Wednesday, September 7, 2011

Lentera di Pagi Hari

Belum lama Domi tiba di Jogja. Dia datang bersama keluarganya. Selepas meletakkan barang di rumah dan sejenak mengaso, dicarinya penjual gudeg di wilayah dimana dia pernah merayakan masa kecilnya dulu. Diketahuinya bahwa Bu Muh masih berjualan gudeg di tempat itu. Dari penjual gudeg itu dia ingin membeli sarapan untuk Langit, anaknya.

Tempat itu adalah tempat dimana terdapat jalan lurus membentang dengan jajaran pepohonan di sisi kiri-kanannya. Suasana di tempat itu masih terasa nyaman karena tinggi bangunan yang ada di sana tidak lebih dari dua lantai. Jika pagi menjelang wilayah ini menjadi ramai dengan orang-orang yang membeli sarapan. Mereka datang kepada salah satu penjual makanan yang mangkal di tempat ini. Mereka, para pembeli itu, seringkali tampak sebagai orang yang sejenak merayakan kebebasannya sebelum masuk dalam lingkaran rutinitas kerja atau sekolah. Ada yang masih mengenakan kaos tidur lusuh, pakaian kerja lengkap atau seragam sekolah tetapi bersandal jepit.

Mereka berdiri berkerumun di sekeliling penjual makanan yang duduk pada meja bambu rendah dengan beberapa panci di hadapan, celemek di pangkuan dan daun pisang lengkap dengan pisau di sisi kiri atau kanan. Mata para pembeli itu lahap menikmati tangan pedagang yang lihai mengambil daun pisang dan mengelapnya, mengorek gudeg, mengambil lauk yang kadang dipotong atau disuwir menjadi beberapa bagian kecil sesuai pesanan. Seringkali, bahkan bisa dipastikan, seluruh kegiatan itu disanding dengan obrolan; penjual dengan pembeli atau pembeli dengan pembeli. Sebuah keriuhan kecil yang kadang membantu para pembeli dalam merayakan kebebasannya sejenak.

***

Adalah Bu Muh, salah satu dari penjual makanan yang ada di tempat itu. Hampir duapuluh tahun dia berjualan. Dan sejauh diketahui Domi, porsi yang dijual Bu Muh tidaklah besar. Memang ada patokan porsi dan harga tetapi para penjual tradisional seperti Bu Muh selalu terbuka pada apa yang dibutuhkan pembeli. Bahkan pembeli yang hanya membutuhkan sebutir telur dengan kuah areh pun akan dilayani dengan senang hati layaknya seorang raja. Domi pernah merasakan itu.

Tetapi Domi yang sekarang hidup dengan gaji cukup di kota besar sudah terlalu lama membiasakan dirinya membeli tanpa berhitung. Dia berpikir bahwa dengan membeli lebih dia bisa memberi kepada orang banyak. Orang-orang di rumah menjadi tidak kekurangan makanan. Begitu pula para penjual pun akan memperoleh banyak keuntungan. Memanglah demikian yang seharusnya dilakukan oleh mereka yang memiliki uang berlebih; menyalurkan rejekinya kepada orang lain.

Tetapi juga, pagi itu Domi mendapat pengalaman yang mengesan.

Bu Muh tentu saja senang mendapat pesanan porsi besar dari Domi. Dan perempuan yang gemar bercanda dengan pembelinya itu secara kebetulan bertanya untuk siapa porsi makanan sebanyak ini? Apakah keluarga besar sedang berkumpul? Maka Domi yang sudah mengenal Bu Muh sejak kecil menjawab, “Tidak. Yang di rumah hanya bapak, istri dan anakku si Langit. Aku beli bubur buat si Langit saja. Aku dan istriku tidak pernah sarapan. Sedangkan Bapak, ibu tahu sendiri, beliau kalau pagi lebih suka ngopi”.

Bu Muh tertawa. Sembari berbincang tangannya masih menyiapkan pesanan Domi. “Ah, ya ... bapak memang doyan ngopi sejak dulu ya. Lha kalau Langit sekarang umur berapa?”

Dijawab Domi, “tiga tahun”.

Tiba-tiba hening. Tangan Bu Muh berhenti bekerja. Suara kernet di seberang yang sebelumnya terabaikan tiba-tiba jelas terdengar.

Tidak lama Bu Muh berkata lagi, “Kau dan istrimu benar tidak ingin sarapan? Jikalau benar demikian sebaiknya buburnya setengah saja. Juga telurnya. Bolehlah ditambah tahu atau suwir ayam secukupnya. Bagaimana? Sayang kalau tidak habis”.

Semula Domi terkejut juga. Dia terbiasa membayar tanpa penolakan. Tetapi ketulusan Bu Muh menyentuh hatinya dan membiarkan dirinya menerima tawarannya. Ketulusan yang bukan baru kali ini dikenalnya. Ada faktor sejarah dan kesejarahan yang melibatkan Bu Muh dengan Domi. Domi tahu perempuan ini betul-betul tulus. Perempuan yang hidupnya sederhana ini betul-betul ikhlas dalam melayani. Tidak hanya kepada Domi dan keluarga tetapi juga kepada para pembeli yang setiap hari dilayaninya. Bahkan Bu Amin, seorang perempuan miskin yang tinggal tidak jauh dari tempat ini pun dilayaninya dengan senyum. Padahal yang dibelinya hanya nasi dibalur areh dan tahu sepotong.

***

Pagi itu langit cerah di atas Jogja. Tetapi Domi merasa dirinya melihat terang di antara cerah pagi. Terang yang muncul dari lentera batin yang sangat sederhana. Memang tidak salah jika dirinya sering membeli sesuatu secara berlebih yang barangkali bisa berguna untuk orang lain. Tetapi lentera Bu Muh memperkaya batinnya pada sisi lain : ada kalanya sesuatu yang secukupnya diperlukan untuk membantu manusia melihat sesuatu secara jujur, jernih, dan pas pada tempatnya.

No comments: