Friday, July 18, 2008

di Busway

Jakarta punya busway! Asyik juga.
“Udah lama lagee. Kemana aja lu?”. Begitu temanku menyambar.
Iya juga sih. Aku masih ingat waktu awal rencana pembuatan busway jadi perbincangan yang menimbulkan pro dan kontra, sampai akhirnya direalisasikan. Tapi selama itu hanya sesekali diriku naik busway, itupun hanya pada jalur-jalur pendek, karena mobil dan sepeda motor tersedia. Tapi dalam beberapa bulan terakhir ini aku betul-betul menikmati sarana angkutan umum ini. Menyenangkan sekaligus ajaib. Gabungan dari efisiensi dengan sistem yang lama kelamaan kok makin rusak. Tapi baiklah. Bagi orang Indonesia yang sudah terbiasa menderita, sistem yang berantakan tidak terlalu dipedulikan sejauh “roda bisa menggelinding”. Yang jadi kekesalan lebih kepada masalah waktu yang tidak terjadwal baik dan sering penuh sesak.

Tentang penuh sesak.
Masih bisa bersyukur juga sih, khususnya di koridor atau jalur yang sering aku lewati bis bisa berjalan lancar. Menembus kemacetan sehingga ngga perlu lama berdesak-desakan. Tapi suatu hari, dengan penuh yakin aku bersedia masuk dalam sebuah bis yang betul-betul sesak. Ngga apalah. Kupikir hanya empat bus-stop yang dilewati. Nggak lama.

Maka tangan kananku tergantung memegang “hanger”, tangan kiri mengamankan tali ransel, bagian depan-samping-belakang badan tergencet tubuh penumpang lain. Betul-betul tidak bisa bergerak. Sambil melamun menunggu bis sampai tujuan aku merasa ada yang aneh dengan tangan kananku. Terasa hangat dan sedikit gatal seperti dicucuk duri-duri kecil. Mencari tahu dan aku baru sadar bahwa di depanku berdiri membelakangiku seorang lelaki pendek, agak gemuk, berkulit hitam dengan leher model Mike Tyson, dan berkepala gundul!, tepatnya berambut sekitar 0.3 cm. Dan rambut-rambut kecil itu yang mencucuk-cucuk tanganku.
Aduuhh ... gatal sekali!!! Pengen rasanya kutiup kepala itu seperti Tarzan meniup kepala Gogon di acara Srimulat.

Huruf "A"

Apa yang menarik dari huruf “A” selain statusnya sebagai yang pertama dan selalu disandangkan kepada orang-orang pintar sebagai nilai kesuksesannya? Bagiku ada satu lagi, khususnya untuk masyarakat Jakarta yang gemar atau sehari-harinya terpaksa naik bis.

Huruf “A” selalu jadi awalan tetapi tidak berhubungan dengan nilai baik, ialah digunakan oleh para kernet untuk mengawali penyebutan tujuan bis ketika menawarkan kepada penumpang di luar. Maklum, Jakarta belum Singapore apalagi London. Tulisan tujuan yang dipasang di atas bis jarang atau bahkan hampir tidak dilihat. Hanyalah kalimat yang diteriakkan dari mulut serba kering dan berbau dari kernet yang jadi fokus perhatian.

“Aaa … labu labu labu!!!” atau “Aaa … blem blem blem!!!”. Artinya, kernet menawarkan jurusan Pondok Labu atau Blok-M. Demikian sulit meneriakkan nama tujuan yang panjang itu sehingga selalu dipersingkat.

“Tapi kok selalu diawali huruf “A” yo Mas?”, tanya seorang teman yang baru pertamakali naik bis di Jakarta.
“Ah mbuh. Ra ruh (ah ngga tau)”, jawab teman di sebelahnya yang kelaparan dan ngantuk.

Membaca Mangunwijaya

Dalam dua bulan ini serasa ada perjumpaan dengan almarhum Y.B. Mangunwijaya. Tidak, bukan perjumpaan gaib yang aku terima, tetapi melalui jejak-jejaknya. Adalah lewat diskusi-diskusi yang kubaca di sebuah mailist arsitektur, yang ramai membicarakan spirit Mangunwijaya baik melalui karya-karya pribadinya maupun yang tercermin dari karya anak-didiknya. Ada yang menggugat, bingung, merasa aneh, juga kagum. Tetapi yang cukup mengena pikiranku akhir-akhir ini adalah ketika membaca trilogi Rara Mendut-Genduk Duku-Lusi Lindri, sebuah karya tulis beliau yang sangat aku senangi selain Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa.

Mangunwijya berani untuk masuk dalam situasi yang sangat tidak mengenakkan dan menggembirakan pembaca. Sebetulnya tidak aneh juga mengingat banyak penulis yang melakukan hal ini, seperti Ahmad Tohari dan Pramoedya misalnya. Tapi bagiku, situasi sedih dan penderitaan yang diangkat Mangunwijaya lepas dari kesan romantis, kadangkala bertubi-tubi, dan diselesaikan bukan dengan kegembiraan model happy-end a la Hollywood melainkan keheningan batin meditatif dimana di dalamnya hati manusia mampu menerjemahkan kesedihan dan kematian dengan akal-budi dan hati yang sehat. Terasa dia ingin berbicara banyak lewat karya-karyanya di luas bahasa estetika yang seringkali begitu mudah diserap indera tetapi sial seribu sial juga membuat manusia sering sulit menerjemahkan makna sebenarnya di balik keindahan itu sendiri. Begitu juga aku, sering sekali ramai membicarakan buah karya dan pikiran orang besar hanya karena kesan intelektual dan keindahannya, dan berharap kesan tersebut melekat juga dalam diriku.

Tetapi aneh, dalam memahami Mangunwijaya, semakin jauh menyelaminya semakin sulit pula aku memahaminya. Sampai di suatu titik dimana atas peran seseorang yang sangat membantuku dalam menerjemahkan Mangunwijaya, aku menjadi sadar bahwa ketika dirinya (Mangunwijaya) berkarya, dibalik ketekunan dan etos kerjanya yang demikian besar, semua itu didasari sikap hidupnya dalam memilih matiraga, menyendiri sekaligus membaur di kehidupan, dan konsisten meletakkan buah karyanya semata-mata sebagai sarana untuk keselamatan jiwa-jiwa orang-orang yang tersisih. Populer dia tidak mau meskipun media membentuk dirinya sebagai manusia yang terkenal. Melalui itu semua dirinya mempunyai tujuan dalam karya-karyanya.

Mangunwijaya adalah seorang religius dalam arti sebenarnya yaitu seorang Imam Katolik. Namun demikian hidupnya tidak terjebak dalam religiositas yang sempit, sehingga membaca orang seperti dirinya akan sulit dilakukan jika kita semata menempatkannya dalam tataran kapitalisme, lifestyle modern, dan bahkan juga dalam ranah religiositas itu sendiri. Tidak, setahuku dirinya juga tidak anti dengan nilai modern atau yang berseberangan dengan “kaum cilik” karena sebagai Pastor Praja dia mengemban tugas menjadi teman seperjalanan bagi semua orang. Hal itu tercermin juga dalam pandangan-pandangannya yang netral yaitu ketika bercerita tentang rakyat jelata maupun priyayi ningrat dalam beberapa tulisannya.

Ibarat sebuah pernyataan yang mengatakan : bagaimana mungkin seseorang bisa tahu bahwa di atas gunung ada jurang kalau dia sendiri tidak mendaki dan mengunjunginya. Dari foto? Bisa jadi. Tapi itu bukan sebuah pengalaman otentik yang layak-bangga diceritakan. Demikian pula terhadap seseorang seperti Mangunwijaya. Tidak mungkin aku bisa betul-betul menyelami pemikirannya kalau tidak hidup dalam dunia yang membentuk tujuannya dalam berkarya.

Si Mak


Dua minggu lalu, Norman adikku, yang tengah liburan sekolah berkunjung ke Jakarta. Ketika asyik ngobrol kami masuk ke dalam topik rencana reuni akbar keluarga besar yang akan diadakan di Yogya tengah bulan ini. Terbayang betapa hingar suasana dalam reuni nanti. Maklum, keluarga besar Ayah mempunyai budaya srimulat. Nyablak asal ngomong, membadut, dan tentu saja membicarakan semua hal yang pernah ada di sekitar kami, apalagi dalam suasana reuni.

Salahsatu sosok yang selalu diingat oleh keluarga ialah si Mak. Begitu kami memanggilnya. Seorang perempuan tengah baya yang setia mengabdi keluarga secara bergiliran : dari melayani Eyang Putri hingga wafat, “mampir” di keluarga Bude Nur, dan terakhir mengabdi di keluarga kami di Pakem Kaliurang sampai akhirnya dipanggil, ya, belum dipanggil yang Maha Kuasa waktu itu, tapi dipanggil atau tepatnya diminta salahseorang anak perempuannya. Untuk menemani katanya.

“Aku kalau ingat kok ingin ketawa yo Mas”, begitu kata Norman sambil tertawa. Teringat sesuatu yang menggelikan tampaknya.
“Apa itu?”
“Itu lho. Ingat ngga waktu aku masih SD? Dan Mas masih tugas akhir. Waktu itu kan lagi seru-serunya masalah Timor-timur.”
“Njur?” (lalu?)
“Lha, Bapak kan paling seneng nonton berita masalah Tim-tim. Nah ... ha-ha-ha!”. Ketawa lagi dia. “Lha ayo teruske ceritamu”, kataku ikut ketawa juga. Bukan karena cerita lucunya yang belum ketahuan lucu yang bikin aku ketawa, tapi karena melihat cara dia ketawa.
“Lha itu ... TV ‘kan nyebut Xanana Gusmao terus ... dan ha-ha-ha-ha!!!” Terpingkal-pingkal si Norman memegang perutnya. Nah, waktu itu Si Mak sambil bikin teh ngomong “Xanana karo Gusmao kuwi ngopo to yo? Isane kok mung pada eker-ekeran terus”. (Xanana dan Gusmao ngapain aja sih. Kok bisanya berantem terus). Tentu, mendengar cerita konyol itu aku jadi ketawa juga. Xanana DAN Gusmao he-he-he.

Ah, si Mak memang perempuan desa yang lugu. Tahunya cuma mengabdi. Olah-olah dan umbah-umbah. Mengenai Xanana Gusmao, Timor-timur apalagi reformasi, nah manusia jenis si Mak ini bukan tidak peduli, tetapi orang Jawa pengabdi dia. Keturunan petani yang cinta harmoni. Baginya simpang –siur kehidupan lumrahnya tidak dilawan tetapi dihayati, dijalankan dengan mengemban amanah damai dari Gusti Allah. Bodoh? Mungkin? Tapi tidak dipungkiri sikapnya membawa kesejukan.