Monday, February 13, 2012

Tebarkan Jalamu di Sisi Kanan

Suatu pagi aku berdiskusi dengan seorang arsitek tua yang menjabat sebagai Director of Design pada sebuah biro arsitektur ternama. Kami terlibat dalam sebuah proyek membuat sebuah bangunan klasik. Suatu pekerjaan yang tidak mudah karena langgam klasik menuntut aturan yang sangat ketat.


Diskusi pagi itu diawali dengan pikiranku yang merasa buntu karena beragam hal yang membuatku sulit mencapai unsur klasik. Melihat kecemasanku, arsitek tua itu tersenyum dan menunjukkan berbagai straregi desain yang tidak kusangka. Bahkan pada awalnya aku merasa pesimis dengan strategi desain yang dibuatnya, yang menurutku justru akan merusak kaidah klasik.


Tapi tidak. Dia meyakinkanku bahwa strategi yang dia tawarkan justru memperkuat nilai bangunan klasik. Pikiranku jadi terbuka dan tercerahkan. Dan diskusi pagi itu berakhir dengan pesan singkatnya, "banyak cara dalam classic style, tapi yang terpenting kita harus memahami 'bahasanya'". Sebuah kalimat yang membangunkan aku yang terlalu fokus pada kebiasaan.


Diskusi itu membuatku jadi teringat akan cerita yang pernah dituturkan Kakek kepadaku, waktu aku masih duduk di bangku sekolah dasar.


Pada suatu malam Kakek mengunjungi kami. Dia bercerita tentang seorang Guru Sufi yang hidup di tanah Palestina, kira-kira 70 tahun sebelum perang besar Jerusalem.


Guru itu adalah sosok yang penuh kharisma. Ajarannya selalu ditunggu oleh banyak orang, lewat kata-katanya yang menggugah dan mencerahkan. Seperti suatu ketika, demikian kata Kakekku, Guru itu mendatangi sekelompok nelayan yang frustasi karena hanya mendapat sedikit ikan setelah semalaman mencari. Kepada para nelayan itu Guru Sufi 'hanya' berkata "bertolaklah lagi ke danau dan tebarkan jalamu di sebelah kanan". Suatu permintaan yang menurut banyak orang tidak lumrah dan di luar kebiasaan para nelayan.


Setelah melalui perdebatan mengalahlah para nelayan itu. Dalam kelelahan mereka bertolak lagi ke danau dan menebarkan jala di lambung kanan. Maka aduhai, demikian Kakekku katakan, tertangkaplah ikan dalam jumlah banyak. Setelah kejadian itu banyak orang percaya bahwa suatu mujizat telah terjadi. Tapi, lanjut Kakekku, sesungguhnya Guru Sufi itu hanya membuka pikiran para nelayan agar mampu melihat bahwa perahu mereka memiliki 4 lambung. Sebelumnya, para nelayan itu merasa nyaman dan terbiasa pada lambung kiri yang aman dan mudah sehingga tidak melihat potensi lain yang ada pada diri dan perahu mereka. Tetapi jika peristiwa itu dikatakan sebagai mujizat, maka bisa jadi mujizat bukanlah hal- hal gaib melulu tetapi suatu keberanian untuk melihat sisi yang lain, masuk dalam wilayah yang selama ini menjadi kekhawatiran kita.


Kembali pada pesan seniorku itu, bahwa untuk memahami sesuatu kita harus memahami 'bahasa' nya. Menurutku manusia tidak pernah tuntas dalam memahami suatu bahasa karena bahasa selalu menyiratkan hal-hal yang tidak terucapkan dan tidak pernah selesai. Tetapi mungkin yang dimaksud dirinya adalah cinta. Ketika seseorang memiliki cinta dia memiliki keberanian untuk masuk ke dalam situasi yang tidak pasti, 'menebarkan jala di sisi kanan', dan memperjuangkan suatu nilai.

No comments: