Sunday, September 25, 2011

Sang Arsitek

Sore hari itu di studio, ketika selesai mengajar dan sejenak membereskan beberapa buku, seorang mahasiswi mendekati Domi. Dia bertanya, “Pak, apa arti menjadi seorang arsitek?”. Mendengar itu Domi tersenyum dan menyelesaikan pekerjaannya memasukkan buku ke dalam tas. Kemudian dia duduk di meja di hadapan si mahasiswi. Matanya menyipit, memandang ke satu titik. Dia menghela nafas sebentar.

“Kalau saya harus menafsir peran arsitek maka akan banyak sekali ditemukan ragam tafsiran. Tetapi kamu tentu tahu apa pekerjaan seorang arsitek, bukan?”, jawab Domi.

“Ya. Biro konsultan dimana saya melakukan magang bulan lalu memberi saya gambaran yang jelas bagaimana para arsitek menjalankan roda industri bangunan.”

“Dan kamu sempat hadir juga dalam pertemuan kelompok arsitek muda?”, tanya Domi lebih lanjut.

“Ya. Saya senang bisa berkenalan, berbincang, dan melihat karya-karya mereka”.

“Mereka memang orang-orang hebat. Maka, melalui perjumpaan dengan mereka akhirnya kamu tentu tahu apa pekerjaan seorang arsitek? Juga beragam bidang yang digeluti”.

“Tentu … tentu … tetapi, banyak di antara mereka yang saya temui akhirnya tidak menjadi arsitek. Apakah mereka bisa dikatakan gagal? Lantas, untuk apa mereka melakukan studi?”.

“Lantas menurut kamu apakah dia masih bisa disebut arsitek?”.

“Hmm … sejujurnya, dulu saya selalu mengejek para arsitek yang tidak berprofesi sebagai arsitek. Tetapi, dalam beberapa diskusi, mereka juga mampu bercerita tentang kehidupan dengan begitu dalam, sedalam karya-karya arsitektur Le Corbusier atau Louis Khan, dan menginspirasi banyak orang”.

Domi tersenyum dan bercerita:

“Dulu, dalam sidang tugas akhir, seorang professor bertanya kepada saya demikian: Menurutmu, Domi, apa arti arsitek? Sungguh, itu sebuah pertanyaan penutup yang kecil namun sulit. Saya ingin menjawab membangun gedung, menciptakan lingkungan, merencanakan ruang …. tetapi hati saya yang terdalam seperti tertawa mengejek. Saya ingat mulut saya hanya mengeluarkan suara lirih penuh ketidakpastian. Dan sang professor … dia hanya tersenyum sembari mengatakan selamat Domi … selamat memulai pencarian. Akhirnya saya berjalan keluar ruang sidang tidak segagah ketika saya masuk karena merasa nilai A yang saya peroleh belum berarti apa-apa”.

Domi masih melanjutkan, “Setelah lulus saya bekerja pada sebuah konsultan yang sangat terkenal yang memiliki 200 orang karyawan. Saya mengenal secara pribadi pemilikinya, seorang arsitek yang sangat dihormati. Tetapi yang menarik, sejauh saya mengenalnya, dia lebih banyak bercerita tentang kehidupan. Tentang nilai-nilai dan semangat suatu bangsa dan budaya. Dia juga mempunyai seorang asisten yang sangat pintar dalam hal merancang bangunan. Kepadaku orang kepercayaan itu bercerita bahwa saat itu dirinya tidak lagi memiliki banyak kesempatan merancang. Alasannya adalah karena dia diberi tugas untuk memangku jabatan direktur yang membuatnya harus memikirkan banyak hal. Lantas aku bertanya apakah tugas itu tidak membuatnya kecewa karena dengan demikian dia harus meninggalkan dunia desain? Dia menjawab: memang ada rasa kecewa. Tetapi semua rasa itu terhapus ketika setiap pagi dia bangun, dia teringat bahwa ada 199 orang bergantung di kakinya: para karyawan yang harus menghidupi diri dan keluarga mereka”.

Masih lanjut Domi, “Kalau itu yang kamu maksudkan, anakku, maka pertanyaanmu bukan semata tentang siapakah arsitek melainkan lebih dari itu: siapakah aku, manusia?”.

Domi mengeluarkan 2 sachet kopi kapal api dan menyeduhnya. Sembari menghirup aromanya dia berkata, “Kalau saya boleh bertanya: siapakah kamu?”.

“Saya? Hmm … saya Fitriana. Saya mahasiswi arsitektur. Rambutku keriting, keturunan Banten, single …”.

“Ah, ya. Keberadaan kamu diakui karena kamu mahasiswi arsitektur, calon arsitek ternama. Tetapi, seandainya kamu bukan lagi mahasiswi arsitektur, apakah kamu bukan lagi Fitriana. Jika kamu tidak lagi keriting dan single apakah kamu menjadi orang lain. Aku tetaplah aku. Bukan begitu?”.

Fitriana, sang mahasiswi itu tersenyum. Masih didengarnya Domi menguraikan panjang lebar bahwa arsitek, seperti halnya ‘rambut keriting’ dan ‘mahasiswi arsitektur’, dia tidak lebih dari sebuah nama yang diberikan oleh mahluk yang bernama manusia. Sebuah atribut yang ditempelkan pada diri manusia. Maka, manusialah yang menentukan keberadaan arsitek dan bukan sebaliknya.

“Tetapi, kata arsitek juga punya kesejatian”, sanggah Fitri, “jika tidak dia tidak lebih dari sekedar tempelan tanpa nilai. Bukankah dibalik kata itu tercermin suatu tanggungjawab yang mulia?”.

“Kata arsitek memang mengemban tanggungjawab yang mulia”, sanggah balik Domi, “sebagai pembangun lingkungan buatan. Tetapi sebuah lingkungan buatan sejatinya hanya sarana dalam kehidupan manusia. Dia adalah objek dan manusialah subjeknya. Maka, manusia harus menjadi tujuan utama. Dan siapakah manusia? Ah, dia bukan mahluk sekedar fisik, tetapi lebih dari itu adalah juga jiwa yang memiliki unsur adi-kodrati. Jadi, kalau arsitek ingin memiliki nilai maka dia pun harus melampaui maknanya lebih dari sekedar pembangun fisik”.

Kopi belum lagi dingin, tetapi hari menjelang malam dan mereka segera ingin kembali ke rumah masing-masing. Sembari keluar studio mereka membantu satpam mematikan lampu dan membersihkan sisa-sisa potongan maket. Fitriana mengucapkan terimakasih dan basa-basi bertanya apakah sang penjaga keamanan itu sempat mudik pada libur lebaran lalu? Dijawab: tidak. Alasannya demi keamanan dan uang lembur lebih yang cukup untuk menutupi beberapa kebutuhan keluarga. Fitriana menanggapi dengan senyum, tetapi dalam hatinya ada kesejukan karena mulai mampu melihat beberapa hal dalam realitas secara arif.

Wednesday, September 21, 2011

Merayakan Kegilaan

Baru-baru ini seorang teman menuliskan statusnya pada sebuah situs jaringan sosial di internet. Demikian dia menulis: “Melepaskan segala hal. Masuk dalam zona ketidaknyamanan”. Tidak lama kemudian muncul banyak tanggapan. Banyak yang mempertanyakan kenapa harus keluar sedangkan banyak orang sangat menginginkan berada dalam zona tersebut. Tentu, ini hanya status yang barangkali ditulis sebagai keisengan belaka. Tetapi ada yang menarik dari beberapa tanggapan yang saya baca, yaitu mereka menyebut teman saya gila. Sebuah kegilaan ketika seseorang berani keluar dari zona nyaman.


Definisi Gila

Kata ‘gila’, menurut pandangan umum psikologi memiliki arti schizofrenia atau kepribadian yang terpecah. Ada ketidaksesuaian antara yang dipikirkan dengan realitas. Tetapi ada juga definisi gila pada versi populer. Misalnya dalam industri periklanan, kata gila sering dipakai oleh para copywriters untuk memberi tekanan pada produk yang diiklankan. Begitu juga dalam kehidupan sehari-hari, kata gila dipakai untuk menjelaskan suatu perilaku yang melampaui perilaku umum dengan tetap sadar. Ada pelampauan makna kata gila dari arti yang sesungguhnya menjadi kata yang bisa disandangkan pada siapapun yang sehat secara mental. Sebagai contoh, kita sering mendengar ungkapan “gila kamu!”. Kata gila disandangkan pada orang yang tidak mengidap schizofrenia.

Permainan bahasa seperti itu berkesan sembrono. Tetapi, jika dilihat dari sudut pandang yang lain, ini adalah sebuah karikatur yang sebetulnya hendak mengatakan bahwa banyak manusia sekarang yang “tidak waras” meskipun secara fisik dan nalar terlihat sehat. Kalau memang demikian yang terjadi, rasanya wajar saja, mengingat manusia postmodern di jaman ini hidup dalam ketidakpastian yang membuat jiwa terpecah. Hidup dalam tegangan antara dua atau lebih nilai yang berlawanan pada satu tubuh, yang dalam bahasa Jacques Derrida disebut double-gesture: rajin beribadah tetapi selingkuh, rajin berderma tetapi melakukan korupsi, merasa diri laki-laki sekaligus perempuan, memilih selibat tanpa bisa menolak hasrat, dan lain sebagainya. Manusia hidup dalam situasi yang serba tidak pasti. Masih menurut Derrida dan juga Nietzsche, ketidakpastian harus ditunda dan disikapi dengan terbuka, dan dimaknai sebagai bagian dari menerima kehidupan secara nyata. Terburu-buru menentukan sebuah kepastian bukanlah cara yang tepat karena dikhawatirkan akan terjebak pada sikap melarikan diri dari kenyataan. Ketidakpastian harus dirayakan. Atau dengan kata lain kegilaan harus dirayakan.


Merayakan Kegilaan

Ini adalah suatu sikap optimis dalam menghadapi realitas yang selalu berubah. Sikap optimis di sini tidak merujuk kepada keyakinan akan masa depan yang pasti melainkan keberanian untuk tetap memiliki cita-cita dan menghadapi situasi yang tidak pasti di depan. Kata kuncinya adalah pengosongan diri. Artinya, dengan sadar membuka diri terhadap kenyataan dunia yang terus berubah, dan menafsirkannya. Menafsir tidak sekedar menerima data-data yang diberikan oleh kenyataan dan mengartikannya, tetapi juga meramunya dengan cita-cita yang dipunyai, sesederhana apapun itu. Keduanya dibenturkan, dan hasilnya adalah sebuah sintesis yang harus diterima dengan terbuka juga.

Sebagian besar manusia hidup dalam ketidakpastian. Banyak yang hidup dalam situasi tidak ideal (secara ekonomi, status sosial, kegembiraan dalam bekerja). Karena tidak ada pilihan lain maka dia harus bertahan agar dapat terus hidup. Menghadapi situasi seperti ini banyak di antaranya yang menerima hidup sumarah pada situasi yang ada, tetapi ada juga yang dengan sadar berani “menantang badai” demi mempertahankan cita-citanya, bahkan menjadi berkat bagi banyak orang. Figur-figur seperti ini bisa ditemukan, misalnya pada diri beberapa orang yang bekerja di luar negeri sebagai buruh. Cita-cita mereka mungkin sederhana, yaitu ingin hidup layak. Karena sulit memperoleh kesempatan di Indonesia maka mereka pergi ke luar negeri, meskipun harus berhadapan dengan ketidakpastian seperti tidak diberikan pelatihan, birokrasi yang rumit dan memakan biaya, kesulitan dalam mengurus surat. Tidak hanya ketidakpastian tetapi juga penyiksaan dan pelecehan, misalnya penyiksaan fisik, pemerkosaan, gaji tidak dibayar. Namun demikian banyak yang tetap tidak jera dan memilih untuk terjun bebas kembali lagi. Atau cerita tentang kesetiaan orang-orang yang dengan jujur bekerja untuk mengangkat eksistensi dan keselamatan orang-orang yang terpinggirkan. Seperti Teresa dari Kalkuta misalnya, dimana melalui pekerjaannya dia berhadapan dengan banyak ketidakpastian dalam hidup, bahkan relasi antara dirinya dengan tuhannya, yang dia sebut sebagai 50 tahun kekeringan!

Contoh di atas tidak dimaksudkan untuk mengatakan suatu kebenaran, tetapi untuk memberi gambaran bahwa ada orang-orang yang berani terjun ke dalam ketidakpastian. Di dalam ketidakpastian itu mereka bertahan dengan cara membuka diri kepada kenyataan yang terus berubah, menafsir, dan meramu menjadi sebuah sintesis yang pada gilirannya akan dipertanyakan dan ditafsir lagi. Mungkin mereka tidak menolak kemapanan, bahkan merindukan. Tetapi kesadaran untuk masuk dalam ketidakpastian dengan sendirinya membuat mereka tidak mapan. Orang akan mengatakan mereka : GILA! Orang mengatakan mereka bodoh karena hanya mengikuti arus ketidakpastian. Tetapi berani memilih masuk dalam ketidakpastian dengan sadar, bukankah ini menandakan mereka sebagai subyek yang mandiri? Buah dari renaissance. Dan diakui banyak dari mereka yang menyumbang perubahan dunia. Kita bisa belajar dari kasus Galileo Galilei, Christopher Columbus, dan masih banyak lagi. Untuk mengubah dunia memang dibutuhkan orang gila yang berani melihat kenyataan jauh ke dalam.

(Tulisan untuk buletin Cogito 2011)

1. http://www.indonesiango.org/id/nasional/laporan-khusus/502-tenaga-kerja-indonesia-di-luar-negeri-sumber-devisa-yang-malang. Diunduh: 24 desember 2010, pk.18.05 wib.

2. Magnis-Suseno, Franz, Pijar-pijar Filsafat: Dari Gatholoco ke Filsafat Perempuan, dari Adam Muller ke Postmodernisme, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2005.

3. Royle, Nicholas, Jacques Derrida, Routledge, New York, 2003.

4. Woodruff S,ith, David, Husserl, Routledge, New York, 2007.

Wednesday, September 7, 2011

Lentera di Pagi Hari

Belum lama Domi tiba di Jogja. Dia datang bersama keluarganya. Selepas meletakkan barang di rumah dan sejenak mengaso, dicarinya penjual gudeg di wilayah dimana dia pernah merayakan masa kecilnya dulu. Diketahuinya bahwa Bu Muh masih berjualan gudeg di tempat itu. Dari penjual gudeg itu dia ingin membeli sarapan untuk Langit, anaknya.

Tempat itu adalah tempat dimana terdapat jalan lurus membentang dengan jajaran pepohonan di sisi kiri-kanannya. Suasana di tempat itu masih terasa nyaman karena tinggi bangunan yang ada di sana tidak lebih dari dua lantai. Jika pagi menjelang wilayah ini menjadi ramai dengan orang-orang yang membeli sarapan. Mereka datang kepada salah satu penjual makanan yang mangkal di tempat ini. Mereka, para pembeli itu, seringkali tampak sebagai orang yang sejenak merayakan kebebasannya sebelum masuk dalam lingkaran rutinitas kerja atau sekolah. Ada yang masih mengenakan kaos tidur lusuh, pakaian kerja lengkap atau seragam sekolah tetapi bersandal jepit.

Mereka berdiri berkerumun di sekeliling penjual makanan yang duduk pada meja bambu rendah dengan beberapa panci di hadapan, celemek di pangkuan dan daun pisang lengkap dengan pisau di sisi kiri atau kanan. Mata para pembeli itu lahap menikmati tangan pedagang yang lihai mengambil daun pisang dan mengelapnya, mengorek gudeg, mengambil lauk yang kadang dipotong atau disuwir menjadi beberapa bagian kecil sesuai pesanan. Seringkali, bahkan bisa dipastikan, seluruh kegiatan itu disanding dengan obrolan; penjual dengan pembeli atau pembeli dengan pembeli. Sebuah keriuhan kecil yang kadang membantu para pembeli dalam merayakan kebebasannya sejenak.

***

Adalah Bu Muh, salah satu dari penjual makanan yang ada di tempat itu. Hampir duapuluh tahun dia berjualan. Dan sejauh diketahui Domi, porsi yang dijual Bu Muh tidaklah besar. Memang ada patokan porsi dan harga tetapi para penjual tradisional seperti Bu Muh selalu terbuka pada apa yang dibutuhkan pembeli. Bahkan pembeli yang hanya membutuhkan sebutir telur dengan kuah areh pun akan dilayani dengan senang hati layaknya seorang raja. Domi pernah merasakan itu.

Tetapi Domi yang sekarang hidup dengan gaji cukup di kota besar sudah terlalu lama membiasakan dirinya membeli tanpa berhitung. Dia berpikir bahwa dengan membeli lebih dia bisa memberi kepada orang banyak. Orang-orang di rumah menjadi tidak kekurangan makanan. Begitu pula para penjual pun akan memperoleh banyak keuntungan. Memanglah demikian yang seharusnya dilakukan oleh mereka yang memiliki uang berlebih; menyalurkan rejekinya kepada orang lain.

Tetapi juga, pagi itu Domi mendapat pengalaman yang mengesan.

Bu Muh tentu saja senang mendapat pesanan porsi besar dari Domi. Dan perempuan yang gemar bercanda dengan pembelinya itu secara kebetulan bertanya untuk siapa porsi makanan sebanyak ini? Apakah keluarga besar sedang berkumpul? Maka Domi yang sudah mengenal Bu Muh sejak kecil menjawab, “Tidak. Yang di rumah hanya bapak, istri dan anakku si Langit. Aku beli bubur buat si Langit saja. Aku dan istriku tidak pernah sarapan. Sedangkan Bapak, ibu tahu sendiri, beliau kalau pagi lebih suka ngopi”.

Bu Muh tertawa. Sembari berbincang tangannya masih menyiapkan pesanan Domi. “Ah, ya ... bapak memang doyan ngopi sejak dulu ya. Lha kalau Langit sekarang umur berapa?”

Dijawab Domi, “tiga tahun”.

Tiba-tiba hening. Tangan Bu Muh berhenti bekerja. Suara kernet di seberang yang sebelumnya terabaikan tiba-tiba jelas terdengar.

Tidak lama Bu Muh berkata lagi, “Kau dan istrimu benar tidak ingin sarapan? Jikalau benar demikian sebaiknya buburnya setengah saja. Juga telurnya. Bolehlah ditambah tahu atau suwir ayam secukupnya. Bagaimana? Sayang kalau tidak habis”.

Semula Domi terkejut juga. Dia terbiasa membayar tanpa penolakan. Tetapi ketulusan Bu Muh menyentuh hatinya dan membiarkan dirinya menerima tawarannya. Ketulusan yang bukan baru kali ini dikenalnya. Ada faktor sejarah dan kesejarahan yang melibatkan Bu Muh dengan Domi. Domi tahu perempuan ini betul-betul tulus. Perempuan yang hidupnya sederhana ini betul-betul ikhlas dalam melayani. Tidak hanya kepada Domi dan keluarga tetapi juga kepada para pembeli yang setiap hari dilayaninya. Bahkan Bu Amin, seorang perempuan miskin yang tinggal tidak jauh dari tempat ini pun dilayaninya dengan senyum. Padahal yang dibelinya hanya nasi dibalur areh dan tahu sepotong.

***

Pagi itu langit cerah di atas Jogja. Tetapi Domi merasa dirinya melihat terang di antara cerah pagi. Terang yang muncul dari lentera batin yang sangat sederhana. Memang tidak salah jika dirinya sering membeli sesuatu secara berlebih yang barangkali bisa berguna untuk orang lain. Tetapi lentera Bu Muh memperkaya batinnya pada sisi lain : ada kalanya sesuatu yang secukupnya diperlukan untuk membantu manusia melihat sesuatu secara jujur, jernih, dan pas pada tempatnya.

Tuesday, September 6, 2011

Cika, Aku [Mencintaimu]: Dekonstruksi, Posmodernisme, dan Cinta

Manusia sekarang hidup dalam era posmodern. Posmodern hadir mengkritik paradigma modern yang hadir sebelumnya. Modernisme menciptakan kebenaran universal dengan sifatnya yang monoton, positivistik, rasionalistik, dan teknosentris. Hal ini sama saja dengan membelenggu kebebasan, dan oleh karenanya dianggap gagal menyelesaikan proyek pencerahan. [1]

Dekonstruksi, salah satu aliran filsafat posmodern yang dikembangkan oleh Jacques Derrida, memiliki watak yang bertolak belakang dari modernisme, yaitu lebih mementingkan emosi daripada rasio, mementingkan media daripada isi, tanda dan makna, kemungkinan daripada kepastian.[2] Dekonstruksi mengkritik modernisme, terutama dalam menciptakan kebenaran universal. Bagi Derrida dunia penuh ketidakpastian, sehingga tidak perlu ditentukan sebuah kebenaran. Ketidakpastian harus dirayakan dan digali lebih dalam makna-maknanya. Manusia berhak menafsirkan konteks kehidupannya secara bebas, guna menemukan makna baru sebagai alat untuk berhadapan dengan kehidupan yang selalu berubah. Sebagai upaya pembebasan, dekonstruksi hidup subur di tengah maraknya ketidakpastian dunia. Dengan dukungan kemajuan ekonomi dan media informasi, dekonstruksi mendapatkan wadah ‘menyuarakan asiprasinya’ lewat bidang-bidang yang bersifat kreatif dan ‘lentur’ dari kepastian, seperti seni, sastra, desain, dan arsitektur.

Dekonstruksi juga hadir dalam diri manusia yang bertanya akan dirinya dalam menghadapi ketidakpastian dunia. Dekonstruksi bermain dalam tataran refleksi dengan cara menunda kebenaran, dan menggali makna-makna baru dari sebuah pengalaman. Misalnya menggali makna cinta yang menjadi kegelisahan dan pertanyaan manusia posmodern. Hasilnya bukan sebuah kesimpulan. Dekonstruksi tidak menawarkan kesimpulan dan kepastian apapun, kecuali data berupa makna baru yang harus ditanggapi secara bebas. Melalui tulisan ini saya mencoba menjelaskan bagaimana dekonstruksi hidup dan bergerak memperbarui makna cinta.

Dekonstruksi

Sejarah filsafat barat menyebutkan orang-orang yang tidak pernah puas dengan kemapanan, baik sistem yang mengatur kehidupan maupun cara berpikir. Mereka mengkritik kemapanan, bahkan jika itu dikemas dalam wujud filsafat sekalipun. Dekonstruksi, sebuah teori yang dibentuk oleh Jacques Derrida, adalah salah satunya. Jacques Derrida lahir di Algerian, Perancis pada tahun 1930. Dia memperoleh pendidikan di Ecole Normale Superieure dan Harvard University. Pandangan filsafatnya dipengaruhi oleh Sartre, Husserl, Heiddeger, dan Saussure. [3]

Pengaruh Modernisme

Ketika teori ini muncul, Eropa sedang dilanda Postmodernism, di mana Derrida sendiri dikenal sebagai seorang salah seorang tokoh yang berpengaruh di dalamnya. Teori yang kemunculannya dipelopori oleh arsitektur ini mencoba menggali lagi identitas manusia yang sebelumnya, karena pengaruh modernisme, menjadi seragam. Perang dunia I dan II membuahkan kehancuran hampir di seluruh Eropa, termasuk kehancuran ekonomi, kota, serta ruang-ruang tempat manusia bekerja dan melangsungkan kehidupan.

Adalah Bauhaus, sebuah sekolah yang didirikan di Wiemar Jerman (1919), yang turut menyumbang konsep infrastruktur baru untuk membangun kembali tata kehidupan masyarakat Eropa yang hancur, terutama di Jerman. Dengan tetap mengedepankan semangat pencerahan yang menganggap manusia sebagai pusat dari alam, mereka berpendapat teknologi adalah alat terbaik untuk melangsungkan kehidupan. Segala hal di luar rasio dan bersifat romantis ditolak dengan alasan ekonomi, simbol, sejarah, dan identitas budaya. Mereka menciptakan ruang dan nilai-nilai dengan gaya layaknya mesin yang serba fungsional dengan gaya bercorak teknologis-matematis. Gaya tersebut dianggap yang paling benar dan layak diterapkan di belahan dunia manapun. [4]

Namun, tiba saatnya kondisi ekonomi mulai membaik. Daya beli masyarakat meningkat, begitu pula kemampuan apresiasi. Manusia mulai merindukan nilai-nilai yang tidak lagi sekedar fungsional. Di titik ini posmodernisme hadir dengan sikap mandiri. Berawal dari arsitektur, posmodern berkembang mempengaruhi sastra dan sendi-sendi kehidupan lainnya. Tetapi meskipun berupaya menggali kembali identitas, tampaknya posmodern tidak ‘melepaskan kedua kakinya’ dari paham modern, setidaknya pada nilai rasionalitas. Tetapi paham kebenaran yang bersifat universal ditolak. Sebagai gantinya kebenaran dianggap ada pada ruang pribadi masing-masing tanpa merasa perlu berdialog dengan perbedaan. Dengan demikian tercipta individualisme.

Identitas ditempatkan sebagai simbol belaka, tetapi dirinya tetap bentukan dari struktur modern. Maka tak heran, di mata para pembencinya, posmodern tidak lebih dari sekedar topeng dan fashion belaka. Dalam memandang fenomena empiris, para pemikir posmodern memandang rendah pengaruh dari luar diri manusia. Misalnya, ketika manusia berbicara, kata dan kalimat yang diucapkan hanya menjadi kata dan kalimat belaka. Tidak ada pengaruh apapun dari ruang dan waktu yang dilaluinya. Bahasa dan teks saling tumpang tindih. Tidak perlu ada sebuah ‘kesimpulan’.

Jadilah Bebas!

Di antara filsuf posmodern, Jacques Derrida termasuk salah seorang yang memberi pengaruh. Dengan menolak nilai transendental, Derrida bermaksud mengkritik filsafat metaphysics of presence (metafisika kehadiran) yang membungkus pemikiran filsafat barat. Metaphysics of presence adalah tradisi dalam filsafat yang berpikir akan sesuatu yang belum tentu ada, tetapi diyakini keberadaannya, bahkan dipastikan. Sikap memastikan ini yang ditolak oleh Derrida, yang dia katakan sebagai Logocentris. Kecenderungan metafisika barat adalah membangun sebuah kepastian. Bagi Derrida hal ini bertolak belakang dengan kenyataan, bahwa realitas selalu berubah dan bergerak. Dengan demikian Dekonstruksi tampil dengan wajah skeptis dan antifondasional, seperti halnya David Hume dan Nietzche. Namun demikian, Derrida menolak sikapnya disebut perusakan (destruction) seperti yang dilakukan oleh Heiddeger terhadap filsafat Hegel dan Husserl. Dia lebih memilih kata pembongkaran (deconstruction), di mana unsur metafisika tidak seluruhnya dihilangkan. [5]

Pada dasarnya Derrida adalah seorang pemikir konservatif yang menghormati sejarah dan tradisi dengan dasar sikap yang disebutnya sebagai double-gesture, yaitu semacam tegangan dalam diri sendiri, antara penghormatan dan pelecehan, kesetiaan dan pelanggaran, ikatan dan kemerdekaan, description dan transformation. Baginya kehidupan (politik, moral, etika, budaya, filsafat, bahasa, agama, nasionalisme, identitas, dan lain sebagainya) selalu bergerak dan berubah di antara tegangan atau double-gesture. [6]

Untuk itu manusia hendaknya bersikap bebas dalam menanggapinya, bahkan terbuka untuk memikirkan ulang maknanya. Bebas berarti boleh melakukan apapun, sejauh manusia tidak menolak kebebasan itu sendiri yang diberikan kepadanya. Dengan bersikap bebas manusia akan menemukan nilai-nilai baru. Bahkan, nilai baru yang ditemukan perlu dipikir ulang lagi, diperdalam lagi maknanya, sehingga kemudian ditemukan makna yang lebih baru lagi; sebuah pencerahan yang selalu baru (new enlightenment). [7]

Teks

Karya-karya Jacques Derrida difokuskan pada bahasa dan tulisan. Kebebasan dilakukan dengan mengkaji ulang teks. Derrida menolak anggapan bahwa teks adalah sekedar kata atau bahasa. Teks, dalam bahasa dekonstruksi, merupakan jalinan (diambil dari kata textere, bahasa latin; ‘tenunan’) yang memiliki banyak dimensi untuk dipahami. Teks adalah dampak dari rekam-jejak kehidupan (konteks). Di tangan dekonstruksi, teks menjadi demikian hidup dan jujur pada dirinya. [8]

Konteks

Dekonstruksi menempatkan konteks sebagai sistem yang berhubungan dengan teks dan memberinya perhatian secara tajam. Konteks adalah dasar yang membuat teks memiliki arti. Konteks adalah fondasi bagi struktur (teks) dan bangunan bahasa secara keseluruhan. Jika fondasi melenceng dari konsep yang sudah ‘’ditentukan’’ pada dirinya, maka struktur dan bangunan bahasa pun akan melenceng pula. Konteks adalah lebenswelt, dunia atau kehidupan dengan segala unsur pembentuknya: kehidupan, kenyataan, sejarah, obrolan, diskusi, dan lain sebagainya. Suatu konteks harus terus diteliti dan dijaga, agar tetap seperti apa adanya dirinya, juga dalam pengembangannya. Tidak boleh ada makna yang dibiarkan lepas dari konteks. Dengan tidak membiarkan konteks dipengaruhi nilai-nilai di luar dirinya, maka akan menjadi dasar yang kuat bagi munculnya teks yang jujur pada dirinya. [9]

Differance

Artinya adalah ‘kata dalam kata’, yang berasal dari bahasa Perancis, namun tidak terdapat dalam kamus. Derridalah penciptanya. Diambil dari kata dalam bahasa Inggris; difference, yang berarti perbedaan, dan kata differer. Kata differer memiliki dua arti; pertama bersifat intransitif, yang mempunyai arti ‘bertolak belakang’. Yang kedua bersifat transitif, yang berarti menunda atau menangguhkan. Kata differance merupakan penggabungan kedua kata asal tersebut, sehingga mengacu pada makna penangguhan dan pembedaan waktu. [10]

Differance juga berbicara tentang pembalikan sebagai konsekuensi menunda makna, seperti benar sekaligus salah, baik sekaligus jahat, dan hitam sekaligus putih. Dalam dekonstruksi gejala ini selalu hidup dan ada, tetapi tidak seperti konsep metafisika barat. Derrida melihat dua masalah dalam konsep ‘ada’ menurut metafisika barat (metaphysiscs of presence), yaitu :

  1. Pengertian ‘ada’ tidak semudah yang dibayangkan. Dia menolak gagasan ‘ada’ sebagai present. Present dalam pengertian ‘saat’ (here and now) mengandaikan, bahwa sesuatu bisa dikenali. Sedangkan bagi Derrida manusia tidak bisa mengenali secara pasti apa yang terjadi di masa lampau dan masa depan. Untuk memperoleh suatu pengetahuan, manusia mengandalkan pengalaman perseptual saat ini.
  2. Kedua, konsep ‘ada’ menimbulkan hirarki. Yang satu mendominasi yang lain, misal ‘yang-ada’ dibandingkan dengan ‘yang-tidak ada’. Melalui difference, dekonstruksi bermaksud meneliti apa yang tidak tampak dan disembunyikan, serta membalik atau memundurkan hirarki. [11]

Iterability

Iterability, berasal dari kata iter, latin; ‘again’ dan itara, sanskrit; ‘other’, yang berarti pengulangan. Atau dalam arti lain, iterability dalam dekonstruksi adalah struktur yang memungkinkan terjadinya pengulangan. Suatu kata atau tanda akan memperoleh makna barunya, jika terus diulang. Melalui pengulangan sebuah bahasa dimungkinkan menjadi kalimat-kalimat baru. Tetapi, meskipun terjadi pengulangan, kalimat tersebut haruslah tetap dapat ditelusuri asal kalimatnya, meskipun si penulis sudah tiada. [12]

Penciptaan Makna Baru

Derrida mendeskripsikan ulang teks yang ditelitinya, katakanlah tulisan yang tentang Plato misalnya, tetapi tidak berhenti pada pemaparan. Dia melakukan transformasi pada tulisan Plato tersebut untuk menciptakan sesuatu yang baru. Dia meneliti kata dan memainkan bahasa dengan cara yang disebut ‘Free-play’. Dia memainkan bahasa, tetapi memainkan bahasa baginya berbeda arti dengan bermain dengan bahasa. Memainkan bahasa bagi Derrida bukan sebuah cara yang sederhana, seperti halnya permainan anak-anak, melainkan sebuah sikap ketertarikan akan kejujuran dalam menyelami bahasa, mendalaminya lebih dari sekedar yang tampak sebagai kata-kata. [13]

Pencarian makna bahasa tidak boleh berhenti pada keputusan akhir (yang pada paragraf sebelumnya di sebut logocentris). Dekonstruksi tidak mengenal titik akhir. Dekonstruksi selalu mempertanyakan secara kritis pendapat apapun yang bersifat dogma, baik agama maupun politik, di luar kekuatan manusia. Dalam kajian terhadap teks, ketika hal tersebut terjadi, yaitu ketika ada kata yang dicurigai akan mengarah pada suatu ‘dogma’, maka harus dilakukan ‘pengurungan’ (suspended) pada kata tersebut. Dibiarkan mengambang dalam ketidakpastian, diperdalam lagi maknanya sampai akhirnya menampakkan kebenarannya. Pun, ketika kebenarannya mulai tampak, harus dikurung dan dipertajam lagi, terus dan terus. Penciptaan makna baru ini akan menampakkan makna dan gaya yang luar biasa. Di tangan Derrida, sebuah teks akan menjadi hidup dan selalu memiliki makna baru. [14]

Keyakinan dalam Dekonstruksi

Derrida, melalui karya-karyanya, mencoba menjelaskan hasrat membaca dan menulis sebuah teks dengan cara yang baru, di mana dia memainkan bahasa, mengubah bahasa, untuk mencari makna yang tak terbatas dan tidak berhenti pada suatu kepastian atau dogmatisme. Tetapi pada waktu yang sama, dia tetap mempertahankan memory dan tradisi. Dia membuat ‘tegangan’ dan ketidakpastian pada teks dengan cara ‘mengurung’. Teks dibiarkan dalam ketidakpastian, bergerak-meronta, dan menampakkan dimensi lain pada dirinya. [15]

Dekonstruksi di Kehidupan Sehari-hari

Bermain di Ruang Antara

Ruang antara, atau sering disebut in-between, bukan sebuah ruang dalam arti sesungguhnya, melainkan sebuah situasi transisi, berada di antara dua atau lebih tegangan. Manusia posmodern berada di dalam tegangan itu. Jacques Derrida menyebutnya sebagai double-gesture; antara ingin bebas mandiri atau mengikuti tradisi, antara ingin menabung atau menyumbang orang tua yang sakit, antara menjadi seorang executive bergaji tinggi tetapi terikat atau menjadi pengusaha bebas yang dibebani bonus dan tunjangan, antara berpasangan bebas atau menikah, antara menikah atau selibat, antara ingin menjadi laki-laki atau perempuan, dan seterusnya.

Dalam menghadapi tegangan, manusia membutuhkan suatu pegangan, suatu kepastian. Tetapi di dunia tidak ada yang pasti. Manusia menjadi sceptic dan merasa terasing dalam keramaian. Untuk itu diciptakanlah kepastian menurut dirinya. Tetapi menciptakan suatu kepastian juga tidak memberikan pemecahan atas masalah. Misalnya, seseorang yang memutuskan untuk menikah karena ingin memperoleh ketenangan hidup, akan meralat pernyataannya tersebut beberapa tahun kemudian. Dalam beberapa kasus di kota-kota Metropolitan, pertanyaan seperti ini sering ‘dijawab’ melalui perselingkuhan, yang bahkan didasari kesadaran penuh. Selingkuh dijadikan alat untuk mencari jawaban atas ketidakpastian, baik dalam konteks relasi dengan pasangan atau diri sendiri, padahal dalam diri selingkuh sendiri tertanam ketidakpastian.

Dekonstruksi sangat menentang suatu struktur kepastian. Satu-satunya kepastian adalah ketidakpastian, karena realitas selalu berubah. Seperti Herakleitos yang berpendapat kebenaran bersifat relatif, atau Nietzche yang sangat sceptic menghadapi kemapanan, maka dekonstruksi menjadi demikian hidup dalam ranah ruang antara (in-between) atau tegangan seperti yang dialami manusia posmodern. Menjadi demikian hidup artinya tidak sekedar berhenti pada scepticism, tetapi melalui tegangan ditemukan makna-makna baru

Memaknai [Cinta]

Salah satu topik yang digemari di kalangan manusia sekarang adalah pertanyaan tentang cinta dan relasi. Kedua kata itu memiliki hubungan yang erat dengan diri manusia, karena manusia adalah bagian dari person. Manusia disebut person karena dibentuk oleh kedua unsur tersebut, yaitu cinta, dan adanya cinta tidak lepas dari adanya relasi. Fenomena di masyarakat saat ini menunjukkan, bahwa cinta bukan lagi dianggap sebagai sesuatu yang tidak tersentuh, yang sangat dijaga dengan hati-hati pada awalnya dengan seperangkat norma, tetapi kesudahannya dibiarkan rusak. Orang muda mulai berani menentang paradigma lama, bahwa cinta berarti keseriusan hubungan, menyambangi kekasih hanya pada hari Sabtu malam, bercengkerama di ruang tamu, atau pergi bersama kekasih dan keluarganya. Cinta bukan lagi sebuah ‘benda sakral’, tetapi proses pencarian yang terus menerus digali maknanya. Kenyataan yang diperoleh dari proses pencarian itu hanya dapat dimaknai secara berbeda oleh tiap individu.

Demikian juga halnya manusia berada dalam tegangan, demikian juga cinta dan relasi berada dalam tegangan, sehingga muncul pertanyaan: Apakah cinta identik dengan suatu hubungan yang serius? Apakah berseksual tanpa hubungan serius meniadakan cinta? Apakah cinta sejatinya ada sebagai sebuah kenyataan yang membuka diri kepada siapapun atau harus diresmikan lewat pengakuan? Apakah sebuah pernikahan membuktikan kedalaman cinta?

Orang-orang Jawa lama bahkan memiliki keyakinan, bahwa pernikahan tidak perlu didasari cinta. Cinta akan datang dengan sendirinya kata mereka, dengan kata lain: karena terbiasa. Dekonstruksi ‘bermain’ dalam proses pencarian ini, mempertanyakan, dan memperdalam. Dekonstruksi akan mengambil cinta dari tempatnya yang sakral, dan meletakkan di tangan; dibolak-balik, diraba, dilihat jauh lebih dalam.

Dalam tulisan ini pencarian makna cinta ini akan saya coba jelaskan melalui sebuah pengalaman relasi dengan seorang perempuan. Cika namanya. Dikatakan relasi juga kurang tepat sebetulnya, karena tidak ada ikatan apapun di antara kami. Kami hanya bertemu sejenak, tetapi di dalam perjumpaan yang tanpa ikatan itu muncul rasa suka yang membuat kami ingin mengerti lebih dalam. Seperti ada misteri yang berulang memanggil, mengeluarkan beragam rasa yang saling berbenturan: antara rasa sayang dan baru kenal, antara hormat dan nafsu, antara ingin merengkuh dan tidak ingin terikat. Maka, setelah sekian janji yang tertunda kami berjumpa di sebuah kafe di bilangan Jakarta Selatan.

“Kami memilih duduk di sudut yang tidak terlalu terang dan dindingnya penuh dengan foto black and white dan poster iklan kuno. Saya mengamati poster-poster. Ada beberapa gambar iklan lama itu yang saya suka. Entah kenapa gambar-gambar kuno itu berubah jadi eksotis dan mahal, apalagi dengan diterangi lampu berwarna lembut. Sebetulnya ini bukan kali pertama saya datang dan melihatnya. Jadi, batinku sulit menipu diri bahwa aku melihat gambar-gambar tersebut hanya sebagai upaya mengusir kegelisahan saja. Gelisah karena bingung bagaimana harus bersikap menghadapi perempuan di hadapanku. Mengobral cerita dan pamer diri? Apa yang bisa dipamerkan? Bersikap formal dan menjaga kesantunan? Aneh … jujur dalam hatiku aku ingin bersikap tidak santun. Dia cantik. Mata hati estetikaku tidak bisa menipu.

Cika juga mengamati gambar-gambar itu. Maka kami berbincang serius tentang estetika, desain, dan lain sebagainya. Sembari black coffee dihidangkan kami bertatap mata sambil tertawa. Tertawa mencairkan suasana. Tiba-tiba suasana mendadak hening lagi. Dan saya yang tidak suka dengan suasana janggal mengambil inisiatif membincangkan desain interior cafe ini, di mana kami mengenal desainernya. Kami berbicara tentang beberapa karyanya yang terkenal, pemikirannya, dan gosip-gosip di seputar kehidupannya. Sampai mata kamu bertemu agak lama dengan tatapan mata tajam, dan (lagi-lagi) hening … dan suatu enerji mengalir begitu saja ke dalam tanganku. Bukan, bukan ke tangan. Mungkin ke hati. Entah. Tapi senyatanya tanganku sudah menggenggam tangannya yang putih porselen Cina. Jantungku berdebar keras memicu adrenalin, menguatkan hati siap menerima tamparan penolakan. Tapi dia membalas dengan genggaman yang lebih dalam. Tidak hanya membalas, dia bahkan berinisiatif mengatakan : I love you. Dan aku membalas : aku juga. Setelah pertemuan itu kami jarang berjumpa, sampai akhirnya tidak sama sekali. Tanpa perasaan bersalah dan tuntutan apapun. Sering saya berpikir kenapa berani melakukan kontak fisik dan menyatakan cinta tanpa memutuskan apapun.”

Setiap saya merefleksikan peristiwa itu, yaitu waktu saya membalas mengatakan cinta dan memegang tangannya tanpa status di antara kami, terasa ada tegangan tarik-menarik dan saling berbenturan dibalik kata cinta yang terucap: antara cinta dan hasrat, antara sayang dan nafsu berseksual, antara paras malaikat dan bibir yang sensual, antara menikah dan tidak menikah, antara kebebasan dan ikatan tradisi. Tetapi saya menyukai tegangan ini. Seksi sekali. Seperti kenikmatan bungy jumping, seperti kenikmatan dihempas-pasrah ombak setinggi tiga meter tetapi tidak mati, seperti pertemuan yang nyaris terjadi antara bibir dua kekasih waktu tiba-tiba ibu sang kekasih masuk ke kamar dan menemukan mereka berdua dalam kondisi pakaian serba berantakan. Dekonstruksi bermain dalam ‘keseksian’ itu: samar, mengambang, dibiarkan tidak pasti, tetapi memberikan rasa penasaran, consciousness of intensionality[16] terhadap sesuatu ‘di balik sana’ yang serba misterius dan muncul sebagai fenomena yang menampakkan diri. Kata cinta dikurung: [cinta]. Melakukan kontak fisik tidak berarti cinta, atau sebaliknya cinta mengijinkan kontak fisik tanpa kejelasan status. Kata cinta ditunda kepastiannya, yang justru memberi keinginan untuk tahu dan mengenal lebih dalam: ada dimana cinta? Milik siapa? Mana batas dan perbedaan antara cinta, suka dan nafsu? Pertanyaan ini seperti sesuatu yang meronta dan bergerak, yaitu keinginan untuk menemukan makna-makna baru lagi. Tidak ada kepastian memang, tetapi akan berbeda situasinya, ketika cinta langsung dinyatakan dengan status yang lebih serius misalnya. Berkembang dan memiliki makna baru memang, tetapi barangkali penuh intervensi dari luar pada konteksnya. Cinta belum sempat mengeluarkan apa adanya dirinya. Cinta tidak menjadi dirinya. Dan kalau cinta adalah unsur pembentuk manusia, maka membiarkan cinta tidak menjadi dirinya sama saja membiarkan manusia tidak menjadi dirinya sendiri.

Berbicara tentang dekonstruksi berarti sepakat, bahwa tidak ada kesimpulan apapun. Satu-satunya kesimpulan adalah tidak ada kesimpulan. Kesimpulan dalam dekonstruksi, seperti halnya dialektika Hegel, bersifat sintesis yang nantinya berubah lagi menjadi thesis dan anti-thesis, dan memunculkan sintesis baru, dan seterusnya. Begitu juga dengan ‘pengalaman cinta’ di atas. Tidak ada kesimpulan darinya. Tetapi kalau pun diharuskan membuat sebuah kesimpulan atas pengalaman cinta yang singkat itu, jawabannya adalah saya [mencintainya]. Saya menyukainya, tetapi menjadikannya sebuah kepastian tampak sulit karena cinta itu seperti horizon. Dia ada tetapi ketika didekati dia menjauh. Bagi dekonstruksi lebih baik menyelami dan menggali maknanya cinta tersebut, daripada memberi kepastian. Kalaupun terjadi sebuah keputusan bukan karena sikap memastikan tetapi sebuah sintesis, menanggapi fenomena yang muncul dari cinta tersebut dan dari konteks kehidupan dan bermain di dalamnya.

Kata Penutup

Dekonstruksi, seperti halnya posmodern sendiri, bukanlah sebuah aliran. Dia adalah gabungan antara cara berpikir dan metode. Sebuah alat seperti mikroskop untuk melihat kedalaman manusia dan kehidupannya. Sebuah cara untuk melakukan refleksi kehidupan manusia. Dekonstruksi sebagai metode hanya akan berjalan, jika manusia jujur terhadap diri dan konteks hidupnya, dan membiarkan keduanya membuka diri.

Daftar Pustaka

  1. Brown, Stuart, One Hundred Twentieth-Century Philosophers, Routledge, 1998
  1. Gunana, S, Sri, “Gerakan Arsitektur Modern”, FT. Arsitektur Univ. Sumatera Utara, Medan, 2004.
  1. H. Istanto, Freddy, “Dekonstruksi dalam Desain Komunikasi Visual: Sebuah Penjelajahankemungkinan”, Nirmana Vol.5 no.1, Univ. Petra, Surabaya, 2003, hal. 54
  1. Magnis-Suseno, Franz, Pijar-pijar Filsafat: Dari Gatholoco ke Filsafat Perempuan, dari Adam Muller ke Posmodernismee, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2005.
  1. Royle, Nicholas, Jacques Derrida, Routledge, 2003
  1. Siswanto, Joko, Sistem-sistem Metafisika Barat, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1998.

[1] S. Heryanto, “Tantangan Posmodern Terhadap Iman Kristen”, www.heryanto.com, 2010, hal 1

[2] Ibid., hal. 1

[3] Siswanto, Joko, Sistem-sistem Metafisika Barat, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1998

[4] Gunana, S, Sri, “Gerakan Arsitektur Modern”, FT. Arsitektur Univ. Sumatera Utara, Medan, 2004 hal. 6

[5] Royle, Nicholas, Jacques Derrida, Routledge, 2003, hal. 31 dan Brown, Stuart, One Hundred Twentieth-Century Philosophers, Routledge, 1998, hal. 41

[6] Royle, Nicholas, Jacques Derrida, hal. 31

[7] Ibid, hal. 34-35

[8] Royle, Nicholas, Jacques Derrida, Routledge, 2003, hal. 61

[9] Ibid, hal. 65

[10] H. Istanto, Freddy, “Dekonstruksi dalam Desain Komunikasi Visual: Sebuah Penjelajahankemungkinan”, Nirmana Vol.5 no.1, Univ. Petra, Surabaya, 2003, hal. 54

[11] Ibid, hal. 55

[12] Royle, Nicholas, Jacques Derrida, Routledge, 2003, hal. 67

[13] Id, hal. 33

[14] Ibid, hal. 33

[15] Royle, Nicholas, Jacques Derrida, Routledge, 2003, hal. 35

[16] Unsur kesadaran dalam fenomenologi Edmund Husserl