Monday, August 13, 2007

Tidur




Salah satu gejala yang dirasakan beberapa teman ketika menghadapi praktek kuliah kerja nyata adalah sulit tidur pada hari-hari pertama mereka tinggal di tempat yang bukan wilayah mereka. Mereka menjadi begitu kelelahan pada hari-hari berikutnya karena tidak mempunyai kesempatan secara utuh untuk melepaskan semua energi dalam tubuhnya yang saling berbenturan.

Ketika tidur manusia berada dalam titik apa adanya sebagai dirinya. Posisi tubuh, gerak, mimik wajah yang sesungguhnya tidak dapat ditutupi. Seorang teman, Andre namanya, yang ketika banjir datang melanda Jakarta segera mengemasi barang dan memindahkan ke sebuah kamar kosong di lantai dua. Sesampainya di kamar tersebut dirinya terbengong demi melihat Dinar, seorang teman kos yang berprofesi sebagai foto model tidur dengan mimik yang lucu dengan wajah tak karuan. "Wah, boleh jadi dia seorang model yang sehari-hari cantik. Tapi begitu tidur tetep aja ngowos", begitu komentar Andre. "Apa itu ngowos?" tanya Okky yang juga seorang foto model asal Bali. "Ya itulah. Lihat sendiri. Mulut menganga, suara dengkuran ngga karuan".
Ah, Okky yang cantik dan natural menjadi salah tingkah dan semakin cantik. Semoga kami tidak melihatnya ketika sedang tidur.


***


"Ah kalau aku hanya bisa tidur di kamarku sendiri, sejelek apapun kamarku itu", begitu kata Bernardus yang sehari-hari kami sapa wedhus (kambing). Rasanya Ben tidak sedang membanggakan kamarnya yang tidak mewah. Mungkin dia benar bahwa sebuah ruang kamar adalah cerminan pribadi penghuninya sehingga hanya kepada kamarnya dia bisa merasa nyaman dan aman. Bagaimana tidak? Kamar selalu memberikan dirinya untuk didandani sesuai keinginan penghuninya. Kamar juga menjadi saksi bisu tingkah laku dan ungkapan perasaan. Jadi, kalau ada orang bisa tidur di sembarang tempat tentu dia adalah sosok yang amat luwes dan mampu membuat dirinya berdamai dengan setiap ruang-waktu dan menjadikannya sebagai kamar.


"Orang macam ini mirip keong. Kemana-mana bawa kamarnya. Biasanya, orang macam ini hatinya gelisah. Manajemennya pasti jelek", begitu Ben berteori.
"Sembarangan. Jadi kamu pikir si Deni, Samuel, Eron, Aan tipe orang seperti itu? Menurut aku kok ngga. Apalagi Sam. Dia sangat rapi."
"Sam mungkin beda. Dia bisa tidur dengan enak di atas loker studio karena udah sering lembur di sini. Jadi udah kenal ruangannya dan merasa aman. Coba kamu suruh dia tidur di koridor deket tangga. Mana mau dia?".
"Huayah!! Siapa juga yang mau tidur di situ. Spooky Man!"

Tapi betul, suatu ketika aku melihat ada orang tidur di tangga. Anis Temi tidur dengan bibir mencium step tangga. Atau beberapa teman yang tidur nyenyak di lantai bordes sehingga membuat orang lain yang lewat harus bersikap seperti orang yang melewati makam. Mungkin betul bahwa mereka tipe orang yang bisa mempunyai perasaan damai di banyak tempat tapi bisa jadi material turut menyumbang kenyamanan yang membuat mereka rela bersikap macam gelandangan. Ubin lantai yang dingin misalnya mampu membuat orang luruh di atasnya.


***


Suatu hari di atas kereta Mutiara Selatan menuju Yogyakarta dari Bandung, aku duduk di bordes sembari menyesali diri kenapa tadi berangkat ke stasiun terlambat. Di sebelahku, dua orang laki-laki asyik tertidur. Badan mereka terlipat di ruang gerbong yang sempit. Melihat pemandangan tersebut, di tengah goncangan dan derak roda kereta yang keras aku berpikir bahwa struktur tubuh manusia begitu indah dan hebat. Mampu menyesuaikan diri dengan kondisi ruang meskipun dalam hatinya belum tentu ada perasaan nyaman. Data-data dan teori standar arsitektur yang dikemukakan oleh Neufert yang kami pelajari di sekolah rasanya menjadi hambar. Standar tersebut tentu baik diterapkan pada wadah kehidupan manusia di semua tempat. Sayangnya, dapat diterapkan jika suatu bangsa berada dalam kondisi sejahtera. Lantas, bagaimana dengan bangsa atau masyarakat yang karena banyak hal tidak kunjung sejahtera? Apakah harus dibumi hanguskan dan diganti dengan wadah yang sesuai standar atau mencoba berkompromi, setidaknya untuk sementara waktu ditetapkan standar yang sesuai kondisi? Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pembuat keputusan seringkali menerapkan standar berdasarkan apa yang mereka pikir atau mengambil nilai dari budaya lain yang jelas belum tentu sesuai.

Menurut saya praktis saja. Sebuah standar harus dibaca bukan sebagai aturan baku tetapi sebuah guidance yang mampu menanggapi perkembangan manusia. Bukan seperti kitab suci yang dikunyah mentah karena pada akhirnya nilai manusia itu sendiri yang perlu diperhatikan. Saya percaya, ketika Ernst Neufert membuat standarisasi ruang dan Le Corbusier menemukan The Modulor dan The Golden Section, semua bermula dari unsur manusia. Memberi penghargaan kepada tubuh manusia untuk memperoleh kenyamanan dan ujung-ujungnya adalah membuat manusia bisa beristirahat dan tidur dengan tenang agar irama kehidupan bisa berjalan dengan seimbang. Sebaliknya dapat dibayangkan jika jutaan energi buruk muncul ketika manusia tidur memenuhi atmosfer.

Sunday, August 5, 2007

Aku Melihat Rosarioku Bertumpuk dengan Gumpalan Uang Kertas Limaribu dan Beberapa Receh Logam

Aku melihat rosarioku tergeletak di meja, bertumpuk menjadi satu dengan gumpalan uang kertas limaribu dan beberapa receh uang logam. Sebuah rosario kayu yang diberikan oleh seorang Pastor Diosesan kepada Ibu dengan sedikit cerita singkat tentang permohonannya kepada Kanjeng Ibu agar selalu memberi kekuatan kepada Ibu. Rosario yang dikirim melalui pos tersebut aku terima tepat tiga hari setelah Ibu dimakamkan.

Di dalam kebiasaanku, benda-benda yang kuletakkan bertumpuk berarti aku ambil dari satu tempat. Entah dari saku kemeja atau celana. Menurut kebiasaanku pula, rosario selalu aku letakkan pada tempat yang "terhormat", terpisah dengan benda-benda lainnya, dan mudah dicapai tangan. Tujuannya agar tidak rusak ketika "diambil paksa" atau putus karena terikat benda-benda lain tersebut. Tetapi dibalik itu sejak kecil aku memang memahami bahwa benda-benda seperti rosario, meskipun hanyalah sebuah benda atau alat, harus diletakkan secara hormat. Tak peduli dengan omongan yang mengatakan bida'ah dan penyembahan berhala. Yang jelas jiwaku tak tega untuk meletakkannya secara sembarangan. Secara jujur aku mengakuinya ada nilai kudus di dalamnya meskipun pemiliknya tak kunjung kudus.

Ketika aku melihatnya menggumpal menjadi satu bersama uang kertas dan beberapa receh logam hatiku mengatakan bahwa aku sedang terburu-buru. Terlalu sibuk. Baik hari ini atau bahkan beberapa hari sebelumnya. Ya, aku memang terlalu sibuk. Baik dalam urusan pekerjaan kantor atau pekerjaan lainnya yang bahkan penuh nilai religiositas dan kemanusiaan. Dan seperti halnya membiarkan rosarioku tergumpal bersama uang kertas limaribu dan beberapa receh logam, kesibukanku membuat aku membiarkan orang-orang yang seharusnya aku cintai dan aku perhatikan.