Tuesday, September 6, 2011

Cika, Aku [Mencintaimu]: Dekonstruksi, Posmodernisme, dan Cinta

Manusia sekarang hidup dalam era posmodern. Posmodern hadir mengkritik paradigma modern yang hadir sebelumnya. Modernisme menciptakan kebenaran universal dengan sifatnya yang monoton, positivistik, rasionalistik, dan teknosentris. Hal ini sama saja dengan membelenggu kebebasan, dan oleh karenanya dianggap gagal menyelesaikan proyek pencerahan. [1]

Dekonstruksi, salah satu aliran filsafat posmodern yang dikembangkan oleh Jacques Derrida, memiliki watak yang bertolak belakang dari modernisme, yaitu lebih mementingkan emosi daripada rasio, mementingkan media daripada isi, tanda dan makna, kemungkinan daripada kepastian.[2] Dekonstruksi mengkritik modernisme, terutama dalam menciptakan kebenaran universal. Bagi Derrida dunia penuh ketidakpastian, sehingga tidak perlu ditentukan sebuah kebenaran. Ketidakpastian harus dirayakan dan digali lebih dalam makna-maknanya. Manusia berhak menafsirkan konteks kehidupannya secara bebas, guna menemukan makna baru sebagai alat untuk berhadapan dengan kehidupan yang selalu berubah. Sebagai upaya pembebasan, dekonstruksi hidup subur di tengah maraknya ketidakpastian dunia. Dengan dukungan kemajuan ekonomi dan media informasi, dekonstruksi mendapatkan wadah ‘menyuarakan asiprasinya’ lewat bidang-bidang yang bersifat kreatif dan ‘lentur’ dari kepastian, seperti seni, sastra, desain, dan arsitektur.

Dekonstruksi juga hadir dalam diri manusia yang bertanya akan dirinya dalam menghadapi ketidakpastian dunia. Dekonstruksi bermain dalam tataran refleksi dengan cara menunda kebenaran, dan menggali makna-makna baru dari sebuah pengalaman. Misalnya menggali makna cinta yang menjadi kegelisahan dan pertanyaan manusia posmodern. Hasilnya bukan sebuah kesimpulan. Dekonstruksi tidak menawarkan kesimpulan dan kepastian apapun, kecuali data berupa makna baru yang harus ditanggapi secara bebas. Melalui tulisan ini saya mencoba menjelaskan bagaimana dekonstruksi hidup dan bergerak memperbarui makna cinta.

Dekonstruksi

Sejarah filsafat barat menyebutkan orang-orang yang tidak pernah puas dengan kemapanan, baik sistem yang mengatur kehidupan maupun cara berpikir. Mereka mengkritik kemapanan, bahkan jika itu dikemas dalam wujud filsafat sekalipun. Dekonstruksi, sebuah teori yang dibentuk oleh Jacques Derrida, adalah salah satunya. Jacques Derrida lahir di Algerian, Perancis pada tahun 1930. Dia memperoleh pendidikan di Ecole Normale Superieure dan Harvard University. Pandangan filsafatnya dipengaruhi oleh Sartre, Husserl, Heiddeger, dan Saussure. [3]

Pengaruh Modernisme

Ketika teori ini muncul, Eropa sedang dilanda Postmodernism, di mana Derrida sendiri dikenal sebagai seorang salah seorang tokoh yang berpengaruh di dalamnya. Teori yang kemunculannya dipelopori oleh arsitektur ini mencoba menggali lagi identitas manusia yang sebelumnya, karena pengaruh modernisme, menjadi seragam. Perang dunia I dan II membuahkan kehancuran hampir di seluruh Eropa, termasuk kehancuran ekonomi, kota, serta ruang-ruang tempat manusia bekerja dan melangsungkan kehidupan.

Adalah Bauhaus, sebuah sekolah yang didirikan di Wiemar Jerman (1919), yang turut menyumbang konsep infrastruktur baru untuk membangun kembali tata kehidupan masyarakat Eropa yang hancur, terutama di Jerman. Dengan tetap mengedepankan semangat pencerahan yang menganggap manusia sebagai pusat dari alam, mereka berpendapat teknologi adalah alat terbaik untuk melangsungkan kehidupan. Segala hal di luar rasio dan bersifat romantis ditolak dengan alasan ekonomi, simbol, sejarah, dan identitas budaya. Mereka menciptakan ruang dan nilai-nilai dengan gaya layaknya mesin yang serba fungsional dengan gaya bercorak teknologis-matematis. Gaya tersebut dianggap yang paling benar dan layak diterapkan di belahan dunia manapun. [4]

Namun, tiba saatnya kondisi ekonomi mulai membaik. Daya beli masyarakat meningkat, begitu pula kemampuan apresiasi. Manusia mulai merindukan nilai-nilai yang tidak lagi sekedar fungsional. Di titik ini posmodernisme hadir dengan sikap mandiri. Berawal dari arsitektur, posmodern berkembang mempengaruhi sastra dan sendi-sendi kehidupan lainnya. Tetapi meskipun berupaya menggali kembali identitas, tampaknya posmodern tidak ‘melepaskan kedua kakinya’ dari paham modern, setidaknya pada nilai rasionalitas. Tetapi paham kebenaran yang bersifat universal ditolak. Sebagai gantinya kebenaran dianggap ada pada ruang pribadi masing-masing tanpa merasa perlu berdialog dengan perbedaan. Dengan demikian tercipta individualisme.

Identitas ditempatkan sebagai simbol belaka, tetapi dirinya tetap bentukan dari struktur modern. Maka tak heran, di mata para pembencinya, posmodern tidak lebih dari sekedar topeng dan fashion belaka. Dalam memandang fenomena empiris, para pemikir posmodern memandang rendah pengaruh dari luar diri manusia. Misalnya, ketika manusia berbicara, kata dan kalimat yang diucapkan hanya menjadi kata dan kalimat belaka. Tidak ada pengaruh apapun dari ruang dan waktu yang dilaluinya. Bahasa dan teks saling tumpang tindih. Tidak perlu ada sebuah ‘kesimpulan’.

Jadilah Bebas!

Di antara filsuf posmodern, Jacques Derrida termasuk salah seorang yang memberi pengaruh. Dengan menolak nilai transendental, Derrida bermaksud mengkritik filsafat metaphysics of presence (metafisika kehadiran) yang membungkus pemikiran filsafat barat. Metaphysics of presence adalah tradisi dalam filsafat yang berpikir akan sesuatu yang belum tentu ada, tetapi diyakini keberadaannya, bahkan dipastikan. Sikap memastikan ini yang ditolak oleh Derrida, yang dia katakan sebagai Logocentris. Kecenderungan metafisika barat adalah membangun sebuah kepastian. Bagi Derrida hal ini bertolak belakang dengan kenyataan, bahwa realitas selalu berubah dan bergerak. Dengan demikian Dekonstruksi tampil dengan wajah skeptis dan antifondasional, seperti halnya David Hume dan Nietzche. Namun demikian, Derrida menolak sikapnya disebut perusakan (destruction) seperti yang dilakukan oleh Heiddeger terhadap filsafat Hegel dan Husserl. Dia lebih memilih kata pembongkaran (deconstruction), di mana unsur metafisika tidak seluruhnya dihilangkan. [5]

Pada dasarnya Derrida adalah seorang pemikir konservatif yang menghormati sejarah dan tradisi dengan dasar sikap yang disebutnya sebagai double-gesture, yaitu semacam tegangan dalam diri sendiri, antara penghormatan dan pelecehan, kesetiaan dan pelanggaran, ikatan dan kemerdekaan, description dan transformation. Baginya kehidupan (politik, moral, etika, budaya, filsafat, bahasa, agama, nasionalisme, identitas, dan lain sebagainya) selalu bergerak dan berubah di antara tegangan atau double-gesture. [6]

Untuk itu manusia hendaknya bersikap bebas dalam menanggapinya, bahkan terbuka untuk memikirkan ulang maknanya. Bebas berarti boleh melakukan apapun, sejauh manusia tidak menolak kebebasan itu sendiri yang diberikan kepadanya. Dengan bersikap bebas manusia akan menemukan nilai-nilai baru. Bahkan, nilai baru yang ditemukan perlu dipikir ulang lagi, diperdalam lagi maknanya, sehingga kemudian ditemukan makna yang lebih baru lagi; sebuah pencerahan yang selalu baru (new enlightenment). [7]

Teks

Karya-karya Jacques Derrida difokuskan pada bahasa dan tulisan. Kebebasan dilakukan dengan mengkaji ulang teks. Derrida menolak anggapan bahwa teks adalah sekedar kata atau bahasa. Teks, dalam bahasa dekonstruksi, merupakan jalinan (diambil dari kata textere, bahasa latin; ‘tenunan’) yang memiliki banyak dimensi untuk dipahami. Teks adalah dampak dari rekam-jejak kehidupan (konteks). Di tangan dekonstruksi, teks menjadi demikian hidup dan jujur pada dirinya. [8]

Konteks

Dekonstruksi menempatkan konteks sebagai sistem yang berhubungan dengan teks dan memberinya perhatian secara tajam. Konteks adalah dasar yang membuat teks memiliki arti. Konteks adalah fondasi bagi struktur (teks) dan bangunan bahasa secara keseluruhan. Jika fondasi melenceng dari konsep yang sudah ‘’ditentukan’’ pada dirinya, maka struktur dan bangunan bahasa pun akan melenceng pula. Konteks adalah lebenswelt, dunia atau kehidupan dengan segala unsur pembentuknya: kehidupan, kenyataan, sejarah, obrolan, diskusi, dan lain sebagainya. Suatu konteks harus terus diteliti dan dijaga, agar tetap seperti apa adanya dirinya, juga dalam pengembangannya. Tidak boleh ada makna yang dibiarkan lepas dari konteks. Dengan tidak membiarkan konteks dipengaruhi nilai-nilai di luar dirinya, maka akan menjadi dasar yang kuat bagi munculnya teks yang jujur pada dirinya. [9]

Differance

Artinya adalah ‘kata dalam kata’, yang berasal dari bahasa Perancis, namun tidak terdapat dalam kamus. Derridalah penciptanya. Diambil dari kata dalam bahasa Inggris; difference, yang berarti perbedaan, dan kata differer. Kata differer memiliki dua arti; pertama bersifat intransitif, yang mempunyai arti ‘bertolak belakang’. Yang kedua bersifat transitif, yang berarti menunda atau menangguhkan. Kata differance merupakan penggabungan kedua kata asal tersebut, sehingga mengacu pada makna penangguhan dan pembedaan waktu. [10]

Differance juga berbicara tentang pembalikan sebagai konsekuensi menunda makna, seperti benar sekaligus salah, baik sekaligus jahat, dan hitam sekaligus putih. Dalam dekonstruksi gejala ini selalu hidup dan ada, tetapi tidak seperti konsep metafisika barat. Derrida melihat dua masalah dalam konsep ‘ada’ menurut metafisika barat (metaphysiscs of presence), yaitu :

  1. Pengertian ‘ada’ tidak semudah yang dibayangkan. Dia menolak gagasan ‘ada’ sebagai present. Present dalam pengertian ‘saat’ (here and now) mengandaikan, bahwa sesuatu bisa dikenali. Sedangkan bagi Derrida manusia tidak bisa mengenali secara pasti apa yang terjadi di masa lampau dan masa depan. Untuk memperoleh suatu pengetahuan, manusia mengandalkan pengalaman perseptual saat ini.
  2. Kedua, konsep ‘ada’ menimbulkan hirarki. Yang satu mendominasi yang lain, misal ‘yang-ada’ dibandingkan dengan ‘yang-tidak ada’. Melalui difference, dekonstruksi bermaksud meneliti apa yang tidak tampak dan disembunyikan, serta membalik atau memundurkan hirarki. [11]

Iterability

Iterability, berasal dari kata iter, latin; ‘again’ dan itara, sanskrit; ‘other’, yang berarti pengulangan. Atau dalam arti lain, iterability dalam dekonstruksi adalah struktur yang memungkinkan terjadinya pengulangan. Suatu kata atau tanda akan memperoleh makna barunya, jika terus diulang. Melalui pengulangan sebuah bahasa dimungkinkan menjadi kalimat-kalimat baru. Tetapi, meskipun terjadi pengulangan, kalimat tersebut haruslah tetap dapat ditelusuri asal kalimatnya, meskipun si penulis sudah tiada. [12]

Penciptaan Makna Baru

Derrida mendeskripsikan ulang teks yang ditelitinya, katakanlah tulisan yang tentang Plato misalnya, tetapi tidak berhenti pada pemaparan. Dia melakukan transformasi pada tulisan Plato tersebut untuk menciptakan sesuatu yang baru. Dia meneliti kata dan memainkan bahasa dengan cara yang disebut ‘Free-play’. Dia memainkan bahasa, tetapi memainkan bahasa baginya berbeda arti dengan bermain dengan bahasa. Memainkan bahasa bagi Derrida bukan sebuah cara yang sederhana, seperti halnya permainan anak-anak, melainkan sebuah sikap ketertarikan akan kejujuran dalam menyelami bahasa, mendalaminya lebih dari sekedar yang tampak sebagai kata-kata. [13]

Pencarian makna bahasa tidak boleh berhenti pada keputusan akhir (yang pada paragraf sebelumnya di sebut logocentris). Dekonstruksi tidak mengenal titik akhir. Dekonstruksi selalu mempertanyakan secara kritis pendapat apapun yang bersifat dogma, baik agama maupun politik, di luar kekuatan manusia. Dalam kajian terhadap teks, ketika hal tersebut terjadi, yaitu ketika ada kata yang dicurigai akan mengarah pada suatu ‘dogma’, maka harus dilakukan ‘pengurungan’ (suspended) pada kata tersebut. Dibiarkan mengambang dalam ketidakpastian, diperdalam lagi maknanya sampai akhirnya menampakkan kebenarannya. Pun, ketika kebenarannya mulai tampak, harus dikurung dan dipertajam lagi, terus dan terus. Penciptaan makna baru ini akan menampakkan makna dan gaya yang luar biasa. Di tangan Derrida, sebuah teks akan menjadi hidup dan selalu memiliki makna baru. [14]

Keyakinan dalam Dekonstruksi

Derrida, melalui karya-karyanya, mencoba menjelaskan hasrat membaca dan menulis sebuah teks dengan cara yang baru, di mana dia memainkan bahasa, mengubah bahasa, untuk mencari makna yang tak terbatas dan tidak berhenti pada suatu kepastian atau dogmatisme. Tetapi pada waktu yang sama, dia tetap mempertahankan memory dan tradisi. Dia membuat ‘tegangan’ dan ketidakpastian pada teks dengan cara ‘mengurung’. Teks dibiarkan dalam ketidakpastian, bergerak-meronta, dan menampakkan dimensi lain pada dirinya. [15]

Dekonstruksi di Kehidupan Sehari-hari

Bermain di Ruang Antara

Ruang antara, atau sering disebut in-between, bukan sebuah ruang dalam arti sesungguhnya, melainkan sebuah situasi transisi, berada di antara dua atau lebih tegangan. Manusia posmodern berada di dalam tegangan itu. Jacques Derrida menyebutnya sebagai double-gesture; antara ingin bebas mandiri atau mengikuti tradisi, antara ingin menabung atau menyumbang orang tua yang sakit, antara menjadi seorang executive bergaji tinggi tetapi terikat atau menjadi pengusaha bebas yang dibebani bonus dan tunjangan, antara berpasangan bebas atau menikah, antara menikah atau selibat, antara ingin menjadi laki-laki atau perempuan, dan seterusnya.

Dalam menghadapi tegangan, manusia membutuhkan suatu pegangan, suatu kepastian. Tetapi di dunia tidak ada yang pasti. Manusia menjadi sceptic dan merasa terasing dalam keramaian. Untuk itu diciptakanlah kepastian menurut dirinya. Tetapi menciptakan suatu kepastian juga tidak memberikan pemecahan atas masalah. Misalnya, seseorang yang memutuskan untuk menikah karena ingin memperoleh ketenangan hidup, akan meralat pernyataannya tersebut beberapa tahun kemudian. Dalam beberapa kasus di kota-kota Metropolitan, pertanyaan seperti ini sering ‘dijawab’ melalui perselingkuhan, yang bahkan didasari kesadaran penuh. Selingkuh dijadikan alat untuk mencari jawaban atas ketidakpastian, baik dalam konteks relasi dengan pasangan atau diri sendiri, padahal dalam diri selingkuh sendiri tertanam ketidakpastian.

Dekonstruksi sangat menentang suatu struktur kepastian. Satu-satunya kepastian adalah ketidakpastian, karena realitas selalu berubah. Seperti Herakleitos yang berpendapat kebenaran bersifat relatif, atau Nietzche yang sangat sceptic menghadapi kemapanan, maka dekonstruksi menjadi demikian hidup dalam ranah ruang antara (in-between) atau tegangan seperti yang dialami manusia posmodern. Menjadi demikian hidup artinya tidak sekedar berhenti pada scepticism, tetapi melalui tegangan ditemukan makna-makna baru

Memaknai [Cinta]

Salah satu topik yang digemari di kalangan manusia sekarang adalah pertanyaan tentang cinta dan relasi. Kedua kata itu memiliki hubungan yang erat dengan diri manusia, karena manusia adalah bagian dari person. Manusia disebut person karena dibentuk oleh kedua unsur tersebut, yaitu cinta, dan adanya cinta tidak lepas dari adanya relasi. Fenomena di masyarakat saat ini menunjukkan, bahwa cinta bukan lagi dianggap sebagai sesuatu yang tidak tersentuh, yang sangat dijaga dengan hati-hati pada awalnya dengan seperangkat norma, tetapi kesudahannya dibiarkan rusak. Orang muda mulai berani menentang paradigma lama, bahwa cinta berarti keseriusan hubungan, menyambangi kekasih hanya pada hari Sabtu malam, bercengkerama di ruang tamu, atau pergi bersama kekasih dan keluarganya. Cinta bukan lagi sebuah ‘benda sakral’, tetapi proses pencarian yang terus menerus digali maknanya. Kenyataan yang diperoleh dari proses pencarian itu hanya dapat dimaknai secara berbeda oleh tiap individu.

Demikian juga halnya manusia berada dalam tegangan, demikian juga cinta dan relasi berada dalam tegangan, sehingga muncul pertanyaan: Apakah cinta identik dengan suatu hubungan yang serius? Apakah berseksual tanpa hubungan serius meniadakan cinta? Apakah cinta sejatinya ada sebagai sebuah kenyataan yang membuka diri kepada siapapun atau harus diresmikan lewat pengakuan? Apakah sebuah pernikahan membuktikan kedalaman cinta?

Orang-orang Jawa lama bahkan memiliki keyakinan, bahwa pernikahan tidak perlu didasari cinta. Cinta akan datang dengan sendirinya kata mereka, dengan kata lain: karena terbiasa. Dekonstruksi ‘bermain’ dalam proses pencarian ini, mempertanyakan, dan memperdalam. Dekonstruksi akan mengambil cinta dari tempatnya yang sakral, dan meletakkan di tangan; dibolak-balik, diraba, dilihat jauh lebih dalam.

Dalam tulisan ini pencarian makna cinta ini akan saya coba jelaskan melalui sebuah pengalaman relasi dengan seorang perempuan. Cika namanya. Dikatakan relasi juga kurang tepat sebetulnya, karena tidak ada ikatan apapun di antara kami. Kami hanya bertemu sejenak, tetapi di dalam perjumpaan yang tanpa ikatan itu muncul rasa suka yang membuat kami ingin mengerti lebih dalam. Seperti ada misteri yang berulang memanggil, mengeluarkan beragam rasa yang saling berbenturan: antara rasa sayang dan baru kenal, antara hormat dan nafsu, antara ingin merengkuh dan tidak ingin terikat. Maka, setelah sekian janji yang tertunda kami berjumpa di sebuah kafe di bilangan Jakarta Selatan.

“Kami memilih duduk di sudut yang tidak terlalu terang dan dindingnya penuh dengan foto black and white dan poster iklan kuno. Saya mengamati poster-poster. Ada beberapa gambar iklan lama itu yang saya suka. Entah kenapa gambar-gambar kuno itu berubah jadi eksotis dan mahal, apalagi dengan diterangi lampu berwarna lembut. Sebetulnya ini bukan kali pertama saya datang dan melihatnya. Jadi, batinku sulit menipu diri bahwa aku melihat gambar-gambar tersebut hanya sebagai upaya mengusir kegelisahan saja. Gelisah karena bingung bagaimana harus bersikap menghadapi perempuan di hadapanku. Mengobral cerita dan pamer diri? Apa yang bisa dipamerkan? Bersikap formal dan menjaga kesantunan? Aneh … jujur dalam hatiku aku ingin bersikap tidak santun. Dia cantik. Mata hati estetikaku tidak bisa menipu.

Cika juga mengamati gambar-gambar itu. Maka kami berbincang serius tentang estetika, desain, dan lain sebagainya. Sembari black coffee dihidangkan kami bertatap mata sambil tertawa. Tertawa mencairkan suasana. Tiba-tiba suasana mendadak hening lagi. Dan saya yang tidak suka dengan suasana janggal mengambil inisiatif membincangkan desain interior cafe ini, di mana kami mengenal desainernya. Kami berbicara tentang beberapa karyanya yang terkenal, pemikirannya, dan gosip-gosip di seputar kehidupannya. Sampai mata kamu bertemu agak lama dengan tatapan mata tajam, dan (lagi-lagi) hening … dan suatu enerji mengalir begitu saja ke dalam tanganku. Bukan, bukan ke tangan. Mungkin ke hati. Entah. Tapi senyatanya tanganku sudah menggenggam tangannya yang putih porselen Cina. Jantungku berdebar keras memicu adrenalin, menguatkan hati siap menerima tamparan penolakan. Tapi dia membalas dengan genggaman yang lebih dalam. Tidak hanya membalas, dia bahkan berinisiatif mengatakan : I love you. Dan aku membalas : aku juga. Setelah pertemuan itu kami jarang berjumpa, sampai akhirnya tidak sama sekali. Tanpa perasaan bersalah dan tuntutan apapun. Sering saya berpikir kenapa berani melakukan kontak fisik dan menyatakan cinta tanpa memutuskan apapun.”

Setiap saya merefleksikan peristiwa itu, yaitu waktu saya membalas mengatakan cinta dan memegang tangannya tanpa status di antara kami, terasa ada tegangan tarik-menarik dan saling berbenturan dibalik kata cinta yang terucap: antara cinta dan hasrat, antara sayang dan nafsu berseksual, antara paras malaikat dan bibir yang sensual, antara menikah dan tidak menikah, antara kebebasan dan ikatan tradisi. Tetapi saya menyukai tegangan ini. Seksi sekali. Seperti kenikmatan bungy jumping, seperti kenikmatan dihempas-pasrah ombak setinggi tiga meter tetapi tidak mati, seperti pertemuan yang nyaris terjadi antara bibir dua kekasih waktu tiba-tiba ibu sang kekasih masuk ke kamar dan menemukan mereka berdua dalam kondisi pakaian serba berantakan. Dekonstruksi bermain dalam ‘keseksian’ itu: samar, mengambang, dibiarkan tidak pasti, tetapi memberikan rasa penasaran, consciousness of intensionality[16] terhadap sesuatu ‘di balik sana’ yang serba misterius dan muncul sebagai fenomena yang menampakkan diri. Kata cinta dikurung: [cinta]. Melakukan kontak fisik tidak berarti cinta, atau sebaliknya cinta mengijinkan kontak fisik tanpa kejelasan status. Kata cinta ditunda kepastiannya, yang justru memberi keinginan untuk tahu dan mengenal lebih dalam: ada dimana cinta? Milik siapa? Mana batas dan perbedaan antara cinta, suka dan nafsu? Pertanyaan ini seperti sesuatu yang meronta dan bergerak, yaitu keinginan untuk menemukan makna-makna baru lagi. Tidak ada kepastian memang, tetapi akan berbeda situasinya, ketika cinta langsung dinyatakan dengan status yang lebih serius misalnya. Berkembang dan memiliki makna baru memang, tetapi barangkali penuh intervensi dari luar pada konteksnya. Cinta belum sempat mengeluarkan apa adanya dirinya. Cinta tidak menjadi dirinya. Dan kalau cinta adalah unsur pembentuk manusia, maka membiarkan cinta tidak menjadi dirinya sama saja membiarkan manusia tidak menjadi dirinya sendiri.

Berbicara tentang dekonstruksi berarti sepakat, bahwa tidak ada kesimpulan apapun. Satu-satunya kesimpulan adalah tidak ada kesimpulan. Kesimpulan dalam dekonstruksi, seperti halnya dialektika Hegel, bersifat sintesis yang nantinya berubah lagi menjadi thesis dan anti-thesis, dan memunculkan sintesis baru, dan seterusnya. Begitu juga dengan ‘pengalaman cinta’ di atas. Tidak ada kesimpulan darinya. Tetapi kalau pun diharuskan membuat sebuah kesimpulan atas pengalaman cinta yang singkat itu, jawabannya adalah saya [mencintainya]. Saya menyukainya, tetapi menjadikannya sebuah kepastian tampak sulit karena cinta itu seperti horizon. Dia ada tetapi ketika didekati dia menjauh. Bagi dekonstruksi lebih baik menyelami dan menggali maknanya cinta tersebut, daripada memberi kepastian. Kalaupun terjadi sebuah keputusan bukan karena sikap memastikan tetapi sebuah sintesis, menanggapi fenomena yang muncul dari cinta tersebut dan dari konteks kehidupan dan bermain di dalamnya.

Kata Penutup

Dekonstruksi, seperti halnya posmodern sendiri, bukanlah sebuah aliran. Dia adalah gabungan antara cara berpikir dan metode. Sebuah alat seperti mikroskop untuk melihat kedalaman manusia dan kehidupannya. Sebuah cara untuk melakukan refleksi kehidupan manusia. Dekonstruksi sebagai metode hanya akan berjalan, jika manusia jujur terhadap diri dan konteks hidupnya, dan membiarkan keduanya membuka diri.

Daftar Pustaka

  1. Brown, Stuart, One Hundred Twentieth-Century Philosophers, Routledge, 1998
  1. Gunana, S, Sri, “Gerakan Arsitektur Modern”, FT. Arsitektur Univ. Sumatera Utara, Medan, 2004.
  1. H. Istanto, Freddy, “Dekonstruksi dalam Desain Komunikasi Visual: Sebuah Penjelajahankemungkinan”, Nirmana Vol.5 no.1, Univ. Petra, Surabaya, 2003, hal. 54
  1. Magnis-Suseno, Franz, Pijar-pijar Filsafat: Dari Gatholoco ke Filsafat Perempuan, dari Adam Muller ke Posmodernismee, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2005.
  1. Royle, Nicholas, Jacques Derrida, Routledge, 2003
  1. Siswanto, Joko, Sistem-sistem Metafisika Barat, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1998.

[1] S. Heryanto, “Tantangan Posmodern Terhadap Iman Kristen”, www.heryanto.com, 2010, hal 1

[2] Ibid., hal. 1

[3] Siswanto, Joko, Sistem-sistem Metafisika Barat, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1998

[4] Gunana, S, Sri, “Gerakan Arsitektur Modern”, FT. Arsitektur Univ. Sumatera Utara, Medan, 2004 hal. 6

[5] Royle, Nicholas, Jacques Derrida, Routledge, 2003, hal. 31 dan Brown, Stuart, One Hundred Twentieth-Century Philosophers, Routledge, 1998, hal. 41

[6] Royle, Nicholas, Jacques Derrida, hal. 31

[7] Ibid, hal. 34-35

[8] Royle, Nicholas, Jacques Derrida, Routledge, 2003, hal. 61

[9] Ibid, hal. 65

[10] H. Istanto, Freddy, “Dekonstruksi dalam Desain Komunikasi Visual: Sebuah Penjelajahankemungkinan”, Nirmana Vol.5 no.1, Univ. Petra, Surabaya, 2003, hal. 54

[11] Ibid, hal. 55

[12] Royle, Nicholas, Jacques Derrida, Routledge, 2003, hal. 67

[13] Id, hal. 33

[14] Ibid, hal. 33

[15] Royle, Nicholas, Jacques Derrida, Routledge, 2003, hal. 35

[16] Unsur kesadaran dalam fenomenologi Edmund Husserl

4 comments:

mkbmssps.blogspot.com said...

Jero (Dalam). nurutku pendapat Derrida ttng double-gesture itu tepat. selalu ada tegangan dalam diri manusia, antara penghormatan dan pelecehan, antara kesetiaan dan pelanggaran, ikatan dan kemerdekaan.
sebagai manusia...aku bebas memilih mana yang akan kuikuti. seringkali aku salah jalan/milih ketika harus berhadapan dengan double-gesture itu. namun menurutku justru dengan adanya ketegangan itu dan kekeliruan dalam memilih, karena kebebasanku, hidup itu menjadi penuh makna dan indah. itu seperti bagian dari menata dinding, membentuk rumah. Ada kalanya batu bata harus dipecah, dibongkar, diukur lagi, ditata lagi (pinjam kalimate K Seto :D) sebagai cara memaknai hidup secara baru untuk sebuah "new enlightenment", pemaknaan baru. semoga aku nggak salah nangkap :D

Seto Parama Artho said...

Derrida mengajak untuk berani menggumuli hidup dan kehidupan kita yang terus bergerak dengan menerima secara jujur pula sejarah dan kesejarahan kita. Memang menakutkan apa yang dia katakan bahwa tidak ada kebenaran di dunia, bahkan jika itu disebut agama. Segala hal harus dipertanyakan kembali. Tepat di titik ini, konsep Saint Thomas Aquinas tentang "Veritas" (truth) menjadi relevan; sebagai tantangan untuk terus mencari apa itu kebenaran dengan tidak lari dari segala persoalan hidup kita, sejarah dan kesejarahan kita.

mkbmssps.blogspot.com said...

"Memang menakutkan apa yang dia katakan bahwa tidak ada kebenaran di dunia, bahkan jika itu disebut agama"
Segala hal HARUS dipertanyakan kembali. ya soal "keHARUSan sih memang menakutkan tp soal "mempertanyakan" itu adalah nutrisi.
ngomong soal para Filsuf hahhahaha aku nggak terlalu mudeng. tapi ngomong soal pengalaman, mang juga perlu mempertanyakan segala sstu, bahkan Tuhan Allah. Iman dan kepribadian tuh justru bertumbuh, mengakar kuat ketika berani mempertanyakan Tuhan Allah. setidaknya itu menurut pengalaman.

meski itu sebuah pertanyaan namun itu benar (itulah salah satu kebenaran)

oh ya nurut ka Seto pendapate Thomas Aq itu gimana?

mkbmssps.blogspot.com said...

Thanks. gak sengaja baca nih artikel. so pas mata kuliah Psi Perubahan sosial aku punya modal. n sori aku ngutip beberapa kalimat yg mbantu aku njelasin apa yang aku mengerti ttg topiknya derrida :D. matur nuwun bro