Monday, December 17, 2012

Adek

Pagi-pagi benar Syawal kedatangan tamu; seorang teman bernama Adek. Dia jauh-jauh datang dari Tanjung Priok khusus menemuinya pagi itu. Waktu tamu itu datang Syawal masih sibuk membersihkan lumpur di lantai ruang tamunya. Bekas banjir semalam. Semua barang dan perabot di letakkan di lantai dua rumahnya yang kecil. Anak dan istrinya sudah mengungsi ke rumah orang tuanya di wilayah Kali Mati Bendungan Hilir, yang menurut kabar tak urung terkena banjir juga.
            Adek, sang tamu itu, dulu dikenalnya sewaktu masih menjadi tukang palak di wilayah Rawa Bebek Jakarta Utara. Waktu itu Syawal sering bolak-balik ke Rawa Bebek untuk membantu membuatkan rancangan penataan lingkungan pemukiman di bawah kolong tol. Wilayah yang padat memang, dan tidak layak huni juga sebetulnya. Tetapi gubernur waktu berjanji memberi tenggang waktu sekitar 2 tahun kepada penduduk untuk tetap bermukim di kolong tol sembari menanti saat mereka bisa menempati lokasi pemukiman yang baru. Syaratnya, mereka harus merapikan, merawat, dan menjaga lingkungan. Saat itulah Syawal berkenalan dengan Mbak Wartiyah, Mang Ucha, Pak Neon, Pak Kliwon, dan tentu saja : Adek. Dan pada satu peristiwa dikala gubernur dengan ‘berat hati’ tidak bisa lagi memenuhi janjinya kepada penduduk, yakni memberi tenggang waktu selama 2 tahun, sebaliknya demi kampanye pemilihan dirinya sebagai calon gubernur baru yang membutuhkan slogan keindahan kota untuk mengangkat citranya, maka pemukiman kolong tol harus menjadi sesaji-tumbal. Berhamburanlah mereka para penduduk pada suatu malam, menyelamatkan diri dari api yang cepat sekali melahap rumah-rumah triplek tanpa beton. Beberapa dari mereka ada yang melawan, termasuk Adek, yang membuahkan cacat pincang pada kakinya.
            Selepas peristiwa itu Syawal tidak lagi membantu penduduk kolong tol. Dia berkonsentrasi pada pekerjaan barunya : mengerjakan Mall mewah, renovasi rumah para presiden direktur perusahaan ternama, hotel, dan lain sebagainya. Beberapa proyek kecil juga dia kerjakan. Bukan untuk mencari untung tetapi memberi peluang kerja kepada seorang juru gambar yang tidak pernah mengenyam pendidikan formal, yaitu Adek. Ya, Adek sang preman Rawa Bebek diajarinya membuat gambar kerja. Dengan komputer? Oh, tentu tidak. Cukup bermodalkan kertas putih berukuran A3, pensil, drawing pen ukuran 0.3 dan o.6, spidol kecil dan besar, dan juga penggaris skala. Awalnya, Adek yang dipekerjakan di proyek sebagai office boy dan penjaga gudang, dimintanya juga membantu merevisi gambar kerja handsdrawing. Tidak membuat gambar baru. Cukup menebalkan garis-garis yang sudah direvisi sesuai titah Syawal. Tetapi lama kelamaan si mantan tukang palak itu mewarisi bakatnya dalam menarik garis, lengkap dengan teknik mengatur ketebalan dan menjaga kestabilan. Suatu bakat yang tidak pernah disadari oleh si pemilik tubuh itu sendiri. Melihat fenomena ini Syawal berinisiatif meningkatkan kemampuan si Mas Preman yang sudah mantan itu. Caranya, Adek dititipkan kepada Pak Tugas Waluyo, menjadi asisten supervisor. Dari Pak Tugas dia belajar membuat marking, menjidar, membuat kerangka, memasang backing dan penutup. Hasilnya, lambat namun pasti si mantan tukang palak bisa memahami tahap demi tahap konstruksi sederhana. Dengan kemampuan barunya itu dia mampu ‘menghidupkan’ gambar kerja, yang teknik menggambarnya sudah dikuasainya.
            Sampai suatu ketika, di suatu malam sepi kala tukang-tukang beristirahat, Adek menghadap Syawal dan mengabarkan bahwa sebuah biro konsultan kecil tetapi berskala international meminangnya. Katanya, Arsitek pemilik biro tersebut menyukai gambar yang dibuat oleh Adek. Kebenaran logika konstruksinya, tarikan garis tangannya yang mengesan, juga pengaturan notasi yang rapi mengingatkan si Arsitek waktu masih berkarya di Amerika. Ah, mendengar penjelasan Adek, Syawal jadi tersadar. Teknik gambar yang diajarkan kepada Adek adalah teknik yang diperolehnya dari seorang arsitek Amerika nun  7 tahun yang lalu, waktu Syawal masih bekerja sebagai arsitek yunior di sebuah konsultan ternama. Sebuah teknik yang menjadi ciri khas biro konsultan arsitektur terkenal di dunia : Helmuth Obata and Kassabaum. Syawal tersenyum. Dalam hatinya berpikir bahwa si mantan tukang palak ini, yang ditemukan di kekumuhan Rawa Bebek, mulai bergerak mendunia. Dia menguasai teknik menggambar yang hampir punah. Sebuah teknik jitu untuk diterapkan di lapangan terutama dalam keadaan mendesak dan tidak tersedia perangkat komputer. Dan si arsitek Amerika itu, ya ya, mereka memang jenis manusia yang tidak peduli dengan status pendidikan. Apapun pendidikan seseorang, jika dia mampu maka layak diberi kesempatan.
            Pagi-pagi benar Syawal kedatangan tamu; seorang teman bernama Adek. Dia jauh-jauh datang dari Tanjung Priok khusus menemuinya pagi itu. Dia hendak pamit, memasuki kehidupan barunya di Bali dengan posisi dan gaji yang lebih baik.

“Sudah mantep, Dek?” Syawal bertanya. Kakinya mengibas-ngibaskan air.
“Sudah, Mas. Terimakasih”. Lirih suaranya.
“Ya. Sama-sama. Salamku untuk Mr. Hayden”.

Hening. Mata Adek membasah. Akhirnya dia berucap lagi,

“Terimakasih sekali lagi, Mas. Aku ...”
“Sudah-sudah ... masa lalu jangan jadi beban. Lihat ke depan. Yang penting jangan lupa sholatmu. Jangan lupa juga sama adik-adikmu. Si Wanto, adikmu, masih jadi porter di Beos?”

            Ketika Adek melangkah keluar rumah, langit mulai tampak benderang. Syawal memandangi posturnya yang kurus namun tegap. Kakinya masih tetap pincang, tetapi berani bangkit dan berjalan. Syawal sadar dia tidak bisa memberikan banyak hal untuk orang macam Adek. Tapi pikirnya, manusia macam Adekpun adalah citra Tuhan. Adek memiliki kehidupannya, tubuh dan potensinya, dan Tuhannya yang setia mendukungnya. Tugas sesamanya, seperti Syawal sendiri, hanya memberi tempat untuk istirahat sejenak, mengingatkan potensi yang dimilikinya, dan selebihnya biarlah dia bangkit dan berjalan sendiri bersama Tuhannya, meskipun masih tertatih pincang.

Thursday, March 22, 2012

Nyepi

Suatu sore di tahun 2010, guruku menjelaskan perihal id-ego-superego dalam diri mahluk yang disebut Manusia. Dia berkata bahwa dalam pencapaian proses kematangan manusia, ketiga hal itu harus berjalan berurutan, satu melampaui yang lain, seperti mengupas bawang dari kulit hingga inti. Ketika manusia sampai pada 'inti bawang' maka disitulah akan berjumpa dengan sisi dirinya yang bukan lagi fisik: suatu 'kekosongan'.


"Kau tahu", katanya, "Inti bawang bukanlah benda padat tetapi lubang kosong! Demikianlah manusia. Ketika dia berhasil melampaui proses id-ego-superego, maka dia akan menemukan kekosongan. Bayangkan bahwa yang menopang diri kita adalah kekosongan!"


Tetapi kekosongan tetaplah ada meskipun tidak tersentuh oleh kelima indria manusia. Kekosongan bukan suatu kehampaan yang sia-sia. Manusia hanya tidak bisa menangkapnya dengan indria dan menjelaskannya. Maka dia disebut : kosong.


"Yang lebih mengherankan", demikian guruku, "Seluruh proses menuju kepada kekosongan terjadi secara satu arah. Seakan-akan ditarik oleh sesuatu daya kuat yang disebut kosong tadi. Aneh, kosong tetapi mampu menggerakkan. Unsur apa yang ada di dalam ruang kosong itu, yang tidak terlihat oleh indria tetapi mempunyai daya untuk menggerakkan seluruh unsur dalam diri manusia?" Seorang teman mengacungkan jari dan berkata, "Tuhan".


Mendengar jawab temanku guruku tersenyum. Dia katakan lagi,"Jangan terburu-buru mengatakan Tuhan, Nak. Kecuali kamu sudah mencari dan menemukan dengan segenap hatimu, segenap jiwamu, dan segenap akal budimu".


***

Ya, Tuhan memang harus 'dicari'. Atau lebih tepatnya manusia harus mau memperjuangkan suatu pencarian akan Tuhan. Tidak sekedar mau menerima saja seperti anak manja. Seperti halnya kita tidak berhenti berjuang mencintai orang yang kita sayangi. Dan mencari Tuhan pertama-tama bukan sekedar terlibat dalam pelayanan, ritual, dan doa yang indah tetapi keberanian untuk masuk (justru) ke dalam diri sendiri, ke dalam kekosongan yang ternyata menjadi pondasi manusia; sejenak meninggalkan blackberry, iphone, android, internet, facebook dan segala rupa nilai-nilai duniawi, untuk berjumpa dan menerima kekosongan secara jujur, yang ternyata menyimpan kekuatan dan kubusukan kita, juga "Sang Ada yang Baik" yang siap berkolaborasi untuk mengolah kekuatan dan kebusukan itu menjadi sesuatu yang baik.


Demi alasan itu, seturut keyakinaku, saudaraku umat Hindhu melakukan tapa. Nyepi. Selemat berhening saudara. Selamat berjumpa denganTuhanmu dalam seluruh apa adanya dirimu. Seperti kuingat percakapan antara Isa putera Maryam dengan perempuan di dekat sebuah sumur. Dalam percakapan itu Isa hanya berkata," ada waktunya Allah tidak disembah di sana dan disini, tetapi di dalam hati manusia".


***


Sunday, March 18, 2012

Di Calamba


Di Calamba City aku tinggal di suatu tempat yang dikenal dengan nama Saint Albert the Great Convent. Di tempat ini tinggal para biarawan dan calon biarawan Dominikan yang lazim disapa dengan sebutan Brother. Kata Dominikan sendiri diambil dari nama Dominikus de Guzman. Dia adalah pendiri Ordo Praedicatorum yang meletakkan dasar hidup intelektual dalam Gereja.

Biara Saint Albert the Great letaknya tidak jauh dari perkampungan yang penuh dengan warung atau Sari-sari Store dalam bahasa setempat, sebuah biara lain dari Ordo Carmelite, dan kompleks sekolah Colegio de San Juan de Letran Calamba.

Tempat tinggal kami sangat sederhana; terdiri dari tiga blok bangunan di tengah kebun yang sangat luas. Blok utama di bagian muka berbentuk memanjang ke samping. Dua blok lainnya di sisi kiri dan kanan memanjang ke belakang.

Blok kiri adalah rumah yang diperuntukkan bagi para brother tahap aspiran, yaitu mereka yang masih dalam tahap penjajagan awal. Blok depan dan kanan hampir seluruhnya digunakan oleh para brother postulan, yaitu mereka yang sedang mempersiapkan diri masuk 'kawah candradimuka', atau lazim disebut novisiat. Bersama para brother tersebut tinggal pula para pastor formator atau pembina yang saat itu dijabat oleh Father Cecilio Vladimir Magboo dan Romualdo Cabanatan, Jr.

Di blok ini terdapat kamar tidur, kamar mandi umum, gudang, ruang musik, ruang billiard, sebuah hall yang berhadapan langsung dengan kapel, ruang rekreasi, refectory atau ruang makan, perpustakaan, ruang studi, kamar tidur tamu, dan ruang kerja Formator.

Di belakang blok yang dihuni para aspiran dan postulan terdapat rumah cuci, carport, lapangan olah raga. Dan masih jauh di belakang lagi terdapat rumah yang dihuni beberapa biarawan senior yang berkarya untuk Colegio de San Juan de Letran. Mereka adalah Father Rolando Castro, Honoratus Castigador, Benjamin San Juan, Felix Legaspi III, Quirao, dan seorang biarawan non imam, yaitu Bruder Nelson Taclobos.

Kamar tidurku sangat sederhana tetapi cukup besar karena aku tidak tinggal sendiri di dalamnya. Di biara ini setiap kamar ditempati dua atau tiga orang. Masing-masing mendapatkan tempat tidur, kasur, bantal, lemari pakaian, meja tulis, buku refleksi harian, dan brevir.

Joseph Aaron Sadia atau biasa disapa Aaron, adalah rekan sekamarku. Dia adalah anggota termuda kedua dalam komunitas kami. Beberapa anggota lainnya adalah Giomen, Mervin, Rocky, Geronimo, Bjorn, Ralph, Alex, Jherico, Paulo, Robert, Bautista, dan Nico. Sebagian besar dari mereka masih sangat muda, sebagian lagi pernah bekerja. Misalnya Jherico yang pernah bekerja pada perusahaan konstruksi bangunan milik keluarganya, Alex dan Robert yang adalah guru, dan Ralph yang perawat.

***
Acara harian di biara ini tidak padat, khususnya bagi brother postulan. Memang, di tempat ini kami lebih banyak dibawa dalam kondisi hening sebagai langkah persiapan ke tahap selanjutnya.

Setiap pukul 4.45 subuh seorang yang mendapat giliran bertugas sebagai "bell boy" akan berjalan mengitari kamar para brother sembari membunyikan lonceng kecil sebagai tanda waktu bangun pagi. Diulang pada pukul 5.15. Hal yang sama juga dilakukan setiap menjelang acara bersama.

Setelah lonceng berdering kami bangun dan mandi, mengenakan seragam, mengambil brevir, dan berjalan ke kapel besar di kompleks Colegio de San Juan de Letran untuk melakukan ibadat Invitatorium atau pembuka, yang dilanjutkan dengan ibadat Laudes atau ibadat pagi dan misa sebagai pembuka hari.

Selesai ibadat para brother menuju refectory untuk santap pagi. Sebelum bersantap kami berdiri di belakang kursi masing-masing sembari mendengarkan bacaan singkat yang dibacakan oleh salah seorang dari kami. Selesai bacaan singkat itu Father Formator akan mengatakan "bless us, o Lord" dan disambut oleh para brother, "and these your gifts which we are about to receive from your bounty, through Christ our Lord"'. Diucapkan serentak, dan semuanya suara laki-laki.

***
Hari-hari berjalan. Di antara "saat teduh" dan acara rutin kami melakukan beberapa kegiatan spesial seperti mengajar murid-murid sekolah dasar Bucal Calamba, menghadiri modular class, dan belajar bahasa latin.

Beberapa kali kami juga harus menjalani serangkaian psikotes yang biasa dilakukan di University of Saint Tomas Aquinas atau UST di Manila, yaitu sebuah lembaga pendidikan yang sudah berumur 400 tahun yang dimiliki oleh Ordo Dominikan. Maka untuk sementara waktu kami harus meninggalkan tempat tinggal kami di Calamba untuk menginap sementara di Central Seminary yang terletak berdekatan dengan kompleks UST, di sebuah bangunan tua berlanggam klasik Spanyol dimana tinggal para calon pastor sekulir yang sedang menjalani pendidikan di bawah bimbingan para biarawan Dominikan.

Atau diminta juga untuk menghadiri acara yang diselenggarakan oleh ordo. Pada saat inilah kami berjumpa dengan saudara-saudari se-ordo atau berkenalan dengan anggota ordo lain: Jesuit, Franciscan, Carmelite, Soverdian, Augustinian, Benedictine, dan masih banyak lagi.

Seluruh kegiatan itu menjadi bagian dalam hidupku. Bergulir dalam ikatan komunitas, dalam suasana yang penuh dengan keramahan, pengertian, kasih, persaudaraan, kritik, dan dukungan menuju ke satu titik kehidupan di depan yang tidak kami ketahui wujudnya. Ya, betapapun indah dan teratur sebuah ritme hidup, namun semuanya serba tidak pasti. Hanya harapan yang bisa kami pegang.

Tetapi harapan bukanlah suatu wujud pasti juga, yang dengan sendirinya sudah ada di masa depan yang kami kejar. Harapan ada pada saat ini, dibentuk oleh manusia yang sungguh percaya bahwa hidup adalah suatu nilai yang harus diperjuangkan, menghidupi realitas yang tidak pasti yang selalu membutuhkan klarifikasi. Seperti Father Romualdo katakan kepadaku pada suatu malam, "kita akan selalu melakukan klarifikasi, Brother. Bahkan saya sekalipun".
Suatu klarifikasi selalu dibutuhkan agar manusia sadar akan apa adanya dirinya: sosok simple seperti apa yang Tuhan rencanakan dan bukan menampilkan ribuan topeng. Simple bukanlah 'biasa saja' atau 'kurang'. Simple adalah esensi, yang memberi kejelasan akan posisi manusia di dunia.

Siapa yang mengklarifikasi dan diklarifikasi? Descartes, Sartre, Derrida tentu akan menjawab: saya! Maka klarifikasi hanya akan terjadi jika manusia mau sejenak meninggalkan kesibukan dan mengambil waktu masuk dalam keheningan batin untuk bertanya kepada diri sendiri.

Maka itulah yang terjadi; di Calamba yang hening, pada suatu malam selepas ibadat Completorium, dengan rosario di tangan aku beranikan diri membuka pintu hati untuk bertemu sosok yang sangat kukenal selama tahun-tahun kehidupanku: dia adalah aku. Perjumpaan ini tidak hanya sekali kulakukan tetapi berulangkali. Setiap malam sembari menjelajahi sudut-sudut gelap ditemani pepohonan tua dan angin yang aku rasa sudah hadir sejak waktu tak terhitung.

***
Pada awalnya sosok itu terlihat diam. Tetapi pada hari berikutnya dia menampilkan diri sedang bekerja memperbaiki sebuah rumah lama yang bocor dimana-mana. Meski demikian banyak orang berteduh di dalamnya.

Di hari selanjutnya kulihat semakin jelas bahwa sosok itu tidak bekerja sendiri. Ada seorang laki-laki yang menemaninya. Laki-laki itu terlihat mahir dalam ilmu pertukangan dan terlihat bersemangat dalam pekerjaan yang mereka kerjakan bersama.

Laki-laki itu tampak penuh kharisma dan agung. Bahkan melalui percakapan antara mereka akhirnya aku tahu bahwa laki-laki yang menemani sosok yang kusebut dengan "aku" itu adalah orang yang selalu menemani "aku" sejak masa kelahirannya, membantu dalam masa-masa sulit, memberi semangat dalam masa-masa hilang harapan.

Sampai suatu malam kulihat sosok yang kusebut "aku" itu melepaskan alat kerja yang dipegang dan beranjak pergi menuju ke suatu lembah yang senyap. Lembah yang penuh doa-doa. Laki-laki yang menemaninya kulihat juga berhenti bekerja, sejenak termenung hingga akhirnya berkata,"jangan pergi. Kita hampir selesai". Kata-katanya diucapkan berulangkali, berebut dengan waktu yang terus berjalan. "Jangan pergi. Lihat dinding sudah terpasang rapi. Atapnya juga ... sebentar lagi terpasang. Lihat! Sudah banyak orang berteduh di tempat ini ... "

Dingin dan hening sempurna. Silentium Magnum .... Semua hal masih tampak tidak pasti. Yang pasti hanya aku yang sedang menggulirkan butir-butir tasbih, ditemani Apols, anjing penjaga biara.

Menjelang subuh aku kembali ke kamar. Di koridor yang hening dan tampak angker, pelan-pelan muncul dalam ingatanku kata-kata salah seorang Brother,"Kamu arsitek, Brother. Matilah sebagai arsitek. Seperti Ayrton Senna, sang pembalap legendaris mati di sirkuit. Seperti Isa putera Maryam, tukang kayu yang mengakhiri hidupnya pada sebatang kayu.

***

Monday, February 13, 2012

Tebarkan Jalamu di Sisi Kanan

Suatu pagi aku berdiskusi dengan seorang arsitek tua yang menjabat sebagai Director of Design pada sebuah biro arsitektur ternama. Kami terlibat dalam sebuah proyek membuat sebuah bangunan klasik. Suatu pekerjaan yang tidak mudah karena langgam klasik menuntut aturan yang sangat ketat.


Diskusi pagi itu diawali dengan pikiranku yang merasa buntu karena beragam hal yang membuatku sulit mencapai unsur klasik. Melihat kecemasanku, arsitek tua itu tersenyum dan menunjukkan berbagai straregi desain yang tidak kusangka. Bahkan pada awalnya aku merasa pesimis dengan strategi desain yang dibuatnya, yang menurutku justru akan merusak kaidah klasik.


Tapi tidak. Dia meyakinkanku bahwa strategi yang dia tawarkan justru memperkuat nilai bangunan klasik. Pikiranku jadi terbuka dan tercerahkan. Dan diskusi pagi itu berakhir dengan pesan singkatnya, "banyak cara dalam classic style, tapi yang terpenting kita harus memahami 'bahasanya'". Sebuah kalimat yang membangunkan aku yang terlalu fokus pada kebiasaan.


Diskusi itu membuatku jadi teringat akan cerita yang pernah dituturkan Kakek kepadaku, waktu aku masih duduk di bangku sekolah dasar.


Pada suatu malam Kakek mengunjungi kami. Dia bercerita tentang seorang Guru Sufi yang hidup di tanah Palestina, kira-kira 70 tahun sebelum perang besar Jerusalem.


Guru itu adalah sosok yang penuh kharisma. Ajarannya selalu ditunggu oleh banyak orang, lewat kata-katanya yang menggugah dan mencerahkan. Seperti suatu ketika, demikian kata Kakekku, Guru itu mendatangi sekelompok nelayan yang frustasi karena hanya mendapat sedikit ikan setelah semalaman mencari. Kepada para nelayan itu Guru Sufi 'hanya' berkata "bertolaklah lagi ke danau dan tebarkan jalamu di sebelah kanan". Suatu permintaan yang menurut banyak orang tidak lumrah dan di luar kebiasaan para nelayan.


Setelah melalui perdebatan mengalahlah para nelayan itu. Dalam kelelahan mereka bertolak lagi ke danau dan menebarkan jala di lambung kanan. Maka aduhai, demikian Kakekku katakan, tertangkaplah ikan dalam jumlah banyak. Setelah kejadian itu banyak orang percaya bahwa suatu mujizat telah terjadi. Tapi, lanjut Kakekku, sesungguhnya Guru Sufi itu hanya membuka pikiran para nelayan agar mampu melihat bahwa perahu mereka memiliki 4 lambung. Sebelumnya, para nelayan itu merasa nyaman dan terbiasa pada lambung kiri yang aman dan mudah sehingga tidak melihat potensi lain yang ada pada diri dan perahu mereka. Tetapi jika peristiwa itu dikatakan sebagai mujizat, maka bisa jadi mujizat bukanlah hal- hal gaib melulu tetapi suatu keberanian untuk melihat sisi yang lain, masuk dalam wilayah yang selama ini menjadi kekhawatiran kita.


Kembali pada pesan seniorku itu, bahwa untuk memahami sesuatu kita harus memahami 'bahasa' nya. Menurutku manusia tidak pernah tuntas dalam memahami suatu bahasa karena bahasa selalu menyiratkan hal-hal yang tidak terucapkan dan tidak pernah selesai. Tetapi mungkin yang dimaksud dirinya adalah cinta. Ketika seseorang memiliki cinta dia memiliki keberanian untuk masuk ke dalam situasi yang tidak pasti, 'menebarkan jala di sisi kanan', dan memperjuangkan suatu nilai.

Saturday, January 28, 2012

Rayakan Rumahmu

Lima tahun lalu seorang teman di Yogyakarta minta dibuatkan rumah yang menurut rencana akan ditempati oleh ayahnya. Sebelumnya, ayah temanku itu menumpang di rumah seorang kerabat mereka. Semuanya berjalan lancar sampai suatu saat sang pemilik rumah mengeluh. Dia berencana menjual rumahnya tetapi niatnya selalu tertunda karena tidak tega 'mengusir' ayah temanku ini.

Setelah rumah temanku selesai dibangun sang ayah tidak kunjung menempati. Hanya sesekali menengok untuk membersihkan. Temanku ini jadi kesal hati. Sudah dibuatkan rumah tapi masih memilih merepotkan orang lain. Tempo hari di Yogya dia menengok rumah tersebut. Sesampainya di sana dia disambut tetangga yang bertanya, "Bapak menika kok lucu to mas? Wonten griyo tenang ngeten niku kok mboten dinggeni? Nggih kala wingi nika kulo ketingal wonten langit-langit retak-retak, padahal griyo nika gadhah jiwo lho mas, menawi griyo nika suwung nggih mung marai risak sedaya". [Bapak itu kok lucu to mas? Punya rumah tenang tapi tidak ditempati. Kemarin saya perhatikan ada langit-langit yang retak, padahal rumah punya jiwa. Kalau rumah dibiarkan kosong maka akan rusak].

Aku tertegun mendengar cerita itu. Pikiranku mencatat hubungan antara rumah, jiwa, kekosongan, dan kerusakan. Antara benda mati dan unsur metafisik. Menjadi suatu pertanyaan: bagaimana sebuah rumah bisa memiliki jiwa?

Masyarakat tradisional yang sangat dekat dengan alam tidak pusing dengan pertanyaan itu, yaitu bagaimana sebuah benda mati bisa memiliki jiwa. Contohnya adalah penduduk yang tinggal sekitar lereng gunung Merapi. Mereka menganggap gunung tersebut layaknya manusia. Mereka berdialog dengan sang Merapi, menghaturkan sesaji sebagai wujud terimakasih atas rejeki yang diberikan oleh sang gunung.

Aku pun pernah memiliki pengalaman yang berhubungan dengan jiwa rumah. Waktu itu, menjelang kematian Ibu, aku datang ke rumah yang sehari-hari Ibu tempati di wilayah Prawirodirjan. Sekedar untuk membersihkan setelah hampir sebulan tidak di tempati pemiliknya yang sedang dirawat di rumah sakit.

Waktu itu hujan turun sangat deras. Aku melihat tetesan air di dalam rumah dalam jumlah banyak. Bocor. Dimana pun hingga menimbulkan genangan yang parah termasuk di kasur Ibu. Aneh. Tidak pernah ada kejadian separah ini di rumah ini sebelumnya. Tiba-tiba hatiku berdesir, seperti ada bisikan yang mengatakan bahwa rumah ini menangis. Kosong, karena Ibu tidak akan pernah lagi pulang. Dan benar, esok harinya, Ibu yang menurut rencana diperbolehkan pulang mendadak pendarahan disusul koma. Tiga hari setelahnya beliau wafat tanpa pernah kembali ke rumah. Jika teman-temanku yang berprofesi sebagai dokter mencatat kejadian di luar nalar yang mereka jumpai dalam praktek profesi sehari-hari mereka yang sangat berdimensi sains, demikian juga aku mencatat peristiwa itu dalam hati sebagai seorang insinyur bangunan.

Rumah memiliki jiwa. Ungkapan ini sebetulnya adalah simbol yang menunjuk pada seseorang yang tak lain adalah si pemilik yang 'meletakkan' jiwanya pada rumah yang ditempatinya. Rumah menjadi semacam titisan manusia. Menjadi tubuh kedua di dunia sebagai penjamin rasa aman dan hangat. Rumah menjadi wadah bagi manusia dalam meletakkan seluruh rahasia terdalam dirinya yang tidak ingin diketahui orang lain, tempat merenung dan merencanakan masa depan, berdialog dengan orang terdekat dan tuhannya. Maka pantaslah jika orang mengeluarkan energi besar untuk sebuah rumah, mengupayakan segala cara untuk merayakannya, bahkan jika perlu dengan berhutang. Sebuah peristiwa sakral dalam hidup. Maka, membiarkan rumah dalam situasi 'kosong' sama dengan membiarkan jiwa kita berkelana tanpa tujuan, dalam malam-malam kelam melelahkan.

Pulanglah ke rumah. Sempatkan waktu mengisi ruang- ruang di dalamnya; merefleksikan kehidupan, berdialog dengan anggota keluarga, dan beristirahat. Jangan biarkan kekosongan menguasai hingga akhirnya menimbulkan kerusakan. Kerusakan yang bukan sekedar fisik rumah tetapi juga jiwa.

Saturday, January 21, 2012

Perginya seorang Abdi

Sering kudengar orang-orang mengeluh tentang pembantu di jaman ini. Keluhan yang paling umum adalah tidak adanya sikap pengabdian.

Pagi ini aku beroleh berita tentang kepergian seorang pembantu keluarga besar kami. Namanya unik untuk telinga orang Jawa: Maria Uwuh. Maria adalah nama baptis sejak dia menjadi Katolik, dan Uwuh berarti sampah. Tapi kami cukup menyapa Mbok Adi atau disingkat saja: Simbok.

Mbok Adi berasal dari Plered Bantul. Jauh di sebelah Selatan Yogyakarta. Bisa jadi dia adalah salah satu keturunan keluarga Tepasana di jaman pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma, kala kerajaan Islam Mataram belum pecah menjadi Yogyakarta dan Surakarta. Atau bisa jadi juga moyangnya adalah orang-orang yang ikut membangun dan menjaga waduk Segarayasa. Itu, waduk yang sangar terkenal. Indah mengelilingi kraton Mataram. Jiwa Mataram ini yang tertanam sangat kuat dalam diri Mbok Adi, yakni sikap seorang Abdi.

Kata abdi sering dikaitkan dengan pembantu. Tapi kata abdi sebetulnya lebih kepada melayani dalam arti yang dalam, yaitu setiawan dan yang dipercaya. Jauh dari sekedar kata pembantu dalam pandangan umum yang berkonotasi objek belaka.

Para Abdi Dalem kraton sangat bangga dengan perannya sebagai abdi. Dia adalah objek sekaligus subjek. Dua hal yang sebetulnya satu, seperti dua sisi pada satu mata uang.

Menjadi objek adalah suatu cara menjadikan diri rendah. Menjadi subjek adalah suatu kemenangan. Dalam hal ini apa kemenangannya? Ialah kesadaran untuk menjadi rendah. Kesadaran adalah salah satu tanda kemenangan manusia sebagai mahluk yang luhur. Dan kesadaran menjadi objek sekali-kali bukan suatu kebodohan melainkan sikap rendah hati.

Secara khusus aku mencatat sikap Mbok Adi sebagai cara beriman yang khas, yaitu orang yang melayani dengan gembira. Dengan demikian dia menjalankan tugas dengan sungguh hati dan sadar. Cara beriman seperti ini buatku tampak hidup karena menghadirkan Tuhan sesuai kemampuan manusia, pada hal-hal yang riil melalui orang-orang dan tugas -tugas yang kita abdi sehari- hari.

Selamat jalan, Mbok Adi. Kelak jika dunia semakin muram dan penuh perhitungan, aku bisa bercerita kepada generasi penerusku jika mereka bertanya," pernahkah ada pengabdian yang tulus dari seorang abdi di dunia ini?". Maka aku bisa menjawab karena aku sudah melihat, bercakap, dan bersentuhan dengannya. Dan seandainya Tuhan sendiri yang hadir dalam wujud abdi itu, maka beruntungnya aku bisa melihat, bercakap, dan bersentuhan denganNya.

Sunday, September 25, 2011

Sang Arsitek

Sore hari itu di studio, ketika selesai mengajar dan sejenak membereskan beberapa buku, seorang mahasiswi mendekati Domi. Dia bertanya, “Pak, apa arti menjadi seorang arsitek?”. Mendengar itu Domi tersenyum dan menyelesaikan pekerjaannya memasukkan buku ke dalam tas. Kemudian dia duduk di meja di hadapan si mahasiswi. Matanya menyipit, memandang ke satu titik. Dia menghela nafas sebentar.

“Kalau saya harus menafsir peran arsitek maka akan banyak sekali ditemukan ragam tafsiran. Tetapi kamu tentu tahu apa pekerjaan seorang arsitek, bukan?”, jawab Domi.

“Ya. Biro konsultan dimana saya melakukan magang bulan lalu memberi saya gambaran yang jelas bagaimana para arsitek menjalankan roda industri bangunan.”

“Dan kamu sempat hadir juga dalam pertemuan kelompok arsitek muda?”, tanya Domi lebih lanjut.

“Ya. Saya senang bisa berkenalan, berbincang, dan melihat karya-karya mereka”.

“Mereka memang orang-orang hebat. Maka, melalui perjumpaan dengan mereka akhirnya kamu tentu tahu apa pekerjaan seorang arsitek? Juga beragam bidang yang digeluti”.

“Tentu … tentu … tetapi, banyak di antara mereka yang saya temui akhirnya tidak menjadi arsitek. Apakah mereka bisa dikatakan gagal? Lantas, untuk apa mereka melakukan studi?”.

“Lantas menurut kamu apakah dia masih bisa disebut arsitek?”.

“Hmm … sejujurnya, dulu saya selalu mengejek para arsitek yang tidak berprofesi sebagai arsitek. Tetapi, dalam beberapa diskusi, mereka juga mampu bercerita tentang kehidupan dengan begitu dalam, sedalam karya-karya arsitektur Le Corbusier atau Louis Khan, dan menginspirasi banyak orang”.

Domi tersenyum dan bercerita:

“Dulu, dalam sidang tugas akhir, seorang professor bertanya kepada saya demikian: Menurutmu, Domi, apa arti arsitek? Sungguh, itu sebuah pertanyaan penutup yang kecil namun sulit. Saya ingin menjawab membangun gedung, menciptakan lingkungan, merencanakan ruang …. tetapi hati saya yang terdalam seperti tertawa mengejek. Saya ingat mulut saya hanya mengeluarkan suara lirih penuh ketidakpastian. Dan sang professor … dia hanya tersenyum sembari mengatakan selamat Domi … selamat memulai pencarian. Akhirnya saya berjalan keluar ruang sidang tidak segagah ketika saya masuk karena merasa nilai A yang saya peroleh belum berarti apa-apa”.

Domi masih melanjutkan, “Setelah lulus saya bekerja pada sebuah konsultan yang sangat terkenal yang memiliki 200 orang karyawan. Saya mengenal secara pribadi pemilikinya, seorang arsitek yang sangat dihormati. Tetapi yang menarik, sejauh saya mengenalnya, dia lebih banyak bercerita tentang kehidupan. Tentang nilai-nilai dan semangat suatu bangsa dan budaya. Dia juga mempunyai seorang asisten yang sangat pintar dalam hal merancang bangunan. Kepadaku orang kepercayaan itu bercerita bahwa saat itu dirinya tidak lagi memiliki banyak kesempatan merancang. Alasannya adalah karena dia diberi tugas untuk memangku jabatan direktur yang membuatnya harus memikirkan banyak hal. Lantas aku bertanya apakah tugas itu tidak membuatnya kecewa karena dengan demikian dia harus meninggalkan dunia desain? Dia menjawab: memang ada rasa kecewa. Tetapi semua rasa itu terhapus ketika setiap pagi dia bangun, dia teringat bahwa ada 199 orang bergantung di kakinya: para karyawan yang harus menghidupi diri dan keluarga mereka”.

Masih lanjut Domi, “Kalau itu yang kamu maksudkan, anakku, maka pertanyaanmu bukan semata tentang siapakah arsitek melainkan lebih dari itu: siapakah aku, manusia?”.

Domi mengeluarkan 2 sachet kopi kapal api dan menyeduhnya. Sembari menghirup aromanya dia berkata, “Kalau saya boleh bertanya: siapakah kamu?”.

“Saya? Hmm … saya Fitriana. Saya mahasiswi arsitektur. Rambutku keriting, keturunan Banten, single …”.

“Ah, ya. Keberadaan kamu diakui karena kamu mahasiswi arsitektur, calon arsitek ternama. Tetapi, seandainya kamu bukan lagi mahasiswi arsitektur, apakah kamu bukan lagi Fitriana. Jika kamu tidak lagi keriting dan single apakah kamu menjadi orang lain. Aku tetaplah aku. Bukan begitu?”.

Fitriana, sang mahasiswi itu tersenyum. Masih didengarnya Domi menguraikan panjang lebar bahwa arsitek, seperti halnya ‘rambut keriting’ dan ‘mahasiswi arsitektur’, dia tidak lebih dari sebuah nama yang diberikan oleh mahluk yang bernama manusia. Sebuah atribut yang ditempelkan pada diri manusia. Maka, manusialah yang menentukan keberadaan arsitek dan bukan sebaliknya.

“Tetapi, kata arsitek juga punya kesejatian”, sanggah Fitri, “jika tidak dia tidak lebih dari sekedar tempelan tanpa nilai. Bukankah dibalik kata itu tercermin suatu tanggungjawab yang mulia?”.

“Kata arsitek memang mengemban tanggungjawab yang mulia”, sanggah balik Domi, “sebagai pembangun lingkungan buatan. Tetapi sebuah lingkungan buatan sejatinya hanya sarana dalam kehidupan manusia. Dia adalah objek dan manusialah subjeknya. Maka, manusia harus menjadi tujuan utama. Dan siapakah manusia? Ah, dia bukan mahluk sekedar fisik, tetapi lebih dari itu adalah juga jiwa yang memiliki unsur adi-kodrati. Jadi, kalau arsitek ingin memiliki nilai maka dia pun harus melampaui maknanya lebih dari sekedar pembangun fisik”.

Kopi belum lagi dingin, tetapi hari menjelang malam dan mereka segera ingin kembali ke rumah masing-masing. Sembari keluar studio mereka membantu satpam mematikan lampu dan membersihkan sisa-sisa potongan maket. Fitriana mengucapkan terimakasih dan basa-basi bertanya apakah sang penjaga keamanan itu sempat mudik pada libur lebaran lalu? Dijawab: tidak. Alasannya demi keamanan dan uang lembur lebih yang cukup untuk menutupi beberapa kebutuhan keluarga. Fitriana menanggapi dengan senyum, tetapi dalam hatinya ada kesejukan karena mulai mampu melihat beberapa hal dalam realitas secara arif.