Wednesday, September 21, 2011

Merayakan Kegilaan

Baru-baru ini seorang teman menuliskan statusnya pada sebuah situs jaringan sosial di internet. Demikian dia menulis: “Melepaskan segala hal. Masuk dalam zona ketidaknyamanan”. Tidak lama kemudian muncul banyak tanggapan. Banyak yang mempertanyakan kenapa harus keluar sedangkan banyak orang sangat menginginkan berada dalam zona tersebut. Tentu, ini hanya status yang barangkali ditulis sebagai keisengan belaka. Tetapi ada yang menarik dari beberapa tanggapan yang saya baca, yaitu mereka menyebut teman saya gila. Sebuah kegilaan ketika seseorang berani keluar dari zona nyaman.


Definisi Gila

Kata ‘gila’, menurut pandangan umum psikologi memiliki arti schizofrenia atau kepribadian yang terpecah. Ada ketidaksesuaian antara yang dipikirkan dengan realitas. Tetapi ada juga definisi gila pada versi populer. Misalnya dalam industri periklanan, kata gila sering dipakai oleh para copywriters untuk memberi tekanan pada produk yang diiklankan. Begitu juga dalam kehidupan sehari-hari, kata gila dipakai untuk menjelaskan suatu perilaku yang melampaui perilaku umum dengan tetap sadar. Ada pelampauan makna kata gila dari arti yang sesungguhnya menjadi kata yang bisa disandangkan pada siapapun yang sehat secara mental. Sebagai contoh, kita sering mendengar ungkapan “gila kamu!”. Kata gila disandangkan pada orang yang tidak mengidap schizofrenia.

Permainan bahasa seperti itu berkesan sembrono. Tetapi, jika dilihat dari sudut pandang yang lain, ini adalah sebuah karikatur yang sebetulnya hendak mengatakan bahwa banyak manusia sekarang yang “tidak waras” meskipun secara fisik dan nalar terlihat sehat. Kalau memang demikian yang terjadi, rasanya wajar saja, mengingat manusia postmodern di jaman ini hidup dalam ketidakpastian yang membuat jiwa terpecah. Hidup dalam tegangan antara dua atau lebih nilai yang berlawanan pada satu tubuh, yang dalam bahasa Jacques Derrida disebut double-gesture: rajin beribadah tetapi selingkuh, rajin berderma tetapi melakukan korupsi, merasa diri laki-laki sekaligus perempuan, memilih selibat tanpa bisa menolak hasrat, dan lain sebagainya. Manusia hidup dalam situasi yang serba tidak pasti. Masih menurut Derrida dan juga Nietzsche, ketidakpastian harus ditunda dan disikapi dengan terbuka, dan dimaknai sebagai bagian dari menerima kehidupan secara nyata. Terburu-buru menentukan sebuah kepastian bukanlah cara yang tepat karena dikhawatirkan akan terjebak pada sikap melarikan diri dari kenyataan. Ketidakpastian harus dirayakan. Atau dengan kata lain kegilaan harus dirayakan.


Merayakan Kegilaan

Ini adalah suatu sikap optimis dalam menghadapi realitas yang selalu berubah. Sikap optimis di sini tidak merujuk kepada keyakinan akan masa depan yang pasti melainkan keberanian untuk tetap memiliki cita-cita dan menghadapi situasi yang tidak pasti di depan. Kata kuncinya adalah pengosongan diri. Artinya, dengan sadar membuka diri terhadap kenyataan dunia yang terus berubah, dan menafsirkannya. Menafsir tidak sekedar menerima data-data yang diberikan oleh kenyataan dan mengartikannya, tetapi juga meramunya dengan cita-cita yang dipunyai, sesederhana apapun itu. Keduanya dibenturkan, dan hasilnya adalah sebuah sintesis yang harus diterima dengan terbuka juga.

Sebagian besar manusia hidup dalam ketidakpastian. Banyak yang hidup dalam situasi tidak ideal (secara ekonomi, status sosial, kegembiraan dalam bekerja). Karena tidak ada pilihan lain maka dia harus bertahan agar dapat terus hidup. Menghadapi situasi seperti ini banyak di antaranya yang menerima hidup sumarah pada situasi yang ada, tetapi ada juga yang dengan sadar berani “menantang badai” demi mempertahankan cita-citanya, bahkan menjadi berkat bagi banyak orang. Figur-figur seperti ini bisa ditemukan, misalnya pada diri beberapa orang yang bekerja di luar negeri sebagai buruh. Cita-cita mereka mungkin sederhana, yaitu ingin hidup layak. Karena sulit memperoleh kesempatan di Indonesia maka mereka pergi ke luar negeri, meskipun harus berhadapan dengan ketidakpastian seperti tidak diberikan pelatihan, birokrasi yang rumit dan memakan biaya, kesulitan dalam mengurus surat. Tidak hanya ketidakpastian tetapi juga penyiksaan dan pelecehan, misalnya penyiksaan fisik, pemerkosaan, gaji tidak dibayar. Namun demikian banyak yang tetap tidak jera dan memilih untuk terjun bebas kembali lagi. Atau cerita tentang kesetiaan orang-orang yang dengan jujur bekerja untuk mengangkat eksistensi dan keselamatan orang-orang yang terpinggirkan. Seperti Teresa dari Kalkuta misalnya, dimana melalui pekerjaannya dia berhadapan dengan banyak ketidakpastian dalam hidup, bahkan relasi antara dirinya dengan tuhannya, yang dia sebut sebagai 50 tahun kekeringan!

Contoh di atas tidak dimaksudkan untuk mengatakan suatu kebenaran, tetapi untuk memberi gambaran bahwa ada orang-orang yang berani terjun ke dalam ketidakpastian. Di dalam ketidakpastian itu mereka bertahan dengan cara membuka diri kepada kenyataan yang terus berubah, menafsir, dan meramu menjadi sebuah sintesis yang pada gilirannya akan dipertanyakan dan ditafsir lagi. Mungkin mereka tidak menolak kemapanan, bahkan merindukan. Tetapi kesadaran untuk masuk dalam ketidakpastian dengan sendirinya membuat mereka tidak mapan. Orang akan mengatakan mereka : GILA! Orang mengatakan mereka bodoh karena hanya mengikuti arus ketidakpastian. Tetapi berani memilih masuk dalam ketidakpastian dengan sadar, bukankah ini menandakan mereka sebagai subyek yang mandiri? Buah dari renaissance. Dan diakui banyak dari mereka yang menyumbang perubahan dunia. Kita bisa belajar dari kasus Galileo Galilei, Christopher Columbus, dan masih banyak lagi. Untuk mengubah dunia memang dibutuhkan orang gila yang berani melihat kenyataan jauh ke dalam.

(Tulisan untuk buletin Cogito 2011)

1. http://www.indonesiango.org/id/nasional/laporan-khusus/502-tenaga-kerja-indonesia-di-luar-negeri-sumber-devisa-yang-malang. Diunduh: 24 desember 2010, pk.18.05 wib.

2. Magnis-Suseno, Franz, Pijar-pijar Filsafat: Dari Gatholoco ke Filsafat Perempuan, dari Adam Muller ke Postmodernisme, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2005.

3. Royle, Nicholas, Jacques Derrida, Routledge, New York, 2003.

4. Woodruff S,ith, David, Husserl, Routledge, New York, 2007.

1 comment:

mkbmssps.blogspot.com said...

merayakan kegilaan. ketidak pastian itu memang menakutkan dan pantas kalo orang yang memilih jalan itu disebut sebagai "gila". terjemahan gila menurutku = superhebat jika orang mampu bertahan dengan sukses (bahagia)ditengah ketidakpastian itu.