Sunday, October 11, 2009

Lik Tarno Mencari Tuhan


Ini kisah sehari di hari Minggu 4 Oktober di Kampung Sawah. Kisah tentang menemani seorang penggiat sosial PPM Atmajaya Jakarta yang sedang membangun rumah. Mas Tarno namanya. Herman Yosef Sutarna lengkapnya. Aku mengenalnya lewat Lesnanto temanku yang tidak lain adalah kemenakannya.


Pertemuan kami sebetulnya sudah terjadi 2 minggu sebelumnya. Ketika itu Mas Tarno, yang mengakui bahwa dirinya jenis manusia yang tidak dekat dengan Gereja menceritakan keinginannya untuk memiliki sebuah rumah yang dekat dengan bangunan gereja. Tujuannya agar anak-anak - Oka dan Luhita - bisa terjaga keimanannya. Selama ini Mas Tarno merasa tidak memiliki waktu dan kemampuan untuk mendidik anak-anaknya dalam hal kerohanian. Untuk itu dia mempercayakan peran tersebut kepada "gereja" - entah melalui bentuk apa nantinya, bahkan mungkin lewat cara yang paling naif sekalipun : mencari lokasi rumah dekat dengan gereja.


Maka, sebagai ungkapan niat dia membeli sebidang tanah seluas 150 meterpersegi di Kampung Sawah tidak jauh dari gereja Servatius dan sesegera mungkin membangunnya, meskipun dengan metode rumah tumbuh untuk menghemat biaya.


Bersama Lesnanto kami bertiga sempat mendiskusikan konsep rumah mereka. Secara pribadi aku sangat tertarik dengan keinginannya untuk menjaga keimanan anak-anaknya. Tetapi, jujur juga kuungkapkan kepada Mas Tarno dan Les bahwa aku tidak terlalu percaya kepada lembaga gereja apalagi kalau hanya berwujud sebongkah gedung saja. Bagiku, awal pertumbuhan iman seseorang berawal dari keluarga yang secara fisik diwakili oleh rumah. Maka muncullah sebuah pandangan, yaitu untuk menjadikan rumah mereka sebagai gereja. Dan gereja Servatius, tentu kami masih menghormati keberadaannnya sebagai tanda hadir Tuhan, kami lihat bukan lagi sebagai datum (satu-satunya arah) melainkan sebagai teman seperjalanan dalam membangun sebuah Gereja. Gereja Servatius diharapkan mampu memberikan inspirasi melalui kegiatan dan peran sakramental di dalamnya, dan rumah Mas Tarno ... di luar ranah religius diharapkan mampu menjadi tanda kehadiran Tuhan dan Gereja melalui aktifitas penghuninya yang sangat nyata.


Terbersit juga ide untuk mewujudkan cita-cita tersebut dengan cara : menciptakan ruang yang hidup yang tidak berhenti dan selesai pada satu masa melainkan berkembang dan memiliki unsur fisik yang memungkinkan penghuninya ikut memberi sentuhan, ikut berkarya, ikut mewarnai, yang ujungnya diharapkan tercipta dialog antara Suami-Istri-Anak. Lewat dialog-dialog itu nantinya kami sadar pemahaman iman bisa dimasukkan. Dan rencana kami dimulai dari sebuah hari dimana seluruh keluarga bisa berkumpul bersama, melihat gereja Servatius, menyusuri jalan-jalan menuju lokasi, merasakan lingkungannya, berdialog tentang kenapa Ayah-Ibu memilih lokasi tersebut, memberi pengertian kepada anak-anak perihal pembangunan yang harus serba irit dan tidak langsung jadi. Dan untukku secara pribadi - seperti biasa - memberi mereka peluang untuk ikut menentukan ruang dan memilih material.


Pukul 08.30.

Aku dan Lesnanto tiba di Kampung Sawah. Sembari menunggu Mas Tarno yang baru tiba di Jakarta dari Muntilan memboyong tukang-tukang kami mengikuti perayaan Misa Kudus.


Selebran ketika itu adalah Romo Sarjumunarsa. Beliau memberikan kotbah yang menarik tentang kemiskinan. Lumayan, membangunkan aku yang sempet merem karena setiap 5 jam sebelumnya minum 2 butir pain-killer.


Menurut pandangan sang Pastor, seperti halnya agama lain, kemiskinan patut dihindari. Dan cara untuk menghindarinya tidak selalu harus menjadi orang kaya tetapi menjadi orang yang punya niat. Secara khusus kotbah ini menjadi inspirasi dalam diskusi-diskusi kami nantinya.


Selesai misa hujan turun deras sekali. Kami menunggu cukup lama, sampai akhirnya 1 jam kemudian Mas Tarno datang dengan sepeda motor berboncengan dengan Luhita dan seorang kerabat yang dipanggil Pakde, yang rencananya akan mengomandani pembangunan rumah. Kemudian kami berjalan bersama menyusuri kampung yang masih asri : hampir setiap rumah mempunyai teras, halaman, dan penghijauan. Pohon-pohon besar di sepanjang jalan.


***


Lahan milik Mas Tarno diapit dua buah rumah sederhana. Posisinya lebih turun 50 cm dari muka jalan kampung. Di bagian belakang terdapat puluhan pohon nangka besar dan sebuah sumur. Di antara lahan dengan rumah tetangga di sebelah kiri terdapat jalan tanah selebar 1,5 m yang menerus menghubungkan rumah di belakang.


Kami juga bertemu dengan pemilik rumah sebelumnya. Bertandang di ruang tamu yang sederhana sembari minum kopi. Sungguh, sebuah rumah sederhana dan kecil. Lantainya terbuat dari semen yang di beberapa sudut mulai rusak. Biliknya terbuat dari plywood. Pintunya bukan berupa panel tetapi kain gordijn. Atap, seperti umumnya rumah kampung, terdiri dari rangkaian rangka kayu yang terekspos berbalutkan genteng tanah liat yang susunannya tidak terlalu rapat. Bersama pemilik rumah kami juga sempat mengukur ulang, mendirikan patok, dan membuat batas. Tidak profesional tetapi cukup bermodalkan kepercayaan.


Tidak lama kemudian Mbak Anti, istri Mas Tarno, datang bersama putera sulungnya dan 7 orang tukang. Mereka juga membawa plastik yang biasa dipakai untuk tenda dan beberapa peralatan. Entah, aku ngga tahu apa yang selanjutnya mereka lakukan dengan barang-barang tsb. tapi untuk sementara aku sibuk di ruang tamu pemilik tanah sebelumnya. Menerangkan Mas Tarno, Luhita, dan Lesnanto foto contoh rumah yang bisa dijadikan referensi pada tahap pengembangan desain selanjutnya. Sempat juga ngobrol panjang lebar bersama tuan rumah yang adalah buruh serabutan.


Siang hari menjelang sore Lesnanto mengajak makan siang yang ternyata masakannya sudah disiapkan oleh Mbak Anti. Sebuah acara makan siang yang unik : duduk bersama di atas plastik tenda yang difungsikan sebagai tikar, digelar di atas rumput pada lahan yang akan dibangunan nantinya. Seperti model tamasya jaman dulu. Tetapi bagi calon pemilik rumah acara tersebut tidak lain sebagai selamatan. Maka akupun makan bersama mereka. Bersama keluarga calon penghuni rumah, juga bersama para tukang yang malu-malu, dalam suasana mendung di bawah naungan pohon-pohon nangka. Di sini aku belajar untuk mengatasi diri : meskipun kata orang aku jorok serba saru dan seru, tetapi sebetulnya jijikan juga, apalagi kalau harus makan di atas rumput dekat tanah yang basah penuh kotoran dan dekat kamar mandi pula. Oh my God! Hanya karena melihat semua yang hadir semangat maka akupun bertahan. Mereka begitu merayakan peristiwa ini.


Selesai makan kami sedikit berbincang dengan para tukang yang dikomandani Pakde. Membuat beberapa rencana berikutnya yang harus diawali dengan pembersihan lahan. Tidak ada gambar-gambar yang terlalu detail sebagai dasar pijakan. Cukup gambar skematik terukur skalatis, dan selebihnya adalah kepercayaan. Dalam hal ini aku juga tidak ingin mengunci mereka. Asalkan pijakannya sudah betul, yakni pondasi, konstruksi, dan ruang-ruangnya maka selebihnya biarlah mereka yang berperan menentukan perkembangan fisik bangunan, dengan harapan menemukan Tuhan dalam prosesnya yang terekam dalam dialog untuk menentukan segala hal yang terbaik bagi rumah yang akan dihuni. Baik bagi Mas Tarno dan keluarga, juga baik bagi keluarga terhadap lingkungan dan gereja Servatius. Ada keyakinan yang kuat dalam diriku bahwa proses membuat rumah ini akan menjadi sarana terjalinnya relasi antara keluarga Mas Tarno dengan tuhan mereka. Alasan apa yang membuat aku begitu yakin? Karena keluarga Mas Tarno kuihat mempunyai tujuan itu, membuka diri terhadap prosesnya, dan merayakannya.


Sayup-sayup masih kuingat kata-kata Romo Sarjumunarsa dalam kotbahnya tadi pagi :"kita mungkin tidak punya banyak harta benda. Tapi kita tidak miskin karena memiliki niat. Maka, marilah kita cari utangan, cari kredit. Kredit dalam bahasa latin, seperti Credo, berarti percaya".



Tuesday, September 29, 2009

Sang Pembawa Pesan


Dulu orang-orang selalu memanggilku dengan sebutan Dik. Kependekan dari kata Adik. Karena aku sempat terlahir sebagai anak ragil atau bungsu.


Tahun 1978 aku pernah mempunyai seorang adik laki-laki yang sekarang terbaring berbungkus kain kafan bersama jasad Ibu, bertetangga dengan para sesepuh dan kerabat. Kelahirannya nyaris membuatku urung menjadi anak bungsu. Dan setelah peristiwa kematiannya tidak terbayangkan olehku akan mempunyai seorang adik lagi. Maka dalam tahun-tahun selanjutnya aku tetaplah anak bungsu.


Tak disangka, pada tahun 1992 lahirlah seorang laki-laki. Dialah adikku sekarang. Lahir dari rahim yang berbeda dengan kami, ketiga saudaranya.


Dia diberi nama Norman Mahardika. Kata Mahardika diambil karena hari lahirnya yang bertepatan dengan hari kemerdekaan Indonesia. Tetapi untuk “Norman”, kali ini Bapakku tidak lagi berfilosofi seperti ketika memberikan aku dan kedua kakakku nama. Kata “Norman” diambil secara praktis saja : waktu itu Bapak yang sangat menyukai cerita kepahlawanan sedang gandrung dengan Jenderal Norman Schwarzkopf, serigala padang gurun di pertempuran Teluk.

Banyak pertanyaan muncul di seputar kelahiran Norman. Seperti disebut di atas, dia lahir dari rahim yang berbeda sehingga mereka yang melihatnya menyangsikan nilai harmoni di antara kami, dan tentu saja ketulusan kami terhadapnya. Pertanyaan itu secara tidak langsung rasanya lebih ditujukan kepada kami kakak-kakaknya, terutama aku yang selalu nyaris bungsu.

Kehidupan terus bergulir. Bersama kedua kakakku aku terus bertumbuh. Melewati masa sebagai pelajar SMU, hidup sebagai mahasiswa arsitektur, sebagai pekerja di bidang industri arsitektur. Kami juga melewati masa-masa ketegangan pencarian jati diri. Menjadi berjarak dengan Bapak-Ibu. Kadang menentang mereka tetapi juga belajar memahami dan menerima kemanusiaan mereka dengan segala potensi dan kerapuhannya.

Sampai akhirnya bisa berpijak di atas kaki sendiri dan merefleksikan kembali perjalanan hidup, aku melihat tidak ada yang janggal dalam hubungan kami dengan Norman. Ketidakharmonisan hubungan seperti yang ditakutkan oleh beberapa orang dulu hanyalah pikiran yang serba terbelenggu kebiasaan berpikir negatif. Sebaliknya, kuingat bahwa kami banyak terlibat peristiwa yang membuat saling menemani. Menemani dia bermain dan mengenal alam, bercerita tentang ragam keilmuan. Ketika dia beranjak dewasa kami berbagi tentang kehidupan yang lebih luas. Bahkan, yang lebih mengesankanku, dalam sebuah kesempatan aku diperkenankan menjadi wali dalam sakramen Krisma baginya. Menemaninya dalam sebuah peristiwa maha penting dalam kehidupannya sebagai seorang Katolik. Masih kuingat dan kusimpan dalam hati ketika tanganku memegang pundaknya dan di saat yang sama Monseigneur Ignatius Suharyo menumpangkan tangan di kepala Norman. “Terimalah Roh Kudus”, kata Sang Uskup, diiringi alunan lembut bait Veni Creator Spiritus yang berkumandang di sebuah gereja di lingkungan Biara Missionarium a Sacra Familia.

Saat aku menulis cerita ini Norman adalah seorang pemuda berumur 18 tahun. Menanti babak berikutnya sebagai seorang mahasiswa. Kulihat dia begitu gelisah menanti peristiwa-peristiwa yang akan terjadi nanti di depan. Sebagai orang yang pernah melewati masa-masanya aku bisa merasakan ketakutan, keraguan, semangat, dan kegembiraannya.

Dia juga cerdas dan sangat sensitif. Seorang pemaaf yang sejak kecil harus belajar menerima adanya dua Ibu. Dia sangat mencintai Ibu kandungnya dan Ibuku yang selalu kompak untuk urusan tarik suara ketika dirinya masih bergabung dengan kelompok paduan suara anak-anak.

Dia juga sangat bangga dengan sekolahnya – yang semuanya berisikan murid laki-laki – terutama dengan praktek ajaran mencari tuhan dalam kehidupan yang dijalani melalui penghayatan dalam pekerjaan sebagai buruh tambang kapur di Wonogiri, sebagai penjual bensin eceran, atau pencuci gerbong kereta api.

Tetapi bagiku, di antara rasa khawatir dan semangatnya dalam menapak masa depan, tersirat rasa percaya yang besar akan dirinya. Percaya bahwa kehadirannya di dunia bukan sekedar buah dari permainan asmara Kama-Ratih yang akhirnya lahir dalam sebuah keluarga yang rapuh. Pelan-pelan disingkapkan bagiku tentang peran seorang anak yang selama 18 tahun kami temani, yang sejak kecil sudah merasakan pahit-getir kehidupan. Bagiku dia seperti seorang malaikat yang harus hadir di tengah kerapuhan sebuah keluarga. Dia hadir untuk hidup berdua dengan Bapak. Menemani beliau yang saat ini kesepian dan jatuh di hari tuanya. Dia menggantikan peran kami - kakak-kakaknya yang harus pergi jauh.

Dia juga menjadi rahim bagi kami. Menjadi tanda agar selalu setia untuk menjalani kehidupan dengan rendah hati dan tidak keduniawian. Menjadi tanda bahwa hidup tidak melulu terarah bagi diri sendiri. Bagiku kehadiran Norman menjadi sebentuk alat yang melatih hati agar tetap dalam kondisi hening, agar mampu melihat apa yang bisa kulakukan untuk mempersiapkan jalannya. Barangkali, kehadirannya dalam keluarga kami yang rapuh hanya sebagai persiapan untuk memasuki tugas-tugas yang diembankan kepadanya.

Friday, September 18, 2009

Mata Satya

Satya temanku. Dia teman sejak aku kecil, saat kami hidup sebagai anak kampung Prawirodirjan nun 25 tahun yang lalu. Dulu perawakannya kecil. Kami sering main perang-perangan bersama di kuburan Belanda, berenang di bendungan kali Code di wilayah Mergangsan atau kali Gajah Wong di Muja-muju. Kami juga sering mengunjungi museum pesawat di Maguwo sembari mimpi menjadi penerbang, atau mencuri-curi waktu naik kereta barang dari stasiun Lempuyangan ke stasiun Tugu.

Sampai studi di bangku universitas kami masih tetap awet berteman baik, bahkan sampai sekarang, meskipun tidak secara rutin bertemu dan bersapa. Tentu tidak lain karena kesibukan masing-masing. Aku sibuk dengan peranku sebagai arsitek dan dia sibuk sebagai seorang penulis lepas. Tetapi, dibanding aku yang arsitek, kuakui kemampuannya membuat sketsa tangan jauh lebih baik dariku.

Sudah lama kami tidak bertemu. Dan kemarin malam di dalam kamarku yang sepi menjelang Idul Fitri – tidak kusangka – aku dikejutkan dengan sms darinya. Ingin bertemu denganku katanya, mencuri waktu di sela kedatangannya di Jakarta yang hanya beberapa hari saja. Maka jadilah kami bertemu di sebuah gerai kopi di Jakarta Pusat.

Aku tertawa dan terpana waktu melihat dirinya masuk ke gerai kopi. Satya makin subur dan gemuk. Berbeda dengan 5 tahun yang lalu. Tapi satu yang rasanya tetap, selalu setia dengan blue-jeans dan kaos polos lengan pendek. Sangat khas dirinya.

Dia masih setia juga dengan sketch-book. Bedanya dengan dulu dimana yang dibawa adalah sketch-book tebal dan besar, kali ini tampak lebih praktis, yaitu setengah folio. Cara menempatkan pena juga berubah : digenggam dalam tangan saja. Tidak lagi digantung di leher kaos yang sering meninggalkan noda tinta di dada.

Ditemani hot chocolate dan black coffee kesukannya kami berbincang, tetapi tidak selalu dipenuhi dengan pembicaraan yang panjang lebar serba kangen-kangenan. Kadang kami saling memandang saja sembari tersenyum. Ya, itu bahasa yang kami miliki sebagai sahabat. Dia memahamiku dengan segala tingkah-polahku. Begitupun aku memahami sifat pendiamnya di balik keriaanya. Banyak yang tidak tahu bahwa sebetulnya dia pendiam. Sangat pendiam. Hanyalah karena kebaikan hatinya yang selalu ingin membuat orang lain merasa nyaman maka dirinya bersikap luwes, dan kadang penuh banyolan yang membuat orang tertawa. Tapi sering dalam situasi tertentu aku melihatnya dalam ujud aslinya. Diam, merenung-hening. Sifat yang mungkin hanya diketahui oleh sedikit orang saja, dan kutebak : kekasihnyapun tidak tahu.

Sebagai sahabat kami merasa senang dengan sekedar ditemani. Misalnya malam itu sembari membuat sketsa dia berbicara sekelumit kalimat namun mengandung makna yang dalam. Kadang wajahnya tidak menatapku sama sekali melainkan sketch-book yang digores-goresnya dengan tinta seakan-akan lembaran kertas itu adalah diriku.

“Belum berniat menikah juga?”,tanyaku
“Belum. Kamu sendiri? Entahlah. Sering aku mencari-cari apa yang salah dalam diriku. Tapi semakin dicari tidak juga ketemu. Yang ada aku malah dihadapkan pada banyak peristiwa yang membuatku bingung untuk memilih. Tapi mungkin itu juga bias dari sifatku ya … kamu kan tahu aku peragu. Tapi ….”
“Tapi apa?”
“Hmm … kadang aku tidak terlalu merasa bersalah dengan keraguanku. Sering itu seperti sebuah insting yang sangat kuat dan akhirnya tetap berbuah pada kepastian yang baik yang justru akan menjadi tidak baik kalau aku tidak mengikuti keraguanku”.

Aku tertawa. Kubiarkan saja dirinya dengan pola pikirnya yang aneh untuk ukuran dunia modern. Tapi kuakui, Satya yang peragu dan hati-hati, Satya yang sederhana dan memiliki sifat generous sudah berulangkali melakukan kebaikan untuk orang lain dibanding dengan diriku. Tidak hanya kebaikan, bahkan dengan mataku sendiri kulihat Satya dengan mata hatinya menegakkan harkat hidup beberapa orang, yang bahkan jarang bisa dilakukan oleh para pemimpin modern saat ini. Beberapa orang besar yang kukenal melihat kemampuan Satya ini dan mereka ingin merengkuh dia. Tapi Satya tetap sosok yang kukenal. Dia lebih ingin tenggelam dan tidak tampak.

“Aku bertemu dengan mataku”, katanya lagi. Wajahnya semakin lekat menatap sketch-book dan jemarinya semakin menekan pena yang berbuah pada goresan-goresan tegas.
“Mata? Mata apa? Aku ngga paham?”
“Ingat 15 tahun yang lalu?” tanyanya mengingatkanku.
Ah, akhirnya kuingat. Pikiranku mundur ke masa lalu. Mungkin hanya beberapa detik tetapi sepertinya lama sekali.

Yang disebut mata itu adalah kekasihnya. Seorang perempuan Cina. Perempuan cantik yang sangat dicintai Satya, menurutnya, seumur hidupnya. Perempuan yang sangat fasih berbahasa inggris dan penuh ambisi untuk maju di tengah kemampuan finansial keluarganya yang tidak mendukung. Aku sangat tahu kisah percintaan mereka yang penuh perjuangan dan tantangan. Di mataku kehidupan mereka berdua lebih dari soal percintaan. Sebagai arsitek aku selalu mengibaratkan hubungan mereka sebagai proyek membangun menara. Ada sebuah kerjasama yang baik, tapi ada kalanya menara belum juga selesai tetapi mereka sudah berada di ketinggian. Di situlah mereka bisa memandang alam sekitar yang cantik yang tidak bisa dilihat ketika berada di bawah.

Hati manusia yang tertawan oleh keindahan yang lebih luas mengundang hasrat untuk terbang. Lepas bebas agar bisa terbang lebih jauh dan memandang alam di kejauhan lebih dekat. Dan itulah yang terjadi, setidaknya apa yang kutangkap dari pernyataan Satya menanggapi perpisahan dengan kekasihnya.

Mendengar berita itu aku tidak banyak komentar. Aku hanya menerima saja apa yang Satya ungkapkan kepadaku : bahwa dia, meskipun pedih, menerima dengan tulus kepergian kekasihnya – perempuan yang selalu diibaratkan mata baginya - demi kasihnya kepada perempuan itu. “Asal dia bahagia. Aku bahagia kalau dia bahagia”, katanya lirih.

Kumandang azan dari mesjid agung Kotagede mengiringi kalimatnya. Di kejauhan aku melihat orang-orang datang untuk sembahyang. Langit mulai gelap. Dan Satya, kulihat dia duduk bersila. Diam dan hening larut bersama suara azan. Dalam imajinasiku aku melihat seorang Samurai tegak diam menantang musuh yang akan merebut kekasihnya. Dia berdiri menghadang lawan, berkata kepada kekasihnya : lari! Mata hatiku melihat Satya menghadang lawan, tapi aku tidak melihat siapa lawannya. Orang lainkah … atau dirinya sendiri?

***

Harum aroma kopi menyadarkanku. Satya masih duduk di hadapanku tetapi matanya menoleh ke belakang. Melihat orang-orang bersorak, menonton pertandingan sepak bola melalui siaran televisi.

“Lantas, kamu melihatnya lagi? Dimana? Apa kabar dia?”. Aku mengawali pembicaraan setelah Satya berbalik lagi menghadapku.
“Umm … kemarin kami bertemu. Aku masih ngga habis pikir bagaimana dia bisa menemukan alamatku. Kau’kan tahu, setelah dia menikah aku memutuskan menyudahi kontak. Samasekali.”

“Dia dalam kondisi baik,” katanya lagi. “Hebat. Dia betul-betul mataku. Dia sudah berkeliling dan melihat kota-kota dunia. Suatu hal yang selalu kuimpikan tapi belum terlaksana. Tetapi tidak seperti orang lain yang sekedar mengatakan “aku pernah di sini”, dia bisa bercerita tentang kehidupan setiap kota dan negara yang disinggahinya lengkap dengan nilai-nilainya. Begitu hidup, sehingga mendengar ceritanya aku seperti menguyah makanan yang aku suka dan menikmatinya”.

Kubiarkan Satya bercerita seperti anak kecil yang gembira karena menemukan dunia baru. Biar saja. Kulihat dia sedang jatuh cinta. Kupahami itu dari penjelasannya tentang arti ‘mata’ yang baginya lebih dari sekedar pernah melihat kota-kota dunia. Baginya, perempuan mantan kekasihnya itu, masih seperti dulu mampu menumbuhkan semangat hidup Satya.

“Lantas, kenapa dia kembali mencarimu? Kamu bilang dia terkesan membenci dan menjauhimu waktu kalian putus dulu.”

Diam. Tidak ada jawaban. Dia seperti disadarkan oleh sesuatu. Kemudian dia berkata lagi. Lirih :”suaminya pasti hebat. Tentu dia seorang yang bisa memberikan dunia. Tidak seperti aku”.

“Ya, tidak seperti kamu. Orang gila yang sukanya main petak-umpet. Serba tidak mau kelihatan dan suka menghilang. Nah, kulihat dari nomor sms yang kamu kirim tadi … nomormu ganti lagi ya? Dasar sok misterius … incognito”.

Kami tertawa. Bebarengan dengan sorak-sorai goal penonton sepak bola.

Monday, August 31, 2009

Girisonta, Januari 2009

Langit masih gelap ketika taksi yang kutumpangi masuk ke sebuah pelataran luas penuh pohon-pohon besar. Harum rumput dan pohon pinus basah segera menyergap ketika kubuka pintu mobil. Saat itu pukul 03.00 dini hari. Masih terasa rintik kecil hujan sisa-sisa badai semalam yang menimbulkan banjir di seluruh dataran rendah Semarang.

Selepas membayar ongkos taksi mataku yang lelah menyapu permukaan bangunan kolonial besar penuh jendela besar, kira-kira 50 meter di hadapanku, yang hampir seluruh figurnya tertutup gelap, kecuali bagian pintu mukanya. Maka, aku mengarahkan diri menuju ke pintu itu. Dan benar, kulihat Jumeno, salahseorang Bruder di tempat ini menungguku sembari tersenyum. Tak banyak pembicaraan di antara kami yang masih mengantuk sepanjang perjalanan menuju kamar melewati Domus Patrum yang luas dan gelap. Tetapi kepadanya sempat kutanyakan apakah Wisnu dan Anton sudah tiba.

Di dalam kamar.
Kuamati kamar yang terasa dingin. Langit-langitnya cukup tinggi, kira-kira 4 meter. Sebuah tempat tidur berkelambu, sebuah meja kerja, dan sebuah lemari pendek. Aku membuka jendela besar dan segera udara dingin menyergap. Pakaian kutata di lemari. Begitu juga buku-buku segera kuletakkan di meja kerja. Sembari duduk di kasur yang dingin, untuk kesekiankalinya dan seperti biasa, aku mengucap :”Tuhan, aku disini”. Selanjutnya aku merebahkan diri. Tidur.

Pukul 05.00 wib.
Lonceng kapel berdentang keras, tetapi suaranya tidak mampu membuatku bangkit dari tidur. Sempat sayup-sayup mendengar suara-suara orang di luar. Sepertinya hendak ibadat pagi. Tapi aku betul-betul tidak tertarik dan lebih memilih masuk ke dalam selimut.

Sampai akhirnya terdengar suara ketok di pintu berulang-ulang.
Aku melirik arloji : Pukul 06.20 pagi. Segera aku melompat bangun, dan ketika pintu kubuka tampaklah Wisnu dengan gayanya yang khas.
“Kumpul di Refter jam 07.00”.
“Anton sudah datang?”
“Belum”.

Setengah hari yang cukup menyibukkan. Tidak banyak yang kami kerjakan untuk mengisi setengah hari itu sebetulnya selain berkenalan dengan para penghuni, yaitu para novice dan beberapa pastor pembimbing. Berbincang dan makan siang bersama mereka, sembari sesekali melihat suasana di tempat ini.

Pukul 3 sore kami bertiga dikumpulkan di ruang pertemuan. Seorang Pastor muda memperkenalkan diri sebagai seseorang yang akan menemani kami selama 3 hari ke depan. Wajahnya cukup tampan dengan garis mata sipit menunjukkan garis keturunan Tiong Hoa. Dari tutur katanya dia terlihat baik dan berkesan seorang pendengar. Tidak banyak yang dijelaskan kecuali sebuah metode yang disebutnya sebagai shalom. Dia juga meminta kami untuk taat dalam menjaga silentium, tidak berbicara selama 3 hari kecuali sungguh diperlukan. Selebihnya dia juga berpesan agar kami selalu berada dalam situasi santai dan membuka hati. Atentif, begitu dia menyebutnya. Memasang telinga dan mata hati karena Tuhan bisa berkata lewat apapun.

***

Girisonta, 15 Januari 2009, pukul 22.00 - Makam Gethsemani

Sudah 30 menit aku mondar-mandir di dalam makam yang gelap ini, di bawah naungan pohon-pohon besar. Udara dingin dan basah. Sudah berulangkali pula aku berjalan melintas di antara nisan-nisan dengan salib serba putih atau memandangi nisan-nisan yang terletak di dinding. Cukup lama sampai-sampai aku hampir hafal separuh nama yang dikuburkan di tempat ini. Joseph G. Beek, Schoonhoff, C. Kester, W. Daniels, A. Siswapranata, Br. Jak Van Zon, Carolus Orie, S. Beekman, J.M. Grounenwoud, C. Looymans, Guido Sabdautama, Al. Setiawan Gani, Chr. Melchers, Thomas Jacobs, F. de Van Der Schueren, dan … Th. Hendriks … ya, kuingat nama ini. Seorang imam Jesuit berkebangsaan Belanda yang pernah kukenal 25 tahun silam saat aku masih aktif melayani gereja sebagai mesdieneer atau pelayan altar, atau lebih tepatnya pelayan. Ya, pelayan atau abdi.

“Perjumpaan” kembali ini mengesankanku. Aku seperti disadarkan akan sebuah nilai kerendahan hati, yang menuntunku untuk berani menyelami sebuah tantangan : berani untuk menjadi abdi. Berani untuk menjadi bukan siapa-siapa. Hanya kosong belaka.

“Perjumpaan” kembali ini juga membuatku segera menyudahi perenungan malam dan bergegas kembali ke dunia yang hangat di kamarku dengan sebelumnya mengunjungi Kapel Domus, untuk sejenak menyampaikan penghormatan dan seserahan. Sesaji bagi Sang Adi Kodrati yang kukemas dalam kehidupanku hari ini.

***

Girisonta, 16 Januari 2009, pukul 10.30

Colloquiuum atau berbincang sejenak dengan Pastor Pembimbing.

“Jadi, apa yang ada di dalam benakmu berkaitan dengan peranmu di dunia? Katamu kamu enggan untuk menjadi seseorang yang mencolok.”
“Begitulah kira-kira. Entah kenapa hati saya tidak tergerak ketika membayangkan berperan menjadi seorang tokoh, atau seseorang mempunyai jabatan.”
“Selama proses perenungan semalam kamu memiliki tempat favourite? Atau … oh ya, kemarin saya meminta agar kamu membuat sebuah simbol yang menyiratkan jati dirimu. Sudah kau temukan simbolmu?
“Ah ya …. tentu. Kemarin saya melihat deretan sepeda tua yang sering dipakai para Novice untuk tugas keluar. Entah kenapa saya suka melihat figur sepeda-sepeda yang sederhana itu. Sudah berkarat dan lapuk di sana-sini memang, tetapi penuh energi. Saya membayangkan sesederhana itulah hidup saya. Tapi malam harinya, waktu merenung saya merasa simbol sepeda sepertinya terlalu romantis.”
“Mm. Kamu memilih merenung dimana? Kapel, teras, kamar, ruang doa?”.
“Tidak Romo. Tidak di Kapel, tidak juga di teras atau kamar atau ruang doa. Tetapi di makam. Ya, makam. Semalam saya berkunjung ke sana.”
“Kamu suka makam?”
“Ya”.
“Menarik sekali bahwa semua nilai kesederhanaan yang kamu ungkapkan sangat erat kaitannya dengan makam. Mungkin itulah simbolmu : makam”.
“Aduh, memelas sekali diriku disamakan dengan mayat dan tulang-tulang yang tinggal di jaratan itu”.

Tertawalah sang Pastor. Dia mengatakan justru aku harus mencari makna makam. Adakah nilai lain dibalik kematian serba ngeri di dalamnya? Dan untuk selanjutnya dia menyarankan agar aku sesering mungkin berkunjung makam karena katanya lagi : tuhanmu menunggumu di sana.

***

Girisonta, 17 Januari 2009

Aku merasa kering. Penuh pertanyaan atas apa yang kami, tepatnya aku lakukan di tempat ini. Untuk apa sebetulnya aku meluangkan waktu selama 3 hari, ijin meninggalkan pekerjaan. Toh pekerjaan yang kutinggal sejenak kusadari merupakan berkah dalam hidupku dan menjadi berkah juga untuk orang lain. Lantas apa yang kurang? Kenapa aku tidak focus saja kepada hidup dan pekerjaan yang sudah ada, bukan sebaliknya bergerak mencari bentuk yang lain, bahkan sampai menuju simbol makam atau kekosongan seperti yang dikatakan Pastor kemarin. Ah, tetapi toh itu cuma simbol belaka. Bukan sesuatu yang nalar tersentuh tangan dan kasat mata. Untuk apa dipusingkan?

Hari ini, seperti halnya kemarin, selalu diadakan ibadat ekaristi pada jam 6 sore. Khusus untuk kami berempat dan dipimpin sendiri oleh Pastor Pembimbing. Misa yang sangat intim di Kapel Maria yang sepi di tengah gerimis yang semakin meneguhkan dinginnya udara. Kami duduk merapat bersila melingkari altar kecil. Pastor dengan jubah putihnya seakan-akan mewakili sosok Guru yang sangat dekat murid-muridnya. Kadang kami bersama-sama melakukan sharing kecil atau mendengarkan khotbah yang diurai dengan sangat membumi seakan-akan kamilah pelaku di dalamnya. Atau kadang kami bermeditasi. Sekedar mencecapi perjalanan hidup dan menyadari kehadiran Seseorang yang sudah menemani kami sejak lahir di bumi – Seseorang yang sering kami lupakan ketika hidup menghirup hiruk-pikuk dunia.

Tetapi dari seluruh perayaan yang terangkum dalam misa itu ada hal yang selalu kami tunggu : secara intim kami memakan roti kecil dan minum anggur bersama. Roti selalu kami bagikan dengan penuh kasih dari satu orang ke yang lain. Begitupula anggur.

Roti yang berarti kemanusiaan kita yang hidup, yang terus dihidupkan dengan penuh jerih-payah melalui pekerjaan sehari-hari. Dalam roti yang sama itu pula Sang Adi Kodrati yang selalu menganggap manusia sebagai masterpiece, buah cintaNya yang dimerdekakan dengan cara diperkenankan hidup utuh dengan segala sisi kemanusiannya, rela untuk hadir dengan memakai pakaian yang sama dengan manusia, berbicara dengan manusia, menyentuh manusia. Untuk merayakan kehidupan kita. Berkenan merasakan apa yang manusia rasakan meskipun luka sekalipun. Berduka bersama manusia, tertawa bercanda bersama manusia.

Dan anggur, melambangkan darah, pengurbanan. Diminum setelah manusia memakan roti yang tak lain adalah Sang Adi Kodrati sendiri yang telah berkenan merasakan apa yang dirasakan manusia dalam seluruh sendi kehidupannya. Agar Dia bisa memeluk dan membawa segala sisi kemanusiaan kita yang bahkan penuh luka untuk kemudian dibersihkan dengan darahNya sendiri supaya manusia menjadi murni kembali, sama dengan diriNya.

Selalu saja peristiwa ini membawaku dan teman-teman lain ke dalam situasi berkanjang. Bukan sekedar perayaan, tetapi layaknya hadir di hadapan orang tua yang begitu merindukan kejujuran putera-puterinya. Di dalamnya tidaklah perlu suasana gegap gempita penuh sensasi sebetulnya.

Kejujuran seringkali berupa luka. Seringkali juga manusia bertingkah laku seperti anak yang menutupi luka karena takut terlihat oleh orang tuanya. Takut dimarahi karena dianggap melakukan perbuatan yang serba ngawur. Tetapi Gusti Allah itu orang tua yang gemar menyembuhkan. Menghukum tidak doyan Dia. Membuang waktu saja kataNya. Tetapi sesuatu hal bisa terjadi – termasuk proses penyembuhan luka - kalau ada kemauan dari kedua pihak. Maka, ada baiknya seorang anak yang terlukapun ikhlas memperlihatkan boroknya, bahkan kebodohannya.

***

Girisonta, 18 Januari 2009

Malam terakhir. Colloquiuum pk. 10.30

“Bagaimana Mas? Sehat?”
“Baik Romo. Sudah lebih bening-hening-wening hati ini. Saya banyak membuat sketsa sebagai proses doa hari ini. Sesuai pesanmu kemarin. Buatlah proses doa yang sangat aku banget. Kebetulan aku memang suka sketsa dan membawa sketch-book ke sini.”
“Menarik sekali. Bagaimana tentang makam? Tertuang juga dalam sketsa?”

Aku memperlihatkan sebuah sketsa yang menggambarkan situasi makam, yang kubuat dalam hati terdalam nan hening sebening Girisonta : menggambarkan ladang luas penuh tanaman dan hutan di kejauhan. Seberkas sinar matahari teduh-hangat menerangi ladang. Di tengahnya terlihat sosok anak berlari gembira.

“Jadi, bagimu makam bukan tempat yang mengerikan penuh kematian? [Bukan. Malah sebaliknya. Ada kehidupan di dalamnya] Apakah kamu pernah datang ke suatu tempat dimana ada kesunyian dan kesederhanaan? [Pernah. Waktu libur Idul Fitri tahun lalu. Kebetulan Bapak mengajak ziarah. Pilihannya ke Sendang sono atau ke satu tempat lagi di Jawa Tengah juga. Kebetulan kami belum pernah ke tempat yang satu itu, maka melajulah kami ke sana] Apa yang kamu rasakan sesampainya di tempat itu? [Saya merasa homy Romo] Ah”.

“Oh ya, satu pertanyaan lagi Romo”.
“Oh, silahkan”.
“Mengenai simbol. Sepenting apakah dia sehingga beberapa hari ini kita diminta untuk fokus kepadanya?”
“Kamu tahu kompas atau sextant? Ya, seperti itulah. Digunakan sebagai sarana saja untuk membaca arah hidup, atau yang lebih jauh lagi membaca disposisimu dengan tuhanmu. Memang betul tuhan kita satu dan sama. Tetapi setiap manusia diciptakan secara intim oleh penciptanya dengan tujuan yang berbeda dan khas, menjadi semacam rahasia yang hanya diketahui oleh mereka berdua. Nah, kerapkali kita merasa sudah berbuat banyak hal bahkan yang baik-baik tapi kok masih saja ada yang kurang. Maka ada baiknya mengarahkan kepada tujuan kita diciptakan. Biar selaras. Tetapi bukan berarti perbuatan baik yang sudah dilakukan, meski tidak selaras, menjadi tidak baik. Tidak juga. Tetapi persis di sini bedanya makna antara percaya kepada Sing Murbeng Dumadi dengan ikut denganNya. Percaya kepadaNya adalah baik tetapi mau dan ikhlas dipakai sebagai alatNya, sesederhana apapun itu, adalah nilai yang lain lagi. Manunggaling kawula lan Gusti.”

***

Cukuplah tiga hari ini. Tiga hari yang menegangkan, melelahkan, sekaligus menyejukkan dan menguatkan. Dan yang menarik adalah awalnya kami berempat hadir untuk mencari disposisi diri masing-masing dalam kehidupan. Tetapi yang ditemukan adalah lebih dari itu : relasi dengan Tuhan. Melihat bahwa Dia begitu baik dan tidak memedulikan dosa dan keberdosaan manusia. Menyadari bahwa Dia selalu hadir bahkan pada situasi terburuk sekalipun. Hadir untuk menguatkan, atau dalam bentuk lain juga hadir untuk mengajarkan melalui sebuah pengalaman pahit di masa lalu agar suatu saat manusia bisa menjadi teman seperjalanan bagi orang lain yang berada dalam situasi yang pernah dialaminya. Di sini terlihat jelas bahwa melakukan refleksi dan mencecapi kembali pengalaman masa lalu selama tiga hari ini bukanlah perkara romantis belaka, tetapi layaknya menarik mundur tali busur untuk melesatkan anak panah jauh ke depan.

Wednesday, July 22, 2009

Rawaseneng, 12 Mei 2009


Ibadat invitatorium baru saja selesai dikumandangkan waktu aku menginjakkan kaki di pertapaan ini, sebuah biara yang jauh dari keramaian, pada sebuah dataran menghadap gunung Sumbing. Dalam lelahku sisa perjalanan semalam masih kuingat wajah-wajah yang menemaniku selama perjalanan : pengemudi bis asal Maron Temanggung yang menunjukkan dimana aku harus “mengambil” ojek. Juga wajah laki-laki tua yang duduk di sebelahku selama perjalanan - seorang pedagang kelontong di pasar Parakan, dan tukang ojek yang mengantarku melintasi hutan pinus berkabut tebal di wilayah Kandangan. Kuingat pula ekspresi wajah rahib yang menerimaku. Blasius namanya. Nama yang diberikan kepadanya menggantikan nama aslinya : Iwan. Ya, Iwan, atau tepatnya Mas Iwan. Demikian aku mengenalnya. Untuk beberapa saat dia termenung ketika kusebutkan nama itu. Kusebut juga nama kecilku, nama Eyang, dan sebuah alamat rumah di Yogyakarta. Tak berapa lama kemudian senyumnya mengembang. Seperti ada kegembiraan yang memecah kesunyian yang bertahun-tahun dijalani sebagai seorang rahib.

Menjelang pukul 6 pagi.
Lonceng angelus berdentang keras menandakan ibadat pagi di kapel hendak dimulai. Gemanya menembus lembah, menyusup di antara pepohonan, merobek kesunyian dan dingin. Dentangnya yang keras juga memenuhi kamarku yang sangat sederhana dan hening, sebuah kamar tamu bernomor “A” yang bersebelahan dengan “slot” yang menghubungkan kapel dengan hermitage. Sebetulnya aku masih lelah. Tetapi kukuatkan hati untuk bangun dan beranjak ke kamar mandi. Untunglah air hangat bersama udara dingin membangkitkan kesadaranku.

Kapel di pertapaan ini tidak besar. Sebuah kapel khas monastik. Berbeda dengan susunan gereja pada umumnya dimana bangku di letakkan menghadap altar, bangku-bangku atau stal yang digunakan oleh para rahib, yaitu semacam kubikel, tidak menghadap ke altar melainkan terletak di sisi kiri dan kanan ruangan saling berhadapan. Setiap sisi terdiri dari beberapa stal dengan 2 tingkat : satu deret di muka dan satu deret lagi di belakang dengan posisi yang lebih tinggi. Kubikel-kubikel itu tampaknya semacam properti pribadi bagi pemiliknya : tempat mereka bersamadi baik dalam posisi berlutut, bersila, duduk, maupun berdiri.

Di bagian muka adalah altar dengan sebuah tabernakel berhiaskan ukiran kayu di sekelilingnya yang menggambarkan Santa Perawan Maria. Sebuah tongkat salib di letakkan di muka mimbar. Di antara altar dan stal terlihat sebuah tali menjuntai dari plafond ke lantai yang ujungnya dikaitkan pada sebuah hook di dinding sebelah kanan. Tali itu yang menggerakkan lonceng di dalam cupola di atas altar.

Satu demi satu para rahib memasuki ruangan dan menempati stal masing-masing. Mereka memakai jubah putih dengan skapulir dan kerudung hitam. Sambil menunggu ibadat dimulai mereka bermeditasi atau berdoa. Tepat jam menunjukkan pukul 6 pagi secara serentak mereka dan kami semua yang ada berdiri, dan berkumandanglah kidung pembuka dalam alunanan nada gregorian.

Ya Tuhan, bersegeralah menolong aku.
Tuhan, perhatikan hambaMu ini.


Dan diikuti membungkukkan badan seraya berucap :

Kemuliaan kepada Bapa dan Putera dan Roh Kudus.
Seperti pada permulaan, sekarang, selalu, dan sepanjang segala abad.
Amin.


Kidung inilah yang selalu dikumandangkan pada setiap ibadat mengawali antifon dan mazmur.

***

Hari ini aku mengisi waktu dengan tidur atau sekedar mencecap keheningan. Betul-betul sunyi tempat ini. Di dalam kamar, kalau tidak terdengar suara senda gurau para karyawan pertapaan di luar, waktu rasanya seperti berada di titik nol.

Aku membolak-balik halaman beberapa buku yang kubawa. Tapi entah kenapa hatiku seperti menolak membaca. Ada perasaan ingin tinggal diam. Merasakan segala yang ada di tempat ini yang berbalut kesunyian. Berserah. Membiarkan diriku digerakkan oleh sebuah daya yang entah harus kusebut apa, tetapi kurasakan ada. Daya itu hadir seperti angin tetapi aku tidak tahu kemana dia datang atau pergi.

Kesunyian makin terasa karena saat ini memang tidak banyak orang luar yang datang ke tempat ini. Hanya beberapa kelompok kecil yang datang dan pergi. Selebihnya hanya tiga orang yang kutemui, dua di antaranya adalah seorang pastor dan seorang bruder dari sebuah konggregasi yang berbeda. Merekalah teman bicaraku di pertapaan ini, itupun kami lakukan hanya saat makan. Kami juga tidak banyak membicarakan hal-hal yang bersifat rohani, karena - meski aku tidak tahu persis - tetapi bisa menerka tujuan mereka tinggal di tempat ini selama satu bulan, yakni ingin hadir di dalam keheningan dan diterima seperti apa-adanya mereka dan bukan karena status yang mereka sandang.

Kusempatkan juga mengunjungi makam yang terletak di sebuah bukit. Entah mengapa makam selalu menawarkan sebuah nilai tersendiri bagiku. Di dalamnya seringkali bukan kengerian yang aku dapat melainkan kedamaian. Seperti halnya dini hari tadi waktu aku menginjakkan kaki di sini, sembari menunggu disediakannya kamar aku berkanjang ke makam. Dalam kegelapan dan dingin di bawah pohon-pohon besar nan tinggi aku duduk terpekur sendirian. Hening dan tenang sekali. Sejauh mata memandang yang tampak hanya nisan dan salib berwarna putih.

Aku juga mengisi hari dengan bercanda dengan tiga orang rahib dan berbincang cukup serius dengan Pastor Magister. Berbeda dengan tiga rahib yang gemar bercanda itu, yang ditugaskan – atau tepatnya diperbolehkan keluar dan menerima tamu, Pastor Magister yang berdarah Batak lebih berkesan serius. Simple, to the point, dan seperlunya. Sedikit sekali kulihat senyumnya. Tatapan matanya sangat tajam sedang kalimat yang keluar dari mulutnya jauh dari hal-hal romantis seakan mengatakan kepada semua orang yang ditemuinya :”Hey, bangun!! Jangan bermimpi terus!”.

Sesekali kulihat juga Romo Abbas atau pemimpin biara ini berbincang dengan para karyawan dengan bahasa Jawa, mengingatkanku akan sosok Mak Kuwat, Mbah Kasan, atau penduduk desa Gulurejo di Kulon Progo 10 tahun silam.

***

Blasius juga menemaniku. Beberapa kali dalam hari ini dia datang untuk memberikan beberapa informasi tentang kehidupan di pertapaan ini, yang berada di bawah panji sebuah tarekat atau ordo yang sudah berumur ratusan tahun. Mereka menamakan komunitas mereka Ordo Cisterciensis Strictioris Observantiae, tetapi orang-orang mengenalnya sebagai Trappist, sesuai nama tempat komunitas ini didirikan, yaitu di La Trappe Perancis.

Kehidupan para rahib Trappist itu biasa saja. Tidak ada yang sensasional di dalamnya. Tidak ada mujizat-mujizat atau penyembuhan, juga kekuatan-kekuatan supranatural. Yang ada hanyalah orang-orang yang bekerja di perkebunan, pembuatan roti, dan peternakan. Berkotor-kotor mereka. Lebih banyak melakukan pekerjaan tangan daripada bergelut dengan teknologi canggih. Dan di sela pekerjaan-pekerjaan untuk sekedar mempertahankan hidup tersebut mereka melakukan doa dan tapa yang mereka sebut sebagai tugas utama. 6 kali dalam sehari ditambah 1 kali ekaristi. Semuanya dilakukan dalam balutan kesunyian yang mereka katakan sebagai silentium magnum. Ini adalah metode askese. Salah satu cara untuk mengembangkan relasi manusia dengan penciptanya dengan memposisikan diri sebagai pendengar. Apa yang didengar? Adalah suara Sang Pencipta yang diyakini begitu lembut dan hanya bisa ditemukan didalam keheningan. Tetapi bagi para rahib, lebih dari mendengarkan, mereka merelakan diri untuk menjadi kosong agar bisa diisi oleh daya penciptanya. Secara bertahap, bersama kemanusiaannya yang tidak bisa disangkal dan juga terus hidup, mereka berupaya menjadi alat bagi Sang Adi Kodrati. Dan seringkali temuan atau lebih tepatnya tujuannya adalah menjadi sebentuk alat bagi kehidupan dunia yang begitu sederhana. Ibarat bunga di tengah belantara yang harus tetap tumbuh indah meskipun tidak ada yang melihat. Ibarat air sungai yang harus tetap mengalir agar sistem berjalan baik.

“Tidak selalu keheningan dan kesunyian di sini memberikan ketenangan jiwa kalau sang pelaku belum menerima diri apa-adanya sebagai seorang rahib. Menjadi seorang rahib tidak berarti menjadikan mereka suci”, demikian penjelasan Pastor Magister kepadaku.

Benar juga pikirku. Pun doa-doa yang didaraskan mungkin terasa indah bagi mereka yang sesekali mengunjungi tempat ini, terlebih bagi mereka yang mencari penghiburan. Tetapi sebaliknya bisa menjadi sebuah kebosanan bagi mereka yang melakukan secara berulang-ulang setiap hari. Mengulang. Melakukan hal yang sama setiap hari. Hening dan hemat bicara setiap hari, mendaraskan mazmur setiap hari, tidak keluar dari biara, bertemu orang yang itu-itu saja. Konflik antar anggota komunitas sangat dimungkinkan mengingat mereka adalah manusia biasa yang terus belajar. Dan kudengar pula ketika kesadaran itu muncul, yaitu kesadaran bahwa ternyata yang mereka lakukan (menjadi seorang rahib) adalah hal-hal lumrah, biasanya di titik ini rasa kering pada jiwa akan menyelinap. Bahkan yang lebih mengerikan adalah desolasi, sebuah perasaan yang jauh dari Sang Penciptanya.

***

Makan malam sebelum ibadat Completorium.
Seperti biasa, aku bertemu dengan kedua temanku. Bagaikan basa-basi kutanyakan apa perasaan mereka tinggal menyepi selama sebulan di tempat ini. Sebuah senyuman kecil tersungging di bibir mereka. Cukup jelas buatku. Dan pembicaraan kami berlanjut ke topik Blasius – si rahib yang selalu gembira itu :
“Siapapun yang datang kemari pasti kenal Blasius. Orang itu selalu gembira. Eh, dengar-dengar dulu dia kos tempat Kakekmu di Yogya?”. Bruder Thomas bertanya yang hanya kujawab dengan anggukan.

Tambahnya lagi :” Tadi siang dia sempat cerita tentang Kakekmu yang sederhana dan tegas dan Nenek yang pintar membuat bawang goreng. Dia juga cerita masa-masa kuliahnya. Ternyata dia seorang insinyur sipil ya? Teman wanitanya pun banyak katanya”.

Kami tertawa. Di tempat ini Blasius memang terkenal humoris dan apa-adanya. Dia suka mencandai tamu-tamu yang datang. Dia juga sigap dan cerewet seperti bebek. Kelakuannya seakan menjelaskan kepada kami bahwa pertapaan Trappist bukanlah tempat angker. Tapi satu yang mengesankanku yang melebih dari kesan umum yang kami tangkap tentang para rahib di sini adalah Blasius begitu menghayati perannya.

Seorang rahib pernah mengatakan bahwa hanya 20 persen rahib saja yang bisa bertahan di tempat ini. Sisanya memilih jalan hidup masing-masing di luar. Dan bagi mereka yang bertahan tidak berarti perjuangan selesai. Proses membentuk akan terus dialami dengan segala tegangannya yang kadang meluapkan semangat tetapi tidak sedikit menyesakkan. Di titik ini faktor penyerahan menjadi kata kunci dengan tetap mengindahkan sisi kemanusiaan yang meronta. Tentu ini tidak mudah, karena siapapun dia jika masih menganggap dirinya manusia tidak akan menipu diri bahwa menyerahkan dan mempercayakan diri kepada Daya Yang Tidak Tampak bukanlah persoalan mudah, semudah membuka pintu dan masuk ke ruang yang lain, atau semudah mengucapkan kalimat pujian yang indah.

Begitu juga dalam diri Blasius yang gembira dan humoris. Tidak dengan begitu saja kegembiraan dan kesadaran akan peran diraihnya. Dalam kerut wajahnya aku seakan melihat jejak-jejak pertarungan yang hebat antara dirinya dengan tuhannya yang bermuara kepada kekalahan dan sikap menyerah. Menyerah penuh kelelahan yang lambat-laun mengurai rasa amarah yang telah puas diledakkan menjadi api-api kecil yang tidak berarti, berganti menjadi udara sejuk yang menidurkan, memberi peluang kepada seseorang untuk menyelinap. Maka beruntunglah dirinya karena si penyelinap tak lain adalah seseorang yang telah bertarung dengannya. Yang tidak menjarah dan pergi melainkan menempati dan menaburkan benih-benihnya. Fiat Voluntas Tua!

Malam ini di kamar tidur seusai ibadat Completorium, setelah bersama para rahib menerima percikan air suci dari romo Abbas hatiku merasa segala sesuatu di tempat ini sangat biasa. Tidak ada gejolak yang membangkitkan gairah rohani. Tetapi kuingat juga saat masih kecil orangtuaku mengajarkan bahwa mensyukuri hidup yang sebenarnya bukanlah merayakan suatu peristiwa yang penuh sensasi tetapi merayakan segala peristiwa yang berlangsung biasa saja. Dan kuingat juga kehidupan bersama para rahib hari ini. Mereka tampak biasa saja. Bersama mereka tidak ada keinginan berlebih untuk membicarakan segala sesuatu yang bersifat rohani atau doa-doa yang berkesan magis. Tetapi jujur dalam hatiku kurasakan bahwa mereka adalah doa itu sendiri, sejauh aku mengimani bahwa doa bukan semata-mata meminta melainkan keberanian untuk bergumul bersama tuhanku dengan cara berani untuk setia menjawab persoalan hidup hari ini yang nyata.

***

Monday, April 13, 2009

Paskah 2009

Tiga hari berada di Yogyakarta. Hari-hari sengaja kuisi dengan rileks. Kegiatan lebih banyak terfokus pada perayaan Paskah, pun kalau itu berbentuk perjumpaan dengan beberapa orang dan peristiwa.

Menikmati perjumpaan ini bahkan sudah kuawali di kereta Argo Dwipangga ketika berangkat. Menikmati Jakarta yang tenang dan cerah, suasana stasiun Gambir yang ceria : memandang struktur bangunan berwarna hijau, lokomotif buatan General Dynamics yang hilir-mudik, memandang kubah Gereja Imanuel dan beberapa bangunan tinggi di kejauhan, ratusan penumpang yang tampak bersemangat, menikmati kopi hitam bersama kakak di sebuah kedai. Atau berbincang dengan Dibyo-penumpang di sebelahku selama perjalanan, melihat atau tepatnya merasakan suasana setiap stasiun yang kami lewati. Sungguh, aku merasa persinggahan di setiap stasiun selalu memberi suasana eksotis.

Di Yogyakarta keluargaku masih tinggal di daerah yang meskipun di dalam sebuah perumahan, tetapi terletak di pedesaan di kaki gunung Merapi. Jadi suasana dingin, mendung, lembab, hijau, dan sepi sangat akrab dengan diriku. Yang menarik unsur-unsur pegunungan tersebut selain memberi keteduhan dalam jiwa juga menjadi unsur penyeimbang dan menimbulkan kerinduan terhadap unsur kota dan daerah yang bernuansa pesisir di Selatan : kampung Sayidan, Gondomanan, Prawirodirjan, dan Keparakan yang padat, panas, cerah, dan bersih. Begitu pula dengan Kotagede. Selalu saja, wilayah ini menjadi kerinduanku secara khusus. Wilayah Jawa yang teramat tua dan magis. Perpaduan kepadatan bangunan dengan makam ataupun lapangan serta lahan penuh pohon-pohon besar dan tua. Juga tembok-tembok mengesankan benteng yang anggun berpadu dengan jendela-pintu kayu dan teras yang dinaungi atap-atap khas bangunan Jawa berbalut genteng tanah liat. Seluruh unsur yang kujumpai ini terasa betul-betul masuk ke dalam jiwa. Meresap dan mencapai klimaks saat beristirahat sembari membetulkan beberapa sketsa dan minum segelas Jambu Selarong dingin - percampuran antara air jambu biji dengan kayu manis - di sebuah restoran yang berupa bangunan lama.

Tidak kalah mengesankan juga adalah perjumpaanku dengan seorang teman lama. Juli Anto namanya. Kami sudah 9 tahun tidak berjumpa. Dan aku lupa juga bagaimana kami bisa menjulukinya “Badak”. Mungkin karena sepak-terjangnya yang tanpa tedeng aling-aling.

Badak mempunyai penampilan seorang Jawa sejati. Terlihat dari postur, paras dan logat bicaranya. Kemampuannya beradaptasi dengan penduduk sekampung semakin menguatkan kesan sosial yang menjadi ciri-khas masyarakat Jawa umumnya.

Seperti kebetulan bahwa dia dan keluarganya menetap tidak jauh dari rumah kami. Terletak di kampung pedesaan. Rumahnya sangat sederhana namun indah. Dibangun sendiri dengan beberapa tukang. Berupa dinding bata ekspos yang cukup rapi. Bagian struktur betonnya hanya berbalutkan plesteran semen halus. Struktur kayunya menggunakan glugu atau kayu kelapa. Untuk pintu dan jendela dia menggunakan kayu jati muda tanpa finishing sama sekali. Sangat alamiah.

Dia memperkenalkan keluarganya. Nila istrinya sudah kukenal. Tetapi Kinanti anak perempuannya baru kulihat. Seorang perempuan kecil yang pintar dan menggemaskan. Mahir menggambar. Goresannya berani dengan komposisi yang cukup apik, bahkan matang bagi anak seumurnya yang baru memasuki sekolah.

Kami berbincang di teras menghadap lapangan kecil dengan beberapa rumah dan pepohonan di sekelilingnya. Dua cangkir kopi hitam panas dihidangkan. Juga tahu goreng yang dibuat dan dimasak sendiri oleh Nila. Angin segar mengalir memberi kesejukan.
Tentu saja setelah sekian tahun tidak bertemu pembicaraan diawali oleh hal-hal romantis. Tetapi tidak berhenti di situ, kami juga berbicara ke masalah pekerjaan yang ternyata sama, baik yang kualami maupun dia alami sendiri, yakni menghadapi kesulitan yang mengancam bidang properti akhir-akhir ini.

Kadangkala di tengah pembicaraan dia bertegur sapa dalam jarak jauh dengan penduduk yang lewat. Atau seorang tetangga yang membereskan gabah yang dijemur beralaskan tikar. Sekerumunan kecil orang pulang dari acara pernikahan lewat, berpapasan dengan tiga orang anak bersepeda, salahsatunya adalah Vincent yang mengajak Kinanti bermain sepeda. Tidak lama mereka berputar-putar di lapangan. Kinanti memamerkan kemahiran bersepeda di hadapan ayahnya.

Badak tertawa.
”Belum lama dia bisa naik sepeda. Sebelumnya sama sekali tidak berani. Entah kenapa dua hari yang lalu dia minta roda kecil penahan di sepedanya dilepas. Kupikir dia mau belajar dan aku maupun Nila mesti memegangi bagian belakang sepedanya. Ternyata tidak”, katanya sembari membenahi jemuran di samping teras. Angin nakal meluruhkan beberapa pakaian yang dijemur.
Dia bercerita pula tentang kemampuan Kinanti dalam menggambar yang diperoleh secara otodidak. Juga tentang Nila yang bekerja di kota Klaten, yang saban hari harus menempuh jarak 80 kilometer pergi-pulang menggunakan kereta api. Sangat mandiri. Atau tentang pemilik workshop tempat dia bekerja, seorang berkebangsaan Belanda, yang tidak mau bersikap realistis terhadap kondisi lapangan di Indonesia sehingga produk perabot mereka yang diekspor ke Inggris pelan-pelan mengalami penurunan mutu.

Dari seluruh perjumpaanku dengannya aku melihat bahwa Badak atau Juli Anto secara sekilas tidak berubah dengan 9 tahun silam saat masih membantuku membuat maket sebagai bahan studi akhirku. Tetapi dia bertumbuh dan berkembang. Dia mempunyai anak dan istri, mempunyai rumah yang sederhana tetapi asri, pekerjaan yang walaupun tidak memberinya harta melimpah tetapi toh mampu menghidupi keluarga dengan baik. Tetapi yang lebih menarik hatiku adalah otentisitas dia yang terjaga : nilai sosial yang dimilikinya dan kesetiaannya terhadap kesederhanaan hidup dan keluarga yang justru membuatnya bertumbuh. Salahsatu nilai dari kesetiaan yang hidup diantara nilai-nilai yang berkembang kearah hedonisme yang tumbuh di jaman modern akhir-akhir ini.

Maka, ketika dalam ibadat Jumat Agung, pastor selebran yang memimpin upacara mengatakan bahwa tiga hari suci yang dilalui layaknya sebuah retreat, aku mengamininya. Memang selama mempersiapkan Paskah aku tidak selalu mampu berbuat dengan benar. Jatuh dan bangun selalu ada. Tetapi mempersiapkan Paskah tidak selalu terkunci dengan pandangan sempit pada masalah keberdosaan tetapi bagiku lebih kepada menjaga sikap atentif agar bisa mendengarkan suara Sang Pemberi Hidup yang justru ditemukan dalam perjumpaan dengan orang lain dan peristiwa dalam hidup sehari-hari. Sangat manusiawi. Dan Juli Anto yang setiawan, dalam kehidupannya yang sederhana, mengingatkan aku bahwa hidup haruslah dijalani dengan setia penuh syukur, betapapun sederhana ritme dan pengalaman yang dialami.

Friday, March 20, 2009

Equilibrium (2)


Calabria Serra, March, 2009


Sunyi sekali.

Pagi ini , dalam penelitian batin, aku menjawab dorongan hatiku untuk menyelami lebih jauh perkara diriku dengan Dia yang memanggilku.


Di hari-hari yang lalu aku merasa sungguh berada di hadapan wajahNya, bahkan dalam kesepian yang dalam sekalipun, juga di dalam pekerjaan sehari-hari. Aku merasa dijaga dan hangat di dalamnya. Tetapi pagi ini sebersit pertanyaan di hati muncul :"benarkah aku yakin bahwa Dia ada di hadapanku dan aku berada di hadiratNya?"


Damai. Kata pertama yang kubisikkan kepada diriku setelah melihat lebih jauh dorongan yang muncul dalam batin, juga untuk menyadari kehadiranku dalam pagi yang dingin hari ini. Sadar bahwa aku ada, bergerak, bernafas, dan hidup.


Pandanglah Dia. Ajakanku kepada diriku untuk hadir di hadiratNya.


Tetapi entah kenapa aku berhenti setelahnya, dan muncul dalam hati suatu kalimat yang begitu lembut, membisikkan kata-kata yang menggoncang hatiku :"rasakan lebih dalam ... dan dalam ... lebih dalam di lubuk hati ... Coba sejenak lepaskan pikiranmu dan bertanyalah kepada hatimu yang terdalam : apakah aku percaya bahwa Dia ada? Apakah benar Dia ada di hadapanku?" Lalu, seperti tak ada pilihan lagi dan aku menjawab :"Dia tidak ada. Maafkan aku, tetapi aku merasa Engkau tidak ada. Engkau begitu sulit kuraih".


Lonceng berdentang. Tanda ibadat pagi hendak dimulai. Dan hatiku merasa sunyi sekali.


Tuesday, March 10, 2009

Orang-orang Pinggiran (1)

Kemarin sore menyempatkan diri nonton Slumdog Millionaire, sebuah film karya Danny Boyle. Di sini aku tidak akan mengupas sisi sinematografi film tersebut melainkan hanya terkesan dengan setting area kumuh di negara India seperti yang tersaji di film tersebut. Bisa dibayangkan betapa mengerikan hidup di tengan himpitan petak-petak rumah berukuran kecil berdekatan dengan tumpukan sampah yang menggunung. Tidak ada ruang privasi yang memberikan unsur reflektif.
Malam harinya setting tersebut masih terus bergaung dalam pikiranku. Maka, sambil mencecapi aku teringat oleh beberapa figur kumuh seperti pada film itu yang pernah hadir mengisi kehidupanku.

Pak Andreas
Tahun 2007 aku memperoleh ajakan dari Ibu Wardah Hafidz untuk hadir bersama teman-teman UPLINK dalam sebuah workshop 3 hari di Surabaya untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat “Stren Kali”. Panitia Workshop yang dibantu oleh beberapa profesional berupaya mengajak mereka untuk mau peduli terhadap lingkungan tempat tinggalnya : menjaga kebersihan, tidak melawan aturan pemerintah dalam pengelolaan lingkungan, meningkatkan kualitas lingkungan dengan dana yang sebagian disediakan secara mandiri. Dengan cara-cara itu panitia berharap pemerintah tidak bertegar hati melainkan mau memberi mereka kesempatan untuk hidup secara layak.

Dalam workshop banyak wakil masyarakat yang hadir meskipun tidak seluruhnya mempunyai kesadaran yang sama. Ada yang betu-betul bersemangat tetapi banyak juga yang sekedar basa-basi sembari melihat kemana arah angin berhembus. Menguntungkankah atau justru sebaliknya? Dan dari sekian profil yang muncul hanya satu yang kuingat paling bersemangat, yaitu Pak Andreas. Saya lupa latarbelakangnya, tetapi tampaknya dia mempunyai kesadaran untuk menyelamatkan lingkungan dan huniannya dari gempuran pemerintah. Pola pikir yang dia miliki sering berbeda dengan konsep yang diusung panitia dan para konsultan. Dalam beberapakali percakapan aku menangkap ada dorongan dari diri Pak Andreas untuk melawan kebijakan pemerintah, semisal mengkritisi teori mengenai daerah aliran sungai (DAS) yang disampaikan oleh seorang pakar dalam sebuah diskusi ilmiah dimana Pak Andreas diundang hadir. Mereka juga mengusulkan ide-ide yang betul-betul melawan peraturan. Bukan sikap mengkritisinya yang menjadi perhatianku melainkan ada kecenderungan menolak dialog. Ada semacam kemarahan dalam diri mereka sebagai orang tertindas.

Selama perjalanan workshop aku melihat panitia mencoba untuk bersikap netral dengan cara melayani dan menerima ide-ide mereka yang ekstrem untuk kemudian dibimbing ke arah yang lebih realistis dan tidak melawan aturan. Kulihat juga para konsultan begitu sibuk membuat beberapa gagasan. Dalam kamar tidurpun aku sempat berdiskusi dengan beberapa arsitek seperti Cahyo Bandhono dan Antonio Ismael. Mereka tidak berhenti membuat sketsa dan mengontak beberapa relasi di pemerintahan untuk mencari tahu mengenai aturan-aturan yang berlaku.

Sampai suatu titik dimana terjadi semacam kejenuhan.
Waktu sudah mendekati batasnya. Pak Andreas dan beberapa penduduk tetap bersikukuh dengan pendiriannya. Panitia dan konsultan kehabisan energi untuk meladeni mereka. Beberapa dari wakil masyarakat yang hadir ternyata tidak memberi dukungan kepada Pak Andreas dan Panitia karena akan terkena dampak kerugian terhadap asetnya (baru kutahu bahwa dalam tubuh masyarakat kawasan kumuh tersebut tidak seluruhnya miskin, melainkan seperti mafia - yang bukan penduduk setempat - yang memanfaatkan tanah untuk menjalankan bisnis yang seringkali tidak dibenarkan secara aturan lingkungan). Tetapi ada pula beberapa dari penduduk tersebut yang betul-betul miskin. Mereka hanya bisa berdiam diri. Sepertinya betul-betul bodoh dan pasrah.

Malam makin larut. Kulihat beberapa rekan Panitia dan Konsultan surut mengundurkan diri. Lelah dan buntu. Dan Pak Andreas? Aku melihat dia bagaikan orang yang terseret arus banjir bandang. Berteriak keras minta tolong tetapi suaranya kalah dengan deru air. Berusaha memberontak untuk menyelamatkan diri tetapi semakin dia bergerak semakin pula masuk ke pusaran yang menariknya hingga hilang. Dan kami - tepatnya aku – seperti melihat Pak Andreas yang menggelepar. Aku melihat dia berteriak tetapi suaranya makin hilang digantikan alunan musik jazz yang indah.



***

Mang Ucha
Masih kuingat, tepatnya tanggal 1 Juli 2007, aku mengatakan kepada karibku Thay bahwa aku memperoleh hadiah ulang tahun yang spesial : membuat skesta hunian kecil untuk 7 orang penduduk yang tinggal di kolong jembatan di wilayah Muara Karang yang beberapa hari sebelumnya terbakar.

Awalnya Jakfar mengirim sms kepadaku untuk meminta dibuatkan rancangan rumah penduduk tersebut. Jakfar sendiri adalah petugas lapangan Urban Poor Consortium. Posturnya kecil, berwajah khas penduduk Timur-tengah, dan tampak seperti seseorang yang militan. Aku sendiri saat itu masih bekerja di sebuah konsultan arsitektur yang cukup ternama yang biasa mengerjakan pesanan bangunan megah dan mahal. Maka, menerima tawaran Jakfar untukku seperti menerima kado spesial. Tentu saja aku sadar bahwa tidak mungkin aku melakukannya sendiri – yaitu masuk dalam dunia yang betul-betul berbeda – dan untuk itu aku meminta bantuan Cucu Surya, seorang sahabat yang juga seorang arsitek.
Maka untuk selanjutnya kami berdua beberapa kali datang ke perkampungan kumuh di persilangan jembatan tol menuju Cengkareng. Di tempat inilah untuk pertamakali kami bertemu dengan Mang Ucha dan beberapa kepala rumah tangga.

Mang Ucha kutaksir berumur sekitar 40-an tahun. Posturnya kekar dan agak pendiam. Namun demikian, berbeda dengan beberapa penduduk lainnya, dia bersikap cukup simpatik. Bukan yang lainnya tidak simpatik dan ramah, hanya kadangkala aku menyadari perbedaan strata membuat mereka seakan menaruh curiga kepada orang luar yang dianggap lebih mapan. Pun terhadap teman-teman dari Urban Poor Consortium yang lebih kerap berinteraksi, tidak semua penduduk menerima dengan baik. Pemikiran mereka mungkin cenderung praktis dan berharap bantuan yang bersifat instan tanpa harus melalui beragam penyuluhan.

***
Rumah di pemukiman ini umumnya terbuat dari kayu triplek dengan struktur batang kayu. Tidak ada pondasi yang kuat kecuali tumpukan bata sekedar sebagai pengikat bangunan. Tiang perkuatanpun hanya berupa tiang beton bermutu murah. Begitupula dengan yang terjadi pada rancangan baru yang kami buat. Semua gagasan yang kami berdua sampaikan seakan ludes oleh kebiasan dan faktor ekonomi tentunya. Sebelumnya terbayang olehku untuk menerapkan struktur-struktur kayu nan luwes a la arsitek Mangunwijaya. Cukup mahal memang, tapi kami pikir bisa direduksi dengan cara memamnfaatkan material yang lebih murah pada elemen penutup bangunannya. Begitupula dengan pencahayaan dan penghawaan. Betul-betul kami pikirkan. Tapi kami disadarkan juga, dan diberi sebuah pelajaran berharga tentunya, bahwa ilmu dan kemampuan yang kami miliki tidak serta-merta mudah diterima oleh mereka. Memang mereka gembira karena baru kali ini mempunyai rumah yang digambar oleh arsitek. Bahkan sketsa-sketsa kami yang begitu sederhana menjadi barang berharga bagi mereka. Tetapi di luar dugaan kami semua itu tidak lebih dari sekedar konsep belaka. Mereka seakan betul-betul memahami apa yang mereka inginkan karena mereka juga yang mengerjakan sendiri. Beberapa bahan yang dibelipun juga bukan dari kualitas yang baik, bersanding dengan material lama yang masih bisa digunakan. Tapi tak mengapa. Baik aku mapun Cucu betul-betul bersyukur diberi kesempatan untuk memahami nilai arsitektur dari kacamata yang sangat berbeda namun hidup, yang diwujudkan oleh Mang Ucha dan kawan-kawan. Selebihnya dialog-dialog dengan merekalah yang aku nantikan. Seperti pada suatu sore aku belajar apa artinya berjiwa besar :
Mang Ucha bercerita bahwa kebakaran terjadi saat semua orang pergi bekerja sehingga rumah sepi. Mang Ucha sendiri saat itu sedang pergi berjualan makanan gorengan seperti hari-hari biasanya. Tidak ada yang aneh di pagi itu. Ketegangan terjadi saat pulang ke rumah, masing-masing penghuni menemukan rumahnya sudah menjadi arang. Beruntung panas yang ditimbulkan tidak merusak struktur beton jalan tol di atasnya. Tetapi dari pihak mereka dengan terjadi kebakaran saat rata-rata orang pergi maka tidak ada yang menyelamatkan harta benda.

Mencoba bertenggangrasa dengan mereka. Itulah awalan yang umum dilakukan oleh orang-orang yang hendak peduli, termasuk kami. Mencoba menyelami pemikiran mereka, bahkan ada kecenderungan membela. Seperti halnya kami mencoba mengupas informasi yang umum terjadi pada peristiwa kebakaran kawasan kumuh, yaitu disengaja oleh oknum tertentu. Kami mencoba menanyakan hal-hal seperti itu kepada Mang Ucha. Tetapi tak disangka jawabannya adalah : tidak tahu (atau sengaja disembunyikan). Selebihnya mereka memilih sikap untuk tidak memusuhi siapapun. Mereka hanya ingin sesegera mungkin bangkit dari keterpurukan, betapapun lelahnya akibat mengalami kejadian yang berulang-kali seperti ini. Betul-betul kado ulang tahun yang spesial bagiku, yaitu belajar arti jiwa besar dari orang-orang yang betul-betul kekurangan.

Beberapa minggu kemudian aku memperoleh berita bahwa rumah mereka hampir selesai. Aku dan Cucu berencana membuat dekorasi sebagai unsur estetika dengan membuat lukisan pada atapnya sebagai satu-satunya elemen yang terlihat dari jalan tol. Tetapi sayang, tak lama kemudian Jakfar memberikan informasi terbaru bahwa rumah mereka kembali terbakar. Sampai detik ini aku belum mempunyai kesempatan bertemu lagi dengan Mang Ucha karena terlalu sibuk dengan proyek-proyek besar yang kukerjakan. Aku hanya berdoa semoga dirinya tetap berteguh dengan jiwa besarnya karena itulah satu-satunya harta miliknya yang tidak bisa habis dibakar.



bersambung ...

Sunday, March 8, 2009

Jazz dan Kehidupan


“Bro, nonton Java Jazz nggak?”, demikian tanya seorang teman kepadaku di hari Minggu kemarin. Tidak cukup bertanya demikian dia juga menyodorkan koran yang memuat berita pergelaran Java Jazz 2009 yang dihadiri ribuan penonton dan di sisi lain pada koran yang sama, sebuah berita tentang ribuan tenaga kerja Indonesia yang membutuhkan pekerjaan.
“Ironis ya Bro. Biaya pergelaran dan tiketnya cukup mahal. Banyak uang seakan dihamburkan, tetapi sebaliknya ribuan orang butuh uang”.

Kami berdua menyukai musik Jazz meskipun hanya sebagai penikmat. Saya ingat, kira-kira 10 tahun yang lalu musisi jazz Luluk Purwanto bersama Rene van Helsdingen mengadakan tur di beberapa daerah menggunakan Stage Bus. Di Yogyakarta mereka menempati pelataran utara Kraton berdekatan dengan bangsal Pagelaran. Suatu peristiwa yang amat langka terjadi menurut penyair Rendra yang malam itu turut menyumbangkan puisinya. Tetapi yang menarik bagi saya adalah, selain bebas biaya tentunya, pergelaran tersebut dihadiri tidak hanya oleh pecinta jazz tetapi juga orang-orang kampung sekitar yang kemungkinan besar tidak tahun-menahu soal jazz. Beberapa di antaranya adalah beberapa perempuan tua. Profil mereka mirip “mbok bakul” dari desa yang sangat bersahaja : menggunakan kebaya dan kain jarik lusuh yang lazim dipakai para penjual jamu gendong. Mungkin juga mereka adalah penjual makanan seperti jagung bakar, wedang ronde dan lain sebagainya, yang menjajakan dagangannya di malam hari. Malam itu mereka, saya, dan semua audiens duduk di tanah atau berjongkok. Ada yang duduk di pelataran, di teras, atau di bawah pohon beringin tua. Tentu saja kehadiran “mbok-mbok bakul” tersebut menarik hatiku yang bertanya-tanya apakah mereka mengerti tentang jazz?

Permainan Luluk dan Rene indah sekali malam itu. Mereka memainkan beberapa tembang yang salahsatunya sangat saya suka, yaitu tembang tradisional Jawa Ilir-ilir. Tidak berkesan sebagai komposisi musik yang umum karena mereka tidak memainkannya secara utuh melainkan mengambil beberapa penggalan nada yang sangat dikenal oleh masyarakat Jawa dan diolah sedemikian rupa sehingga muncul sebagai sebuah komposisi baru. Sebagai unsur penegasan Jawa, kuingat, Luluk memainkan beberapa alat musik tradisional (yang barangkali bisa disebut juga mainan anak-anak) yang banyak ditemukan di pasar. Dan beberapa kali selama pentas berjalan Rene mengucapkan kata sampun (sudah selesai) atau matur nuwun (terimakasih). Sebuah dialog kecil nan indah. “Mbok-mbok bakul” kulihat tertawa sembari bertepuk tangan. Mereka merasa disapa. Saya rasa mereka tidak memahami jazz sebagai musik melainkan sebagai sapaan. Begitu pula Luluk dan Rene, saya pikir mereka mampu menghadirkan jazz bukan sebagai musik saja melainkan sebagai dialog.

Kembali ke peristiwa hari Minggu kemarin. Karibku itu mengatakan bahwa asyik juga seandainya kami bisa nonton Java Jazz. “Sebetulnya aku juga ingin. Tetapi uangnya setimpal dengan biaya seragam anakku”, katanya sembari duduk di jembatan kayu yang menghubungkan ruang keluarga dengan dapur. Kakinya diayun-ayunkan, memainkan air kolam. Kupikir tidak salah juga pagelaran Java Jazz diadakan, terlebih bila bisa menaikkan harkat bangsa kita di mata dunia. Tetapi seperti yang kami diskusikan di hari Minggu itu, banyak unsur di dunia termasuk musik jazz ialah tidak lebih dari sekedar sarana dalam hidup yang bisa dipakai untuk mengabdi Gusti Allah, yang menurut pikiran bodohku diwujudkan dalam pengabdian kepada sesama manusia yang membutuhkan pertolongan. Selanjutnya tergantung manusia dalam memanfaatkan semua sarana tersebut. Boleh dipakai untuk kepentingan diri sendiri sesaat atau akan lebih baik jika digunakan untuk kepentingan bersama.

“Kalau begitu dana untuk mengadakan pagelaran lebih baik digunakan untuk membantu orang lain ya Bro?”.
“Wah, nanti apresiasi Jazz di Indonesia bisa berhenti dong”, jawabku
“Atau bisa juga fifty-fifty ya. Hasilnya untuk membantu orang lain yang butuh”, balasnya. “Atau semangat musik jazz dimaknai lain, yaitu dijadikan sarana untuk saling membantu seperti cerita tentang “dialog antara Luluk-Rene dengan mbok-mbok bakul” yang kamu tuturkan tadi? Melalui musik mereka menciptakan sesuatu yang lebih dari musik itu sendiri”.
Entahlah. Pikiranku yang bodoh ini tidak mampu berpikir seperti itu. Hanya mengantuk yang kurasakan saat ini. Apalagi tembang kroncong yang dilantunkan Waljinah yang terdengar sayup-sayup dari sebuah compo serasa memberi ketenteraman batin. Ah!

Monday, February 23, 2009

"AANGEBONDEN DOOR"

Tidak mudah untuk mencari alat transportasi dari Gereja Katedral ke arah Jl. Jend. Sudirman. Busway yang tersedia bisa diakses harus dengan terlebih dahulu berjalan kaki sampai di muka stasiun kereta api Juanda. Cukup jauh. Begitu yang kurasakan di suatu hari Minggu : bingung mencari alat transportasi yang praktis dan murah maka aku berjalan menuju halte busway terdekat. Tetapi sesampai di depan halte kuurungkan niatku. Ada perasaan yang membawaku ingin berjalan kaki menuju arah Harmoni. Kupikir ada apa di sana ya? Apa yang bisa kulakukan untuk mengisi waktu hari ini? Tiba-tiba terpikir olehku untuk menikmati situasi mendung di tengah suasana alami penuh pohon rindang, dan tempat yang menarik saat ini adalah Museum Taman Prasasti. Kenapa tidak? Di bawah naungan pohon besar di dalamnya aku bisa santai membaca.

Museum Taman Prasasti terletak di jalan Kober wilayah Kebon Jahe. Dulu tempat ini adalah sebuah pemakaman masyarakat Eropa Nasrani. Maka tak heran kalau setting yang ada dibuat seakan-akan tetap sebuah makam Eropa dengan corak yang khas : teduh dan tidak mengesankan ngeri.

Waktu hendak memasuki area ini aku sempat berpikir bahwa suasananya pasti sepi mengingat kecilnya minat masyarakat Indonesia untuk mengunjungi museum. Ternyata dugaanku salah. Setelah membeli tiket seharga dua ribu rupiah dan masuk ke dalamnya kulihat banyak anak-anak muda berpakaian a la pesta Helloween. Mereka melampiaskan darah muda dengan berfoto. Seru sekali.

Waktu berjalan masuk melintasi prasasti-prasasti makam aku berpikir situasinya tidak jauh berbeda dengan ketika tahun 2006, saat mengunjungi tempat ini bersama dua orang ahli sejarah-perkotaan, yaitu Adolf Heuken-seorang pastor Jesuit dan Budi Lim-seorang urban architect yang sangat aku hormati. Dari merekalah aku memperoleh banyak informasi mengenai makam ini, yang merupakan bagian dari denyut kejayaan Batavia tempo dulu.

Dikatakan rapi juga tidak. Blok-blok nisan yang ada tidak ditata rapi. Begitupula dengan patung-patung malaikat yang banyak rusak di sana-sini. Tapi sekilas suasana tenang tetap terjaga.

"Saya rasa tidak semua yang sekarang ada di sini adalah makam sungguhan. Mungkin tinggal prasastinya", begitu komentar Pater Heuken tiga tahun yang lalu. Tambahnya lagi : "Tapi yang jelas, bagi orang Eropa makam bukanlah sosok yang menakutkan. Banyak makam dikunjungi dan dianggap sebagai taman umum. Kedamaian sejati memang ada di dalam makam."

***
Banyak patung malaikat yang kulihat. Semuanya bagus, indah, dan hampir-hampir dibuat dengan postur yang gagah, kecuali satu-entah kenapa begitu melihatnya aku begitu terpesona-menyiratkan wajah yang welas. Bersujud dengan satu kaki, postur badan kecil, memegang sebuah nampan persembahan. Dia terletak di bagian atas sebuah batu nisan. Tulisan yang tertera, baik pada batu nisan maupun patung tidak seluruhnya jelas, kecuali sebuah kalimat di kaki patung : AANGEBONDEN DOOR. Karena menyukainya maka aku memilih tempat yang sangat teduh ini untuk membaca.

***
Menjelang pukul 14.00 hujan turun. Aku memutuskan menyudahi kunjungan hari ini. Sesampai di gerbang kulihat lagi kereta kuda pengangkut jenazah. Kembali terngiang kata-kata Pater Heuken 3 tahun yang lalu : "Dulu, orang-orang Eropa membawa jenazah menggunakan perahu lewat kali Krukut. Sampai di ujung kali jenazah tersebut dijemput menggunakan kereta jenazah ini. Selama perjalanan dari kali Krukut sampai makam rombongan pengantar jenazah diiringi bunyi lonceng teng ... teng ... teng ... teng ...."

Kubayangkan situasi yang diceritakan Pater. Kubayangkan juga situasi sekarang : kali Krukut yang hitam pekat berbau. Mengalir pelan. Di atasnya bertengger halte Busway yang besar dan tidak terawat. Di sebelah kiri-kanannya terhampar jalan raya Hayam Wuruk-Gajah Mada yang penuh dengan kendaraan. Hampir tidak ada lagi bangunan yang baik di tepiannya. Dan bila malam tiba situasinya berubah menjadi tempat aktifitas yang menebarkan aroma mesum. Rasa-rasanya aku juga menyumbang salah di dalamnya, karena sebagai arsitek aku juga tidak bisa membuatnya menjadi lebih baik.