatu buah pemikirannya, yaitu Secondary Skin, merupakan hasil rekaman yang diperoleh dari pengalaman bekerja di beberapa tempat dan pernah di pamerkan di Gedung Arsip Nasional 25 November-10 Desember 2005 lalu. Untuk memahami pemikiran yang mendasari karyanya setidaknya ada 2 point yang bisa dijadikan sebagai pendekatan.
Pertama, mengamati perkembangan kota-kota di Indonesia. Dalam bukunya yang berjudul Asian New Urbanism, William S.W. Lim seorang arsitek dan urbanis Singapore menyebutkan bahwa kota-kota di Asia termasuk juga Indonesia merupakan lahan subur untuk menimbun uang. Pemanfaatan lahan untuk komersial, pengembang mengambil keuntungan dengan cara menaikkan harga tanah, Bankers memberi kemudahan pinjaman bagi pembangunan fasilitas komersial. Akibatnya, seringkali fasilitas lainnya seperti ruang publik terlupakan. Sebuah kemenangan kapitalis, begitu dia menyebutnya.
Kedua, fenomena maraknya ulasan mengenai desain, termasuk arsitektur oleh beberapa media yang cenderung terfokus kepada masalah estetika. Tidak salah memang karena faktor ini yang paling mudah dipahami oleh awam. Tetapi dampak dari terlalu seringnya aspek tersebut diangkat kepermukaan menyebabkan faktor lain terlupakan, yaitu nilai-nilai yang diemban oleh arsitektur yang selayaknya dijelaskan juga kepada awam seperti aspek sosial-budaya, lingkungan, dan humaniora lebih dari sekedar masalah estetika, style, atau mode.
Kedua faktor tersebut adalah realita. Dengan beberapa karyanya Budi mencoba melakukan kritik dan dialog dengan keadaan tersebut sehingga tema Secondary Skin, sebuah temuan dari proses berarsitekturnya yang diangkat sebagai wacana kali ini bukan sekedar menjelaskan masalah kulit.

Semangat Asia

Dari proyek arsitektur seperti hunian, studio, resort, dan restaurant, beberapa di antaranya memperlihatkan semangat pengolahan material bambu yang begitu kuat. Tidak semua proyeknya menggunakan material tersebut tetapi dalam pembahasan kali ini bambu tersebut sengaja diangkat karena cukup mempunyai keunikan, yakni menghadirkan semangat alam dan tradisional di dalam konteks kehidupan modern. Bambu yang mempunyai citra garis diatur berderet sehingga membentuk sebuah bidang yang berfungsi sebagai building envelope. Sebagai bidang dia bersifat transparan. Restaurant Kayu Manis di Bali memberikan contoh yang jelas bagaimana bambu berperan sebagai tirai yang mengatur jatuhnya sinar matahari ke dalam bangunan sekaligus menjadi jendela yang menghubungkan visual dari dalam ke luar melalui celah yang akibat pengaturan jarak antar bambu. Dari sisi interior, pertemuan sinar matahari dengan bilah bambu menimbulkan efek dramatis, yakni bayangan yang membentuk pola garis di sekujur bagian dalam bangunan. Dengan teknik yang berbeda Studio Ahmett+Salina Jakarta memperlihatkan ratusan titik bambu pada wajah bangunan. Pada proyek ini bambu-bambu tersebut dipotong menjadi bagian-bagian yang kecil dan dipasang tidak berdiri secara vertikal tetapi horisontal dan memperlihatkan penampangnya. Dari teknik yang dilakukan, Budi tampaknya masih sangat dipengaruhi oleh seseorang yang disebut sebagai guru, yaitu Kengo Kuma, seorang arsitek berkebangsaan Jepang. Kuma memiliki pendekatan desain yang cukup berbeda dari beberapa arsitek Jepang lainnya, katakanlah Tadao Ando yang buah karyanya mengilhami banyak arsitek Indonesia dengan metode penekanan pada kekuatan ruang yang terbentuk dari batasan yang jelas antara solid dan void. Banyak pengamat mengatakan bahwa ruang yang diciptakan Ando begitu bernafaskan budaya Jepang, tetapi Kuma bisa disebut sangat Asia. Semangat ini sangat menarik, mengingat sekarang banyak bermunculan semangat kebangkitan Asia. Asia yang satu. Dalam Living House, sebuah buku yang mengkaji tentang antropolgi arsitektur Asia Tenggara, Roxana Waterson membeberkan data yang menjelaskan filosofi yang melatarbelakangi terjadinya bentuk-bentuk arsitektur di Asia yang “dikatakan” mempunyai kesamaan. Tentang Indonesia sendiri, apakah yang disebut arsitektur Indonesia? Indonesia yang begitu plural? Saya pikir masyarakat harus berani menghilangkan sekat-sekat eksklusif nasionalisme yang sempit dan menerima sebagai bagian dari Asia secara keseluruhan, begitu pula sebaliknya. Bukankah hal tersebut akan semakin memperkaya vocabulary, terutama ketika berhadapan dengan mainstream Barat?

Ada semacam statement dari Budi maupun Kuma yang ingin mengangkat citra tradisional dalam bahasa modern yang bisa ditinjau dari detailnya. Jika diamati lebih dalam tentu bilah-bilah bambu yang menjadi penutup wajah bangunan dan berkesan ‘melayang’tanpa menyentuh tanah tidak berdiri sendiri tetapi dihubungkan dengan struktur utama melalui sebuah connector. Di sinilah potensi modernitas digunakan yakni melalui elemen pendukung fabrikasi (seperti halnya connector tadi) yang digunakan justru untuk mendukung elemen alam agar muncul dalam performa yang tidak lazim dan memberikan impresi yang berbeda. Lantas dimana konsep ini berlaku?

Pada skala arsitektur Secondary Skin adalah metode desain yang memisahkan kulit dengan tubuh atau struktur utama bangunan. Dasar pemikirannya merupakan sikap yang responsif terhadap iklim : pemanfaatan pencahayaan secara maksimal dan mengaturnya melalui wajah bangunan. Metode penerapannya sangat dipengaruhi pemikiran modernism yang memunculkan efek dramatis, bebas, dan tidak terikat sehingga penampilan wajah bangunan menjadi ‘utuh’, sederhana, tenang, tidak banyak pernik. Tidak terganggu dengan adanya tiang dan balok yang pada metode klasik selalu muncul pada level satu sumbu terhadap dinding muka bangunan. Mengikat dari sisi atas, bawah, dan samping sehingga menimbulkan efek membingkai. Budi dengan caranya menjadikan karyanya sebagai media penyampaian visi arsitektur yang sepertinya begitu ingin menjadikan unsur alam sebagai yang penting pada bangunan dan berdialog dengan modernitas, bukan sekedar tempelan atau hiasan tetapi sebagai bagian dari sistem utama yang hidup dan fungsional dengan dasar pemahaman modern: “bidang bambu” tersebut dapat menjadi sebuah dinding, jendela, tirai. Sebuah art-object dalam skala mikro maupun kota.

Pada proyek berskala kota akan dijumpai banyak sistematika daripada bentuk. Budi yang mengaku tertarik dengan metode pendekatan model Belanda selalu mendahulukan pergumulan dengan sistem dan ruang. Pada proyek One Stop Shopping Gallery di Jakarta misalnya, dia mencoba menyelami perilaku masyarakat Indonesia dalam berbelanja. Baik di pusat perbelanjaan sampai dialog dan transaksi antara penjual dengan pembeli di jembatan penyeberangan, pasar, pedestrian hingga orang-orang di mobil pribadi, angkutan umum, halte bis yang secara tidak langsung melakukan dialog terhadap bangunan. Kritik juga dilakukan terhadap pola kota-kota modern yang cenderung monoton. Dalam proyek Urban Housing di Via Apernini Milan Italy, pola pedestrian lama yang berliku dijadikan dasar pembentukan sistem pergerakan dan ruang baru. Kontras dengan lingkungan sekitarnya yang cenderung teratur. Di antaranya disisipkan ruang-ruang informal yang membentuk kegiatan yang bersifat publik dan sosial. Perilaku manusia atau kualitas ruang lama baginya merupakan realita yang sering dilupakan para arsitek tetapi merupakan faktor esensial dalam pergerakan kehidupan. Bagi Budi data tersebut yang seharusnya ditanggapi sebagai sebuah keunikan untuk dikembangkan menjadi bentuk-bentuk baru. Hal ini yang dikatakannya sebagai Secondary Skin.

Sejenak membayangkan beberapa hal di balik terciptanya karya-karya tersebut : proses pengerjaan, maintenance, dampak interaksi material terhadap alam. Cukup mengeluarkan banyak energi. Membutuhkan cukup banyak biaya dan sulit dalam perawatannya. Apakah menjadi sebuah pemborosan? Bisa jadi “ya” jika dipandang dari kacamata proyek nyata yang murni mencari keuntungan, tetapi bisa juga sebaliknya jika kita meletakkan dalam koridor intelektual. Permasalahan terletak ketika mempertemukan dua kutub tersebut : proyek nyata dan “intellectual game”. Di Indonesia faktor yang pertama cenderung dominan. Sebuah proyek lebih dihargai jika mempunyai nilai jual tinggi dan yang menyedihkan, nilai intelektual dihargai dengan cukup diwakilkan oleh nilai estetika. Dengan mengucapkan kata “nyeni”, modern, klasik, minimalis, cozy, seseorang sudah merasa cukup intelek. Nilai luhur yang seharusnya diemban oleh arsitektur seakan cukup terwakili dengan kata-kata tersebut.

Apa yang dilakukan Budi, harus diakui bukanlah hal baru. Jauh beberapa abad sebelumnya para arsitek tradisional sudah melakukan, begitu pula saat ini. Eksplorasi material, mengembangkan perbendaharaan arsitektur tentang ruang, transparansi, dan lain-lain. Beberapa hal yang perlu digarisbawahi dari beberapa karyanya ialah : Pertama, penghargaan terhadap nilai tradisional dan terus diterapkan sesuai konteks saat ini dengan cara mengembangkan sekaligus menjaga jarak terhadap “tradisi dan kebiasaan”. Kedua, penghargaan terhadap perilaku manusia yang seharusnya menjadi aktor utama yang membentuk arsitektur sehingga menjadi berciri. Dan itu semua melalui sebuah proses panjang penuh diskusi. Sebuah langkah yang perlu dilakukan oleh masyarakat yang menginginkan kemajuan, yaitu research and development. Suatu metode yang akan membuat sebuah bangsa berkembang tanpa kehilangan jati dirinya.


---

Mencari Narman

Pada suatu pagi, aku bersama Bapak bertolak menuju wilayah pusat kota Jakarta. Tujuan kami hari itu adalah Pasar Cempaka yang terletak di wilayah kecamatan Cempaka Putih, untuk mencari seorang kerabat yang beberapa puluh tahun lalu pernah indekost di rumah Kakek di wilayah Kompleks Kolombo Yogyakarta. Kerabat tersebut, kami memanggilnya Pakde Narman, adalah seorang yang sangat sederhana. Lelaki asal Sragen yang pada masa mudanya menjalani kehidupan yang sulit. Sampai pada suatu hari, menurut cerita Bapak, Kakek menawarkan kepadanya bantuan untuk melanjutkan studi. Maka jadilah, Pakde Narman ngindung sekaligus ngangsu kawruh kepada Kakek yang bekerja sebagai pegawai pemerintah dan guru.

Cerita kehidupannya selepas 'pemagangan' dari rumah Kolombo tidak begitu jelas karena Kakek sendiri semasa hidupnya tidak pernah menceriterakan kepada kami, cucu-cucunya, mengenai Pakde yang satu ini. Maklum, bukan hanya dia yang menjadi anak asuhnya. Ayahku yang merupakan anak keempat dari sepuluh bersaudara juga tidak bisa bercerita banyak. Kala itu Bapak masih kecil sehingga yang terekam dalam benaknya hanyalah Mas Narman itu sangat sederhana. Baik penampilan mau pun dari semua segi. Prasaja, bahkan berkesan lugu. Biasanya, kalau tidak sedang bersekolah, dia membantu Bapak menimba air di sumur, atau melakukan pekerjaan rumah lainnya. Namun, berdasarkan informasi yang kami terima akhir-akhir ini dari seorang kerabat yang pernah tinggal di wilayah Kemayoran, kira-kira sepuluh kilometer dari Cempaka Putih, Pakde Narman mempunyai usaha dagang sayuran di salah satu kios di Pasar Cempaka. Istrinya yang menjaga kios itu, sedangkan dia sendiri sehari-hari bekerja sebagai guru di sebuah sekolah dasar. Untuk itulah kami ke sana dengan harapan bisa bertemu dengannya.

Pasar Cempaka terletak di tepi jalan raya Letnan Jenderal Suprapto jika kita menuju Pasar Senen. Pertama kali aku mengunjungi tempat ini adalah tahun 1992. Bukan untuk mencari barang atau berbelanja tetapi sekedar numpang lewat saat berjalan dari Gereja Katolik Paskalis menuju wilayah Pangkalan Asem. Pasarnya tidak terlalu luas. Tidak ada opas, atau lurah pasar, atau pengelola yang menjaganya. Kata jaga di tempat ini lebih berkonotasi keamanan, bukan manajerial, sehingga ketika kami menanyakan kantor lurah pasar dengan tujuan untuk mempermudah pencarian, mereka langsung menunjuk kepada penjaga, yaitu satpam yang bertugas memungut cukai parkir. Jadi, rajin bertanya adalah kata kunci di tempat ini.

Sekilas rasanya tidak ada yang berubah pada tempat ini seperti ketika tahun 1992 aku melewatinya. Deretan kios-kios yang menjual aneka produk kebutuhan rumah tangga dan makanan. Rapi, seperti layaknya kios-kios modern. Mungkin, kalau bukan karena bertanya kepada seorang pedagang di pintu masuk, aku tidak akan tahu bahwa di balik kios-kios modern yang mereka sebut sebagai ‘proyek’ ada sebuah pasar tradisional. “Mungkin di sana ada Mas. Coba cari saja di kumpulan penjual sayur. Di sana banyak orang Jawa”, begitu kata seorang penjual jeruk kepada kami. Maka kami menuju ke tempat yang ditunjuknya.

Aroma pasar segera tercium. Sambil melangkah pikiranku seakan mundur ke beberapa tahun silam ketika sering menemani Ibu ke pasar Sawo di kampung Prawirodirjan, atau menemani Bapak ke pasar Patuk. Lorong sempit selebar lebih kurang 1,2 meter. Berlantai tegel becek, penuh lumpur, dan kotor. Penerangan seadanya. Mengandalkan sinar matahari yang masuk dari sela atap lorong. Pedagang sibuk dengan aktifitas masing-masing. Begitu juga dengan pembeli dan kuli angkut yang bersenggolan. Di sebelah kanan aku melihat pedagang dan pembeli melakukan transaksi. Tawar menawar, dealing, cash & carry. Begitu riuh dan hidup.

Tampilan fashion juga layaknya ‘orang pasar’. Sederhana, fungsional sesuai dengan semangat belanja di pasar. Membuat kami canggung karena merasa salah kostum. Tetapi, ada sesuatu hal yang membuat aku merasa lebih canggung lagi, melebihi sekedar salah kostum, yaitu ada rasa enggan untuk ditanyai pada diri mereka kecuali untuk urusan jual-beli. Atau, jangan-jangan justru sebaliknya diriku lah yang terlalu diselimuti sikap cepat curiga khas mahluk metropolitan, sehingga terlalu cepat menganggap mereka enggan untu ditanyai? Yang jelas aku hanya merasa aneh. Secara fisik ruang ini begitu akrab dengan kehidupan sehari-hariku dulu yang berjarak sekitar 500 km dari tempat ini; materi pembentuknya, dimensi, dan juga aromanya. Tetapi ruang yang riuh dan luas ini seakan mempunyai ‘dinding pembatas’ yang demikian nyata.

Akhirnya aku memberanikan diri untuk bertanya kepada seorang penjual sayuran. Jawabannya sederhana; Ngga tahu. Asalnya mana? Coba tanya sama penjual di sana. Ada orang Jawa di sana. Cukup. Untuk kedua kalinya aku memberanikan diri bertanya lagi kepada seorang perempuan yang juga penjual sayuran, yang menurut informasi adalah orang Jawa. Bagaikan bisul pecah kegembiraan tiba-tiba meledak. Sebuah sinar kegembiraan muncul dari wajah perempuan penjual sayur begitu tahu bahwa kami tiyang Ngayogyakarta (penduduk Yogyakarta).”Kula saking nJawi, Pak. Saking Sragen. Sedhereke sinten asmane mau? Narman? Wah mboten pirsa, Pak. Tiyang saking Sragen lha mung kulo kaliyan bojo lan penakan kulo teng pojokan punika. Pasare pundi? Cempaka? Kiosipun nomer pinten? Mboten pirsa?” (saya dari Jawa, Pak. Dari Sragen. Saudara Bapak siapa namanya? Narman? Wah, tidak tahu, Pak. Orang Sragen hanya saya, suami saya, dan keponakan saya. Pasarnya mana? Cempaka? Kiosnya nomor berapa? Tidak tahu juga?). Dan seterusnya.

Obrolan menjadi semakin seru seakan sebuah temu kangen keluarga yang penuh mimik keceriaan, sampai akhirnya sebuah ‘informasi’ kami peroleh bahwa kemungkinan Pakdeku itu berjualan di pasar Inpres yang terletak di antara perumahan Cempaka Putih dan jalan Mardani Raya, yang mana setelah kami kunjungi juga tidak ditemukan satu pedagang pun bernama Narman. Dan akhirnya kamipun mengalah “Ya sudah. Barangkali yang meneruskan dagangannya sekarang adalah anaknya, atau ganti komoditi, atau sudah meninggal dia”, begitu kata Bapak mengalah. Maka, kami pun melaju pulang.

Jalanan hari ini cukup lengang. Cuaca mendung. Sebuah bus meluncur melewati sebuah jembatan. Bapak berujar:

“Lho, ini ‘kan daerah Tangsi Penggorengan to? Lha, itu kali Sentiong. Dulu aku sering gendong Kakakmu di sini.”

“Ya”, jawabku “Daerah Kemayoran Gempol. Sebelah kiri itu Tanah Tinggi. Wah, daerahnya padat. Rumahnya mepet. Satu petak rumah ukuran empat kali delapan bisa diisi sepuluh orang. Premannya gila-gilaan. Dulu jaman Soeharto berkali-kali mau dihabisi dengan cara dibakar.”

Daerah yang sangat bersejarah. Ada satu wilayah di daerah ini yang terkenal dengan nama Djiong atau Jiung. Dia ini seorang jagoan Betawi yang vokal terhadap pemerintah kolonial Belanda. Atas keberaniannya, namanya kemudian di kenang oleh masyarakat sekitar Kemayoran. Namun, menurut Hamdan Arfani, pada tahun 90-an nama Jiung diubah menjadi H. Ung. Keduanya adalah orang yang berbeda. H. Ung adalah kakek dari seniman Betawi almarhum Haji Benyamin Suaeb yang pernah tinggal di daerah ini juga.

Di wilayah ini terdapat sungai Sentiong. Pernah dalam sebuah wawancara, Haji Benyamin dengan sedih mengatakan betapa sungai di Jakarta sudah ‘hilang’, termasuk sungai Sentiong ini, yang dulunya sangat jernih airnya. Begitu jernih sehingga dia, yang semasa kecil hidup di wilayah ini, sering mandi di sungai itu. Tetapi yang tampak sekarang adalah kebalikannya. Melihatnya pun jijik. Air hitam mengalir pelan. Berbusa, berbau, dan penuh sampah. Tidak ada yang sudi untuk menyentuh kecuali tukang perahu penyeberangan, atau konon, para penerbang yang baru lulus, yang diceburkan di sungai ini sebagai tanda kelulusan.

Tangsi Penggorengan adalah nama wilayah yang ditandai dengan hadirnya kompleks Militer Angkatan Darat. Terletak di tepi jalan yang saat ini bernama Rasa Mulya 1. Nama Penggorengan konon diambil dari aktifitas perajin alat penggorengan wilayah ini. Dulu, hampir setiap hari aku selalu melewati daerah ini untuk menuju ke kantor hingga hafal betul akan sudut, kesumpekan, kelusuhan, kemiskinannya. Juga hal-hal ‘ajaib’ lainnya seperti skala dan status jalan yang kabur; jalan kampung kah? Atau jalan kota? Jika jalan kota dirinya berjarak terlalu dekat dengan muka bangunan, tetapi jika jalan kampung mengapa kendaraan besar seperti bis kota melewatinya?

Begitu juga dengan Pasar Kemayoran. Aku lupa apakah pasar ini berwujud baru atau renovasi, tetapi yang tampil sekarang berwujud ‘pasar modern’ yang berdiri di antara pemukiman kampung. Wujudnya adalah corinthian-romawi klasik berwarna emas pada pucuk tiang-tiangnya, dengan bentuk muka bangunan meliuk berbalut material aluminum composite berwarna oranye menyala. Tampaknya tidak mau kalah dengan ‘eX-Center Plaza Indonesia’ di tepi jalan raya Thamrin, yang secara target pasar ditujukan bagi generasi muda MTV kalangan atas.

Kembali ke Pakde Narman.

Tiga jam kami mencari dirinya. Meskipun tidak membuahkan hasil tetapi berawal dari keinginan untuk bertemu dengannya, yang dimulai dari sebuah pasar dan berakhir pada jalan-jalan nostalgia, menjadi meditasi tersendiri bagiku. Merasakan bahwa hidup begitu bergerak bebas kemana pun arahnya. Tetapi bergerak bebas tetap memerlukan kesadaran akan batas dan perspektif, sebagai pegangan agar tidak menjadi sekedar wira-wiri atau mondar-mandir tanpa tujuan yang jelas. Kulihat melalui perjalanan ini kesadaran akan batas ini yang hilang pada masyarakat kita. Banyak sisi manusia yang hilang dan dilupakan. Digantikan oleh nilai-nilai yang bersifat semu sekedar mode. Kali ilang kedunge, pasar ilang kumandange