Thursday, March 22, 2012

Nyepi

Suatu sore di tahun 2010, guruku menjelaskan perihal id-ego-superego dalam diri mahluk yang disebut Manusia. Dia berkata bahwa dalam pencapaian proses kematangan manusia, ketiga hal itu harus berjalan berurutan, satu melampaui yang lain, seperti mengupas bawang dari kulit hingga inti. Ketika manusia sampai pada 'inti bawang' maka disitulah akan berjumpa dengan sisi dirinya yang bukan lagi fisik: suatu 'kekosongan'.


"Kau tahu", katanya, "Inti bawang bukanlah benda padat tetapi lubang kosong! Demikianlah manusia. Ketika dia berhasil melampaui proses id-ego-superego, maka dia akan menemukan kekosongan. Bayangkan bahwa yang menopang diri kita adalah kekosongan!"


Tetapi kekosongan tetaplah ada meskipun tidak tersentuh oleh kelima indria manusia. Kekosongan bukan suatu kehampaan yang sia-sia. Manusia hanya tidak bisa menangkapnya dengan indria dan menjelaskannya. Maka dia disebut : kosong.


"Yang lebih mengherankan", demikian guruku, "Seluruh proses menuju kepada kekosongan terjadi secara satu arah. Seakan-akan ditarik oleh sesuatu daya kuat yang disebut kosong tadi. Aneh, kosong tetapi mampu menggerakkan. Unsur apa yang ada di dalam ruang kosong itu, yang tidak terlihat oleh indria tetapi mempunyai daya untuk menggerakkan seluruh unsur dalam diri manusia?" Seorang teman mengacungkan jari dan berkata, "Tuhan".


Mendengar jawab temanku guruku tersenyum. Dia katakan lagi,"Jangan terburu-buru mengatakan Tuhan, Nak. Kecuali kamu sudah mencari dan menemukan dengan segenap hatimu, segenap jiwamu, dan segenap akal budimu".


***

Ya, Tuhan memang harus 'dicari'. Atau lebih tepatnya manusia harus mau memperjuangkan suatu pencarian akan Tuhan. Tidak sekedar mau menerima saja seperti anak manja. Seperti halnya kita tidak berhenti berjuang mencintai orang yang kita sayangi. Dan mencari Tuhan pertama-tama bukan sekedar terlibat dalam pelayanan, ritual, dan doa yang indah tetapi keberanian untuk masuk (justru) ke dalam diri sendiri, ke dalam kekosongan yang ternyata menjadi pondasi manusia; sejenak meninggalkan blackberry, iphone, android, internet, facebook dan segala rupa nilai-nilai duniawi, untuk berjumpa dan menerima kekosongan secara jujur, yang ternyata menyimpan kekuatan dan kubusukan kita, juga "Sang Ada yang Baik" yang siap berkolaborasi untuk mengolah kekuatan dan kebusukan itu menjadi sesuatu yang baik.


Demi alasan itu, seturut keyakinaku, saudaraku umat Hindhu melakukan tapa. Nyepi. Selemat berhening saudara. Selamat berjumpa denganTuhanmu dalam seluruh apa adanya dirimu. Seperti kuingat percakapan antara Isa putera Maryam dengan perempuan di dekat sebuah sumur. Dalam percakapan itu Isa hanya berkata," ada waktunya Allah tidak disembah di sana dan disini, tetapi di dalam hati manusia".


***


Sunday, March 18, 2012

Di Calamba


Di Calamba City aku tinggal di suatu tempat yang dikenal dengan nama Saint Albert the Great Convent. Di tempat ini tinggal para biarawan dan calon biarawan Dominikan yang lazim disapa dengan sebutan Brother. Kata Dominikan sendiri diambil dari nama Dominikus de Guzman. Dia adalah pendiri Ordo Praedicatorum yang meletakkan dasar hidup intelektual dalam Gereja.

Biara Saint Albert the Great letaknya tidak jauh dari perkampungan yang penuh dengan warung atau Sari-sari Store dalam bahasa setempat, sebuah biara lain dari Ordo Carmelite, dan kompleks sekolah Colegio de San Juan de Letran Calamba.

Tempat tinggal kami sangat sederhana; terdiri dari tiga blok bangunan di tengah kebun yang sangat luas. Blok utama di bagian muka berbentuk memanjang ke samping. Dua blok lainnya di sisi kiri dan kanan memanjang ke belakang.

Blok kiri adalah rumah yang diperuntukkan bagi para brother tahap aspiran, yaitu mereka yang masih dalam tahap penjajagan awal. Blok depan dan kanan hampir seluruhnya digunakan oleh para brother postulan, yaitu mereka yang sedang mempersiapkan diri masuk 'kawah candradimuka', atau lazim disebut novisiat. Bersama para brother tersebut tinggal pula para pastor formator atau pembina yang saat itu dijabat oleh Father Cecilio Vladimir Magboo dan Romualdo Cabanatan, Jr.

Di blok ini terdapat kamar tidur, kamar mandi umum, gudang, ruang musik, ruang billiard, sebuah hall yang berhadapan langsung dengan kapel, ruang rekreasi, refectory atau ruang makan, perpustakaan, ruang studi, kamar tidur tamu, dan ruang kerja Formator.

Di belakang blok yang dihuni para aspiran dan postulan terdapat rumah cuci, carport, lapangan olah raga. Dan masih jauh di belakang lagi terdapat rumah yang dihuni beberapa biarawan senior yang berkarya untuk Colegio de San Juan de Letran. Mereka adalah Father Rolando Castro, Honoratus Castigador, Benjamin San Juan, Felix Legaspi III, Quirao, dan seorang biarawan non imam, yaitu Bruder Nelson Taclobos.

Kamar tidurku sangat sederhana tetapi cukup besar karena aku tidak tinggal sendiri di dalamnya. Di biara ini setiap kamar ditempati dua atau tiga orang. Masing-masing mendapatkan tempat tidur, kasur, bantal, lemari pakaian, meja tulis, buku refleksi harian, dan brevir.

Joseph Aaron Sadia atau biasa disapa Aaron, adalah rekan sekamarku. Dia adalah anggota termuda kedua dalam komunitas kami. Beberapa anggota lainnya adalah Giomen, Mervin, Rocky, Geronimo, Bjorn, Ralph, Alex, Jherico, Paulo, Robert, Bautista, dan Nico. Sebagian besar dari mereka masih sangat muda, sebagian lagi pernah bekerja. Misalnya Jherico yang pernah bekerja pada perusahaan konstruksi bangunan milik keluarganya, Alex dan Robert yang adalah guru, dan Ralph yang perawat.

***
Acara harian di biara ini tidak padat, khususnya bagi brother postulan. Memang, di tempat ini kami lebih banyak dibawa dalam kondisi hening sebagai langkah persiapan ke tahap selanjutnya.

Setiap pukul 4.45 subuh seorang yang mendapat giliran bertugas sebagai "bell boy" akan berjalan mengitari kamar para brother sembari membunyikan lonceng kecil sebagai tanda waktu bangun pagi. Diulang pada pukul 5.15. Hal yang sama juga dilakukan setiap menjelang acara bersama.

Setelah lonceng berdering kami bangun dan mandi, mengenakan seragam, mengambil brevir, dan berjalan ke kapel besar di kompleks Colegio de San Juan de Letran untuk melakukan ibadat Invitatorium atau pembuka, yang dilanjutkan dengan ibadat Laudes atau ibadat pagi dan misa sebagai pembuka hari.

Selesai ibadat para brother menuju refectory untuk santap pagi. Sebelum bersantap kami berdiri di belakang kursi masing-masing sembari mendengarkan bacaan singkat yang dibacakan oleh salah seorang dari kami. Selesai bacaan singkat itu Father Formator akan mengatakan "bless us, o Lord" dan disambut oleh para brother, "and these your gifts which we are about to receive from your bounty, through Christ our Lord"'. Diucapkan serentak, dan semuanya suara laki-laki.

***
Hari-hari berjalan. Di antara "saat teduh" dan acara rutin kami melakukan beberapa kegiatan spesial seperti mengajar murid-murid sekolah dasar Bucal Calamba, menghadiri modular class, dan belajar bahasa latin.

Beberapa kali kami juga harus menjalani serangkaian psikotes yang biasa dilakukan di University of Saint Tomas Aquinas atau UST di Manila, yaitu sebuah lembaga pendidikan yang sudah berumur 400 tahun yang dimiliki oleh Ordo Dominikan. Maka untuk sementara waktu kami harus meninggalkan tempat tinggal kami di Calamba untuk menginap sementara di Central Seminary yang terletak berdekatan dengan kompleks UST, di sebuah bangunan tua berlanggam klasik Spanyol dimana tinggal para calon pastor sekulir yang sedang menjalani pendidikan di bawah bimbingan para biarawan Dominikan.

Atau diminta juga untuk menghadiri acara yang diselenggarakan oleh ordo. Pada saat inilah kami berjumpa dengan saudara-saudari se-ordo atau berkenalan dengan anggota ordo lain: Jesuit, Franciscan, Carmelite, Soverdian, Augustinian, Benedictine, dan masih banyak lagi.

Seluruh kegiatan itu menjadi bagian dalam hidupku. Bergulir dalam ikatan komunitas, dalam suasana yang penuh dengan keramahan, pengertian, kasih, persaudaraan, kritik, dan dukungan menuju ke satu titik kehidupan di depan yang tidak kami ketahui wujudnya. Ya, betapapun indah dan teratur sebuah ritme hidup, namun semuanya serba tidak pasti. Hanya harapan yang bisa kami pegang.

Tetapi harapan bukanlah suatu wujud pasti juga, yang dengan sendirinya sudah ada di masa depan yang kami kejar. Harapan ada pada saat ini, dibentuk oleh manusia yang sungguh percaya bahwa hidup adalah suatu nilai yang harus diperjuangkan, menghidupi realitas yang tidak pasti yang selalu membutuhkan klarifikasi. Seperti Father Romualdo katakan kepadaku pada suatu malam, "kita akan selalu melakukan klarifikasi, Brother. Bahkan saya sekalipun".
Suatu klarifikasi selalu dibutuhkan agar manusia sadar akan apa adanya dirinya: sosok simple seperti apa yang Tuhan rencanakan dan bukan menampilkan ribuan topeng. Simple bukanlah 'biasa saja' atau 'kurang'. Simple adalah esensi, yang memberi kejelasan akan posisi manusia di dunia.

Siapa yang mengklarifikasi dan diklarifikasi? Descartes, Sartre, Derrida tentu akan menjawab: saya! Maka klarifikasi hanya akan terjadi jika manusia mau sejenak meninggalkan kesibukan dan mengambil waktu masuk dalam keheningan batin untuk bertanya kepada diri sendiri.

Maka itulah yang terjadi; di Calamba yang hening, pada suatu malam selepas ibadat Completorium, dengan rosario di tangan aku beranikan diri membuka pintu hati untuk bertemu sosok yang sangat kukenal selama tahun-tahun kehidupanku: dia adalah aku. Perjumpaan ini tidak hanya sekali kulakukan tetapi berulangkali. Setiap malam sembari menjelajahi sudut-sudut gelap ditemani pepohonan tua dan angin yang aku rasa sudah hadir sejak waktu tak terhitung.

***
Pada awalnya sosok itu terlihat diam. Tetapi pada hari berikutnya dia menampilkan diri sedang bekerja memperbaiki sebuah rumah lama yang bocor dimana-mana. Meski demikian banyak orang berteduh di dalamnya.

Di hari selanjutnya kulihat semakin jelas bahwa sosok itu tidak bekerja sendiri. Ada seorang laki-laki yang menemaninya. Laki-laki itu terlihat mahir dalam ilmu pertukangan dan terlihat bersemangat dalam pekerjaan yang mereka kerjakan bersama.

Laki-laki itu tampak penuh kharisma dan agung. Bahkan melalui percakapan antara mereka akhirnya aku tahu bahwa laki-laki yang menemani sosok yang kusebut dengan "aku" itu adalah orang yang selalu menemani "aku" sejak masa kelahirannya, membantu dalam masa-masa sulit, memberi semangat dalam masa-masa hilang harapan.

Sampai suatu malam kulihat sosok yang kusebut "aku" itu melepaskan alat kerja yang dipegang dan beranjak pergi menuju ke suatu lembah yang senyap. Lembah yang penuh doa-doa. Laki-laki yang menemaninya kulihat juga berhenti bekerja, sejenak termenung hingga akhirnya berkata,"jangan pergi. Kita hampir selesai". Kata-katanya diucapkan berulangkali, berebut dengan waktu yang terus berjalan. "Jangan pergi. Lihat dinding sudah terpasang rapi. Atapnya juga ... sebentar lagi terpasang. Lihat! Sudah banyak orang berteduh di tempat ini ... "

Dingin dan hening sempurna. Silentium Magnum .... Semua hal masih tampak tidak pasti. Yang pasti hanya aku yang sedang menggulirkan butir-butir tasbih, ditemani Apols, anjing penjaga biara.

Menjelang subuh aku kembali ke kamar. Di koridor yang hening dan tampak angker, pelan-pelan muncul dalam ingatanku kata-kata salah seorang Brother,"Kamu arsitek, Brother. Matilah sebagai arsitek. Seperti Ayrton Senna, sang pembalap legendaris mati di sirkuit. Seperti Isa putera Maryam, tukang kayu yang mengakhiri hidupnya pada sebatang kayu.

***