Thursday, October 2, 2008

Rawaseneng, 2 Oktober 2008


Mendung cukup lama menggantung di atas Kandangan Rawaseneng di wilayah Temanggung. Memberikan kesan dingin di area pemakaman di tempat aku berdiri, setelah beberapa saat sebelumnya mengikuti ibadat sore dengan menyanyikan doa serta mazmur dan ditutup dengan nyanyian Salve Regina yang indah.

Seorang rahib menyapaku. Kutebak usianya berkisar 70-an tahun. Saat itu dia sedang duduk berbincang dengan dua orang perempuan. Melihat kehadiranku mereka lantas mempersilahkan aku bergabung. Maka kamipun berkenalan.

Tidak ada tema serius. Pembicaraan lebih banyak mengarah kepada hal-hal yang bersifat nostalgia dan menyenangkan meskipun kadangkala ada beberapa tekanan serius dalam cerita yang keluar dari mulut sang rahib tua tersebut. Tetapi itu tidak banyak, dan bisa jadi suasana santailah yang dibutuhkan : menikmati keheningan dan mengendapkan hati, sesekali berbagi pengalaman untuk bersama-sama belajar didengar dan mendengarkan. Tapi bagiku yang baru berkenalan dengan mereka hal tersebut bukan menjadi sesuatu yang penting. Diterimanya kehadiranku itulah yang kurasa lebih penting.

Aku melirik arloji. Hampir pukul 18.00. “Hmm, saatnya pulang”, pikirku. Ketika berpamitan aku mendengar ada sedikit kalimat keluar dari mulut sang rahib yang memberi getaran pada hatiku :”Kehidupan di sini memang unik. Tapi sebaiknya tekuni dulu kehidupan di luar agar tidak menjadi gumunan (mudah silau), yang hanya akan berakhir pada kekecewaan.”

Lonceng kapel berdentang. Suasana tetap dingin ketika aku berjalan keluar. Hanya sesekali lenguhan sapi terdengar memecah kesunyian. Di pintu gerbang kulihat seorang rahib yang lebih muda. Dia memakai jubah putih, celemek kerja warna hitam panjang menutupi dari bahu, punggung, dada, dan paha. Sebuah cappucin menutupi tengkuk. Dia berjalan agak tergesa.

Aku melangkah pulang.
---------

No comments: