Sunday, September 25, 2011

Sang Arsitek

Sore hari itu di studio, ketika selesai mengajar dan sejenak membereskan beberapa buku, seorang mahasiswi mendekati Domi. Dia bertanya, “Pak, apa arti menjadi seorang arsitek?”. Mendengar itu Domi tersenyum dan menyelesaikan pekerjaannya memasukkan buku ke dalam tas. Kemudian dia duduk di meja di hadapan si mahasiswi. Matanya menyipit, memandang ke satu titik. Dia menghela nafas sebentar.

“Kalau saya harus menafsir peran arsitek maka akan banyak sekali ditemukan ragam tafsiran. Tetapi kamu tentu tahu apa pekerjaan seorang arsitek, bukan?”, jawab Domi.

“Ya. Biro konsultan dimana saya melakukan magang bulan lalu memberi saya gambaran yang jelas bagaimana para arsitek menjalankan roda industri bangunan.”

“Dan kamu sempat hadir juga dalam pertemuan kelompok arsitek muda?”, tanya Domi lebih lanjut.

“Ya. Saya senang bisa berkenalan, berbincang, dan melihat karya-karya mereka”.

“Mereka memang orang-orang hebat. Maka, melalui perjumpaan dengan mereka akhirnya kamu tentu tahu apa pekerjaan seorang arsitek? Juga beragam bidang yang digeluti”.

“Tentu … tentu … tetapi, banyak di antara mereka yang saya temui akhirnya tidak menjadi arsitek. Apakah mereka bisa dikatakan gagal? Lantas, untuk apa mereka melakukan studi?”.

“Lantas menurut kamu apakah dia masih bisa disebut arsitek?”.

“Hmm … sejujurnya, dulu saya selalu mengejek para arsitek yang tidak berprofesi sebagai arsitek. Tetapi, dalam beberapa diskusi, mereka juga mampu bercerita tentang kehidupan dengan begitu dalam, sedalam karya-karya arsitektur Le Corbusier atau Louis Khan, dan menginspirasi banyak orang”.

Domi tersenyum dan bercerita:

“Dulu, dalam sidang tugas akhir, seorang professor bertanya kepada saya demikian: Menurutmu, Domi, apa arti arsitek? Sungguh, itu sebuah pertanyaan penutup yang kecil namun sulit. Saya ingin menjawab membangun gedung, menciptakan lingkungan, merencanakan ruang …. tetapi hati saya yang terdalam seperti tertawa mengejek. Saya ingat mulut saya hanya mengeluarkan suara lirih penuh ketidakpastian. Dan sang professor … dia hanya tersenyum sembari mengatakan selamat Domi … selamat memulai pencarian. Akhirnya saya berjalan keluar ruang sidang tidak segagah ketika saya masuk karena merasa nilai A yang saya peroleh belum berarti apa-apa”.

Domi masih melanjutkan, “Setelah lulus saya bekerja pada sebuah konsultan yang sangat terkenal yang memiliki 200 orang karyawan. Saya mengenal secara pribadi pemilikinya, seorang arsitek yang sangat dihormati. Tetapi yang menarik, sejauh saya mengenalnya, dia lebih banyak bercerita tentang kehidupan. Tentang nilai-nilai dan semangat suatu bangsa dan budaya. Dia juga mempunyai seorang asisten yang sangat pintar dalam hal merancang bangunan. Kepadaku orang kepercayaan itu bercerita bahwa saat itu dirinya tidak lagi memiliki banyak kesempatan merancang. Alasannya adalah karena dia diberi tugas untuk memangku jabatan direktur yang membuatnya harus memikirkan banyak hal. Lantas aku bertanya apakah tugas itu tidak membuatnya kecewa karena dengan demikian dia harus meninggalkan dunia desain? Dia menjawab: memang ada rasa kecewa. Tetapi semua rasa itu terhapus ketika setiap pagi dia bangun, dia teringat bahwa ada 199 orang bergantung di kakinya: para karyawan yang harus menghidupi diri dan keluarga mereka”.

Masih lanjut Domi, “Kalau itu yang kamu maksudkan, anakku, maka pertanyaanmu bukan semata tentang siapakah arsitek melainkan lebih dari itu: siapakah aku, manusia?”.

Domi mengeluarkan 2 sachet kopi kapal api dan menyeduhnya. Sembari menghirup aromanya dia berkata, “Kalau saya boleh bertanya: siapakah kamu?”.

“Saya? Hmm … saya Fitriana. Saya mahasiswi arsitektur. Rambutku keriting, keturunan Banten, single …”.

“Ah, ya. Keberadaan kamu diakui karena kamu mahasiswi arsitektur, calon arsitek ternama. Tetapi, seandainya kamu bukan lagi mahasiswi arsitektur, apakah kamu bukan lagi Fitriana. Jika kamu tidak lagi keriting dan single apakah kamu menjadi orang lain. Aku tetaplah aku. Bukan begitu?”.

Fitriana, sang mahasiswi itu tersenyum. Masih didengarnya Domi menguraikan panjang lebar bahwa arsitek, seperti halnya ‘rambut keriting’ dan ‘mahasiswi arsitektur’, dia tidak lebih dari sebuah nama yang diberikan oleh mahluk yang bernama manusia. Sebuah atribut yang ditempelkan pada diri manusia. Maka, manusialah yang menentukan keberadaan arsitek dan bukan sebaliknya.

“Tetapi, kata arsitek juga punya kesejatian”, sanggah Fitri, “jika tidak dia tidak lebih dari sekedar tempelan tanpa nilai. Bukankah dibalik kata itu tercermin suatu tanggungjawab yang mulia?”.

“Kata arsitek memang mengemban tanggungjawab yang mulia”, sanggah balik Domi, “sebagai pembangun lingkungan buatan. Tetapi sebuah lingkungan buatan sejatinya hanya sarana dalam kehidupan manusia. Dia adalah objek dan manusialah subjeknya. Maka, manusia harus menjadi tujuan utama. Dan siapakah manusia? Ah, dia bukan mahluk sekedar fisik, tetapi lebih dari itu adalah juga jiwa yang memiliki unsur adi-kodrati. Jadi, kalau arsitek ingin memiliki nilai maka dia pun harus melampaui maknanya lebih dari sekedar pembangun fisik”.

Kopi belum lagi dingin, tetapi hari menjelang malam dan mereka segera ingin kembali ke rumah masing-masing. Sembari keluar studio mereka membantu satpam mematikan lampu dan membersihkan sisa-sisa potongan maket. Fitriana mengucapkan terimakasih dan basa-basi bertanya apakah sang penjaga keamanan itu sempat mudik pada libur lebaran lalu? Dijawab: tidak. Alasannya demi keamanan dan uang lembur lebih yang cukup untuk menutupi beberapa kebutuhan keluarga. Fitriana menanggapi dengan senyum, tetapi dalam hatinya ada kesejukan karena mulai mampu melihat beberapa hal dalam realitas secara arif.

No comments: