Tuesday, December 16, 2008

Equilibrium (1)



“Adalah baik menanti dengan diam pertolongan TUHAN. Adalah baik bagi seorang pria memikul kuk pada masa mudanya. Biarlah ia duduk sendirian dan berdiam diri kalau TUHAN membebankannya” – (Ratapan 3 : 26-28)

Namaku Don Paolo. Nama ini diberikan kepadaku delapan tahun yang lalu saat aku resmi hidup di tempat ini, yaitu suatu tempat yang dikenal sebagai Certosa di Serra San Bruno atau Charterhouse of Serra Saint Bruno, sebuah biara monastik Ordo Carthusian di pegunungan Calabria Serra Italia. Nama tersebut diberikan untuk menggantikan nama lamaku Wegig Pangauban karena aku sudah dianggap mati. Tidak ada lagi masa lalu bagiku, juga masa depan. Yang ada hanya saat ini.

Kata “Don” di depan namaku mempunyai arti yang sama dengan kata Dom, singkatan dari Dominus, yang berarti master atau tuan, yang sering disandangkan pada para rahib. Terdengar mewah penuh kuasa tetapi sebetulnya tidak.

Delapan tahun yang lalu aku masih menikmati hidup sebagai seorang creative director pada sebuah perusahaan advertising besar di Jakarta. Hidup dari proyek satu ke proyek lainnya, mempunyai gaji besar yang memungkinkan aku untuk memperoleh segala hal yang dapat memuaskan keinginanku sebagai orang muda yang tidak pernah merasa puas. Ketika itu aku merasa sudah menjadi manusia seutuhnya. Semua hal bisa aku raih.


Tetapi ada juga sisi lain dari diriku, katakanlah, sesuatu yang berseberangan dengan kehidupan glamourku, yaitu betapa aku mencintai keluargaku dan berani memberikan sebagian harta yang aku miliki untuk membantu mereka. Aku juga mempunyai kepedulian terhadap orang-orang miskin. Pernah suatu ketika terjadi peristiwa yang membuat aku begitu menghabiskan banyak energi untuk membantu orang-orang yang rumahnya digusur. Entah kekuatan darimana kuperoleh, aku menghimpun sumbangan dan menyalurkannya. Semua itu kulakukan atas inisiatif sendiri dengan dibantu beberapa orang teman. Tapi peristiwa itu kuceritakan kembali bukan sebagai bentuk kepongahan. Bukan! Aku sedikitpun tak hendak menyanjung diri sendiri. Aku hanya ingin mengatakan bahwa masih bersyukur karena masih diberi sekelumit kecil kemauan untuk berbagi. Dan jujur kukatakan kepadamu bahwa pelepasan energi dalam peristiwa itu sangat menentramkan hatiku. Tapi aku tetaplah aku yang tidak tertarik untuk bergabung dengan teman-teman di sebuah LSM untuk membantu masyarakat kecil. Bagiku hidup tetaplah mesti jelas : mempunyai gaji yang cukup, kenyamanan, dan status.



***



Certosa di Serra, seperti umumnya biara Carthusian lainnya, dirancang menurut prinsip baku Ordo Carthusian yang dibuat oleh bapa pendiri : St. Bruno. Terdiri atas kumpulan hermitage (sel) yang disatukan oleh cloister yang berakhir di area bersama : gereja, refectory, dan chapter. Keduanya dipisahkan oleh pintu masuk menuju area dimana para rahib yang bertugas mengerjakan kebutuhan biara bekerja di dalamnya.

Hari-hariku di Serra diisi dengan menerjemahkan buku atau mengerjakan pekerjaan tangan lainnya. Aku mengerjakan itu semua dalam workshop atau sel pribadi, sebuah sel bernomor B, yang merupakan bagian dari kelompok sel rahib yang dipersiapkan menjadi imam atau sering disebut cloistered monk. Tidak hanya bekerja tetapi juga makan, meditasi, berdoa, dan lectio divina. Semua kulakukan sendiri tanpa berbicara dan bertatapan dengan penghuni sel lainnya kecuali diperlukan, itupun harus seijin dari Don Thierry, Pastor Prior biara ini atau di kalangan biara Benedictine dan Cistercian lazim disebut Abbas atau pemimpin biara.


Bila tiba waktu makan, aku pergi ke pintu depan menuju sebuah loket yang bisa diakses dari dalam dan dari luar. Di loket ini rantang makanan yang berisi nasi saffron dan sayuran di letakkan oleh seorang Bruder yang bertugas di dapur. Setelah kuambil aku naik ke lantai atas. Rantang makanan kuletakkan di meja menghadap jendela. Setelah berdoa aku menyantapnya dalam keheningan dan kesendirian.

Sebagai seorang Carthusian kami hidup secara solitude dan menjaga silentium magnum atau keheningan total. Namun demikian bukan berarti samasekali tidak bertemu dengan penghuni lain. Ada beberapa moment yang memberi kami kesempatan untuk saling bertemu, semisal mendaki gunung, makan bersama setiap hari minggu atau hari raya (sambil mendengarkan bacaan rohani yang dibacakan oleh salah seorang rahib), ibadat ekaristi dan ibadat komunal lainnya. Satu kenangan yang kuingat, delapan tahun lalu, waktu itu merupakan malam awal mula tinggal di tempat ini : aku keluar sel menuju gereja yang berjarak sekitar 100 meter dari cloister tempat aku tinggal untuk mengikuti conventual mass. Aku berjalan melewati koridor bangunan lama yang gelap sepi dengan diiringi dentang lonceng. Sangat magis tetapi waktu itu aku lebih merasa sebagai sesuatu yang menyeramkan. Ada saat dimana aku bertemu dengan rahib lain di koridor. Namun kami tidak bertegur sapa. Equilibrium. Ini kata yang tepat untuk menggambarkan kehidupan kami ini. Perpaduan antara senobit dan eremit, antara hidup bersama dalam komunitas dengan kesendirian.




Di gereja aku bertemu dengan teman-teman sekomunitas. Ada 30 orang rahib di sini. Dua orang dari kami masih baru. Satu orang berstatus postulant. Dia orang Texas berumur 27 tahun dan satu lagi yang enam tahun lebih tua berasal dari Jepang, sedang menjalani masa novisiat. Ada juga satu orang rahib Orthodox dari Mount Athos Abbey yang ingin merasakan kehidupan di Serra ini. Kami mengambil posisi pada stall masing-masing. Mengumandangkan kidung dan pujian yang dilantunkan dalam alunan Gregorian Chant. Kadang kami duduk, kadang berdiri, membungkuk ketika pujian dilantunkan, atau berlutut yang disebut formae. Semua dilakukan tanpa iringan musik sama sekali. Memang, berbeda dengan ritual misa pada umumnya, ritual misa Carthusian atau sering disebut missale cartusiense disesuaikan dengan konsep ordo yang mengutamakan keheningan.

***
Hidup seorang Carthusian adalah hidup dalam keheningan di hadirat Allah. Tugas utamanya adalah berdoa bagi keselamatan orang lain dan dunia. Bukan bagi diri sendiri. Untuk itu sejak awal bergabung Pastor Prior wanti-wanti mengatakan bahwa aku harus menganggap diriku mati dan terus belajar untuk tidak terikat lagi pada dunia. Sel bolehlah dianggap sebagai peti mati. Hubungan dengan keluarga hanya boleh dilakukan tiap 3 bulan (tanpa meninggalkan sel tentunya). Menggunakan internet? Ah, kuingat sewaktu masih bekerja aku bisa tiap jam menggunakan internet. Tapi sekarang hanya dua kali dalam setahun! Begitu juga dengan televisi, radio, atau telfon seluler. Tidak ada kontak samasekali dengan alat-alat itu. Informasi dari luar kami peroleh melalui koran Osservatore Romano dan Avvenire, atau dari para tamu yang disampaikan melalui Pastor Prior.

***

Pagi ini adalah minggu kedua menjelang Paskah. Sekujur badanku rasanya sakit sekali seperti hendak demam. Sebetulnya sudah sedari pagi aku bangun, tapi aku betul-betul tersadar ketika mendengar suara traccola yang dibawa keliling oleh Don Vicario beberapa menit yang lalu. Alat berupa batang kayu dengan roda layaknya mesin pemotong rumput itu berisik sekali suaranya. Memang, pada masa pra-paska, sebagai bentuk penghayatan kepada Kristus menjelang sakratul maut-Nya, gereja tidak mengijinkan bunyi-bunyian atau segala hal yang bersifat meriah. Tuguran kalau orang Jawa bilang. Larangan tersebut berlaku juga untuk lonceng yang biasa jadi penanda bagi kami. Cara ini menciptakan suasana yang makin sepi. Atau, mungkin juga perasaan sepi itu merupakan luapan hatiku yang didera kesepian yang dalam akhir-akhir ini : Sepi. Doa yang terasa kering dan hambar. Merasa bodoh. Rindu yang dalam akan Indonesia. Dan yang paling mengerikan adalah Tuhan serasa tidak ada. Bahkan, akupun mulai mempertanyakan keberadaan-Nya.


Mungkin Herman benar. Delapan tahun yang lalu sebelum aku memutuskan meninggalkan dunia hingar-bingar di Jakarta untuk masuk dalam kesunyian di sini karibku itu mengatakan seandainya aku jenuh dengan dunia kerjaku dan ingin lebih banyak berbuat untuk orang lain kenapa harus dengan cara masuk biara dan menyendiri? Bukankah melayani tidak berarti harus menjadi seorang religius? Bukankah dengan berkeluarga dan berkarya sebagai awam di tengah hiruk-pikuk dunia akan lebih memberi banyak manfaat untuk orang lain? Bukankah berdoa bisa dilakukan kapan dan dimanapun, tidak perlu menyendiri? Dan masih banyak bukankah lainnya yang dilontarkan kepadaku. Menghadapi semua pertanyaannya, secara jujur aku tidak mampu menjawabnya. Kuakui semua pendapatnya adalah benar. Dan kuakui juga bahwa semakin aku mendekat pada-Nya dalam keheningan semakin Dia diam. Bisu.


Don Thierry, ketika mengunjungi selku, yakni pada awal mula aku diterima sebagai seorang novis, menanyakan banyak hal mengenai keadaanku, terutama tentang hidup doa. Aku menjawab bahwa aku begitu bergembira. Aku katakan bahwa suasana di Serra begitu indah dan hening sehingga aku merasa begitu dekat dengan Tuhan. Doa-doaku terasa meluap indah dan menggembirakan. Tetapi tanpa kusangka jawaban yang diberikan Sang Pastor Prior sangat singkat dengan mimik muka sedikit cemberut. Kuingat dia mengatakan :”Huh, tetapi sayang sekali bahwa Tuhan yang kita ikuti adalah Tuhan yang diam.” Aku bingung dengan arti dari jawabannya. Sampai suatu ketika dia mengunjungi selku lagi dan menanyakan hidup doaku, maka aku menjawab :”Sudah beberapa minggu ini aku merasa kering Pater. Doaku seakan tidak dijawab. Tidak selamanya keheningan memberikan luapan kegembiraan”. Tak kusangka akan jawabannya, dan dia mengatakan :”Bagus. Memang demikian seharusnya. Itu normal bagi kita para Carthusian. Tugas kita adalah berada di dalam keheningan di hadapan Allah. Maka tidak heran kalau Diapun juga diam dan bisu. Tetapi itulah inti sebuah iman, yakni ketika kita percaya bahwa Dia ada bukan karena adanya penghiburan rohani. Percaya bahwa Dia ada bukan karena mukjizat yang dilakukan-Nya melainkan bersikap seperti Centurion Romawi yang ketika melihat Yesus mati dalam kondisi babak-belur dan kalah, tetapi dia mengatakan : memang betul Dia Anak Allah.”


Terus terang, sangat sulit menjalani hidup sebagai rahib yang sehari-hari berada di dalam keheningan, karena bagaimanapun kami adalah manusia normal yang mampu mencinta dan berseksual. Sepuluh tahun yang lalu sebelum aku betul-betul memutuskan memilih jalan hidup sebagai rahib beberapa teman dan keluarga menyarankan aku untuk bergabung dengan salahsatu konggregasi atau serikat religius. Tante Vivi, adik Ayah yang punya kenalan pastor dimana-mana namun hidupnya dipenuhi gosip menyarankan agar aku menjadi imam praja atau diosesan. Seperti Romo Mangunwijaya katanya. Karya dan sepak-terjangnya nyata. Siapa tahu malah bisa jadi paus, atau paling tidak uskup atau kardinal. Kalau menjadi rahib baginya tidak ada gengsinya. Tapi ada satu pendapat yang selalu ditandaskannya, yaitu dia selalu mensejajarkan panggilan dengan kehidupanku sebagai profesional. Baginya seorang yang sudah mengalami asam-garam dalam dunia nyata tentu sulit hidup dalam keheningan. Waktu itu aku sangat setuju dengan pendapatnya, namun lambat-laun aku percaya bahwa bukan itu inti persoalannya.


Memang akhirnya aku memilih untuk dibimbing oleh salahsatu serikat religius tetapi bukan diosesan. Alasan yang kusampaikan kepada orang-orang adalah karena dalam hatiku kecilku aku tidak ingin menjadi imam. Menjadi seorang religius bagiku tidak berarti harus menjadi imam. Kalaupun menjadi imam hal itu bukanlah tujuan utama. Dan tentang panggilan itu sendiri, ah, entahlah. Sebelumnya samasekali aku tidak berminat menjadi seorang religius. Sama sekali tidak pernah! Vocation itu justru muncul melalui kakakku yang melihat tingkah polahku. Di matanya, meskipun aku dikepung kehidupan glamor tetapi aku selalu sibuk untuk orang lain sampai-sampai tidak menghasilkan apapun secara finansial. Artinya, tidak ada peningkatan ekonomi. Apalagi berbisnis. Jangankan memperoleh keuntungan, setiap melakukan negosiasi di otakku yang ada adalah hanya ingin membantu dan cukup senang memperoleh ucapan terimakasih. Begitu pula soal relasiku dengan perempuan yang tidak kunjung jelas. Melihat itu semua kakakku menyarankan agar aku memberikan energiku dengan menjadi religius. Awalnya kutampik saran itu seraya mencemooh. Tetapi lambat laun aku merasa seperti bertemu seorang sahabat yang telah lama menungguku, padahal aku sudah meninggalkannya.

Melalui bimbingan beberapa calon imam di sebuah serikat selama kurang lebih 2 tahun, aku memperoleh banyak hal. Salahsatunya adalah memahami arti hadir di hadapan Tuhan dalam keheningan, seperti halnya Elia yang menemukan Tuhan dalam angin sepoi-sepoi basa. Bukan dalam gempa, guntur, dan api. Tuhan ditemukan dalam kekosongan yang membuat manusia harus menetralkan nilai keduniawiannya. Tuhan ditemukan dalam kerinduan manusia untuk menyatu dengan-Nya dan hadir dihadapan-Nya, bukan untuk meminta-minta melainkan seperti seorang anak yang duduk dalam pangkuan orangtuanya sekedar untuk menemukan kehangatan dan mempercayakan segala hal yang dimilikinya. Tuhan ditemukan dalam kegelapan agar manusia mampu melihat terang-Nya.

Dalam bimbingan mereka pula aku diajak untuk berani melihat jejak-jejak masa laluku, betapapun buruknya. Bukan untuk diratapi melainkan untuk diterima dan diobati. Tetapi yang membuatku terpana dan berteriak halleluya!! adalah dalam semua jejak masa laluku terekam Tuhan yang sedang bekerja. Dia membawaku ke dalam situasi sulit agar suatu saat aku bisa menjadi teman bagi orang yang mengalami hal serupa, seakan-akan menyakitiku tetapi tidak meninggalkan aku. Karena bagaimana mungkin aku bisa menunjukkan kepada orang lain bahwa di puncak sebuah gunung ada jurang kalau aku sendiri belum pernah ke sana atau bahkan jatuh ke dalamnya? Dalam jejak masa laluku juga terekam peristiwa-peristiwa yang menyatakan bahwa aku mencintai keheningan tanpa menjadi orang gila yang membenci dunia. Bahkan sebaliknya. Sebuah bibit yang membawaku kepada kehidupan biara monastik. Pun dalam kehidupan awam aku percaya bahwa sebuah panggilan sebetulnya sudah disiapkan bibitnya oleh Tuhan sejak awal. Panggilan sekali-kali bukanlah sesuatu yang baru dalam kehidupan manusia yang dipanggil. Hal ini yang membuatku akhirnya menolak pendapat Tante Vivi.


***

Kesepian yang kualami, atau lazimnya dialami para rahib, memang bukan seperti penyakit yang bisa diobati begitu saja. Salahsatu cara untuk mengobatinya adalah dengan masuk dan mengenali kehidupan monastik itu sendiri. Spiritualisme dipahami dengan dilakukan secara langsung, mengikuti petuah dari seorang bapa rohani yang sangat terkenal di kalangan rahib, yaitu masuklah ke dalam selmu maka dia akan mengajarkan kepada bagaimana cara bertahan. Masih belum habis keherananku terhadap diri sendiri. Aku dulu yang begitu bebas sekarang mengurung diri dalam kesunyian. Lebih dari itu, aku bahkan memutuskan untuk menerima kaul stabilitas. Sumpah hidupku adalah untuk Tuhan, sesama, komunitas, dan tempat dimana aku tinggal. Tidak akan berpindah untuk selamanya. Tidak terikat lagi ruang dan waktu. Seluruh waktuku adalah doa sampai aku dan hidupku menjadi doa itu sendiri. Sayangnya, hal itu tidak serta merta membuat kami menjadi orang suci, tetapi sebaliknya kami disadarkan bahwa cara hidup yang kami pilih tidak lebih baik daripada orang lain. Pilihan hidup menjadi seorang rahib atau religius adalah salahsatu cara dari sekian ribu cara mengabdi Tuhan di dunia. Dan itu harus dilakukan dengan penuh kesadaran.



***

Pagi ini Pastor Prior mengunjungiku lagi. Kuceritakan kepadanya mengenai kesepian dan kekeringan yang menderaku, tetapi dia cuma tersenyum. Kuceritakan bahwa aku merindukan berelasi dengan perempuan, tetapi dengan sikap kebapakan dia hanya mengatakan bahwa dengan demikian aku adalah laki-laki yang sehat dan normal. Untuk itu sudah sepatutnya aku bersyukur. Dia hanya mengajakku untuk menyerahkan semua yang kurasakan kepada Tuhan dengan jujur dan rendah hati tanpa mencoba untuk berteori, beralasan, dan membela diri. Dengan demikian pikiran dan hati menjadi lebih mudah untuk terbuka terhadap rahmat. Seperti halnya Maria tidak serta-merta bisa menerima apa yang disampaikan Gabriel. Karena kerendahan hati dan keberanian untuk mengakui kekurangannya maka Tuhan memberinya pencerahan. Dan hari ini, dalam ibadat malam bersama, aku betul-betul membayangkan diriku bagai seorang anak yang menghampiri ayahnya, tanpa bicara duduk di pangkuan, masuk dalam dekapan, dan dengan tenang tidur dengan penuh keyakinan bahwa dirinya akan dijaga. Tidak perlu khawatir akan hal lain meskipun tahu bahwa tantangan hidup akan terus menghampirinya. Dalam keyakinan akan bapanya, sang anak melantunkan doa bagi orang-orang yang dicintainya, bagi kota, bagi dunia.




***

Saturday, October 4, 2008

Pulang Kampung

Pulang kampung selalu menjadi saat yang menggembirakan. Terutama pada masa Idul Fitri suasana kegembiraan pulang kampung seakan muncul pada performa puncaknya. Entah mulai kapan budaya ini muncul, tetapi yang jelas pesta ini dinikmati tidak hanya oleh umat Muslim tetapi juga umat lainnya. Dan kalau boleh aku simpulkan pesta ini sering bukan sebentuk pesta perayaan agama melainkan pesta “kemenangan” kaum urban. Kelegaan luar biasa setelah satu tahun bekerja di perantauan, kerelaan berjuang mati-matian memperoleh cara untuk pulang-bahkan dengan cara yang tidak manusiawi sekalipun, “kekalahan” para pimpinan perusahaan dimana banyak diantara mereka tidak mempunyai kuasa untuk menahan hasrat para karyawan yang sudah sangat mendamba pulang, teriakan kegembiraan bagi mereka yang memperoleh kesempatan dan tangisan bagi yang gagal.

***
Di proyek tempatku bekerja, satu bulan sebelum hari kemenangan para urban tersebut, suasana pelan-pelan menjadi tidak kondusif untuk bekerja. Suasana begitu santai dan gembira. Semua orang berbicara tentang rencana liburan. Beberapa di antara kami mulai kasak-kusuk cari tahu harga tiket sampai rencana nekat untuk membolos kerja beberapa hari sebelum liburan dimulai. Beberapa lainnya bermalas-malasan. Menikmati suasana dampak menjelang liburan. Tapi dari semua peristiwa itu yang sering kurasakan adalah : ada keakraban di sana-sini. Rata-rata orang tersenyum. Dan yang tidak boleh dilupakan yang menjadi gejala beberapa tahun ini, yaitu pulang kampung menggunakan sepeda motor. Gejala ini mungkin dipicu akibat banyaknya jumlah pemudik yang lebih besar dibandingkan jumlah transportasi yang tersedia, juga harga tiket yang mahal. Sementara itu harga sepeda motor amat sangat terjangkau kaum menengah bawah. Sepeda motor dengan kualitas baik bahkan. Bukan “barang jelek” seperti waktu aku masih kuliah dulu.

***
Nyu Parwono.
Dia adalah engineer di proyek tempat aku bekerja dulu. Seorang pemuda asal Klaten Jawa Tengah. Umurnya sekitar 28 tahun. Perawakannya sedang agak subur. Pintar dan berdedikasi tinggi.

Nyu cukup mapan secara finansial. Kulirik, kemapanannya bukan hasil bekerja selama di Jakarta-meskipun ini juga membantu, tetapi karena dia mempunyai banyak aset di daerahnya : mempunyai beberapa ekor sapi, yang bagi kebanyakan masyarakat merupakan simbol kekayaan.

“Tapi memang bener Pak. Sapi mahal harganya. Bisa mencapai sembilan juta seekor. Nah, saya mempunyai lima ekor. Itu’kan berarti saya punya tabungan sejumlah empatpuluh lima juta rupiah”, begitu Nyu menjelaskan.

“Wah hebat dong. Aku aja ngga punya tabungan sebanyak itu”, jawabku.
“Ah masa sih Pak. Bohong. Tapi ‘gini lho Pak. Sapi itu mendatangkan keuntungan, terutama yang perempuan dan pedhet (anak sapi). Yang perempuan lebih mahal dan aset karena dia akan melahirkan sapi-sapi baru.”

“Itu dipiara terus? Lha kapan jadi uangnya?”, tanyaku
“O, ‘gini Pak. Kalau saya butuh uang sapi saya jual.”
“Lalu kamu ijin cuti untuk bawa sapimu ke pasar?”, tanyaku lugu
“O, ndak juga Pak. Saya bisa suruh Paklik yang biasa ngurusi sapiku. Hasilnya kita bagi dua. Atau bisa juga salah seekor sapi betinaku saya kawinkan dengan pejantan milik orang lain. Hasilnya adalah pedhet to? Nah, setelah pedhet lahir saya bagi dua dengan pemilik pejantan tersebut. Dia atau saya bisa pilih. Mau pedhet atau uang pengganti. Kalau saya ambil pedhet maka saya beri dia uang sejumlah harga pedhet, begitu sebaliknya. Mudheng Pak?”

“Mbuh. ‘Ra mudheng aku”.

Tapi betul. Tahun ini Nyu menjual sapinya dan membeli sepeda motor baru. Sebuah Honda Tiger keluaran terbaru.

“Wah mantap Nyu”, kataku sambil mengelus-elus motor barunya.
“Iya lah Pak. Bakal saya pakai mudik lebaran”, jelasnya

Aku cukup kaget mendengar kalimat itu : Bakal saya pakai mudik lebaran. Setahuku Nyu sangat anti mudik menggunakan sepeda motor. Mengerikan katanya.

“Tapi Honda Tiger je Pak. He-he-he … Tiger Tiger …”, katanya terkekeh sambil menepuk “Macan” barunya. Bangga sekali dia.


Maka, ketika aku dan kakakku berada dalam mobil dalam perjalanan pulang ke Yogya dan melihat ratusan sepeda motor melaju di depan kami, bahkan tak segan-segan beradu kuat dan kecepatan dengan mobil yang melaju dengan kecepatan 80 km/jam, aku teringat akan Nyu. Tapi tak apalah. Kupikir Nyu masih muda, seorang diri, dan waras. Masih kuat dan terjaga refleksnya. Dan sepeda motornya itu lho : Honda Tiger 200 cc. Tapi yang terpampang dan ikut beradu kecepatan bersama kami ini kebanyakan menggunakan motor jenis bebek. Meskipun kuat tapi dinaiki oleh dua orang dengan beberapa barang besar yang diikat pada rak tambahan terbuat dari kayu. Semacam sepeda motor long vehicle jadinya. Belum lagi ransel di punggung pembonceng dan di antara kaki pengemudi. Bahkan yang lebih mengerikan adalah mereka membawa anak (banyak di antaranya masih balita bahkan bayi!), di letakkan di antara Ayah dan Ibunya. Muka menghadap dada sang Ibu. Terjepit, dibungkus jaket dan kain selimut dengan kaki mengangkang. Ah, sesak sekali. Dan mereka harus melakukan perjalanan selama lebih kurang 16 jam! Menghadapi angin, hujan, terik matahari dan dingin.


Akupun pernah melakukan hal serupa juga di pertengahan tahun 2006. Tapi saat itu kondisi fisik dan sepeda motorku sangat prima. Dan yang paling penting adalah aku pergi sendiri dan tidak ada target waktu sehingga memungkinkan “berjalan” santai di jalan yang tidak macet karena bukan libur lebaran. Tapi jujur, perjalanan terasa berat. Pada awalnya gembira. Tetapi ketika fisik dan pikiran mulai lelah dan benda-benda bawaan mulai bergeser dari tempatnya rasa aman mulai berkurang.


Sering kudengar banyak komentar mengenai cara pulang kampung seperti ini : tidak masuk akal. Bodoh! Pun aku juga sedih demi melihat mereka, terutama yang membawa anak kecil. Tak jarang kudengar dari koran dan televisi bahwa banyak di antara mereka yang mengalami kecelakaan atau sang anak meninggal karena sakit dan sesak terhimpit. Kalau sudah begini apalah makna pulang kampung untuk berlebaran?
Tapi dalam beberapa hal aku juga mencoba berempati demi apa mereka melakukannya. Memang mahal harga sebuah kemerdekaan dan kegembiraan. Memang mahal harga yang harus diterima dari kemisikinan akibat ekonomi yang tidak dikelola dengan baik. Memang mahal harga pendidikan yang menyebabkan kebodohan dan cara pikir yang sempit.

Thursday, October 2, 2008

Rawaseneng, 2 Oktober 2008


Mendung cukup lama menggantung di atas Kandangan Rawaseneng di wilayah Temanggung. Memberikan kesan dingin di area pemakaman di tempat aku berdiri, setelah beberapa saat sebelumnya mengikuti ibadat sore dengan menyanyikan doa serta mazmur dan ditutup dengan nyanyian Salve Regina yang indah.

Seorang rahib menyapaku. Kutebak usianya berkisar 70-an tahun. Saat itu dia sedang duduk berbincang dengan dua orang perempuan. Melihat kehadiranku mereka lantas mempersilahkan aku bergabung. Maka kamipun berkenalan.

Tidak ada tema serius. Pembicaraan lebih banyak mengarah kepada hal-hal yang bersifat nostalgia dan menyenangkan meskipun kadangkala ada beberapa tekanan serius dalam cerita yang keluar dari mulut sang rahib tua tersebut. Tetapi itu tidak banyak, dan bisa jadi suasana santailah yang dibutuhkan : menikmati keheningan dan mengendapkan hati, sesekali berbagi pengalaman untuk bersama-sama belajar didengar dan mendengarkan. Tapi bagiku yang baru berkenalan dengan mereka hal tersebut bukan menjadi sesuatu yang penting. Diterimanya kehadiranku itulah yang kurasa lebih penting.

Aku melirik arloji. Hampir pukul 18.00. “Hmm, saatnya pulang”, pikirku. Ketika berpamitan aku mendengar ada sedikit kalimat keluar dari mulut sang rahib yang memberi getaran pada hatiku :”Kehidupan di sini memang unik. Tapi sebaiknya tekuni dulu kehidupan di luar agar tidak menjadi gumunan (mudah silau), yang hanya akan berakhir pada kekecewaan.”

Lonceng kapel berdentang. Suasana tetap dingin ketika aku berjalan keluar. Hanya sesekali lenguhan sapi terdengar memecah kesunyian. Di pintu gerbang kulihat seorang rahib yang lebih muda. Dia memakai jubah putih, celemek kerja warna hitam panjang menutupi dari bahu, punggung, dada, dan paha. Sebuah cappucin menutupi tengkuk. Dia berjalan agak tergesa.

Aku melangkah pulang.
---------

Monday, September 29, 2008

Hermiyanto Residence, Yogyakarta




Lahan berada di wilayah utara kota Yogyakarta dengan situasi lingkungan yang merupakan percampuran antara kampung dengan wilayah pedesaan. Dua nilai ini mempengaruhi pemilihan material dan penataan suasana ruang antara bangunan depan yang berfungsi sebagai kantor dengan bangunan belakang yang berfungsi sebagai rumah tinggal, yang dikemas dengan cara mengkombinasikan spirit kampung dengan keheningan desa.

Saturday, September 6, 2008

Jurang Mangu Town Houses, Tangerang



Proyek ini merupakan kolaborasi bersama arsitek Cahyo Bandhono dan J.B. Krisna dimana kami mencoba “menyisipkan” suasana tradisional di tengah suasana metropolis maupun yang sedang menuju metropolis yang terjadi pada lingkungan sekitar. Adapun pemilihan konteks Bali di tengah perkampungan Tangerang Jawa Barat barangkali berkesan naif. Tetapi setidaknya hal tersebut merupakan usaha menjaga unsur alam pada desain. Dan Bali, saat itu Cahyo yang baru kembali setelah beberapa tahun tinggal di pulau tersebut masih terpesona dengan kekuatan nilai-nilainya.


Friday, July 18, 2008

di Busway

Jakarta punya busway! Asyik juga.
“Udah lama lagee. Kemana aja lu?”. Begitu temanku menyambar.
Iya juga sih. Aku masih ingat waktu awal rencana pembuatan busway jadi perbincangan yang menimbulkan pro dan kontra, sampai akhirnya direalisasikan. Tapi selama itu hanya sesekali diriku naik busway, itupun hanya pada jalur-jalur pendek, karena mobil dan sepeda motor tersedia. Tapi dalam beberapa bulan terakhir ini aku betul-betul menikmati sarana angkutan umum ini. Menyenangkan sekaligus ajaib. Gabungan dari efisiensi dengan sistem yang lama kelamaan kok makin rusak. Tapi baiklah. Bagi orang Indonesia yang sudah terbiasa menderita, sistem yang berantakan tidak terlalu dipedulikan sejauh “roda bisa menggelinding”. Yang jadi kekesalan lebih kepada masalah waktu yang tidak terjadwal baik dan sering penuh sesak.

Tentang penuh sesak.
Masih bisa bersyukur juga sih, khususnya di koridor atau jalur yang sering aku lewati bis bisa berjalan lancar. Menembus kemacetan sehingga ngga perlu lama berdesak-desakan. Tapi suatu hari, dengan penuh yakin aku bersedia masuk dalam sebuah bis yang betul-betul sesak. Ngga apalah. Kupikir hanya empat bus-stop yang dilewati. Nggak lama.

Maka tangan kananku tergantung memegang “hanger”, tangan kiri mengamankan tali ransel, bagian depan-samping-belakang badan tergencet tubuh penumpang lain. Betul-betul tidak bisa bergerak. Sambil melamun menunggu bis sampai tujuan aku merasa ada yang aneh dengan tangan kananku. Terasa hangat dan sedikit gatal seperti dicucuk duri-duri kecil. Mencari tahu dan aku baru sadar bahwa di depanku berdiri membelakangiku seorang lelaki pendek, agak gemuk, berkulit hitam dengan leher model Mike Tyson, dan berkepala gundul!, tepatnya berambut sekitar 0.3 cm. Dan rambut-rambut kecil itu yang mencucuk-cucuk tanganku.
Aduuhh ... gatal sekali!!! Pengen rasanya kutiup kepala itu seperti Tarzan meniup kepala Gogon di acara Srimulat.

Huruf "A"

Apa yang menarik dari huruf “A” selain statusnya sebagai yang pertama dan selalu disandangkan kepada orang-orang pintar sebagai nilai kesuksesannya? Bagiku ada satu lagi, khususnya untuk masyarakat Jakarta yang gemar atau sehari-harinya terpaksa naik bis.

Huruf “A” selalu jadi awalan tetapi tidak berhubungan dengan nilai baik, ialah digunakan oleh para kernet untuk mengawali penyebutan tujuan bis ketika menawarkan kepada penumpang di luar. Maklum, Jakarta belum Singapore apalagi London. Tulisan tujuan yang dipasang di atas bis jarang atau bahkan hampir tidak dilihat. Hanyalah kalimat yang diteriakkan dari mulut serba kering dan berbau dari kernet yang jadi fokus perhatian.

“Aaa … labu labu labu!!!” atau “Aaa … blem blem blem!!!”. Artinya, kernet menawarkan jurusan Pondok Labu atau Blok-M. Demikian sulit meneriakkan nama tujuan yang panjang itu sehingga selalu dipersingkat.

“Tapi kok selalu diawali huruf “A” yo Mas?”, tanya seorang teman yang baru pertamakali naik bis di Jakarta.
“Ah mbuh. Ra ruh (ah ngga tau)”, jawab teman di sebelahnya yang kelaparan dan ngantuk.

Membaca Mangunwijaya

Dalam dua bulan ini serasa ada perjumpaan dengan almarhum Y.B. Mangunwijaya. Tidak, bukan perjumpaan gaib yang aku terima, tetapi melalui jejak-jejaknya. Adalah lewat diskusi-diskusi yang kubaca di sebuah mailist arsitektur, yang ramai membicarakan spirit Mangunwijaya baik melalui karya-karya pribadinya maupun yang tercermin dari karya anak-didiknya. Ada yang menggugat, bingung, merasa aneh, juga kagum. Tetapi yang cukup mengena pikiranku akhir-akhir ini adalah ketika membaca trilogi Rara Mendut-Genduk Duku-Lusi Lindri, sebuah karya tulis beliau yang sangat aku senangi selain Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa.

Mangunwijya berani untuk masuk dalam situasi yang sangat tidak mengenakkan dan menggembirakan pembaca. Sebetulnya tidak aneh juga mengingat banyak penulis yang melakukan hal ini, seperti Ahmad Tohari dan Pramoedya misalnya. Tapi bagiku, situasi sedih dan penderitaan yang diangkat Mangunwijaya lepas dari kesan romantis, kadangkala bertubi-tubi, dan diselesaikan bukan dengan kegembiraan model happy-end a la Hollywood melainkan keheningan batin meditatif dimana di dalamnya hati manusia mampu menerjemahkan kesedihan dan kematian dengan akal-budi dan hati yang sehat. Terasa dia ingin berbicara banyak lewat karya-karyanya di luas bahasa estetika yang seringkali begitu mudah diserap indera tetapi sial seribu sial juga membuat manusia sering sulit menerjemahkan makna sebenarnya di balik keindahan itu sendiri. Begitu juga aku, sering sekali ramai membicarakan buah karya dan pikiran orang besar hanya karena kesan intelektual dan keindahannya, dan berharap kesan tersebut melekat juga dalam diriku.

Tetapi aneh, dalam memahami Mangunwijaya, semakin jauh menyelaminya semakin sulit pula aku memahaminya. Sampai di suatu titik dimana atas peran seseorang yang sangat membantuku dalam menerjemahkan Mangunwijaya, aku menjadi sadar bahwa ketika dirinya (Mangunwijaya) berkarya, dibalik ketekunan dan etos kerjanya yang demikian besar, semua itu didasari sikap hidupnya dalam memilih matiraga, menyendiri sekaligus membaur di kehidupan, dan konsisten meletakkan buah karyanya semata-mata sebagai sarana untuk keselamatan jiwa-jiwa orang-orang yang tersisih. Populer dia tidak mau meskipun media membentuk dirinya sebagai manusia yang terkenal. Melalui itu semua dirinya mempunyai tujuan dalam karya-karyanya.

Mangunwijaya adalah seorang religius dalam arti sebenarnya yaitu seorang Imam Katolik. Namun demikian hidupnya tidak terjebak dalam religiositas yang sempit, sehingga membaca orang seperti dirinya akan sulit dilakukan jika kita semata menempatkannya dalam tataran kapitalisme, lifestyle modern, dan bahkan juga dalam ranah religiositas itu sendiri. Tidak, setahuku dirinya juga tidak anti dengan nilai modern atau yang berseberangan dengan “kaum cilik” karena sebagai Pastor Praja dia mengemban tugas menjadi teman seperjalanan bagi semua orang. Hal itu tercermin juga dalam pandangan-pandangannya yang netral yaitu ketika bercerita tentang rakyat jelata maupun priyayi ningrat dalam beberapa tulisannya.

Ibarat sebuah pernyataan yang mengatakan : bagaimana mungkin seseorang bisa tahu bahwa di atas gunung ada jurang kalau dia sendiri tidak mendaki dan mengunjunginya. Dari foto? Bisa jadi. Tapi itu bukan sebuah pengalaman otentik yang layak-bangga diceritakan. Demikian pula terhadap seseorang seperti Mangunwijaya. Tidak mungkin aku bisa betul-betul menyelami pemikirannya kalau tidak hidup dalam dunia yang membentuk tujuannya dalam berkarya.

Si Mak


Dua minggu lalu, Norman adikku, yang tengah liburan sekolah berkunjung ke Jakarta. Ketika asyik ngobrol kami masuk ke dalam topik rencana reuni akbar keluarga besar yang akan diadakan di Yogya tengah bulan ini. Terbayang betapa hingar suasana dalam reuni nanti. Maklum, keluarga besar Ayah mempunyai budaya srimulat. Nyablak asal ngomong, membadut, dan tentu saja membicarakan semua hal yang pernah ada di sekitar kami, apalagi dalam suasana reuni.

Salahsatu sosok yang selalu diingat oleh keluarga ialah si Mak. Begitu kami memanggilnya. Seorang perempuan tengah baya yang setia mengabdi keluarga secara bergiliran : dari melayani Eyang Putri hingga wafat, “mampir” di keluarga Bude Nur, dan terakhir mengabdi di keluarga kami di Pakem Kaliurang sampai akhirnya dipanggil, ya, belum dipanggil yang Maha Kuasa waktu itu, tapi dipanggil atau tepatnya diminta salahseorang anak perempuannya. Untuk menemani katanya.

“Aku kalau ingat kok ingin ketawa yo Mas”, begitu kata Norman sambil tertawa. Teringat sesuatu yang menggelikan tampaknya.
“Apa itu?”
“Itu lho. Ingat ngga waktu aku masih SD? Dan Mas masih tugas akhir. Waktu itu kan lagi seru-serunya masalah Timor-timur.”
“Njur?” (lalu?)
“Lha, Bapak kan paling seneng nonton berita masalah Tim-tim. Nah ... ha-ha-ha!”. Ketawa lagi dia. “Lha ayo teruske ceritamu”, kataku ikut ketawa juga. Bukan karena cerita lucunya yang belum ketahuan lucu yang bikin aku ketawa, tapi karena melihat cara dia ketawa.
“Lha itu ... TV ‘kan nyebut Xanana Gusmao terus ... dan ha-ha-ha-ha!!!” Terpingkal-pingkal si Norman memegang perutnya. Nah, waktu itu Si Mak sambil bikin teh ngomong “Xanana karo Gusmao kuwi ngopo to yo? Isane kok mung pada eker-ekeran terus”. (Xanana dan Gusmao ngapain aja sih. Kok bisanya berantem terus). Tentu, mendengar cerita konyol itu aku jadi ketawa juga. Xanana DAN Gusmao he-he-he.

Ah, si Mak memang perempuan desa yang lugu. Tahunya cuma mengabdi. Olah-olah dan umbah-umbah. Mengenai Xanana Gusmao, Timor-timur apalagi reformasi, nah manusia jenis si Mak ini bukan tidak peduli, tetapi orang Jawa pengabdi dia. Keturunan petani yang cinta harmoni. Baginya simpang –siur kehidupan lumrahnya tidak dilawan tetapi dihayati, dijalankan dengan mengemban amanah damai dari Gusti Allah. Bodoh? Mungkin? Tapi tidak dipungkiri sikapnya membawa kesejukan.

Sunday, June 8, 2008

Ari

Aku berlari di bawah jalan tol dan mendadak berhenti ketika hendak menyeberang jalan berikutnya. Semua kendaraan beradu kencang dengan sorot lampu yang tajam. Seorang laki-laki yang berdiri di sebelah kiriku, sembari memegang gitar, memberanikan diri menyeberang-menembus aliran kendaraan. Ah, kuberanikan juga diriku mengikutinya.

“Harus nekat Mas,” katanya sembari tertawa setelah kami sampai di seberang. Aku hanya tertawa. Mau jawab apa? Aku tidak terlalu mengenalnya. Lagipula aku tidak bisa mendengar seluruh kalimatnya akibat deru kendaraan.

Metromini yang aku tunggu datang. Betul, nomornya 640, jurusan Pasar Minggu – Tanah Abang. Harus agak menajamkan mata sedikit untuk mengenalinya. Dalam keadaan gelap seperti ini sering nomor 640 tertukar dengan 604, dan sangat sial jika itu terjadi terlebih jika simpanan uang di kantong atau dompet hanya pas-pasan.

Aku mengambil tempat di sisi samping koridor bus karena kakiku yang panjang bisa sangat tersiksa jika duduk di bagian “dalam” dekat jendela. Sempit sekali. Kulihat laki-laki itu juga duduk di bangku yang sejajar dengan bangkuku.

“Kalau ngga cepat ngga bisa nyebrang, Mas”, katanya masih sembari tertawa.
“Ya. Untung ada Mas. Jadi saya bisa ikutan nyebrang”, kataku sambil mengulurkan selembar limaribuan ke tangan kondektur.
“Mau pulang Mas? Mulai jam berapa tadi?”, tanyaku lagi
“Jam enam. Ya, ini mau pulang.”
“Pulang ke?”
“Depok”.

Hening sejenak.
“Asli mana Mas?” dia bertanya lagi.
“Jogja”.
“Jogjanya?”
“Sleman. Mas?”
“Malang, Mas. Sering pulang dong?”
“Ngga juga. Kalau dihitung-hitung empat bulan sekali”.
“Ha-ha … aku malah sudah lama ngga pulang Mas”.
“Oya?”
“Ya. Sudah limabelas tahun. Ha-ha-ha...”

Akhirnya kami berkenalan juga. Namanya Ari. Dia bercerita bahwa dirinya pernah mengenyam pendidikan tinggi di FISIPOL Universitas Gajah Mada. Sayang tidak lama, hanya sampai semester tiga. Faktor ekonomi penyebabnya. Dirinya juga tampak baik dan ramah. Posturnya yang tinggi, kurus, tampan, dan bersih tidak menyiratkan sosok pengamen. Bicaranya lugas dan cepat.

Kami tidak sempat bicara banyak. Yah, paling-paling seputar pekerjaan kami masing-masing, itupun pada tataran yang umum. Kuceritakan juga pengalamanku di beberapa proyek, perjumpaanku dengan "orang-orang proyek" yang merintis dari nol hingga sukses.

Tidak lama kemudian turun di sebuah halte di depan kantor POLDA sembari mengucap salam dan mengatakan :"Kalau cari saya di sini Mas. Bilang aja Ari". Beberapa detik berikutnya hanya sosoknya yang kulihat dari jendela bis. Berlari kecil sambil menyapa beberapa pengamen kecil.

Bus kembali melaju kencang dan makin kencang. Berbelok di putaran Semanggi hanya dengan sedikit rem yang membuat badan penumpang terlempar ke sisi kanan. Gedung-gedung terlihat indah dan megah. Di antara teriakan kondektur yang makin gahar masih terngiang di telingaku perkataan Ari : "yang membedakan kita Mas, Mas punya status dan saya tidak". Ah Ari, aku tidak bisa jawab pernyataanmu. Tepatnya tidak berani, karena aku takut hanya akan menjadi hiburan belaka yang jauh dari kenyataan. Sedangkan kita semua tahu, terutama dia yang sudah menjalaninya, bahwa kerapkali hati kita mengatakan semua orang adalah sama tetapi kenyataan seringkali juga mengatakan sebaliknya. Hanya sedikit perasaan melintas, membayangkan ketika dirinya masih kuliah tentu mempunyai beribu angan dan cita-cita sepertiku.

Bus sampai halte Bendungan Hilir. Beragam orang bergegas keluar dan masuk. Bergantian, bertabrakan, membawa rasa lelah. Sebuah sedan cantik yang merasa terhalangi membunyikan klaksonnya keras-keras. Tidak ada tanggapan dari bus yang sudah busuk dengan penumpang kelelahan di dalamnya. Kondektur makin berteriak gahar di atas trotoir :"Abang! Abang! Sarinah!".