Friday, July 18, 2008

Membaca Mangunwijaya

Dalam dua bulan ini serasa ada perjumpaan dengan almarhum Y.B. Mangunwijaya. Tidak, bukan perjumpaan gaib yang aku terima, tetapi melalui jejak-jejaknya. Adalah lewat diskusi-diskusi yang kubaca di sebuah mailist arsitektur, yang ramai membicarakan spirit Mangunwijaya baik melalui karya-karya pribadinya maupun yang tercermin dari karya anak-didiknya. Ada yang menggugat, bingung, merasa aneh, juga kagum. Tetapi yang cukup mengena pikiranku akhir-akhir ini adalah ketika membaca trilogi Rara Mendut-Genduk Duku-Lusi Lindri, sebuah karya tulis beliau yang sangat aku senangi selain Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa.

Mangunwijya berani untuk masuk dalam situasi yang sangat tidak mengenakkan dan menggembirakan pembaca. Sebetulnya tidak aneh juga mengingat banyak penulis yang melakukan hal ini, seperti Ahmad Tohari dan Pramoedya misalnya. Tapi bagiku, situasi sedih dan penderitaan yang diangkat Mangunwijaya lepas dari kesan romantis, kadangkala bertubi-tubi, dan diselesaikan bukan dengan kegembiraan model happy-end a la Hollywood melainkan keheningan batin meditatif dimana di dalamnya hati manusia mampu menerjemahkan kesedihan dan kematian dengan akal-budi dan hati yang sehat. Terasa dia ingin berbicara banyak lewat karya-karyanya di luas bahasa estetika yang seringkali begitu mudah diserap indera tetapi sial seribu sial juga membuat manusia sering sulit menerjemahkan makna sebenarnya di balik keindahan itu sendiri. Begitu juga aku, sering sekali ramai membicarakan buah karya dan pikiran orang besar hanya karena kesan intelektual dan keindahannya, dan berharap kesan tersebut melekat juga dalam diriku.

Tetapi aneh, dalam memahami Mangunwijaya, semakin jauh menyelaminya semakin sulit pula aku memahaminya. Sampai di suatu titik dimana atas peran seseorang yang sangat membantuku dalam menerjemahkan Mangunwijaya, aku menjadi sadar bahwa ketika dirinya (Mangunwijaya) berkarya, dibalik ketekunan dan etos kerjanya yang demikian besar, semua itu didasari sikap hidupnya dalam memilih matiraga, menyendiri sekaligus membaur di kehidupan, dan konsisten meletakkan buah karyanya semata-mata sebagai sarana untuk keselamatan jiwa-jiwa orang-orang yang tersisih. Populer dia tidak mau meskipun media membentuk dirinya sebagai manusia yang terkenal. Melalui itu semua dirinya mempunyai tujuan dalam karya-karyanya.

Mangunwijaya adalah seorang religius dalam arti sebenarnya yaitu seorang Imam Katolik. Namun demikian hidupnya tidak terjebak dalam religiositas yang sempit, sehingga membaca orang seperti dirinya akan sulit dilakukan jika kita semata menempatkannya dalam tataran kapitalisme, lifestyle modern, dan bahkan juga dalam ranah religiositas itu sendiri. Tidak, setahuku dirinya juga tidak anti dengan nilai modern atau yang berseberangan dengan “kaum cilik” karena sebagai Pastor Praja dia mengemban tugas menjadi teman seperjalanan bagi semua orang. Hal itu tercermin juga dalam pandangan-pandangannya yang netral yaitu ketika bercerita tentang rakyat jelata maupun priyayi ningrat dalam beberapa tulisannya.

Ibarat sebuah pernyataan yang mengatakan : bagaimana mungkin seseorang bisa tahu bahwa di atas gunung ada jurang kalau dia sendiri tidak mendaki dan mengunjunginya. Dari foto? Bisa jadi. Tapi itu bukan sebuah pengalaman otentik yang layak-bangga diceritakan. Demikian pula terhadap seseorang seperti Mangunwijaya. Tidak mungkin aku bisa betul-betul menyelami pemikirannya kalau tidak hidup dalam dunia yang membentuk tujuannya dalam berkarya.

No comments: