Sunday, November 25, 2007

Friend in The Lord




Sore itu saya tiba di sebuah tempat yang sangat luas, sepi, dan sejuk. Penuh pohon tua dengan ukuran yang besar di halaman yang terletak di antara dua buah bangunan. Masing-Masing bangunan mempunyai koridor panjang yang berfungsi sebagai teras dengan meja-bangku kayu model lama di beberapa tempat, berpadu dengan lantai ubin semen mengkilap.

Setelah memarkir sepeda motor saya masuk ke sebuah pintu di bawah tangga. Dan setelah pintu aku buka tampaklah sebuah halaman yang luas ditutupi rumput yang (lagi-lagi) diapit oleh dua bangunan panjang di sisi kiri dan kanannya. Masing-masing bangunan terdiri dari dua lantai dan mempunyai banyak pintu. Salahsatu dari pintu tersebut terbuka dan muncul seorang laki-laki agak gemuk dan berkulit putih. Sejenak memandang aku yang masih kebingungan.
"Baru pertama ya Mas? Ambil aja salah satu kamar", katanya menyapaku.
"Terimakasih. Oya, saya Seto."
"Leo". Kami berjabat tangan.

Aku ambil sebuah kamar.
Seperti bangunannya, pintu kamar ini tampaknya belum pernah diperbarui kecuali dicat ulang. Aku masuk, dan tampaklah sebuah suasana ruang yang sangat sederhana meskipun cukup luas. Lantainya terbuat dari ubin semen mengkilap dan ceilingnya berupa plat beton ekspos dengan tekstur anyaman bambu. Dua buah tempat tidur di sisi kiri dan kanan. Satu terbuat dari besi dan satu lagi dari kayu. Pada tempat tidur besi terdapat kasur berbalutkan sprei putih, dan pada tempat tidur kayu terdapat kasur berbalutkan sprei kain jarik. Aku letakkan tas di kasur. Sebuah Injil, buku doa, buku catatan, pena, dan I-Pod aku keluarkan dan tempatkan di meja kayu, berdekatan dengan cerek plastik berisi air putih dan sebuah gelas. Pakaian aku keluarkan, dan ah! aku melihat lemari kayu, sebuah gantungan baju pada permukaan pintu, dan sebuah washbasin. Di dekat washbasin bertengger tempat penjemur pakaian dan handuk.

Setelah tertata semuanya aku duduk. Merenung, merasakan harum ruangan yang aroma dan segala isinya mengingatkanku pada rumah lama Eyang. Seluruhnya. Material ruangnya, bangku-kursinya, lemarinya, juga pintu jendela model bangunan Jengki tahun 60-an.. dan ah ya ... panas sekali di sini. Untuk itu mataku mencari-cari penyegar udara dan akhirnya tertumbu pada sebuah kipas angin. Setelah kipas angin aku nyalakan, diriku yang masih gamang mencoba duduk-diam kembali. Merenung, dan dalam hati berkata "Tuhan, aku di sini."

***
Pukul 19.00 setelah makan malam yang penuh canda.
Puncta.
Dalam puncta, seorang biarawan muda menjelaskan bahan renungan yang bertajuk Friend in The Lord. Dia berbicara dengan pola kalimat yang melompat dan agak gagap. Suaranya lirih. Tapi semua kelemahannya itu diakuinya. Dan tentu saja bagi kami bukan kelemahannya yang pokok tetapi intisari materi yang disampaikannya dengan baik. Friend in The Lord menjabarkan konsep berkomunitas yang baik dan berpusat pada Allah. Didasarkan pada komunikasi yang jujur dan tulus. Sharing and loving yang tidak memusatkan diri kepada kebutuhan afeksi dan nostalgia, tetapi memberikan dirinya untuk sahabat, seperti halnya Isa Sang Putera memberikan diriNya bagi orang lain. Dan tema inilah yang menjadi bahan dasar renungan saat itu. Renungan yang dicari bukan dengan diskusi atau doa-doa permintaan, melainkan dengan silentium magnum. Keheningan yang absolut, seperti yang dijabarkan seorang biarawan muda lainnya : "Setelah puncta ini kita memasuki silentium sampai acara ini selesai. Bukan kita yang berbicara, tetapi biarkan Dia berkata-kata. Gunakan waktu sebaik mungkin untuk merenung. Terserah. Dimana saja. Boleh di kamar, di taman, atau dimanapun. Usahakan tidak ada pembicaraan yang tidak perlu. Sekian, dan kita kumpul lagi dalam doa malam di kapel".
***


Meditasi malam selama satu jam, atau doa hadir pada subuh, misa pagi yang berbaur dengan penduduk setempat, pada waktu makan, aktifitas di kamar masing-masing, dan juga saat coloquiuum atau wawancara dengan seorang biarawan. Semuanya berbalut keheningan. Mereka, pada biarawan muda itu, dahulu juga manusia seperti kami. Manusia yang bekerja mencari uang, hidup dalam rutinitas pekerjaan, mempunyai karier dan jabatan, mempunyai keinginan untuk menikah. Manusia seutuhnya yang mencinta dan berseksual. Pun saat ini mereka tetap manusia apa adanya.

"Entahlah Frater. Saya sulit mempunyai gambaran sebuah pernikahan", kataku memulai percakapan.
"Mas, Saya dulu juga seperti anda. Ada ketakutan dan kekhawatiran. Tapi coba renungkan ini : Bayangkan sebuah perkawinan, tentu dengan pasangan yang ideal menurut Mas. Rasakan keindahan dan kesusahannya. Lalu bandingkan dengan kalau Mas memilih menjadi Imam dan hidup selibat. Mana yang lebih kuat. Tapi bukan itu pokoknya, melainkan kalau Mas merasa menikah dan berseksual adalah sesuatu yang indah, syukuri hal itu karena itu adalah sebuah anugerah. Justru dengan ini anda diajak untuk menyadari ketika anda memilih hidup selibat tidak lain karena kesadaran untuk sebuah tugas dan mengikuti Dia. Selibat jangan dilakukan karena pelarian atau karena ketidakmampuan mencinta dan berseksual."

Para biarawan muda itu. Mereka adalah manusia seperti kami dan akan tetap menjadi manusia apa adanya sampai kapanpun. Mereka telah, sedang, akan terus melewati tantangan sebagai selibater yang menyerahkan hidupnya pada sesuatu yang tidak tampak. Sesuatu yang lembut dan hening berlawanan dengan gemerlap dunia. Untuk itulah mereka hadir bagi kami yang mempunyai kegelisahan yang sama. Hadir untuk menemani. Bukan untuk menawarkan, terlebih memaksakan. Hadir untuk menjelaskan bahwa memilih hidup sebagai awam pada umumnya adalah sama baik dengan hidup selibat secara khusus demi Dia. Sama baik dan sama-sama terberkati. Sama-sama tidak ada yang salah. Dan ketika tiba saatnya menjatuhkan pilihan, apapun itu, mereka akan tetap bergembira bagi kami.

***
Di kamar yang sunyi aku kembali merenung dan bertanya :"lantas, kenapa aku ada di sini Tuhan? Aku tidak pernah meminta. Awalnya aku hanya mencoba membukakan pintu bagi tamu yang datang di malam-malam yang lalu. Kukira tamu itu adalah Ibuku yang sakit yang sempat aku temani hingga akhir hayatnya. Atau Ayahku yang di hari tuanya begitu sederhana dan penuh penyesalan atas kesombongan masa lalunya, dan saat ini begitu dekat denganku. Atau buruh-buruh di proyek yang senang aku berikan senyum dengan sedikit obrolan. Atau kukira Mbak Wartiyah dan Mang Uca yang mempunyai rumah di kolong jembatan, yang beberapa bulan lalu habis dibakar dan digusur.... Tetapi setelah pintu kubuka tak satupun dari mereka kulihat."

Sampai akhirnya aku begitu lelah. Ingin membuang semua persoalan ini. Sangat sadar dalam diriku bahwa aku masih harus berhadapan lagi dengan pekerjaanku besok, yaitu merenovasi gedung yang sangat menyita waktuku. Jangankan untuk berdoa, sekedar examen conscientiae atau memeriksa batinpun aku tak punya waktu. Aku memang lemah, rapuh, dan kotor. Tapi kenapa aku di sini? Entahlah. Aku lelah dan ingin tidur. Tetapi semakin memejamkan mata bait-bait nyanyian itu, meskipun sayup, tetap terdengar :

Take, O Lord, and receive my entire liberty,
my memory, my understanding and my whole will.
All that I am and all that I possess You have given me.
surrender it all to You to be disposed of according to Your will.
Give me only Your love and Your grace;
with these I will be rich enough,and will desire nothing more.

1 comment:

Anonymous said...

Interesting to know.