Monday, August 31, 2009

Girisonta, Januari 2009

Langit masih gelap ketika taksi yang kutumpangi masuk ke sebuah pelataran luas penuh pohon-pohon besar. Harum rumput dan pohon pinus basah segera menyergap ketika kubuka pintu mobil. Saat itu pukul 03.00 dini hari. Masih terasa rintik kecil hujan sisa-sisa badai semalam yang menimbulkan banjir di seluruh dataran rendah Semarang.

Selepas membayar ongkos taksi mataku yang lelah menyapu permukaan bangunan kolonial besar penuh jendela besar, kira-kira 50 meter di hadapanku, yang hampir seluruh figurnya tertutup gelap, kecuali bagian pintu mukanya. Maka, aku mengarahkan diri menuju ke pintu itu. Dan benar, kulihat Jumeno, salahseorang Bruder di tempat ini menungguku sembari tersenyum. Tak banyak pembicaraan di antara kami yang masih mengantuk sepanjang perjalanan menuju kamar melewati Domus Patrum yang luas dan gelap. Tetapi kepadanya sempat kutanyakan apakah Wisnu dan Anton sudah tiba.

Di dalam kamar.
Kuamati kamar yang terasa dingin. Langit-langitnya cukup tinggi, kira-kira 4 meter. Sebuah tempat tidur berkelambu, sebuah meja kerja, dan sebuah lemari pendek. Aku membuka jendela besar dan segera udara dingin menyergap. Pakaian kutata di lemari. Begitu juga buku-buku segera kuletakkan di meja kerja. Sembari duduk di kasur yang dingin, untuk kesekiankalinya dan seperti biasa, aku mengucap :”Tuhan, aku disini”. Selanjutnya aku merebahkan diri. Tidur.

Pukul 05.00 wib.
Lonceng kapel berdentang keras, tetapi suaranya tidak mampu membuatku bangkit dari tidur. Sempat sayup-sayup mendengar suara-suara orang di luar. Sepertinya hendak ibadat pagi. Tapi aku betul-betul tidak tertarik dan lebih memilih masuk ke dalam selimut.

Sampai akhirnya terdengar suara ketok di pintu berulang-ulang.
Aku melirik arloji : Pukul 06.20 pagi. Segera aku melompat bangun, dan ketika pintu kubuka tampaklah Wisnu dengan gayanya yang khas.
“Kumpul di Refter jam 07.00”.
“Anton sudah datang?”
“Belum”.

Setengah hari yang cukup menyibukkan. Tidak banyak yang kami kerjakan untuk mengisi setengah hari itu sebetulnya selain berkenalan dengan para penghuni, yaitu para novice dan beberapa pastor pembimbing. Berbincang dan makan siang bersama mereka, sembari sesekali melihat suasana di tempat ini.

Pukul 3 sore kami bertiga dikumpulkan di ruang pertemuan. Seorang Pastor muda memperkenalkan diri sebagai seseorang yang akan menemani kami selama 3 hari ke depan. Wajahnya cukup tampan dengan garis mata sipit menunjukkan garis keturunan Tiong Hoa. Dari tutur katanya dia terlihat baik dan berkesan seorang pendengar. Tidak banyak yang dijelaskan kecuali sebuah metode yang disebutnya sebagai shalom. Dia juga meminta kami untuk taat dalam menjaga silentium, tidak berbicara selama 3 hari kecuali sungguh diperlukan. Selebihnya dia juga berpesan agar kami selalu berada dalam situasi santai dan membuka hati. Atentif, begitu dia menyebutnya. Memasang telinga dan mata hati karena Tuhan bisa berkata lewat apapun.

***

Girisonta, 15 Januari 2009, pukul 22.00 - Makam Gethsemani

Sudah 30 menit aku mondar-mandir di dalam makam yang gelap ini, di bawah naungan pohon-pohon besar. Udara dingin dan basah. Sudah berulangkali pula aku berjalan melintas di antara nisan-nisan dengan salib serba putih atau memandangi nisan-nisan yang terletak di dinding. Cukup lama sampai-sampai aku hampir hafal separuh nama yang dikuburkan di tempat ini. Joseph G. Beek, Schoonhoff, C. Kester, W. Daniels, A. Siswapranata, Br. Jak Van Zon, Carolus Orie, S. Beekman, J.M. Grounenwoud, C. Looymans, Guido Sabdautama, Al. Setiawan Gani, Chr. Melchers, Thomas Jacobs, F. de Van Der Schueren, dan … Th. Hendriks … ya, kuingat nama ini. Seorang imam Jesuit berkebangsaan Belanda yang pernah kukenal 25 tahun silam saat aku masih aktif melayani gereja sebagai mesdieneer atau pelayan altar, atau lebih tepatnya pelayan. Ya, pelayan atau abdi.

“Perjumpaan” kembali ini mengesankanku. Aku seperti disadarkan akan sebuah nilai kerendahan hati, yang menuntunku untuk berani menyelami sebuah tantangan : berani untuk menjadi abdi. Berani untuk menjadi bukan siapa-siapa. Hanya kosong belaka.

“Perjumpaan” kembali ini juga membuatku segera menyudahi perenungan malam dan bergegas kembali ke dunia yang hangat di kamarku dengan sebelumnya mengunjungi Kapel Domus, untuk sejenak menyampaikan penghormatan dan seserahan. Sesaji bagi Sang Adi Kodrati yang kukemas dalam kehidupanku hari ini.

***

Girisonta, 16 Januari 2009, pukul 10.30

Colloquiuum atau berbincang sejenak dengan Pastor Pembimbing.

“Jadi, apa yang ada di dalam benakmu berkaitan dengan peranmu di dunia? Katamu kamu enggan untuk menjadi seseorang yang mencolok.”
“Begitulah kira-kira. Entah kenapa hati saya tidak tergerak ketika membayangkan berperan menjadi seorang tokoh, atau seseorang mempunyai jabatan.”
“Selama proses perenungan semalam kamu memiliki tempat favourite? Atau … oh ya, kemarin saya meminta agar kamu membuat sebuah simbol yang menyiratkan jati dirimu. Sudah kau temukan simbolmu?
“Ah ya …. tentu. Kemarin saya melihat deretan sepeda tua yang sering dipakai para Novice untuk tugas keluar. Entah kenapa saya suka melihat figur sepeda-sepeda yang sederhana itu. Sudah berkarat dan lapuk di sana-sini memang, tetapi penuh energi. Saya membayangkan sesederhana itulah hidup saya. Tapi malam harinya, waktu merenung saya merasa simbol sepeda sepertinya terlalu romantis.”
“Mm. Kamu memilih merenung dimana? Kapel, teras, kamar, ruang doa?”.
“Tidak Romo. Tidak di Kapel, tidak juga di teras atau kamar atau ruang doa. Tetapi di makam. Ya, makam. Semalam saya berkunjung ke sana.”
“Kamu suka makam?”
“Ya”.
“Menarik sekali bahwa semua nilai kesederhanaan yang kamu ungkapkan sangat erat kaitannya dengan makam. Mungkin itulah simbolmu : makam”.
“Aduh, memelas sekali diriku disamakan dengan mayat dan tulang-tulang yang tinggal di jaratan itu”.

Tertawalah sang Pastor. Dia mengatakan justru aku harus mencari makna makam. Adakah nilai lain dibalik kematian serba ngeri di dalamnya? Dan untuk selanjutnya dia menyarankan agar aku sesering mungkin berkunjung makam karena katanya lagi : tuhanmu menunggumu di sana.

***

Girisonta, 17 Januari 2009

Aku merasa kering. Penuh pertanyaan atas apa yang kami, tepatnya aku lakukan di tempat ini. Untuk apa sebetulnya aku meluangkan waktu selama 3 hari, ijin meninggalkan pekerjaan. Toh pekerjaan yang kutinggal sejenak kusadari merupakan berkah dalam hidupku dan menjadi berkah juga untuk orang lain. Lantas apa yang kurang? Kenapa aku tidak focus saja kepada hidup dan pekerjaan yang sudah ada, bukan sebaliknya bergerak mencari bentuk yang lain, bahkan sampai menuju simbol makam atau kekosongan seperti yang dikatakan Pastor kemarin. Ah, tetapi toh itu cuma simbol belaka. Bukan sesuatu yang nalar tersentuh tangan dan kasat mata. Untuk apa dipusingkan?

Hari ini, seperti halnya kemarin, selalu diadakan ibadat ekaristi pada jam 6 sore. Khusus untuk kami berempat dan dipimpin sendiri oleh Pastor Pembimbing. Misa yang sangat intim di Kapel Maria yang sepi di tengah gerimis yang semakin meneguhkan dinginnya udara. Kami duduk merapat bersila melingkari altar kecil. Pastor dengan jubah putihnya seakan-akan mewakili sosok Guru yang sangat dekat murid-muridnya. Kadang kami bersama-sama melakukan sharing kecil atau mendengarkan khotbah yang diurai dengan sangat membumi seakan-akan kamilah pelaku di dalamnya. Atau kadang kami bermeditasi. Sekedar mencecapi perjalanan hidup dan menyadari kehadiran Seseorang yang sudah menemani kami sejak lahir di bumi – Seseorang yang sering kami lupakan ketika hidup menghirup hiruk-pikuk dunia.

Tetapi dari seluruh perayaan yang terangkum dalam misa itu ada hal yang selalu kami tunggu : secara intim kami memakan roti kecil dan minum anggur bersama. Roti selalu kami bagikan dengan penuh kasih dari satu orang ke yang lain. Begitupula anggur.

Roti yang berarti kemanusiaan kita yang hidup, yang terus dihidupkan dengan penuh jerih-payah melalui pekerjaan sehari-hari. Dalam roti yang sama itu pula Sang Adi Kodrati yang selalu menganggap manusia sebagai masterpiece, buah cintaNya yang dimerdekakan dengan cara diperkenankan hidup utuh dengan segala sisi kemanusiannya, rela untuk hadir dengan memakai pakaian yang sama dengan manusia, berbicara dengan manusia, menyentuh manusia. Untuk merayakan kehidupan kita. Berkenan merasakan apa yang manusia rasakan meskipun luka sekalipun. Berduka bersama manusia, tertawa bercanda bersama manusia.

Dan anggur, melambangkan darah, pengurbanan. Diminum setelah manusia memakan roti yang tak lain adalah Sang Adi Kodrati sendiri yang telah berkenan merasakan apa yang dirasakan manusia dalam seluruh sendi kehidupannya. Agar Dia bisa memeluk dan membawa segala sisi kemanusiaan kita yang bahkan penuh luka untuk kemudian dibersihkan dengan darahNya sendiri supaya manusia menjadi murni kembali, sama dengan diriNya.

Selalu saja peristiwa ini membawaku dan teman-teman lain ke dalam situasi berkanjang. Bukan sekedar perayaan, tetapi layaknya hadir di hadapan orang tua yang begitu merindukan kejujuran putera-puterinya. Di dalamnya tidaklah perlu suasana gegap gempita penuh sensasi sebetulnya.

Kejujuran seringkali berupa luka. Seringkali juga manusia bertingkah laku seperti anak yang menutupi luka karena takut terlihat oleh orang tuanya. Takut dimarahi karena dianggap melakukan perbuatan yang serba ngawur. Tetapi Gusti Allah itu orang tua yang gemar menyembuhkan. Menghukum tidak doyan Dia. Membuang waktu saja kataNya. Tetapi sesuatu hal bisa terjadi – termasuk proses penyembuhan luka - kalau ada kemauan dari kedua pihak. Maka, ada baiknya seorang anak yang terlukapun ikhlas memperlihatkan boroknya, bahkan kebodohannya.

***

Girisonta, 18 Januari 2009

Malam terakhir. Colloquiuum pk. 10.30

“Bagaimana Mas? Sehat?”
“Baik Romo. Sudah lebih bening-hening-wening hati ini. Saya banyak membuat sketsa sebagai proses doa hari ini. Sesuai pesanmu kemarin. Buatlah proses doa yang sangat aku banget. Kebetulan aku memang suka sketsa dan membawa sketch-book ke sini.”
“Menarik sekali. Bagaimana tentang makam? Tertuang juga dalam sketsa?”

Aku memperlihatkan sebuah sketsa yang menggambarkan situasi makam, yang kubuat dalam hati terdalam nan hening sebening Girisonta : menggambarkan ladang luas penuh tanaman dan hutan di kejauhan. Seberkas sinar matahari teduh-hangat menerangi ladang. Di tengahnya terlihat sosok anak berlari gembira.

“Jadi, bagimu makam bukan tempat yang mengerikan penuh kematian? [Bukan. Malah sebaliknya. Ada kehidupan di dalamnya] Apakah kamu pernah datang ke suatu tempat dimana ada kesunyian dan kesederhanaan? [Pernah. Waktu libur Idul Fitri tahun lalu. Kebetulan Bapak mengajak ziarah. Pilihannya ke Sendang sono atau ke satu tempat lagi di Jawa Tengah juga. Kebetulan kami belum pernah ke tempat yang satu itu, maka melajulah kami ke sana] Apa yang kamu rasakan sesampainya di tempat itu? [Saya merasa homy Romo] Ah”.

“Oh ya, satu pertanyaan lagi Romo”.
“Oh, silahkan”.
“Mengenai simbol. Sepenting apakah dia sehingga beberapa hari ini kita diminta untuk fokus kepadanya?”
“Kamu tahu kompas atau sextant? Ya, seperti itulah. Digunakan sebagai sarana saja untuk membaca arah hidup, atau yang lebih jauh lagi membaca disposisimu dengan tuhanmu. Memang betul tuhan kita satu dan sama. Tetapi setiap manusia diciptakan secara intim oleh penciptanya dengan tujuan yang berbeda dan khas, menjadi semacam rahasia yang hanya diketahui oleh mereka berdua. Nah, kerapkali kita merasa sudah berbuat banyak hal bahkan yang baik-baik tapi kok masih saja ada yang kurang. Maka ada baiknya mengarahkan kepada tujuan kita diciptakan. Biar selaras. Tetapi bukan berarti perbuatan baik yang sudah dilakukan, meski tidak selaras, menjadi tidak baik. Tidak juga. Tetapi persis di sini bedanya makna antara percaya kepada Sing Murbeng Dumadi dengan ikut denganNya. Percaya kepadaNya adalah baik tetapi mau dan ikhlas dipakai sebagai alatNya, sesederhana apapun itu, adalah nilai yang lain lagi. Manunggaling kawula lan Gusti.”

***

Cukuplah tiga hari ini. Tiga hari yang menegangkan, melelahkan, sekaligus menyejukkan dan menguatkan. Dan yang menarik adalah awalnya kami berempat hadir untuk mencari disposisi diri masing-masing dalam kehidupan. Tetapi yang ditemukan adalah lebih dari itu : relasi dengan Tuhan. Melihat bahwa Dia begitu baik dan tidak memedulikan dosa dan keberdosaan manusia. Menyadari bahwa Dia selalu hadir bahkan pada situasi terburuk sekalipun. Hadir untuk menguatkan, atau dalam bentuk lain juga hadir untuk mengajarkan melalui sebuah pengalaman pahit di masa lalu agar suatu saat manusia bisa menjadi teman seperjalanan bagi orang lain yang berada dalam situasi yang pernah dialaminya. Di sini terlihat jelas bahwa melakukan refleksi dan mencecapi kembali pengalaman masa lalu selama tiga hari ini bukanlah perkara romantis belaka, tetapi layaknya menarik mundur tali busur untuk melesatkan anak panah jauh ke depan.