Monday, April 9, 2007

Langit


MENJELANG hari kelahiranmu kota Yogyakarta sedang dalam situasi mencekam. Seluruh mahasiswa di Indonesia, juga yang ada di Yogyakarta berdemonstrasi, meminta agar Presiden Indonesia kedua, Soeharto, turun dari kekuasaanya.

Waktu itu aku masih menjalani proses tugas akhir untuk yang ketiga kalinya, setelah duakali sebelumnya tidak lulus. Pagi itu aku dapat kabar dari Eyang Kung dan Eyang Ani bahwa Bu Ayik yang sedang mengandung kamu masuk Rumah Sakit Panti Rapih. Pak Mok, aku dengar juga sudah datang ke Yogya. Jadilah sore itu aku jalan kaki sejauh kira-kira dua kilometer dari kampusku di daerah Klitren ke Panti Rapih. Kondisi jalanan cukup santai, meskipun kebanyakan orang baik yang berjalan kaki, naik mobil atau sepeda motor pergi dengan terburu-buru, karena pada masa demonstrasi seperti itu setiapkali senja turun sering diadakan sweeping oleh aparat keamanan. Itu juga yang bikin aku akhirnya meninggalkan sepeda motor Suzuki Crystal di parkiran kampus. Aku titipkan ke Pak Satpam. Pak Sartono dan Pak Eko.

Sore itu udara cerah dan hangat. Aku memilih untuk berjalan lewat depan Rumah Sakit Bethesda di jalan Jenderal Sudirman yang ditumbuhi pohon-pohon besar. Nyaman sekali. Lebar jalannya sekitar duabelas meter, dan trotoir atau tempat pejalan kaki sekitar tiga meter. Selain banyak pohon bangunan-bangunannya juga tertata baik. Beberapa di antaranya adalah bangunan lama peninggalan jaman Kolonial Belanda. Kalau malam hari banyak penjual makanan yang menggelar dagangannya di dalam tenda. Orang-orang biasa menyebutnya warteg, singkatan dari Warung Tegal. Kok ada kata Tegal? Aneh ya .. ha ha …. Memang sih, menurut cerita orang istilah “tegal” diambil dari orang-orang dari wilayah Tegal, Pekalongan, Pemalang, dan wilayah Pantai Utara lainnya yang gemar berjualan makanan murah di pinggir jalan. Akhirnya, siapapun yang berjualan makanan di pinggir jalan di sebut warteg.

Mereka membuka warungnya di atas trotoir. Seringkali memakan badan jalan sehingga pejalan kaki sulit lewat. Di depan Rumah Sakit Bethesda ada dua warteg yang selalu aku ingat. Pertama, warteg “ Tiga Saudara” yang menjual Sop Kaki Kambing. Dulu Pak Mok, Bude Lala, aku sering diajak Eyang Kung makan di tempat ini. Kita mesti ambil mangkok beling dan memilih lauk yang disajikan dalam sebuah baskom kaleng. Lauknya macam-macam. Ada telinga, hidung, lidah, kaki dan semua bagian badan kambing. Setelah kita pilih sang juru masak akan mencampurkan lauk dengan kuah yang diambil dari panci besar, diaduk sebentar, kemudian kuahnya dikembalikan lagi ke panci. Mungkin biar kuahnya meresap ke dalam daging. Baru setelah itu mentega nabati minyak samin Cap Onta dicampurkan sekalian dengan irisan daun bawang, garam, merica, atau bumbu lainnya, dan terakhir campur lagi dengan kuah tadi. Disajikan dengan emping mlinjo atau kalau suka boleh dicampur dengan pula dengan acar timun yang disimpan dalam toples plastik. Enak sekali. Oya, selain daging dan “teman-temannya”, ada juga lauk istimewa, yaitu otak yang disajikan dalam bungkusan daun. Makanan ini enak sekali. Tapi karena waktu itu harganya mahal Eyang Kung hanya mengijinkan satu orang yang beli, Bude Lala misalnya, kemudian dibagi-bagi … ha ha ha ….

Warung kedua adalah sebuah warung rokok berukuran sekitar satu meter kali dua meter. Bisa dipindah dengan cara didorong, seperti yang banyak kamu lihat di Jakarta. Kalau sempat ngintip, warung rokok ini di dalamnya cuma bisa muat untuk dua orang yang tiduran atau duduk dengan posisi selonjoran. Sangat sempit dan terbatas karena dipakai juga untuk menyimpan barang-barang dagangan dan tape-recorder. Kadang yang jaga warung satu orang, kadang dua orang. Biasanya mereka bergantian. Ada juga yang membawa anaknya yang kalau ngantuk ditidurkan di dalam di atas gelaran kardus atau tikar dan berselimutkan selendang atau jaket. Sebagai alat penerangan mereka memakai lampu petromaks atau lampu pijar yang listriknya diambil dari bangunan sekitarnya. Di dekat Rumah Sakit Bethesda ada juga warung seperti ini. Yang punya dan tinggal di dalamnya seorang Ibu sepuh seumuran Eyang Ning. Sederhana sekali penampilannya. Waktu terjadi kepanikan lantaran ratusan orang lari akibat saling lempar batu antara demonstran dan tentara, Ibu itu hanya bisa teriak histeris. Panik, takut, dan bingung karena tubuhnya yang lemah tidak mampu menyelamatkan diri. Waktu itu dia hanya bisa jongkok sambil menangis di antara ratusan orang yang lari sambil teriak. Untung ada orang baik yang menarik tangannya, menyuruh Ibu itu untuk menyelamatkan diri masuk ke dalam warung lewat pintu warung yang sempit. Sementara itu orang-orang masih teriak dan Ibu tua itu hanya bisa menangis pasrah di dalam.

Di halaman Rumah Sakit Panti Rapih aku masih lihat tentara berjaga-jaga di sekitar bunderan Universitas Gadjah Mada, tempat Bu Ayik sekolah dulu. Aku masuk lewat pintu depan, terus lewat taman dan corridor yang menghubungkan bangunan di sebelah utara dan selatan. Aku suka suasana corridor ini. Lantainya terbuat dari ubin semen yang semakin sering dilewati orang akan semakin mengkilap. Tiang terbuat dari kayu menopang rangka-rangka kayu atap yang kelihatan. Tidak banyak dinding penutup sehingga bisa melihat taman dan membuat suasana yang akrab dan nggak ngeri. Beberapa tahun kemudian sewaktu menunggu Eyang Ani yang sakit, setiap malam aku sering sendirian lewat corridor ini untuk beli teh di warung angkringan di depan Rumah Sakit. Setelah melewati beberapa corridor aku sampai di sebuah taman, dan melihat Pak Mok duduk termenung ditemani Oom Andi. Di tengah taman itu ada pohon Palem yang masih kecil. Bentuknya seperti botol. Aku Tanya ke Pak Mok “Siapa nama anakmu nanti?” Pak Mok dengan bercanda menjawab : Palem Botol. Aku dan Oom Andi tertawa.

Tidak lama kemudian seorang bayi lahir. Mungil dan lucu sekali. Aku menciumnya dan terasa harum alami bayi yang meneduhkan hati.
“Sapa jenenge?”
“Langit. Langit Bijak”.



***

Hari ini, tepatnya tanggal 9 April 2007 aku memperoleh sebuah puisi dari Langit yang dikirim Pak Mok lewat email. Sebuah puisi pendek. Begini bunyinya :

BUNGA

Bunga kau sunguh harum
Warnamu indah
Banyak jenismu
Ada Mawar,Melati,Anggerek dan lain-lain

Indah sekali dirimu
Pemandangan tak indah tanpamu
Ku suka bunga
KU ingin Bunga ku selalu merawatmu
taman di Indonesia banyak bunganya

Bunga....
Ku janji akan merawatmu
Ku sangat menyayangimu

LANGIT 8 APRIL 2007 MINGGU



***
Kamu menyebut bunga.
Dalam kehidupan manusia senang menggunakan kata bunga untuk mengungkapkan sesuatu hal yang mencitrakan semangat cinta, sesuatu yang dianggap menguntungkan, menggembirakan, atau sesuatu yang tumbuh dari pokoknya, membuat segala hal menjadi berkembang dan mampu melihat segala tersebut dengan indah.

Bunga adalah kasih.
Paus Johannes Paulus II sering meletakkan karangan bunga di hadapan lukisan Bunda Maria yang dibuat pada jaman Byzantium atau di bawah patung Maria Immaculatta sebagai penghormatan kepada Ibu Maria. Doa Rosario yang diberikan Bunda Maria kepada Santo Dominikus Guzman mempunyai arti mawar, dan mawar adalah bunga. Sewaktu seseorang memberikan bunga kepada seseorang yang lain, saat itu juga dia mengucapkan kasih yang mungkin tidak bisa dikatakan lewat kata-kata. Itu berarti bunga selain bermakna kasih juga bermakna doa, sepertinya halnya kita menaburkan bunga di pusara orang yang kita cintai sebagai ungkapan doa dan kasih, atau penduduk beragama Hindu di Bali yang selalu menyertakan bunga sebagai sajian kepada Yang Maha Kuasa dalam upacara keagamaannya. Tanpa disadari bunga mempunyai makna yang indah dan berharga.

Teruslah merawat bunga dan menyayanginya sampai hatimu menyatu dan kamu menjadi bunga bagi dunia. Seorang bijak mengatakan ketika melihat bunga yang indah di tumpukan sampah orang enggan untuk membuang sampah tersebut karena takut akan melukai dan mencabut bunga itu. Karena bunga tersebut tumpukan sampah menjadi sangat berharga. Ketika kamu tumbuh dewasa dan melihat segala sesuatu di dunia tidak semuanya indah dan menyenangkan : orang-orang miskin dan terlantar, pemukiman yang kumuh, dan lain sebagainya, jadilah bunga bagi mereka agar keindahanmu membuka hati banyak orang untuk tidak membuang “sampah” tersebut, tetapi menjadikannya baik. Jadilah menyatu dengan mereka agar mereka tidak tercabut karena bunga adalah milik Tuhan, sehingga tidak seorangpun berhak untuk mencabutnya. Dan melalui dirimu doa-doa setiap orang dipersembahkan.

Dipersembahkan untuk keponakan tercinta : Alesandra Langit Bijak