Thursday, July 5, 2007

Titip Refa

Tanggal 23 Juni 2007 aku menerima pesan dari Bapak melalui sms. Mengabarkan bahwa Norman adikku lulus ujian nasional. Bukan hanya itu. Dikatakan juga bahwa seratus persen murid di tempat dia bersekolah juga lulus. Dalam hati aku tersenyum. Ada rasa lega dan bangga yang besar demi mengingat perjuangan yang kami sekeluarga lalui bersama untuk bisa menyekolahkan adikku yang satu ini. Maklum, kami bukan dari kalangan berada.

Tahun 2003 yang lalu adalah tahun terburuk dalam karier Bapak. Peristiwa bom yang meluluhlantakkan Paddy's Restaurant di jalan Legian Bali sertamerta juga menghancurkan usaha perjalanan wisata yang sudah ditekuninya selama bertahun-tahun. Demikianlah saat itu, dengan kekuatan yang diperoleh entah darimana Bapak menjual semua asetnya demi bisa memberikan gaji terakhir bagi para karyawannya; mbak Yus sang sekretaris, Pak Min yang office boy, dan Pak Riniyanto sang pengemudi, yang telah mengabdi bahkan sejak aku dan kakak-kakakku masih kecil.

Usaha Bapak tidak berskala besar. Pas-pasan saja. Jadi tidak heran kalau tidak ada sisa harta yang bisa diandalkan saat itu kecuali sebuah sepeda motor yang dibeli dengan cara kredit dan uang tabungan yang kian menipis. Aku, saat itu masih bekerja di sebuah biro konsultan besar di Jakarta. Tapi apalah arti kata “besar” dalam kehidupan ekonomi di negara yang berantakan dan tidak mampu memberikan jaminan minimal untuk sebuah kehidupan yang layak. Serba sulit. Serba harus menahan diri. Ditambah bagi kaum urban seperti aku, kakak-kakakku, dan beberapa kawan yang betul-betul harus berdiri di atas kaki sendiri.

Tetapi hidup memang sebuah perhelatan akbar. Banyak tarian yang harus dimainkan. Dan apapun tariannya tentulah akan tampak indah jika digerakkan dengan sepenuh hati, bukan dengan keluhan. Maka jadilah, dengan semangat tersebut kami menambal “dinding yang berlubang” agar “kapal” tidak karam. Termasuk agenda saat itu adalah membantu Norman untuk dapat melanjutkan belajar di sekolah menengah pertama. Ah, tapi ini jangan dibaca sebagai kisah kepahlawanan. Bukan. Ini murni rasional : bahwa harus ada tali estafet yang harus terus bersambut agar kehidupan tidak luruh. Maka mengingat peristiwa itu semua patutlah kami saat ini bersyukur atas kelulusannya. Adikku memang bisa diandalkan. Setidaknya atas usaha terakhirnya yang membuahkan nilai baik dan sikap serta pola pikir yang membuatnya dengan mudah diterima di sebuah sekolah menengah umum swasta bermutu. Murah? Tentu tidak! Dan sekali lagi kami harus “menari” lagi. Ngamen.

Dibalik peristiwa syukur tersebut ada satu orang lagi yang perlu selalu kami ingat, yaitu Ibu. Tiga tahun yang lalu dia memainkan peran sebagai layaknya Ibu bagi Norman yang adalah saudara kandung bagi kami tetapi berlainan Ibu. Ibulah yang sejak awal mengingatkan Bapak dan kami semua dari sejak pengumuman penerimaan, jadwal pengembalian formulir, pengambilan nomor tes, dan lain sebagainya. Tetapi dari semua peran tersebut yang terpenting adalah posisi tawarnya yang masih baik sebagai bekas guru dan petugas unit kesehatan sekolah di tempat Norman akan bersekolah. Tentu hal ini sangat membantu kami yang harus mengakui secara jujur berada dalam situasi keuangan yang lemah. Masih segar dalam ingatanku saat dirinya lapor sesampainya aku di Jogja. Lapor atas usahanya menawar.

“Dik Wisnu, sebagai bekas guru di sini tawaranku masih dihargai atau tidak?”, tanyanya kepada Pak Wisnu, seorang teman baik, dan bekas guru kami yang masih setia mengabdi.
“Oh lha iya to Bu. Tapi buat siapa?”
“Ya buat anakku to”.
“Anakmu yang mana? Semua sudah pada lulus dan gede-gede to?”
“Anakku yang mana? Anakku ya anakku! Norman Mahardhika namanya. Dia yo anakku”. Ngotot

Ah, Ibu memang hanya seorang guru. Guru pelajaran menyanyi, koor, dan juga pencipta lagu yang tidak pernah komersil. Baik saat masih bertugas di sekolah ini, maupun ketika akhirnya memilih “pensiun” dirinyapun masih mengajar di sekolah lain, di Instansi Pemerintah Daerah yang getol kalau ada lomba tahunan antar departemen, bahkan pernah juga di Akademi Angkatan Udara. Untuk yang aku sebut terakhir ada kesan mendalam yang tampak dalam cerita-ceritanya; bagaimana dirinya selalu dijemput menggunakan bis besar berwarna biru tua. Sesampainya di lokasi langsung di sambut oleh Taruna tertua yang melaporkan bahwa mereka siap untuk berlatih. Diingatnya juga bagaimana mereka memberi hormat ketika Ibu masuk ke dalam ruangan. Dan hasilnya : sebuah paduan suara dengan semangat militer yang setiap bulan sekali mempersembahkan koor untuk upacara misa di gereja Kidul Lodji. Tetapi begitulah. Dirinya tetap seorang guru honorer yang penghasilan terakhir sekitar tiga tahun sebelum wafatnya hanya tigaratus ribu rupiah sebulan. Tetapi semua kekurangan itu tidak melunturkan jiwa pendidik dan kecintaannya terhadap anak-anak dan sebisa mungkin menolong mereka yang membutuhkan. Salahsatu anak yang dikasihinya adalah Refa. Nama lengkapnya adalah Yohanes Refa Cahyo Kurniawan.

***
Refa lahir dari pasangan Pak Sukar dan Mbak Ten. Wajahnya bersih dan tampan. Seumur dengan Norman adikku. Dia rajin mengaji, pintar, dan budi pekertinya halus. Sangat mengerti akan kondisi orangtuanya yang sangat miskin.

Mbak Ten, begitu kami memanggilnya, adalah perempuan sederhana yang tidak sempat mengenyam pendidikan formal. Tulang punggung keluarga. Perawakannya kecil, penurut, tetapi kadangkala emosinya meledak-ledak. Mungkin hal tersebut disebabkan pendidikannya yang terbatas sehingga sulit mengolah kesulitan hidup yang dihadapi. Mbak Ten bekerja untuk keluarga kami, dalam hal ini membantu Ibu mengurus rumah dan menjaganya saat malam hari. Dahulu, sebelum kami mengambil perawat yang mengurus luka kanker payudara yang hinggap di tubuh Ibu, kalau terjadi sesuatu seperti jatuh dari tempat tidur atau pendarahan misalnya, mbak Tenlah satu-satunya orang yang bisa diandalkan. Berani melihat kanker, melihat bulir-bulir daging busuk dan darah yang mengucur serta membersihkannya. Ora jijikan. Tidak mudah jijik begitu kata Ibu mengomentari keteguhan dan kesetiaan mbak Ten. Begitu setianya sehingga mulutnyapun nyaris rapat sempurna, mematuhi pesan sang majikan untuk tidak menceriterakan kondisi yang sebenarnya jika anak-anak bertanya. Di mataku mbak Ten adalah seorang malaikat. Dirinya selalu menyiapkan teh hangat yang sangat nikmat kalau aku pulang ke rumah Ibu, atau air panas untuk mandi dengan tidak lupa kebiasaannya menaburkan daun sirih. Selalu, pada saat-saat seperti ini aku merasa menjadi raja.

Pak Sukar mempunyai wajah yang tampan. Perawakannya tidak tinggi tetapi cukup kekar. Sejak kecil kami sudah mengenalnya. Dahulu dia bekerja membantu Pakde Mardi, saudara iparnya, sebagai pengrajin logam sepuh. Membuat benda-benda seperti sendok, lambang garuda pancasila, logo kraton, dan lain sebagainya. Sering, sewaktu aku masih duduk di bangku sekolah dasar, ketika hendak pergi ke warung Bu Muh, berhenti sejenak saat melewati bengkel milik mereka. Ruangannya kecil. Berukuran 2 x 3 meter dengan atap emplekan atau tambahan karena ruangan yang mereka gunakan untuk bekerja sebetulnya adalah pojok halaman. Ruangan ini cukup gelap. Lantainya tanah. Dindingnya hitam akibat hangus oleh api yang digunakan untuk mencairkan logam. Mereka bekerja dengan cara berjongkok atau duduk pada sebuah dhingklik. Sebagai anak kecil aku senang melihat api yang menyala-nyala tersebut. Membesar dan panas ketika Pak Sukar meniupkan udara dari mulutnya ke dalam tungku secara manual menggunakan pipa besi. Pekerjaan inilah yang akhirnya memberikan kebutaan pada kedua matanya. Saat ini, di dalam kegelapan dunia, dirinya masih berusaha mengais rejeki sebagai niyaga. Memainkan rebab dalam satu kelompok penabuh gamelan pada acara Sendra Tari Ramayana yang diadakan untuk menjamu wisatawan. Lokasinya tidak jauh dekat rumah kami. Sebagai niyaga dengan jadwal yang tidak sering penghasilannya sangatlah kecil. Sisa harinya selalu digunakan untuk memainkan rebab. Duduk di sebuah kursi di muka pintu kamar menghadap halaman yang berbatasan dengan rumah kami. Suara gesekannya rengeng-rengeng, pelan, kadang datar. Sendu, meditatif, menarik rasa dan emosi ke dalam situasi hening. Dia tahu bahwa aku dan Ibu suka mendengarkan permainannya.

Begitu miskin keluarga itu. Jika tidak dibantu oleh beberapa sanak, Refa tentu tidak dapat bersekolah. Keadaan mereka yang serba sulit dan sikap mereka yang baik menggerakkan hati Ibu untuk menjadikan mbak Ten sebagai pengurus rumahnya. Untuk memberi tambahan penghasilan.
“Untuk Refa. Anak itu baik. Bapak Ibunya ngga punya apa-apa. Kasihan kalau sampai ngga sekolah”, kata Ibu suatu hari. Aku hanya bisa mengangguk

***

Peristiwa itu kembali muncul dalam benakku ketika pelan-pelan kegembiraan hati atas kelulusan Norman mulai mengendap. Titip Refa. Kata-kata tiba-tiba itu muncul kembali. Pelan dan lirih, tetapi menghentakkan hati. Mengingatkan akan sesuatu yang terlupa. Kata-kata itu muncul dari mulut Ibu yang lemah, dalam pandangan mata yang nanar di sebuah kamar rumah sakit yang dingin dan temaram. Waktu itu bulan Maret menjelang April. Ibu sudah habis-habisan berjuang melawan kekuatan kanker yang sudah mencapai stadium terminal. Menggerogoti paru-paru dan jantungnya. Sudah hampir dua minggu kami menungguinya dalam kelelahan. Baik fisik maupun mental. Masih sempat sejenak melihat tawa dan semangatnya yang perlahan tapi pasti pudar berganti menjadi pikiran yang meracau, badan yang menolak makanan, bola mata yang memudar menjadi abu-abu, melihat bayang-bayang di balik kehidupan.

27 Maret 2006. Waktu kira-kira menunjukkan pukul sepuluh malam. Suasana sangat sepi dan dingin. Aku berjaga sendiri, duduk di samping Ibu yang tidur dengan posisi miring menghindari rasa sakit pada sisi kanan badannya. Tangannya merangkul guling dan telapaknya menggenggam pembatas tempat tidur. Kakinya bergerak secara berkala dengan irama yang tetap. Menurut suster yang merawatnya itu tanda bahwa dia begitu menahan sakit. Aku tidak percaya karena tidak keluar keluhan dari mulutnya. Hanya kadang kepanasan dan minta untuk digosok atau disejukkan. Tetapi kaki itu terus bergerak bahkan ketika matanya yang mulai nanar terpejam.

Aku menatap wajahnya. Dagu kusandarkan pada tepi kasur dekat tangan Ibu demi menahan badan yang mulai lelah. Tiba-tiba mata Ibu terbuka dan kamipun bertatapan. Aneh, tiba-tiba ada ketakutan bercampur kesedihan merayapi hatiku, demi melihat orang yang pernah mengandung aku. Perempuan keras dan kuat pendiriannya. Teguh dalam kemiskinan dan penderitaan. Rela memberikan bahu bagi anak-anaknya untuk berpijak di atasnya dan meraih bintang-bintang di langit. Hidup dalam kesendirian dan kesepian. Dan saat ini dia berada dalam kondisi sakratul.

“I love you Ma”.
“Love you too”. Suaranya lirih dan berat. Sembari mengusap kepalaku. Sesuatu hal yang lama tidak kurasakan. Belaian lembut seorang Ibu kepada anaknya.
“Maafin aku Ma”.
“Pasti”, jawabnya
“Kamu bangga?”, dia bertanya. Aku mengangguk tersenyum.
“Nanti kalau Mama sudah ngga ada, tolong kamu kasih uang ke Mbak Ten. Cincin Mama ada di lemari di bawah tumpukan baju. Kamu ambil. Koor nanti biar Mas Joko yang urus. Kalau sempet bawa Mama ke gereja dan mampir ke rumah." Dan berakhir pada satu permintaan : "Titip Refa”.

Saat itu mulutku seperti dibungkam. Dan aku seperti melihat sebilah pedang menancap di dadaku. Menembus pelan masuk ke badan inchi per inchi … terus … terus ke dalam Terasa sakitnya. Dan ketika mulutku bisa terbuka yang terlontar bukanlah kata-kata penghiburan tetapi sebuah kalimat “Ya”. Saat itu aku merasa berjabat tangan dengan kematian yang aura kehadirannya mulai terasa, pelan tapi pasti, merangkul Ibuku yang kembali memejamkan mata dengan tarikan nafas yang teduh. Aku menangis. Di dalam kegelapan dan dinginnya kamar lepas kendali seluruh kekuatan dan kesombonganku sebagai laki-laki, dan akhirnya aku tahu itulah saat terakhir kami bertatapan dan berbicara.

2 comments:

Anonymous said...

baguuss....
untuk nulis sekualitas beginian ini saya butuh berhari-hari nih...!

Anonymous said...

Mas Seto,

Ikut berduka cita ya. Maaf banget baru denger beritanya. She was such a wonderful person! Mami pasti bahagia dirumah Bapa.

God bless!

'de Anieck