Monday, March 5, 2007

Membangun Dengan Hati


RUMAH. Kita mengenalnya sebagai sebuah benda dimana manusia tinggal dan berlindung. Sebuah tempat dimana manusia meletakkan sisi pribadi kehidupannya yang terdalam.

Beberapa minggu setelah terjadi gempa yang meluluhlantakkan Yogyakarta dan Jawa Tengah, Ibu Ning Subanar seorang ahli kecantikan di Yogyakarta mengungkapkan keinginannya untuk membangun sebuah Gandhok Kotangan, begitu beliau menyebutnya, yang akan difungsikan sebagai gudang, kamar Mbok Nung seorang Abdi yang telah melayaninya selama bertahun-tahun, dan tentu saja ruang keluarga. Didalam kebudayaan Jawa Gandhok diartikan sebagai rumah atau Omah yang sesungguhnya karena merangkum ruang-ruang yang diperuntukkan untuk kegiatan internal keluarga yang bersifat intim. Kembali kepada Ibu Ning Subanar. Idenya merupakan tanggapan terhadap apa yang dialami fisik rumahnya akibat gempa. Dirinya mengambil sisi positif dari sebuah peristiwa bencana dan menganggapnya sebagai challenge dengan menciptakan lingkungan kehidupan baru yang merupakan rajutan dari lingkungan kehidupan sebelumnya. Terangkum dalam sebuah benda yang disebut rumah. Sikap tersebut menjadi contoh bahwa sebuah rumah dapat menjadi belahan jiwa bagi penghuninya. Semacam alter-ego. Bentuk lain dari manusia yang menempatinya. Oleh karenanya wajar jika diperlakukan sebagai sesuatu yang sakral.

Dengan semangat yang sama nun jauh di Selatan kota Yogyakarta, di sebuah desa yang bernama Ngibikan, sekelompok kecil masyarakat yang memperoleh bantuan dari Dana Kemanusiaan Kompas bekerjasama membenahi lingkungan mereka yang betul-betul rata dengan tanah. Jika berkesempatan melihat kondisi mereka saat ini kita tidak akan percaya kalau sebelumnya kengerian dan keputusasaan sempat menjadi roh dalam tubuh desa mereka. Adalah Maryono, “arsitek” yang berhasil memberikan semangat kepada sekelompok masyarakat tersebut. “Yang penting adalah pengarahan Mas”. Kata tersebut (pengarahan) terus bergulir dari mulutnya seakan menjadi kata kunci mewakili semua sistem pembangunan yang berjalan. Diceriterakannya bahwa pada awalnya semua orang hanya bisa pasrah dan nrimo pandum sebagai korban. Sebagai korban mereka merasa menjadi wong cilik yang hanya bisa menunggu bantuan dari para penderma. Dan sebagai wong cilik mereka tidak berhak menuntut apapun. Maryono tidak bisa menerima logika tersebut. Berbekal pengalaman sebagai mandor bangunan dia mengajak masyarakat untuk tidak hanya mengharapkan bantuan karena bagaimanapun kehidupan mereka haruslah mereka sendiri yang membangun. Dimulai dari memberi pengarahan kepada beberapa warga agar menghargai setiap serpihan rumah yang hancur untuk dipergunakan kembali sehingga terbentuklah rumah-rumah yang setengah dari materialnya merupakan daurulang dari rumah terdahulu.

Temporer vs Permanen

Rumah-rumah tersebut tampak baru dengan struktur kayu yang mengandalkan kekuatan jepit, penutup atap asbes, dan sebagaian dinding menggunakan material Glassfibre Reinforced Cement (GRC). Ditengah maraknya isu standarisasi beton sebagai material tahan gempa teknik ini cukup menuai kritik dari berbagai kalangan. Meskipun tidak seluruhnya terbukti benar struktur beton dinilai permanen karena mempunyai kekuatan lebih daripada kayu dalam menahan gempa, dan tentu saja tahan lama karena rayap macam apa yang bersedia untuk memakannya. Dibandingkan dengan kayu beton juga dinilai lebih ramah lingkungan. Dalam proyek ini material kayu sebagai struktur sengaja dipilih dengan alasan menghargai nilai lokal dan cepat dalam pengerjaannya. Berbeda dengan beton kayu juga lebih luwes dalam penyesuaian di lapangan. Tetapi lebih dari itu penghargaan tehadap nilai lokal pada proyek ini adalah memanfaatkan kemampuan yang dimiliki masyarakat yang sebagian dari mereka berprofesi sebagai tukang kayu. Dengan demikian ada usaha untuk menumbuhkan harga diri dan semangat masyarakat yang terkena bencana.

Kayu, dengan sifatnya yang ringan memang berkesan temporer. Tetapi perkembangan arsitektur di dunia menunjukkan bahwa pengertian kata temporer harus dibedakan dari kekuatan. Sesuatu yang bersifat temporer tidak sertamerta lemah dalam kekuatan. Yang menarik dari perdebatan antara dua makna kata tersebut bukan terletak pada perwujudan material yang digunakan tetapi kepada pemahaman yang benar mengenai detail dan konstruksi. Setiap material jika dikaji secara mendalam akan ditemukan unsur kekuatan dan cara penanganannya. Dan sejujurnya, inilah sisi kelemahan bangsa kita yang sering mengabaikan pentingnya Research and Development. Kita cenderung untuk bersikap sebagai konsumen. Menerima sesuatu yang sudah disediakan oleh produk modern siap saji sebagai sesuatu yang benar. Mengabaikan kekuatan lokal yang semestinya bisa dikembangkan. Development tidak lagi menjadi sebuah proses yang terus mematangkan tetapi selalu mengulang dari awal.

Membangun Dengan Hati

Beberapa rumah yang dibangun oleh warga Ngibikan tetap berada pada setting layout rumah yang lama. Tujuannya untuk mempertahankan kebutuhan ruang kehidupan seperti yang pernah ada selama ini. Cukup besar layaknya rumah di pedesaan. Cara ini berbeda dengan yang lazim diterapkan oleh beberapa institusi penyumbang dana yaitu membuat hunian massal dengan luasan yang sudah ditentukan. Bahkan di antaranya memasukkan unsur-unsur ‘rumah kota’ yang jauh dari budaya kehidupan masyarakat setempat. Semisal membuat dapur lengkap dengan bak cuci modern layaknya real estate. Cara seperti ini perlu dikritisi. Alih-alih membantu meningkatkan taraf hidup. Yang terjadi justru bisa sebaliknya, melahirkan sebuah budaya baru yang tidak sejalan dengan jiwa penghuninya.

Cara pembangunan secara seragam memang tidak salah terlebih dalam konteks membantu mempercepat pulihnya sebuah tatanan kehidupan yang rusak akibat bencana. Ada faktor waktu dan pendanaan yang menjadi prioritas pertimbangan. Pun yang dilakukan Maryono dan sebagian masyarakat Ngibikan juga tidak lepas dari cara tersebut. Bentuk bangunan dan sebagian material tetap sama. Hanya yang perlu dihargai adalah sikap dimana penerima bantuan tidak didudukkan sebagai korban dan si pemberi adalah Sinterklaas yang berhak mengatur. Ada ‘ruang’ yang disediakan bagi pemilik untuk meletakkan hati pada rumah barunya. Ada penghargaan akan nilai sejarah yang harapannya dapat membantu memberi kesadaran bahwa sebuah bencana tidak sertamerta merubah hidup manusia seratus delapanpuluh derajat dan memusnahkan semua nilai yang pernah ada.

Membangun kembali rumah dan lingkungan yang diperuntukkan bagi korban bencana yang masih eksis bukan sekedar memenuhi target tanpa memperhitungkan dampak terhadap kehidupan selanjutnya, karena sekali lagi sebuah rumah adalah belahan jiwa penghuninya dan menyumbang bagi pembentukan wajah lingkungan. Dalam kasus di Yogyakarta dan Jawa Tengah kerusakan akibat gempa banyak menghilangkan karakteristik sebuah budaya yang dapat dilihat melalui bentukan arsitekturnya. Tetapi jika hal itu harus terjadi dan oleh karenanya ciri-ciri fisik tersebut hilang, lalu apakah yang bisa dipertahankan selain sesuatu yang bersifat non-fisik? Dan hal tersebut bisa bertahan jika hubungan dengan masa lalu tetap terjalin. Bukan sebuah romantisme tetapi merupakan alat untuk menjalin kesinambungan. Itulah yang dilakukan oleh Maryono dan warga Ngibikan. Bersama sekelompok arsitek yang tergabung dalam Eko Prawoto Architectural Workshop yang membantu dalam pengolahan konsep, mereka mempertahankan pola ruang dan sebagian material eksisting yang dipadankan dengan unsur baru. Melalui rumah baru yang dibangun dengan hati mereka mencoba melihat bahwa sebagai manusia mereka masih mampu bangkit secara utuh dan mempunyai harga diri.


***

No comments: