Monday, November 19, 2007

Bulan di Asia

Kemarin malam aku membongkar koleksi kaset lama. Banyak juga ... dan kotor. Satu persatu aku ambil dan bersihkan, sampai akhirnya jatuh pada salahsatu album yang aku suka, bertajuk Bulan di Asia yang dimainkan oleh kelompok JavaJazz. Ini sebuah grup jazz yang muncul pada tahun 90-an. Dengan memainkan nada kombinasi pentatonik-diatonik kelompok ini mampu menarik perhatian publik pada NorthSea Jazz Festival di Den Haag Belanda. Dan Bulan di Asia hadir dengan imaji yang kuat di antara alunan nada mainstream modern lainnya. Tidak hanya nada-nadanya tetapi juga judul yang diusung. Cantik, eksotis, genit, penuh warna, sekaligus agung dan mistis.

Yudi, seorang kawan sekaligus pianis suatu ketika menjelaskan bahwa seorang musisi jazz hidup-larut dalam ritme nada yang dimainkannya : improve, ekspresif, "melompat", nada sengau, sinkop, fretless, memainkan rasa. Mereka bagaikan berjalan beriringan tetapi masing-masing berdiri pada layer yang berbeda. Namun demikian ada unsur yang selalu menjaga agar tetap ada dialog dan harmoni. Dan tentang layer sendiri, aku mengenalnya kira-kira sepuluh tahun silam ketika masih belajar di fakultas arsitektur. Kami diajarkan bagaimana mengolah layer dalam proses perancangan. Kami diajak membaca data kehidupan : sejarah, aktifitas, budaya, filosofi, religi, fungsi, program, sirkulasi, dan masih banyak lainnya. Mengolahnya, meletakkan masing-masing unsur pada pola yang berbeda, dan di tempatkan dalam satu bidang. Mirip menjahit kain-kain perca menjadi satu selimut, sehingga terbentuklah ruang dan waktu yang baru.

***

Minggu, 18 November 2007. Waktu itu menunjukkan pukul 21.30 wib. Hujan turun deras di Jakarta Selatan. Masih dengan menggunakan raincoat aku mengetuk pintu sebuah rumah di Kampung Duku yang lampunya masih benderang. Terdengar suara ceria anak-anak di dalamnya. Masih ada kehidupan pikirku.

Tak lama kemudian muncul mas Wawan dari balik pintu, diikuti Bening yang mengenakan piyama. Keduanya tertawa. Ah, nyaman rasanya. Disambut dengan sebuah kegembiraan, dingin di badan tidak terasa.

Beberapa menit kemudian Bening yang anggun pamit tidur, dan berganti muncul sang adik, si genit Kanya yang juga mengenakan piyama. Dirinya mencuri perhatian kami yang sudah berbincang panjang -lebar. Tentang kegiatan akhir-akhir ini, tentang diriku yang jatuh cinta, tentang teman, tentang buruh-buruh proyek, tentang bagaimana saat ini beberapa dari antara kami menduduki posisi yang baik dalam pekerjaan. Seringkali di tengah pembicaraan, Kanya mencium pipi Bapaknya. Tanpa bermaksud memutuskan pembicaraan kami sang Bapak berganti mencium pipinya dan melontarkan rayuan mesra, dan kemudian obrolan berlanjut lagi. Aneh, aku tidak merasa terganggu. Bahkan merasa kehadirannya, meskipun dalam aras yang berbeda dengan pembicaraan kami terasa bagaikan sesuatu yang alami dan saling mengisi. Sulit bagiku untuk menjelaskannya.

Lagi.
Kanya merengek minta tidur dekat dengan Bapaknya. Jadilah si Nok ini tidur di sofa berbantalkan guling panjang dengan percaya akan satu janji: nanti tidur dengan Bapak.

Wedang Sekoteng bersama tempe dan tahu bacem disuguhkan. Tak lupa kacang kulit. Kami berbicara tentang silencium. Mengolah rencana-rencana dan berharap Tuhan berkenan akan rencana retret yang akan datang. Kami juga berbincang tentang arti komunitas, mengkritisi, mempertanyakan makna dibalik kata, pandangan positif akan para sahabat. Lagi-lagi si Nok yang genit duduk.

"Lho kok ngga tidur?", tanya sang Bapak. Dijawab dengan gelengan kepala, dan sebuah ciuman mendarat di bibirnya. Nok Kanya tertawa. Aku menimpali : "lho kok oom Seto ngga dicium?". "Ayo cium Oom!," sang Bapak memprovokasi. Si Nok menggeleng. Tanpa persetujuan sebuah ciuman mendarat di pipinya. Kami tertawa.

Petir berkeliaran di udara. Masih hujan. Motorku tampak mengkilap gagah dibalik pintu. Mas Wawan mengucapkan sebuah kalimat yang malam itu bagiku terdengar bak kalimat samawi : "Kalau dipikir-pikir, apa artinya dia bagiku? Kenapa dia harus hadir di tengah keluargaku? Siapa dia?".

"Dan seorang individu dengan jatidiri yang berbeda," aku menimpali.

"Ya," jawabnya. Tangannya terus membelai si Nok yang mulai tertidur. Nyaman dan hangat. Menunggu janji sang Bapak yang akan mengajaknya tidur. Wajahnya terlihat cantik, seperti wajah bulan. Bulan dengan wajah yang sangat Asia. Ya, Bulan di Asia.

No comments: