Saturday, December 1, 2007

Warung

Suatu malam di sebuah warung di wilayah Bendungan Hilir Jakarta.
Warung ini menyediakan ketan yang diurapi dengan srundeng kelapa, teh poci, mie rebus, aneka 'gorengan' dan minuman lainnya. Berukuran lebihkurang 6x8m warung ini terdiri dari beberapa fungsi ruang, yaitu tempat persiapan, area memasak, kamar mandi, meja saji, dan tentu saja bangku tamu. Tidak ada dinding yang membatasi ruang per ruang secara jelas, kecuali kamar mandi, yang pada sebagian dindingnya terdapat bukaan. Pembatas biasanya terbuat dari partisi kayu rendah, seperti halnya struktur penopang dinding dan atap yang semuanya terbuah dari kayu. Sambung-menyambung tanpa kaidah yang benar, menopang atap seng yang selalu bocor di kala hujan.

Ada beberapa lampu sebagai penerangan. Masing-masing lampu terangkai oleh kabel yang merayapi struktur bangunan yang warnanya hitam karena kusam atau jelaga. Tetapi yang menarik dari warung ini adalah aktifitasnya yang selalu hidup. 24 jam non-stop. Dilayani oleh beberapa pramusaji muda, rata-rata perempuan dan berasal dari kota-kota di wilayah pantai utara Jawa. Mereka, selain melayani dengan sigap, juga bercengkerama dengan para pembeli yang duduk berhimpitan di bangku kayu panjang menghadap meja besar berisikan makanan dan minuman. Seperti halnya para pembeli kelas atas menghadap sushi-bar. Mereka, para pembeli itu muncul dari beragam profesi dan strata : karyawan, tukang sol sepatu, sopir bajaj, kuli bangunan, sopir ojek, koster gereja, bahkan beberapa 'seniman kalah' yang cukup mempunyai nama, juga beberapa orang yang dianggap abnormal. Sebut saja Yanto, seorang penderita keterbelakangan mental yang sehari-hari bekerja mengatur lalu-lintas di persimpangan jalan. Atau Tante, sebut saja begitu, seorang perempuan setengah baya dan pemulung berparas ayu, atau entah siapa namanya, seorang gila yang fasih berbahasa Inggris yang sambil tertawa gemar mengatakan kepada orang-orang : "Jesus Christ ... Erlangga Kertapati from Yahudi he he he ...".

Suatu petang, aku minum teh poci di warung ini yang kebetulan saat itu agak sepi, sembari membaca sebuah buku religius.Tak lama muncul laki-laki kecil. Iwan namanya. Bekerja sebagai buruh proyek Departemen Pekerjaan Umum.

"Mas tahu Pasar Genjing' kan? Nah di situ ada proyek perbaikan saluran", katanya membuka percakapan.
"Mas Iwan kerja di situ?", balasku
"Ya".
"Lalu, tinggalnya dimana?"
"Lha di situ. Di bedeng di taman belakang warung ini. Mas sudah lama di Bendungan Hilir?"
"Kira-kira setahun. Di tempat yang ada mobil travelnya", jawabku.
"Oo ... Mas Sopir?"
"Bukan. Saya kerja di bangunan".
"Oooo .... ". Parasnya yang masih tampak bocah tampak berpikir. Manggut-manggut.
"Sering ke warung ini, Mas?" tanyanya lagi.
"Dulu, waktu masih sering pulang sore. Sekarang pulangnya malam. Jadi sudah jarang", jawabku sambil tertawa. Mencoba mencairkan suasana.

Salah seorang pramusaji perempuan menyajikan kopi susu baginya. Dibalas Iwan dengan candaan yang menyerempet, tapi halus dan tidak cabul.

"Mas asalnya mana?", Iwan bertanya lagi
"Jogja. Dan Mas?"
"Jombang. Mas tahu Jombang?".
"Hmmm ...", jawabku sambil mulutku tetap berkonsentrasi pada mie rebus. Dan dia melanjutkan ocehannya lagi :
"Sebenarnya saya cuma bingung aja. Kok ada orang top di sini?"
"Top? Top bagaimana?".
"Iya. Top. Orang seperti Mas kok mau makan di sini?", dia bertanya sembari cengar-cengir.

Sejenak aku menjadi salah tingkah. Terlebih saat dirinya mengatakan bahwa parasku bukan seperti orang Jawa, yang membuat diriku teringat seorang penjual bakso yang suatu malam mengatakan bahwa wajahku mirip orang India. Edan!!

Merasa mendapat teman bicara Iwan menanyakan buku apa yang aku baca. Jujur, aku menjadi semakin rikuh. Hendak menjelaskan apa kepadanya? Menjelaskan temanya bagiku membuat obrolan menjadi berat. Hanyalah membolak-balik buku dengan tidak jelas yang bisa kulakukan. Lagi-lagi salah tingkah seperti orang tertangkap basah selingkuh. Dan juga, lagi-lagi Iwan hanya berkata "Ooo...". Parasnya yang menandakan bahwa dirinya masih bocah berkesan berpikir sesuatu. Manggut-manggut.

***
Di dekat kantor tempat aku bekerja dahulu, di wilayah Sunter Jakarta Utara, ada sebuah warung tempat aku dan teman-teman biasa mangkal sore. Sekedar melepas penat. Memang, kantor kami saat itu mempunyai habit yang cukup aneh. Jam masuk kerja adalah jam 9.30. Dilanjutkan dengan makan siang pukul 11.00 siang sampai pukul 12.00, kadang sampai pukul 13.00. Dilanjutkan lagi dengan acara makan siomay di sore hari pukul 15.00, masuk kerja lagi sampai waktunya pulang, yaitu pukul 17.00. Aneh memang.

Warung tempat kami mangkal adalah warung kecil. Terbuat dari kayu dengan atap "emplekan" dari seng dengan sebuah jendela display. Di warung yang menyediakan berbagai makanan kecil, minuman, barang keperluan sehari-hari, dan mie rebus ini tinggal sebuah keluarga. Letaknya di sudut jalan sehingga memungkinkan untuk memiliki teras kecil yang diisi bangku di bawah kerindangan pohon carson.

Sang suami, pemilik warung ini, bekerja sebagai petugas keamanan sekolah yang berada di seberangnya. Anaknya satu orang. Setiap hari bermain keliling kompleks dan kampung bersama teman-teman sebayanya demi menghindari omelan Ibundanya, seorang wanita gemuk berambut keriting dan bermata juling ini yang senantiasa menemani kami. Masih segar dalam ingatanku bagaimana si Ibu ini meracik sayuran bagi keluarganya, meskipun katanya tidak pernah habis dan kemudian ditawarkan ke orang lain termasuk kami.

Masih ada lagi seorang tokoh yang kerap menemani kami di warung ini. Paijo namanya. Orang asal Klaten Jawa Tengah. Seorang penjual siomay yang selalu tersenyum. Menjajakan siomaynya menggunakan sepeda onthel. Siomaynya siomay kampung. Enak dan laris, sehingga lidahku yang kenyang dalam kesulitan ekonomi maupun lidah Evelyn, seorang teman kantor yang mirip aktris Gong-Li, sangat cantik, rela menikmatinya. Dan Paijo inilah yang selalu menemani kami bersama si Ibu gemuk keriting. Mereka mengenal kami, bercanda apa-adanya, selalu menanyakan jika salah satu dari kami tidak hadir, terutama Mbak Evelyn tentunya. Tentu, hati siapa yang tidak tersentuh demi melihat sang bintang yang menawan mau menyapa mereka dan duduk 'gelesotan' makan siomay di emperan? Pun mereka tercenung ketika mengetahui bahwa si Mbak Gong-Li ini hijrah ke London. Bekerja di sebuah konsultan ternama di sana dan belum lama ini namanya muncul sebagai tim desain di sebuah buku. Atau sebaliknya, begitu terharu kami ketika mendengar berita gempa di Jawa Tengah meluluhlantakkan rumah Mas Paijo.

***
Warung ada dimana-mana di setiap sudut kota di negeri ini. Seringkali kehadirannya tidak sekedar menandakan aktifitas ekonomi semata yang mengatakan "engkau adalah kawan jika engkau dan aku terlibat dalam perkara bisnis". Tidak! Warung malah seringkali hadir sebagai sebuah hati yang siap menerima, tidak peduli nilai ekonomi yang diperolehnya. Dan bersama mereka, para pemilik warung dan orang-orang yang terlibat di dalamnya, jika kita mau membuka diri dan hati dengan sangat sederhana sekalipun kita akan merasakan sebuah "kehadiran" yang suatu saat akan bermakna ketika diri ini merasa kesepian. Menyadarkan bahwa kita ada untuk mereka, begitu juga sebaliknya. Menyadarkan bahwa setiap manusia tidak sendiri dalam berziarah di muka bumi. Seperti halnya berita yang kami terima dari London : "Ga gampang hidup sebagai perantauan di sini. Kangen kalian!!. Apa kabar Paijo? Kangen siomaynya nih". Dan kami yang membaca tertawa, menyeletuk :"Eh ... jangan-jangan si Paijo lama ngga kelihatan karena nyusul Evelyn ke London ya. Jualan siomay dia di sana ... ha ha ha ha!!!".

1 comment:

Anonymous said...

Oi, achei seu blog pelo google está bem interessante gostei desse post. Gostaria de falar sobre o CresceNet. O CresceNet é um provedor de internet discada que remunera seus usuários pelo tempo conectado. Exatamente isso que você leu, estão pagando para você conectar. O provedor paga 20 centavos por hora de conexão discada com ligação local para mais de 2100 cidades do Brasil. O CresceNet tem um acelerador de conexão, que deixa sua conexão até 10 vezes mais rápida. Quem utiliza banda larga pode lucrar também, basta se cadastrar no CresceNet e quando for dormir conectar por discada, é possível pagar a ADSL só com o dinheiro da discada. Nos horários de minuto único o gasto com telefone é mínimo e a remuneração do CresceNet generosa. Se você quiser linkar o Cresce.Net(www.provedorcrescenet.com) no seu blog eu ficaria agradecido, até mais e sucesso. If is possible add the CresceNet(www.provedorcrescenet.com) in your blogroll, I thank. Good bye friend.