Wednesday, October 31, 2007

Dr. Satrio - Rasuna Said

Kemarin malam saya berjalan kaki menyusuri jalan Dr. Satrio menuju Rasuna Said. Lalu lintas sangat padat. Awalnya tidak merasa heran karena sehari-hari kondisinya memang demikian. Tapi beda kali inisemua kendaraan berhenti. Kemudian, dalam jarak kira-kira 50 meter ke depan baru tampak kerumunan. Saya pikir sebuah kecelakaan. Ternyata benar. Orang ditabrak sepeda motor kata seorang tukang parkir. Di sebelah kanan di tengah jalan dua orang menebar pasir kesebuah genangan darah. Di sebelah kiri di tengah kerumunan seorang ustadz sedang berjongkok mendoakan korban ditemani dua orang polisi. Sesosok tubuh dengan posisi menelungkup di trotoir. Bagian kepala ditutup kertas koran. Tubuhnya kecil, pakaiannya dekil. Dia sudah mati.

Sebisa-bisanya saya berdoa. Tapi dalam hati lebih banyak dipenuhi rasa haru. Haru terhadap korban, haru terhadap penabrak yang dalam kondisi shock di bawa masuk ke mobil polisi, juga haru terhadap orang-orang yang menonton. Ada yang menaruh simpati, tapi (tanpa bermaksud buruk sangka) ada juga yang sekedar menganggap kejadian seru yang bisa dijadikan bahan cerita ke orang-orang. Muncul juga rasa aneh dalam hati demi membayangkan apa yang ada dibenak anak itu beberapa saat sebelum kematiannya. Mungkin dia punya banyak rencana, keinginan, dan berpikir ke depan tanpa pernah tahu sesaat lagi dirinya akan berpindah alam.Tapi ada lagi yang membuat hati saya terketuk : lelehan air mata seorang anak kecil di gendongan Ibunya. Sang Ibu tidak bereaksi sedih, bahkan berkesan biasa. Bisa dipastikan mereka bukan anggota keluarga. Anak itu tidak menangis keras, tapi mungkin merasakan kesedihan. Kesedihan itu seperti muncul secara spontan tanpa dirinyayang masih berusia sekitar 5 tahun mampu menalar lebih jauh apa yang terjadi. Di dalam pikiranku, spontanitas tersebut menyiratkan gerakan hati yang jujur, dalam, dan bersih. Saya yang selama berjalan dipenuhi pikiran dan kekhawatiran akan pekerjaan, kehidupan, keuangan, dan lain-lain yang membawa kepada sikap egois menjadi begitu ingin belajar lepas-bebas seperti anak itu. Sejenak berani untuk memberikan hati kepada orang lain tanpa buru-buru menilainya terlebih dahulu.

Saya percaya jiwa korban itu bahagia, seperti halnya saya percaya malam itu Tuhan berbicara kepada saya melalui lelehan air mataseorang anak. Memang Tuhan itu sangat lembut, tapi kehadiranNya kerapkali nyata dan meninggalkan sebuah tanda.

No comments: