Wednesday, November 14, 2007

Ki Moy


Suatu sore aku mampir ke wilayah Kali Besar Jakarta. Sekedar untuk memuaskan rasa kangen terhadap suasana kota tua, apalagi udara saat itu tidak terlalu panas. Sangat menyenangkan untuk sejenak lepas dari rutinitas dengan cara membuat sketsa. Maka jadilah, berbekal bangku kaki tiga yang bisa dilipat, beberapa lembar kertas sketsa, dan pensil tentunya, aku mencari posisi yang tepat.

Sejenak mata aku arahkan ke seluruh wilayah ini. Menatap deretan bangunan-bangunan tua di tepi jalan raya di sisi Timur dan Barat yang dipisahkan oleh sungai besar yang dulu dikenal sebagai Grootegracht. Airnya kotor berwarna hitam pekat. Pelan sekali alirannya, penuh sampah, dan berbau.

Dulu bangunan-bangunan ini berfungsi sebagai sentra perdagangan yang dikelola oleh para pedagang keturunan Cina, Eropa, dan Vereenigde Oostindische Compagnie. Sungai di depannya menjadi lalu-lintas kapal yang masuk melalui Pelabuhan Sunda Kelapa, melewati ‘djembatan inten’ yang sosoknya masih bertengger sampai sekarang. Di masa jaya kala itu orang mengenal wilayah ini dengan nama Iacatra yang akhirnya berubah menjadi Batavia, Jayakarta, dan akhirnya Jakarta. Pelaut Portugis menamainya ‘Zamrud Asia’. Tetapi sekarang keadaannya berbeda. Gedung-gedung tua yang bahkan menurut para ahli sejarah Belanda tidak ada duanya di dunia bahkan di Eropa sekalipun, tidak berfungsi apa-apa. Diam tidak terawat. Beberapa ruangnya menyisakan tempat untuk para gelandangan, pengemis, dan pelacur yang menyediakan jasa bagi para pengemudi truk di dekat wilayah pergudangan untuk melepas lelah. Unloading. Beberapa bangunan lainnya difungsikan kembali sebagai kantor swasta dan pemerintah, juga tempat hiburan yang dikuasai oleh mafia kelas atas.

Suatu pagi di tempat yang sama bersama Pater Adolf Heuken kami melihat kerumunan di sekitar kali besar. Seseorang mengatakan ada bayi dibuang. Mendengar itu saya menoleh kepada Pastor Jesuit tersebut. Dia hanya bergumam lirih : “Ah, masih ada saja yang seperti ini”.

***
Pensil sudah di tangan. Aku mulai dengan menaksir bangunan. Tiba-tiba terdengar sebuah sapaan. Aku menoleh dan melihat seorang perempuan tua sudah berdiri di sampingku. Badannya kecil, pakaiannya dekil. Rambutnya sedikit ikal. Dia mengatakan tertarik melihat aku melukis. Dia mengaku bernama Ki Moy. Wanita keturunan Cina. Semasa mudanya berprofesi sebagai tukang pijit berkelas, lady escort, dan cabo atau pelacur (mungkin diambil dari kata Ca Bau). Memang, jika diamati lebih jauh kekumalan tubuhnya tidak menutupi sisa kecantikannya. Dia mengaku berasal dari keluarga kaya.

“Wah, harusnya Ibu enak dong. ‘Kan keluarga Ibu kaya semua”, begitu saya menanggapi obrolannya.

“Ngga lah, mereka jahat. Mereka buang saya. Udah deh .. saya minta duitnya aja. Buat makan nasi kecap. Sepuluh rebu aja. Kalo ada lebih juga boleh .. he he .. Kalo nggak ada ya udah. Besok ketemu aja di sini. Besok ke sini ‘kan? Saya tiap hari liwat sini.”

“Memangnya Ibu tinggal dimana?”

“Di sana tuh … di kolong jembatan Inten. Di sana banyak cabonya lho. Duapuluh rebuan. Tapi Jelek-jelek. Yang cakep di sana no … di Petak Sembilan deket Gloria. Cabonya Cina. Cakep-cakep. Boleh buat situ deh. Situ apa tadi? Arsitek ya? Tukang ngitung bangunan ya? Kaya dong. Cocok deh buat situ”.

Selama obrolan berlangsung aku hanya bisa tertawa atau senyum. Uang sejumlah duapuluh ribu aku berikan, dan dengan ucapan terimakasih dia pergi dengan sebelumnya meninggalkan sebuah pesan : “Anak laki saya juga tukang ngitung bangunan. Tinggalnya di Cengkareng. Tolong temuin dia. Bilang dia saya sayang sama dia. Saya ngga minta dia harus ketemu saya. Besok kasih tahu saya ya. Kalau cari saya di kolong Jembatan Inten. Bilangin dia saya sayang sama dia”.

***
Saat itu senja hari sewaktu aku melihat sosoknya yang kecil pergi. Dalam hati aku berpikir bagaimana seseorang bisa dengan mudah percaya kepada orang yang baru dikenalnya. Dia juga percaya bahwa aku mengenal anaknya hanya karena kami sama-sama tukang ngitung bangunan. Kedengarannya bodoh. Tapi bisa jadi permintaannya adalah ungkapan kerinduan yang ingin disampaikan yang selama ini tidak tahu kepada siapa dia ingin sampaikan. Sebagai manusia saya hanya bisa terharu tetapi tidak bisa berbuat lebih banyak. Hanya ada rasa ingin bertemu dengannya lagi dan mengatakan : “Ibu, saya sudah bertemu dengan anak Ibu. Dan dia mengatakan bahwa sayang kepada Ibu”.

Dari situ saya hanya berharap, suatu ketika, siapa tahu, diakhir hidupnya dia tetap seorang cabo miskin yang kesepian, setidaknya bisa meninggal dengan hati tenang karena ‘tahu’ anaknya mencintainya.

No comments: