Tuesday, December 18, 2007

Surat Untuk Khristin

Akhir tahun ini aku selalu mempertanyakan kenapa aku masuk dalam situasi pekerjaan yang sebelumnya aku benci. Bahkan dengan gagah-berani meninggalkan kenikmatan kantor lama yang salahsatu fasilitasnya adalah mempunyai waktu libur yang cukup dan manusiawi.

Ternyata aku tidak menemukan jawaban yang merupakan pandangan umum, semisal : "ah, dengan aku kerja keras seperti saat ini tentu akan memperoleh hasil yang lebih baik. Penghasilan, peluang, karier, dll." Sejujurnya nilai2 tsb aku dapatkan, tapi ... kok hatiku mengatakan bukan itu yaa ...

Sampai pada beberapa hari lalu saat internal project meeting dimana project manager kami mengumumkan bahwa item pekerjaan bertambah, beberapa target belum tercapai, tetapi jadwal tidak berubah. Artinya : kebut pekerjaan dan tidak ada libur, bahkan untuk tanggal merah sekalipun, juga hari sabtu dan minggu. Dan seperti biasa pekerjaan dimulai pukul 08.00 sampai 22.00. Mendengar berita ini tentu aku jadi deg-degan. Wah, tiket ke jogja udah aku beli. Piye iki?

Tapi, perintah itu sebetulnya lebih ditujukan pada teman-teman mandor, surveyor, dan tukang. Kami yang berada di level manajerial tentu boleh menikmati libur. Hal ini boleh jadi menghibur hatiku, tapi ada sesuatu yang bikin aku tidak tenang. Aku melihat wajah para mandor dan para surveyor. Sebutlah Pak Yono, Pak Redi, Pak Priadi, Pak Bachruddin yang lantas terdiam. Tidak berani mengemukakan pendapat apalagi membantah karena mereka tahu perintah tersebut mutlak terutama bagi 'wong cilik' seperti mereka. Mereka hanya bisa tersenyum dan mencoba mencairkan suasana dengan saling bercanda. Hanya Pak Priadi yang dengan terpaksa mengajukan ijin sebentar demi menemani anaknya yang menikah di Sukabumi dengan catatan selesai acara harus kembali ke proyek.

Aku masih diam. Sampai saat pergi ke toilet aku lihat seorang tukang. Udah sepuh. Umurnya kira2 70 tahun. Kami memanggilnya 'Simbah'. Masih memegang palu penghancur beton yang beratnya lebih dari sepuluh kilo (bukan palu biasa). Bersama beberapa rekannya dia melaksanakan tugas membongkar dinding beton penahan struktur lift setebal 30cm, setinggi 4m, dengan panjang 6m. Resiko terjerumus ke dalam lubang lift tentu di depan mata. Juga resiko jatuh dan tersangkut jalinan besi beton yang bisa merobek tubuh manusia. Belum lagi debu halus yang setiap hari dihisap bahkan ketika mereka tidur di mess yang lembab tanpa bisa melihat cahaya. Makan makanan murah yang dijual tanpa tahu mutu kesehatannya. Gaji mereka demikian kecil.

Cukup melihat satu contoh itu saja, dan seakan ada yang berbisik di hati :"Seto, maukah sejenak kamu bertoleransi dan menemani mereka?".

No comments: