Friday, July 18, 2008

Si Mak


Dua minggu lalu, Norman adikku, yang tengah liburan sekolah berkunjung ke Jakarta. Ketika asyik ngobrol kami masuk ke dalam topik rencana reuni akbar keluarga besar yang akan diadakan di Yogya tengah bulan ini. Terbayang betapa hingar suasana dalam reuni nanti. Maklum, keluarga besar Ayah mempunyai budaya srimulat. Nyablak asal ngomong, membadut, dan tentu saja membicarakan semua hal yang pernah ada di sekitar kami, apalagi dalam suasana reuni.

Salahsatu sosok yang selalu diingat oleh keluarga ialah si Mak. Begitu kami memanggilnya. Seorang perempuan tengah baya yang setia mengabdi keluarga secara bergiliran : dari melayani Eyang Putri hingga wafat, “mampir” di keluarga Bude Nur, dan terakhir mengabdi di keluarga kami di Pakem Kaliurang sampai akhirnya dipanggil, ya, belum dipanggil yang Maha Kuasa waktu itu, tapi dipanggil atau tepatnya diminta salahseorang anak perempuannya. Untuk menemani katanya.

“Aku kalau ingat kok ingin ketawa yo Mas”, begitu kata Norman sambil tertawa. Teringat sesuatu yang menggelikan tampaknya.
“Apa itu?”
“Itu lho. Ingat ngga waktu aku masih SD? Dan Mas masih tugas akhir. Waktu itu kan lagi seru-serunya masalah Timor-timur.”
“Njur?” (lalu?)
“Lha, Bapak kan paling seneng nonton berita masalah Tim-tim. Nah ... ha-ha-ha!”. Ketawa lagi dia. “Lha ayo teruske ceritamu”, kataku ikut ketawa juga. Bukan karena cerita lucunya yang belum ketahuan lucu yang bikin aku ketawa, tapi karena melihat cara dia ketawa.
“Lha itu ... TV ‘kan nyebut Xanana Gusmao terus ... dan ha-ha-ha-ha!!!” Terpingkal-pingkal si Norman memegang perutnya. Nah, waktu itu Si Mak sambil bikin teh ngomong “Xanana karo Gusmao kuwi ngopo to yo? Isane kok mung pada eker-ekeran terus”. (Xanana dan Gusmao ngapain aja sih. Kok bisanya berantem terus). Tentu, mendengar cerita konyol itu aku jadi ketawa juga. Xanana DAN Gusmao he-he-he.

Ah, si Mak memang perempuan desa yang lugu. Tahunya cuma mengabdi. Olah-olah dan umbah-umbah. Mengenai Xanana Gusmao, Timor-timur apalagi reformasi, nah manusia jenis si Mak ini bukan tidak peduli, tetapi orang Jawa pengabdi dia. Keturunan petani yang cinta harmoni. Baginya simpang –siur kehidupan lumrahnya tidak dilawan tetapi dihayati, dijalankan dengan mengemban amanah damai dari Gusti Allah. Bodoh? Mungkin? Tapi tidak dipungkiri sikapnya membawa kesejukan.

No comments: