Monday, March 5, 2007

Mencari Narman

Pada suatu pagi, aku bersama Bapak bertolak menuju wilayah pusat kota Jakarta. Tujuan kami hari itu adalah Pasar Cempaka yang terletak di wilayah kecamatan Cempaka Putih, untuk mencari seorang kerabat yang beberapa puluh tahun lalu pernah indekost di rumah Kakek di wilayah Kompleks Kolombo Yogyakarta. Kerabat tersebut, kami memanggilnya Pakde Narman, adalah seorang yang sangat sederhana. Lelaki asal Sragen yang pada masa mudanya menjalani kehidupan yang sulit. Sampai pada suatu hari, menurut cerita Bapak, Kakek menawarkan kepadanya bantuan untuk melanjutkan studi. Maka jadilah, Pakde Narman ngindung sekaligus ngangsu kawruh kepada Kakek yang bekerja sebagai pegawai pemerintah dan guru.

Cerita kehidupannya selepas 'pemagangan' dari rumah Kolombo tidak begitu jelas karena Kakek sendiri semasa hidupnya tidak pernah menceriterakan kepada kami, cucu-cucunya, mengenai Pakde yang satu ini. Maklum, bukan hanya dia yang menjadi anak asuhnya. Ayahku yang merupakan anak keempat dari sepuluh bersaudara juga tidak bisa bercerita banyak. Kala itu Bapak masih kecil sehingga yang terekam dalam benaknya hanyalah Mas Narman itu sangat sederhana. Baik penampilan mau pun dari semua segi. Prasaja, bahkan berkesan lugu. Biasanya, kalau tidak sedang bersekolah, dia membantu Bapak menimba air di sumur, atau melakukan pekerjaan rumah lainnya. Namun, berdasarkan informasi yang kami terima akhir-akhir ini dari seorang kerabat yang pernah tinggal di wilayah Kemayoran, kira-kira sepuluh kilometer dari Cempaka Putih, Pakde Narman mempunyai usaha dagang sayuran di salah satu kios di Pasar Cempaka. Istrinya yang menjaga kios itu, sedangkan dia sendiri sehari-hari bekerja sebagai guru di sebuah sekolah dasar. Untuk itulah kami ke sana dengan harapan bisa bertemu dengannya.

Pasar Cempaka terletak di tepi jalan raya Letnan Jenderal Suprapto jika kita menuju Pasar Senen. Pertama kali aku mengunjungi tempat ini adalah tahun 1992. Bukan untuk mencari barang atau berbelanja tetapi sekedar numpang lewat saat berjalan dari Gereja Katolik Paskalis menuju wilayah Pangkalan Asem. Pasarnya tidak terlalu luas. Tidak ada opas, atau lurah pasar, atau pengelola yang menjaganya. Kata jaga di tempat ini lebih berkonotasi keamanan, bukan manajerial, sehingga ketika kami menanyakan kantor lurah pasar dengan tujuan untuk mempermudah pencarian, mereka langsung menunjuk kepada penjaga, yaitu satpam yang bertugas memungut cukai parkir. Jadi, rajin bertanya adalah kata kunci di tempat ini.

Sekilas rasanya tidak ada yang berubah pada tempat ini seperti ketika tahun 1992 aku melewatinya. Deretan kios-kios yang menjual aneka produk kebutuhan rumah tangga dan makanan. Rapi, seperti layaknya kios-kios modern. Mungkin, kalau bukan karena bertanya kepada seorang pedagang di pintu masuk, aku tidak akan tahu bahwa di balik kios-kios modern yang mereka sebut sebagai ‘proyek’ ada sebuah pasar tradisional. “Mungkin di sana ada Mas. Coba cari saja di kumpulan penjual sayur. Di sana banyak orang Jawa”, begitu kata seorang penjual jeruk kepada kami. Maka kami menuju ke tempat yang ditunjuknya.

Aroma pasar segera tercium. Sambil melangkah pikiranku seakan mundur ke beberapa tahun silam ketika sering menemani Ibu ke pasar Sawo di kampung Prawirodirjan, atau menemani Bapak ke pasar Patuk. Lorong sempit selebar lebih kurang 1,2 meter. Berlantai tegel becek, penuh lumpur, dan kotor. Penerangan seadanya. Mengandalkan sinar matahari yang masuk dari sela atap lorong. Pedagang sibuk dengan aktifitas masing-masing. Begitu juga dengan pembeli dan kuli angkut yang bersenggolan. Di sebelah kanan aku melihat pedagang dan pembeli melakukan transaksi. Tawar menawar, dealing, cash & carry. Begitu riuh dan hidup.

Tampilan fashion juga layaknya ‘orang pasar’. Sederhana, fungsional sesuai dengan semangat belanja di pasar. Membuat kami canggung karena merasa salah kostum. Tetapi, ada sesuatu hal yang membuat aku merasa lebih canggung lagi, melebihi sekedar salah kostum, yaitu ada rasa enggan untuk ditanyai pada diri mereka kecuali untuk urusan jual-beli. Atau, jangan-jangan justru sebaliknya diriku lah yang terlalu diselimuti sikap cepat curiga khas mahluk metropolitan, sehingga terlalu cepat menganggap mereka enggan untu ditanyai? Yang jelas aku hanya merasa aneh. Secara fisik ruang ini begitu akrab dengan kehidupan sehari-hariku dulu yang berjarak sekitar 500 km dari tempat ini; materi pembentuknya, dimensi, dan juga aromanya. Tetapi ruang yang riuh dan luas ini seakan mempunyai ‘dinding pembatas’ yang demikian nyata.

Akhirnya aku memberanikan diri untuk bertanya kepada seorang penjual sayuran. Jawabannya sederhana; Ngga tahu. Asalnya mana? Coba tanya sama penjual di sana. Ada orang Jawa di sana. Cukup. Untuk kedua kalinya aku memberanikan diri bertanya lagi kepada seorang perempuan yang juga penjual sayuran, yang menurut informasi adalah orang Jawa. Bagaikan bisul pecah kegembiraan tiba-tiba meledak. Sebuah sinar kegembiraan muncul dari wajah perempuan penjual sayur begitu tahu bahwa kami tiyang Ngayogyakarta (penduduk Yogyakarta).”Kula saking nJawi, Pak. Saking Sragen. Sedhereke sinten asmane mau? Narman? Wah mboten pirsa, Pak. Tiyang saking Sragen lha mung kulo kaliyan bojo lan penakan kulo teng pojokan punika. Pasare pundi? Cempaka? Kiosipun nomer pinten? Mboten pirsa?” (saya dari Jawa, Pak. Dari Sragen. Saudara Bapak siapa namanya? Narman? Wah, tidak tahu, Pak. Orang Sragen hanya saya, suami saya, dan keponakan saya. Pasarnya mana? Cempaka? Kiosnya nomor berapa? Tidak tahu juga?). Dan seterusnya.

Obrolan menjadi semakin seru seakan sebuah temu kangen keluarga yang penuh mimik keceriaan, sampai akhirnya sebuah ‘informasi’ kami peroleh bahwa kemungkinan Pakdeku itu berjualan di pasar Inpres yang terletak di antara perumahan Cempaka Putih dan jalan Mardani Raya, yang mana setelah kami kunjungi juga tidak ditemukan satu pedagang pun bernama Narman. Dan akhirnya kamipun mengalah “Ya sudah. Barangkali yang meneruskan dagangannya sekarang adalah anaknya, atau ganti komoditi, atau sudah meninggal dia”, begitu kata Bapak mengalah. Maka, kami pun melaju pulang.

Jalanan hari ini cukup lengang. Cuaca mendung. Sebuah bus meluncur melewati sebuah jembatan. Bapak berujar:

“Lho, ini ‘kan daerah Tangsi Penggorengan to? Lha, itu kali Sentiong. Dulu aku sering gendong Kakakmu di sini.”

“Ya”, jawabku “Daerah Kemayoran Gempol. Sebelah kiri itu Tanah Tinggi. Wah, daerahnya padat. Rumahnya mepet. Satu petak rumah ukuran empat kali delapan bisa diisi sepuluh orang. Premannya gila-gilaan. Dulu jaman Soeharto berkali-kali mau dihabisi dengan cara dibakar.”

Daerah yang sangat bersejarah. Ada satu wilayah di daerah ini yang terkenal dengan nama Djiong atau Jiung. Dia ini seorang jagoan Betawi yang vokal terhadap pemerintah kolonial Belanda. Atas keberaniannya, namanya kemudian di kenang oleh masyarakat sekitar Kemayoran. Namun, menurut Hamdan Arfani, pada tahun 90-an nama Jiung diubah menjadi H. Ung. Keduanya adalah orang yang berbeda. H. Ung adalah kakek dari seniman Betawi almarhum Haji Benyamin Suaeb yang pernah tinggal di daerah ini juga.

Di wilayah ini terdapat sungai Sentiong. Pernah dalam sebuah wawancara, Haji Benyamin dengan sedih mengatakan betapa sungai di Jakarta sudah ‘hilang’, termasuk sungai Sentiong ini, yang dulunya sangat jernih airnya. Begitu jernih sehingga dia, yang semasa kecil hidup di wilayah ini, sering mandi di sungai itu. Tetapi yang tampak sekarang adalah kebalikannya. Melihatnya pun jijik. Air hitam mengalir pelan. Berbusa, berbau, dan penuh sampah. Tidak ada yang sudi untuk menyentuh kecuali tukang perahu penyeberangan, atau konon, para penerbang yang baru lulus, yang diceburkan di sungai ini sebagai tanda kelulusan.

Tangsi Penggorengan adalah nama wilayah yang ditandai dengan hadirnya kompleks Militer Angkatan Darat. Terletak di tepi jalan yang saat ini bernama Rasa Mulya 1. Nama Penggorengan konon diambil dari aktifitas perajin alat penggorengan wilayah ini. Dulu, hampir setiap hari aku selalu melewati daerah ini untuk menuju ke kantor hingga hafal betul akan sudut, kesumpekan, kelusuhan, kemiskinannya. Juga hal-hal ‘ajaib’ lainnya seperti skala dan status jalan yang kabur; jalan kampung kah? Atau jalan kota? Jika jalan kota dirinya berjarak terlalu dekat dengan muka bangunan, tetapi jika jalan kampung mengapa kendaraan besar seperti bis kota melewatinya?

Begitu juga dengan Pasar Kemayoran. Aku lupa apakah pasar ini berwujud baru atau renovasi, tetapi yang tampil sekarang berwujud ‘pasar modern’ yang berdiri di antara pemukiman kampung. Wujudnya adalah corinthian-romawi klasik berwarna emas pada pucuk tiang-tiangnya, dengan bentuk muka bangunan meliuk berbalut material aluminum composite berwarna oranye menyala. Tampaknya tidak mau kalah dengan ‘eX-Center Plaza Indonesia’ di tepi jalan raya Thamrin, yang secara target pasar ditujukan bagi generasi muda MTV kalangan atas.

Kembali ke Pakde Narman.

Tiga jam kami mencari dirinya. Meskipun tidak membuahkan hasil tetapi berawal dari keinginan untuk bertemu dengannya, yang dimulai dari sebuah pasar dan berakhir pada jalan-jalan nostalgia, menjadi meditasi tersendiri bagiku. Merasakan bahwa hidup begitu bergerak bebas kemana pun arahnya. Tetapi bergerak bebas tetap memerlukan kesadaran akan batas dan perspektif, sebagai pegangan agar tidak menjadi sekedar wira-wiri atau mondar-mandir tanpa tujuan yang jelas. Kulihat melalui perjalanan ini kesadaran akan batas ini yang hilang pada masyarakat kita. Banyak sisi manusia yang hilang dan dilupakan. Digantikan oleh nilai-nilai yang bersifat semu sekedar mode. Kali ilang kedunge, pasar ilang kumandange

1 comment:

Adam Herdanto said...

Interesting! Aku belum pernah menatap karya arsitekturalmu tapi sangat mengagumi tulisanmu. Tulisan seperti "Narman" hanya bisa dilakukan oleh seseorang yang menghayati dan merayakan proses hidupnya.