Friday, December 7, 2007

Eyang Putri

*Mengenang 1000 hari wafatnya Ibu E. Surajinah

Tahun 1988. Saat itu saya kembali memulai kegiatan sebagai miesdinaar setelah sekitar 3 tahun meninggalkan kelompok ini. Wajah-wajah baru yang saya temui memberi kesan bahwa kelompok ini begitu hidup dan berkembang, dan wajah-wajah lama memberikan gambaran sebuah penerimaan kembali secara tulus. Membuat saya merasa seperti “pulang ke rumah”. Di antara wajah lama tersebut hadir seorang lelaki sepuh. Posturnya kecil dengan rambut putih. Parasnya ramah dengan senyum selalu mengembang. Kami memanggilnya Eyang Joko. Sosok inilah yang berperan dalam menjaga kemurnian dan eksistensi miesdinaar dengan tetap mengemban nilai-nilai luhur “Ad Maiorem Dei Gloriam”. Sungguh, Eyang Joko sangat memberi inspirasi dalam kehidupanku sampai saat ini. Masih ingat dalam benakku ketika bertandang ke rumahnya. Berbicara tentang Injil, Talmud, dan Khaballa, tentang para Santo, Bapa-bapa Gereja, para skolastikat dan religius, tentang musik Gregorians, bahkan berbicara menjadi manusia apa adanya yang menyadarkan saya bahwa Tuhan selalu hadir di dalam kesederhanaan dan kelemahan manusia yang bahkan jauh dari unsur religius. Semakin manusiawi semakin illahi.

Eyang Joko adalah sosok yang antusias dalam bercerita. Tetapi seperti halnya merasakan aliran angin yang lembut di antara gesekan bambu, ketika sedang berbincang saya selalu mencuri-curi pandang sosok lain yang sangat lembut dibalik ‘kekuatan’ seorang Eyang Joko, yaitu seorang perempuan yang hadir dengan senyum dan bahasa tubuh yang anggun. Kami memanggilnya Eyang Putri.

Sering kita dengar bahwa dalam kehidupan sebuah sistem tidak bisa berjalan tanpa dukungan sistem yang lain. Sebuah jembatan yang tampak kokoh dan megah tidak akan berfungsi baik kalau tidak didukung ikatan lainnya melalui unsur mekanik yang terkecil sekalipun. Rumpun bambu harus digerakkan oleh angin yang tak kentara agar berderak menyuarakan irama alam yang membius jiwa. Angin itu juga yang menghantar harum bambu dan diterima oleh indera yang menjadi teduh. Itulah Eyang Putri yang saya kenal. Seorang yang memberi dukungan dengan tidak terlihat.

“She is my Angel”, begitu kata Eyang Joko mengomentari sang Istri.
Bagi saya pribadi, seperti halnya sang suami, Eyang Putri adalah sosok yang memberi inspirasi. Tetapi lebih dari itu, dibalik kehadirannya berbalut busana Jawa sederhana yang membuat dirinya layak dipanggil Ibu dan Eyang, beliau adalah sebuah ‘rumah’ dan ‘rahim’ yang menyerap energi buruk penghuninya agar mampu berjalan lagi. Dalam parasnya saya mengerti akan makna keheningan, kedamaian, ketulusan, dan kesetiaan.

No comments: