Saturday, January 28, 2012

Rayakan Rumahmu

Lima tahun lalu seorang teman di Yogyakarta minta dibuatkan rumah yang menurut rencana akan ditempati oleh ayahnya. Sebelumnya, ayah temanku itu menumpang di rumah seorang kerabat mereka. Semuanya berjalan lancar sampai suatu saat sang pemilik rumah mengeluh. Dia berencana menjual rumahnya tetapi niatnya selalu tertunda karena tidak tega 'mengusir' ayah temanku ini.

Setelah rumah temanku selesai dibangun sang ayah tidak kunjung menempati. Hanya sesekali menengok untuk membersihkan. Temanku ini jadi kesal hati. Sudah dibuatkan rumah tapi masih memilih merepotkan orang lain. Tempo hari di Yogya dia menengok rumah tersebut. Sesampainya di sana dia disambut tetangga yang bertanya, "Bapak menika kok lucu to mas? Wonten griyo tenang ngeten niku kok mboten dinggeni? Nggih kala wingi nika kulo ketingal wonten langit-langit retak-retak, padahal griyo nika gadhah jiwo lho mas, menawi griyo nika suwung nggih mung marai risak sedaya". [Bapak itu kok lucu to mas? Punya rumah tenang tapi tidak ditempati. Kemarin saya perhatikan ada langit-langit yang retak, padahal rumah punya jiwa. Kalau rumah dibiarkan kosong maka akan rusak].

Aku tertegun mendengar cerita itu. Pikiranku mencatat hubungan antara rumah, jiwa, kekosongan, dan kerusakan. Antara benda mati dan unsur metafisik. Menjadi suatu pertanyaan: bagaimana sebuah rumah bisa memiliki jiwa?

Masyarakat tradisional yang sangat dekat dengan alam tidak pusing dengan pertanyaan itu, yaitu bagaimana sebuah benda mati bisa memiliki jiwa. Contohnya adalah penduduk yang tinggal sekitar lereng gunung Merapi. Mereka menganggap gunung tersebut layaknya manusia. Mereka berdialog dengan sang Merapi, menghaturkan sesaji sebagai wujud terimakasih atas rejeki yang diberikan oleh sang gunung.

Aku pun pernah memiliki pengalaman yang berhubungan dengan jiwa rumah. Waktu itu, menjelang kematian Ibu, aku datang ke rumah yang sehari-hari Ibu tempati di wilayah Prawirodirjan. Sekedar untuk membersihkan setelah hampir sebulan tidak di tempati pemiliknya yang sedang dirawat di rumah sakit.

Waktu itu hujan turun sangat deras. Aku melihat tetesan air di dalam rumah dalam jumlah banyak. Bocor. Dimana pun hingga menimbulkan genangan yang parah termasuk di kasur Ibu. Aneh. Tidak pernah ada kejadian separah ini di rumah ini sebelumnya. Tiba-tiba hatiku berdesir, seperti ada bisikan yang mengatakan bahwa rumah ini menangis. Kosong, karena Ibu tidak akan pernah lagi pulang. Dan benar, esok harinya, Ibu yang menurut rencana diperbolehkan pulang mendadak pendarahan disusul koma. Tiga hari setelahnya beliau wafat tanpa pernah kembali ke rumah. Jika teman-temanku yang berprofesi sebagai dokter mencatat kejadian di luar nalar yang mereka jumpai dalam praktek profesi sehari-hari mereka yang sangat berdimensi sains, demikian juga aku mencatat peristiwa itu dalam hati sebagai seorang insinyur bangunan.

Rumah memiliki jiwa. Ungkapan ini sebetulnya adalah simbol yang menunjuk pada seseorang yang tak lain adalah si pemilik yang 'meletakkan' jiwanya pada rumah yang ditempatinya. Rumah menjadi semacam titisan manusia. Menjadi tubuh kedua di dunia sebagai penjamin rasa aman dan hangat. Rumah menjadi wadah bagi manusia dalam meletakkan seluruh rahasia terdalam dirinya yang tidak ingin diketahui orang lain, tempat merenung dan merencanakan masa depan, berdialog dengan orang terdekat dan tuhannya. Maka pantaslah jika orang mengeluarkan energi besar untuk sebuah rumah, mengupayakan segala cara untuk merayakannya, bahkan jika perlu dengan berhutang. Sebuah peristiwa sakral dalam hidup. Maka, membiarkan rumah dalam situasi 'kosong' sama dengan membiarkan jiwa kita berkelana tanpa tujuan, dalam malam-malam kelam melelahkan.

Pulanglah ke rumah. Sempatkan waktu mengisi ruang- ruang di dalamnya; merefleksikan kehidupan, berdialog dengan anggota keluarga, dan beristirahat. Jangan biarkan kekosongan menguasai hingga akhirnya menimbulkan kerusakan. Kerusakan yang bukan sekedar fisik rumah tetapi juga jiwa.

No comments: