Tuesday, December 18, 2007

Surat Untuk Wawan

Mas Wawan, seseorang yang terjebak dalam kesesakan atau jalan buntu selalu mencari "sesuatu di antara yang padat dan sesak" dimana dirinya bisa mendapatkan udara untuk menghirup nafas atau berharap melihat seberkas cahaya. Sesuatu itu bernama "ruang".

Aku bukan orang yang pintar mencari ruang-spiritual ketika berada dalam kesesakan. Merenung dan berdoa malah kadang membuatku tidur. Sebagai manusia aku cenderung berharap sesuatu yang nyata. Kadang sesuatu yang berbau spiritual itu indah kedengarannya tapi memberatkan.

Dalam mendapatkan ruang yang nyata maka harus betul2 mengambil sesuatu yang nyata pula. Maka, aku sangat senang dengan jalan di depan kosku, yang kalau malam sepi banget. Sering kalau 'sesak' aku jalan kaki menyusuri jalan ini jam 1 atau 2 pagi. Entah pergi ke warung teh poci atau ke taman, duduk-diam di bawah pohon cemara dekat kali.

Selama menyusuri jalan, banyak hal dalam pikiranku bisa dilepaskan. Malah kadang2 ada pula ide2 baru. Pada titik ini aku merasa sebagai orang yang sedang menarik nafas, melepaskannya, dst. Lega banget. Ide2 segar yang muncul aku lihat sebagai seberkas cahaya. Kalau lewat salahsatu rumah sering terkenang seorang Eyang yang kalau pagi atau sore berdiri di pagar berbusanakan kaos oblong dan celana panjang atau sarung. Rambutnya selalu rapi. Meskipun aku ngga tau namanya tapi kami selalu bertegur sama. Dia selalu tersenyum.

Sekarang, sang Eyang sudah meninggal. Tapi sering setiap malam hari lewat depan rumahnya aku teringat padanya dan sosoknya 'muncul' di otakku. Tetap tersenyum. Bedanya, senyumnya seperti tidak kenal lelah.

Atau lewat rumah di pojok yang wangi melatinya selalu menggoda. Untuk yang ini aku bela2-in berhenti, menghirup, untuk sekedar mengenang rumah di Jogja atau mengenang Ibuku yang selalu menaburkan melati di kasurku. Lagi-lagi ngecharge ... sadar bahwa kita ada dan dicintai.

Tapi itu sekedar saran aja. Siapa tahu membantu, apalagi dekat rumah Mas Wawan banyak gang2 sepi buat jalan2

Surat Untuk Khristin

Akhir tahun ini aku selalu mempertanyakan kenapa aku masuk dalam situasi pekerjaan yang sebelumnya aku benci. Bahkan dengan gagah-berani meninggalkan kenikmatan kantor lama yang salahsatu fasilitasnya adalah mempunyai waktu libur yang cukup dan manusiawi.

Ternyata aku tidak menemukan jawaban yang merupakan pandangan umum, semisal : "ah, dengan aku kerja keras seperti saat ini tentu akan memperoleh hasil yang lebih baik. Penghasilan, peluang, karier, dll." Sejujurnya nilai2 tsb aku dapatkan, tapi ... kok hatiku mengatakan bukan itu yaa ...

Sampai pada beberapa hari lalu saat internal project meeting dimana project manager kami mengumumkan bahwa item pekerjaan bertambah, beberapa target belum tercapai, tetapi jadwal tidak berubah. Artinya : kebut pekerjaan dan tidak ada libur, bahkan untuk tanggal merah sekalipun, juga hari sabtu dan minggu. Dan seperti biasa pekerjaan dimulai pukul 08.00 sampai 22.00. Mendengar berita ini tentu aku jadi deg-degan. Wah, tiket ke jogja udah aku beli. Piye iki?

Tapi, perintah itu sebetulnya lebih ditujukan pada teman-teman mandor, surveyor, dan tukang. Kami yang berada di level manajerial tentu boleh menikmati libur. Hal ini boleh jadi menghibur hatiku, tapi ada sesuatu yang bikin aku tidak tenang. Aku melihat wajah para mandor dan para surveyor. Sebutlah Pak Yono, Pak Redi, Pak Priadi, Pak Bachruddin yang lantas terdiam. Tidak berani mengemukakan pendapat apalagi membantah karena mereka tahu perintah tersebut mutlak terutama bagi 'wong cilik' seperti mereka. Mereka hanya bisa tersenyum dan mencoba mencairkan suasana dengan saling bercanda. Hanya Pak Priadi yang dengan terpaksa mengajukan ijin sebentar demi menemani anaknya yang menikah di Sukabumi dengan catatan selesai acara harus kembali ke proyek.

Aku masih diam. Sampai saat pergi ke toilet aku lihat seorang tukang. Udah sepuh. Umurnya kira2 70 tahun. Kami memanggilnya 'Simbah'. Masih memegang palu penghancur beton yang beratnya lebih dari sepuluh kilo (bukan palu biasa). Bersama beberapa rekannya dia melaksanakan tugas membongkar dinding beton penahan struktur lift setebal 30cm, setinggi 4m, dengan panjang 6m. Resiko terjerumus ke dalam lubang lift tentu di depan mata. Juga resiko jatuh dan tersangkut jalinan besi beton yang bisa merobek tubuh manusia. Belum lagi debu halus yang setiap hari dihisap bahkan ketika mereka tidur di mess yang lembab tanpa bisa melihat cahaya. Makan makanan murah yang dijual tanpa tahu mutu kesehatannya. Gaji mereka demikian kecil.

Cukup melihat satu contoh itu saja, dan seakan ada yang berbisik di hati :"Seto, maukah sejenak kamu bertoleransi dan menemani mereka?".

Monday, December 10, 2007

Surat Untuk Aris

Mas Aris .. Mantapz banget ceritanya!!!
Jangankan kereta bisnis. Suatu kali aku & Bismo nekat numpak ekonomi. Harganya? cuma 38 ribu rupiah!! Ceritanya kami pengen 'ngecharge', selain mengenang masa2 perjuangan dulu he he ... Ga baik ya kalo kelamaan hidup di satu titik aja. Jadi, ada baiknya otak ini digoncang-goncang biar lebih peka dan kreatif.

Kami naik dari stasiun Senen. Sampe di dalam gerbong sandaran kursinya tegak semua. Tapi masih lebih bagus. Jamanku masih ngere dulu gerbong ekonomi kursinya dibikin dari rotan. Buset!! Trus, judulnya kami memang dapet seat-number, tapi pas sampe tempatnya kursinya udah dipake orang yang pastinya ga akan merasa salah. Malah dengan enteng minta maaf dan ijin untuk menduduki. Wis jan! Buru2 Bismo milih tidur di bawah pake koran. Lebih anget dan ditanggung pules les.

Sepanjang jalan ga bisa tidur. Setiap menit ada aja orang 'jualan'. Ngupoyo-upo orang Jawa bilang, atau mengais rezeki. Ngamen pasti. Ngemis ... selalu ada dengan modus operandi yang diceritakan Mas Aris. Ada puluhan malah. Jualan? Pasti. Bersih2 aisle atau koridor gerbong dengan cara glesotan dan nyapu sana-sini .. hmmm ... ga terlalu baru juga. Yang baru adalah : Setelah koridor di bersihin ada satu orang lagi yang tadinya udah nunggu di deket wc. Maka jadilah dia semprot pewangi sana-sini sambil minta uang.

Pengamen. Ada yang baik2 ada pula yang nodong. Malah ada yang gak terima dikasih 500 perak. Tapi yang paling seru adalah seperti Mas Aris bilang :pengamen bencong. Dari suaranya aja udah kedengeran sejak dia di gerbong sebelumnya. Suaranya yang bariton juga ngalahin bunyi bogie roda kereta yang "jdhar-jdher" . Nah, yang paling "mengerikan" adalah bahwa ketika setiapkali abis nerima uang, si pengamen bencong itu berucap "terimakasih suami" he he he ... Mending tidur aahh ... daripada dibilang suami ...

Yang begini ini akan ketemu waktu kereta masuk stasiun Wates pagi hari. Biasanya ada 3 waria. Pede banget, dengan dandanan yang mencolok plus "gitar" kotak kayu dengan senar karet yang hanya menghasilkan 3-4 nada, tapi bisa ngiringin lagu apapun. Sebagian besar syair lagu berupa celotehan mereka yang selalu berakhir dengan kalimat tekewerkewerrrr ... klueerrrrr ....

Toilet? Jangan harap buang hajat di ekonomi. Lha wong closetnya aja buat sandaran kepala orang tidur.

Di setiap stasiun. Yah, yang namanya kereta murah pasti langganan disalip sama yang namanya senja utama, taksaka, argolawu, dan juga argo2 lainnya itu ... Tapi yang ngangenin adalah hiruk-pikuk orang jualan. Dari jenis barang yang dijual orang sambil merem tahu kereta udah sampe mana. Jadi semacam landmark. Nasi bungkus bisa dipastikan kereta masuk Cirebon. Nopia dan gethuk goreng? tentu Purwokerto. Nasi ikan ayam .. nah ini khas Jogja. Hanya orang Jogja yang menyebut daging dengan kata ikan (iwak). Iwak pitik, iwak asu, iwak sapi. Buat yang ga ngerti akan mikir : ikan berbentuk ayam ... jadi ada ayam berenang di sungai atau laut. Gitu?

Makanan & minuman. Buat teman2 yang suatu ketika akan naik kereta ekonomi. Belilah minuman panas sejak pertamakali diedarkan. Ditanggung (insya Allah) masih bersih. Itu aja masih sering nemuin bagian gelas yang licin dan berlendir hiiii ...
Tapi soal minuman, kami seneng banget dengan penjual minuman sachet (coffeemix, kopi kapal api, dll ). Selain terjamin kebersihannya aku juga belajar ilmu design product dari mereka. Pinter banget mengemas thermos, untaian sachet minuman, cangkir plastik dalam satu kemasan. Hebat!!

Dari semua keriuhan itu ada juga yang mengharukan. Sebut aja para masinis yang harus bertanggungjawab terhadap ratusan penumpang. Suatu ketika aku melongokkan kepala dari pintu. Melihat mereka jaga malam ketika semua orang tertidur pulas. Buka mata lebar-lebar di dalam kereta yang berkecepatan tinggi. Kadang sebagian badan keluar jendela. Kasih semboyan atau kode kepada petugas sinyal di darat di daerah perbukitan atau hutan yang jauh dari keramaian kota. Semakin mengharukan kalau melihat petugas sinyal tersebut udah sepuh, menaik-turunkan lampu di tangannya. Apalagi kalau pas ujan. Gaji mereka kecil. Kadang habis hanya untuk menghabiskan malam bersama pelacur di stasiun. Kalah terhadap himpitan kebutuhan hidup dan kelelahan, atau mungkin juga meredam rasa salah ketika malam2 melihat orang tertabrak dan tergilas lokomotif yang dikemudikannya. Penumpang ga pernah tahu ...

hmmm ... ngangeni ... semoga perjalanan bersama Nila dan keluarga menyenangkan. Juga untuk sowan Simbah di Wonosari. Wah, peristiwa yang sangat indah ya ...

Friday, December 7, 2007

Eyang Putri

*Mengenang 1000 hari wafatnya Ibu E. Surajinah

Tahun 1988. Saat itu saya kembali memulai kegiatan sebagai miesdinaar setelah sekitar 3 tahun meninggalkan kelompok ini. Wajah-wajah baru yang saya temui memberi kesan bahwa kelompok ini begitu hidup dan berkembang, dan wajah-wajah lama memberikan gambaran sebuah penerimaan kembali secara tulus. Membuat saya merasa seperti “pulang ke rumah”. Di antara wajah lama tersebut hadir seorang lelaki sepuh. Posturnya kecil dengan rambut putih. Parasnya ramah dengan senyum selalu mengembang. Kami memanggilnya Eyang Joko. Sosok inilah yang berperan dalam menjaga kemurnian dan eksistensi miesdinaar dengan tetap mengemban nilai-nilai luhur “Ad Maiorem Dei Gloriam”. Sungguh, Eyang Joko sangat memberi inspirasi dalam kehidupanku sampai saat ini. Masih ingat dalam benakku ketika bertandang ke rumahnya. Berbicara tentang Injil, Talmud, dan Khaballa, tentang para Santo, Bapa-bapa Gereja, para skolastikat dan religius, tentang musik Gregorians, bahkan berbicara menjadi manusia apa adanya yang menyadarkan saya bahwa Tuhan selalu hadir di dalam kesederhanaan dan kelemahan manusia yang bahkan jauh dari unsur religius. Semakin manusiawi semakin illahi.

Eyang Joko adalah sosok yang antusias dalam bercerita. Tetapi seperti halnya merasakan aliran angin yang lembut di antara gesekan bambu, ketika sedang berbincang saya selalu mencuri-curi pandang sosok lain yang sangat lembut dibalik ‘kekuatan’ seorang Eyang Joko, yaitu seorang perempuan yang hadir dengan senyum dan bahasa tubuh yang anggun. Kami memanggilnya Eyang Putri.

Sering kita dengar bahwa dalam kehidupan sebuah sistem tidak bisa berjalan tanpa dukungan sistem yang lain. Sebuah jembatan yang tampak kokoh dan megah tidak akan berfungsi baik kalau tidak didukung ikatan lainnya melalui unsur mekanik yang terkecil sekalipun. Rumpun bambu harus digerakkan oleh angin yang tak kentara agar berderak menyuarakan irama alam yang membius jiwa. Angin itu juga yang menghantar harum bambu dan diterima oleh indera yang menjadi teduh. Itulah Eyang Putri yang saya kenal. Seorang yang memberi dukungan dengan tidak terlihat.

“She is my Angel”, begitu kata Eyang Joko mengomentari sang Istri.
Bagi saya pribadi, seperti halnya sang suami, Eyang Putri adalah sosok yang memberi inspirasi. Tetapi lebih dari itu, dibalik kehadirannya berbalut busana Jawa sederhana yang membuat dirinya layak dipanggil Ibu dan Eyang, beliau adalah sebuah ‘rumah’ dan ‘rahim’ yang menyerap energi buruk penghuninya agar mampu berjalan lagi. Dalam parasnya saya mengerti akan makna keheningan, kedamaian, ketulusan, dan kesetiaan.

Saturday, December 1, 2007

Warung

Suatu malam di sebuah warung di wilayah Bendungan Hilir Jakarta.
Warung ini menyediakan ketan yang diurapi dengan srundeng kelapa, teh poci, mie rebus, aneka 'gorengan' dan minuman lainnya. Berukuran lebihkurang 6x8m warung ini terdiri dari beberapa fungsi ruang, yaitu tempat persiapan, area memasak, kamar mandi, meja saji, dan tentu saja bangku tamu. Tidak ada dinding yang membatasi ruang per ruang secara jelas, kecuali kamar mandi, yang pada sebagian dindingnya terdapat bukaan. Pembatas biasanya terbuat dari partisi kayu rendah, seperti halnya struktur penopang dinding dan atap yang semuanya terbuah dari kayu. Sambung-menyambung tanpa kaidah yang benar, menopang atap seng yang selalu bocor di kala hujan.

Ada beberapa lampu sebagai penerangan. Masing-masing lampu terangkai oleh kabel yang merayapi struktur bangunan yang warnanya hitam karena kusam atau jelaga. Tetapi yang menarik dari warung ini adalah aktifitasnya yang selalu hidup. 24 jam non-stop. Dilayani oleh beberapa pramusaji muda, rata-rata perempuan dan berasal dari kota-kota di wilayah pantai utara Jawa. Mereka, selain melayani dengan sigap, juga bercengkerama dengan para pembeli yang duduk berhimpitan di bangku kayu panjang menghadap meja besar berisikan makanan dan minuman. Seperti halnya para pembeli kelas atas menghadap sushi-bar. Mereka, para pembeli itu muncul dari beragam profesi dan strata : karyawan, tukang sol sepatu, sopir bajaj, kuli bangunan, sopir ojek, koster gereja, bahkan beberapa 'seniman kalah' yang cukup mempunyai nama, juga beberapa orang yang dianggap abnormal. Sebut saja Yanto, seorang penderita keterbelakangan mental yang sehari-hari bekerja mengatur lalu-lintas di persimpangan jalan. Atau Tante, sebut saja begitu, seorang perempuan setengah baya dan pemulung berparas ayu, atau entah siapa namanya, seorang gila yang fasih berbahasa Inggris yang sambil tertawa gemar mengatakan kepada orang-orang : "Jesus Christ ... Erlangga Kertapati from Yahudi he he he ...".

Suatu petang, aku minum teh poci di warung ini yang kebetulan saat itu agak sepi, sembari membaca sebuah buku religius.Tak lama muncul laki-laki kecil. Iwan namanya. Bekerja sebagai buruh proyek Departemen Pekerjaan Umum.

"Mas tahu Pasar Genjing' kan? Nah di situ ada proyek perbaikan saluran", katanya membuka percakapan.
"Mas Iwan kerja di situ?", balasku
"Ya".
"Lalu, tinggalnya dimana?"
"Lha di situ. Di bedeng di taman belakang warung ini. Mas sudah lama di Bendungan Hilir?"
"Kira-kira setahun. Di tempat yang ada mobil travelnya", jawabku.
"Oo ... Mas Sopir?"
"Bukan. Saya kerja di bangunan".
"Oooo .... ". Parasnya yang masih tampak bocah tampak berpikir. Manggut-manggut.
"Sering ke warung ini, Mas?" tanyanya lagi.
"Dulu, waktu masih sering pulang sore. Sekarang pulangnya malam. Jadi sudah jarang", jawabku sambil tertawa. Mencoba mencairkan suasana.

Salah seorang pramusaji perempuan menyajikan kopi susu baginya. Dibalas Iwan dengan candaan yang menyerempet, tapi halus dan tidak cabul.

"Mas asalnya mana?", Iwan bertanya lagi
"Jogja. Dan Mas?"
"Jombang. Mas tahu Jombang?".
"Hmmm ...", jawabku sambil mulutku tetap berkonsentrasi pada mie rebus. Dan dia melanjutkan ocehannya lagi :
"Sebenarnya saya cuma bingung aja. Kok ada orang top di sini?"
"Top? Top bagaimana?".
"Iya. Top. Orang seperti Mas kok mau makan di sini?", dia bertanya sembari cengar-cengir.

Sejenak aku menjadi salah tingkah. Terlebih saat dirinya mengatakan bahwa parasku bukan seperti orang Jawa, yang membuat diriku teringat seorang penjual bakso yang suatu malam mengatakan bahwa wajahku mirip orang India. Edan!!

Merasa mendapat teman bicara Iwan menanyakan buku apa yang aku baca. Jujur, aku menjadi semakin rikuh. Hendak menjelaskan apa kepadanya? Menjelaskan temanya bagiku membuat obrolan menjadi berat. Hanyalah membolak-balik buku dengan tidak jelas yang bisa kulakukan. Lagi-lagi salah tingkah seperti orang tertangkap basah selingkuh. Dan juga, lagi-lagi Iwan hanya berkata "Ooo...". Parasnya yang menandakan bahwa dirinya masih bocah berkesan berpikir sesuatu. Manggut-manggut.

***
Di dekat kantor tempat aku bekerja dahulu, di wilayah Sunter Jakarta Utara, ada sebuah warung tempat aku dan teman-teman biasa mangkal sore. Sekedar melepas penat. Memang, kantor kami saat itu mempunyai habit yang cukup aneh. Jam masuk kerja adalah jam 9.30. Dilanjutkan dengan makan siang pukul 11.00 siang sampai pukul 12.00, kadang sampai pukul 13.00. Dilanjutkan lagi dengan acara makan siomay di sore hari pukul 15.00, masuk kerja lagi sampai waktunya pulang, yaitu pukul 17.00. Aneh memang.

Warung tempat kami mangkal adalah warung kecil. Terbuat dari kayu dengan atap "emplekan" dari seng dengan sebuah jendela display. Di warung yang menyediakan berbagai makanan kecil, minuman, barang keperluan sehari-hari, dan mie rebus ini tinggal sebuah keluarga. Letaknya di sudut jalan sehingga memungkinkan untuk memiliki teras kecil yang diisi bangku di bawah kerindangan pohon carson.

Sang suami, pemilik warung ini, bekerja sebagai petugas keamanan sekolah yang berada di seberangnya. Anaknya satu orang. Setiap hari bermain keliling kompleks dan kampung bersama teman-teman sebayanya demi menghindari omelan Ibundanya, seorang wanita gemuk berambut keriting dan bermata juling ini yang senantiasa menemani kami. Masih segar dalam ingatanku bagaimana si Ibu ini meracik sayuran bagi keluarganya, meskipun katanya tidak pernah habis dan kemudian ditawarkan ke orang lain termasuk kami.

Masih ada lagi seorang tokoh yang kerap menemani kami di warung ini. Paijo namanya. Orang asal Klaten Jawa Tengah. Seorang penjual siomay yang selalu tersenyum. Menjajakan siomaynya menggunakan sepeda onthel. Siomaynya siomay kampung. Enak dan laris, sehingga lidahku yang kenyang dalam kesulitan ekonomi maupun lidah Evelyn, seorang teman kantor yang mirip aktris Gong-Li, sangat cantik, rela menikmatinya. Dan Paijo inilah yang selalu menemani kami bersama si Ibu gemuk keriting. Mereka mengenal kami, bercanda apa-adanya, selalu menanyakan jika salah satu dari kami tidak hadir, terutama Mbak Evelyn tentunya. Tentu, hati siapa yang tidak tersentuh demi melihat sang bintang yang menawan mau menyapa mereka dan duduk 'gelesotan' makan siomay di emperan? Pun mereka tercenung ketika mengetahui bahwa si Mbak Gong-Li ini hijrah ke London. Bekerja di sebuah konsultan ternama di sana dan belum lama ini namanya muncul sebagai tim desain di sebuah buku. Atau sebaliknya, begitu terharu kami ketika mendengar berita gempa di Jawa Tengah meluluhlantakkan rumah Mas Paijo.

***
Warung ada dimana-mana di setiap sudut kota di negeri ini. Seringkali kehadirannya tidak sekedar menandakan aktifitas ekonomi semata yang mengatakan "engkau adalah kawan jika engkau dan aku terlibat dalam perkara bisnis". Tidak! Warung malah seringkali hadir sebagai sebuah hati yang siap menerima, tidak peduli nilai ekonomi yang diperolehnya. Dan bersama mereka, para pemilik warung dan orang-orang yang terlibat di dalamnya, jika kita mau membuka diri dan hati dengan sangat sederhana sekalipun kita akan merasakan sebuah "kehadiran" yang suatu saat akan bermakna ketika diri ini merasa kesepian. Menyadarkan bahwa kita ada untuk mereka, begitu juga sebaliknya. Menyadarkan bahwa setiap manusia tidak sendiri dalam berziarah di muka bumi. Seperti halnya berita yang kami terima dari London : "Ga gampang hidup sebagai perantauan di sini. Kangen kalian!!. Apa kabar Paijo? Kangen siomaynya nih". Dan kami yang membaca tertawa, menyeletuk :"Eh ... jangan-jangan si Paijo lama ngga kelihatan karena nyusul Evelyn ke London ya. Jualan siomay dia di sana ... ha ha ha ha!!!".