Monday, April 4, 2011

Suatu Hari Sandikala

Syahdan pada masa Upanishad, Dewi Draupadi – istri Prabu Yudhistira - datang kepada Prabu Wirata yang sudah beberapa tahun ini meninggalkan tahtanya untuk menyerahkan diri kepada kesederhanaan hidup. Mereka berdua berbincang di bawah naungan pohon Latamaosandi. Dalam perbincangan, Draupadi meminta nasehat perihal perceraian. Kepada Prabu Wirata disampaikan pula bahwa dirinya sudah meminta pertimbangan kepada seorang brahmana. Prabu Wirata bertanya apa pendapat brahmana tersebut. Draupadi menjawab: sang brahmana menyetujuinya.


“Apa alasan dia menyetujui perceraian, anakku?”


“Menurut wisik yang didapat dalam samadi, beliau mengatakan layaklah laki-laki seperti Yudhistira diceraikan. Raja tidak tahu adat. Berani menyerahkan istri sebagai taruhan judi. Merelakan istri ditelanjangi. Tidakkah dia menghargai hamba yang selalu menyerahkan cinta dan diri sepenuhnya? Tidakkah dia terkenang saat indah penuh cinta dalam kama-ratih?”.


“Brahmana itu berkata begitu?”.


Nun, inggih, Gusti”.


“Ah, tapi menurut rasaku, Wong Ayu. Semakin jauh dan dalam dasar kolam semakin tidak bisa kita putuskan wujudnya. Wajarlah brahmana mengatakan hal itu jika tidak melalui samadi. Tetapi dalam samadi ... yah sudahlah ... tujuan orang berbeda-beda. Tetapi sejauh kudengar dari adikku Wratsangka yang beroleh kabar dari Harjuna, anakku Draupadi selamat dari penghinaan di arena judi berkat kuasa Hyang Widhi”.


Nun, inggih, Gusti Prabu. Entah ... hamba merasa gelap saat itu. Rasa malu dan terhina begitu besar membuat hamba pingsan. Tetapi menurut adik Harjuna kain penutup badan hamba seakan tidak lepas dari tubuh. Terurai menjadi demikian panjang. Semua kegilaan itu berhenti berkat turun-tangan Eyang Bhishma. Kabarnya beliau sangat murka kepada Suyudana dan adik-adiknya”.


“Ah ... Bhishma. Dia orang baik. Tentu dia tahu apa arti aturan yang harus diterima dalam sebuah perjudian. Tapi dia orang yang tidak pernah berhenti pada kebiasaan dan aturan. Ya, kebenaran baginya adalah kebenaran. Kebenaran adalah zat-milik Sang Hyang Widhi. Jika Sang Hyang Widhi sendiri adalah Zat Agung yang tidak bisa dipengaruhi zat-zat duniawi manapun, maka tentulah sebagai milik, kebenaran juga tidak bisa dipengaruhi oleh aturan apapun di dunia”.


Prabu Wirata diam. Dirasakannya semilir angin pada kulit tubuhnya yang mulai memiskin, lama tidak tersentuh berbagai ramuan istana. Di depannya, kira-kira selemparan batu, dilihatnya anak gembala bermain seruling di antara sapi-sapi. Anak itu memandang kepada sang Prabu. Dia berkulit hitam. Parasnya tampak cantik pada wujudnya yang laki-laki. Dia melepaskan seruling dari mulutnya dan tersenyum. Sang Prabu membalas dengan senyum. Teduh hatinya. Dia menarik nafas lembut dan dalam. Matanya setengah terpejam.


Akhirnya sang Prabu melepas kebisuannya.


“Begini saja, anakku Draupadi. Kau tentu lelah. Banyaklah makan dan istirahat dulu. [Nun inggih, Gusti Prabu. Tapi hati ini sakit sekali]. Saya mengerti, tapi sebaiknya jangan memutuskan apapun selama hatimu masih diselimuti galau. Nah, Dalam hening-wening di pedesaan ini aku tak bisa memberikan masukan apapun kecuali mengajakmu menghadap Sang Hyang Widhi. Dan biarlah Sang Hyang Widhi sendiri yang menyampaikan warta kepadamu, warta yang aku tidak tahu. Warta yang tidak bisa diukur oleh nalar kita, manusia. [Apa maksud Gusti?] Lha iya. Menurut rasaku, anakku wong ayu, kalau Sang Hyang Widhi sendiri menyelamatkanmu di arena judi tempo hari, maka aku kok merasa bahwa dirimu adalah kecintaanNya. Artinya, kau diciptakan secara pribadi dan selaras dengan Zat-Nya. Maka, hanya Dia yang bisa menjadi sumber pemecahan kegalauan hatimu".


Hari sudah sandikala. Prabu Wirata masih duduk di bawah naungan Latamaosandi. Dilihatnya anak gembala pergi dalam gembira bersama sapi-sapi. Dilihatnya juga beberapa rahib berjalan membawa kembang, air, dan dupa untuk doa malam. Dari hatinya, bersama dengan semilir angin barat, bergulirlah sebuah harapan: semoga, ya semogalah, Sang Hyang Widhi - Sang Sumber Cinta – yang melahirkan Draupadi dan memanggilnya dengan nama yang paling pribadi menaburkan cinta illahi. Suatu zat yang melampaui segala wujud yang ada di dunia, supaya Draupadipun tidak berhenti pada perkara-perkara dunia, namun sebaliknya mampu memberi cinta. Apapun keputusannya nanti. Dan dirinya sendiri? Ah, dirinya mengakui bahwa masih belajar menjejakkan kaki di dunia, agar bisa disebut dengan suatu nama, yang harapannya selaras dengan Sang Cinta Abadi dalam bentuk yang sangat sederhana, seperti dirinya dan para rahib memanggil anak gembala cantik yang selalu gembira itu: Krishna!