Monday, May 28, 2007

Eyang Waras

Bagi Wegig pulang ke Yogya adalah sebuah peristiwa yang menggairahkan. Bertemu dengan teman-teman lama, ngobrol dengan Bapak dan adik, jalan-jalan menikmati situasi kotagede yang magis, nyekar ke makam Ibu, dan juga seperti biasa; nyekar ke makam Eyang Waras. Yang terakhir ini adalah seseorang yang mempunyai kesan tersendiri dalam hatinya. Sebutan Eyang tidak lain karena usianya yang sudah tua sewaktu Wegig mengenalnya. Sekitar tujuhpuluh tahun waktu itu. Di masa mudanya Eyang Waras adalah seorang Soverdian. Hidup sebagai anggota tarekat dalam sebuah biara Katolik yang akhirnya harus rela meninggalkan status biarawan karena sadar bahwa dirinya adalah seorang homoseksual. Kehidupan selanjutnya selepas membiara dibaktikan sebagai guru dan pembimbing rohani di sebuah gereja tertua di kota Yogyakarta dimana Wegig terlibat aktif di dalamnya. Dari pertemuan dengan Eyang Waras dirinya memperoleh pengalaman religius dengan sangat sederhana namun berkesan: sebagai messdiener dan mulai menyukai lagu-lagu gregorian.

“Menjadi messdiener adalah menjadi pelayan”, begitu kata Eyang Waras suatu hari. “Beda kalau kamu ikut kegiatan lain yang penuh acara ini dan itu. Banyak dikenal, banyak yang suka. Lha kalau messdiener, sekali tampil di depan ya itu tadi. Melayani. Jadi pembantu. Yang jadi fokusnya adalah Imam. Tapi apapun itu menjadi seorang pelayan adalah sebuah tugas yang harus diterima dan dikerjakan dengan senang hati.”

Kalimat tersebut kembali terngiang dibenak Wegig ketika menyusuri trotoir di tepi taman kota. Seperti angin yang bertiup lembut. Tidak terasa kehadirannya tetapi mampu mengalihkan kesadarannya menuju masa lalu. Di sisi kanan sebuah bis melaju kencang disusul sepeda motor dan mobil yang berpacu menyambut traffic light yang menyala kuning. Anginnya menerpa badan, menggoyang tas bawaan yang menjadi semakin berat. Sekelompok pasukan brigade mobil berjaga-jaga di depan sebuah gedung berpagar tinggi lengkap dengan untaian kawat duri. Di sisi kiri, kelompok besar pepohonan rimbun terlihat memancarkan kesejukan. Tetapi hamparan panorama tersebut tidak mampu mencuri perhatiannya yang sedang berkelana ke masa duapuluh tahun silam, di dalam sebuah bangunan gereja tua dimana dirinya berkumpul setiap minggu bersama teman-teman messdiener di bawah bimbingan Eyang Waras. Sebuah gereja yang tidak besar tetapi tinggi dan panjang. Tiang-tiangnya berbalut logam berwarna merah maroon dengan ukiran klasik di ujung atas. Seringkali burung-burung gereja bersarang di sana. Diingatnya juga seluruh dinding altar berbalut pecahan genteng tanah liat yang mengkilap. Di sebelah kiri altar terdapat pintu masuk menuju sakristi, yaitu sebuah ruang persiapan bagi imam dan petugas upacara. Di tempat inilah baju-baju misdienaar, sang pelayan, digantung siap pakai dekat sebuah lemari yang mempunyai cermin di bagian luar daun pintunya. Di tempat ini pula Romo Kijm, seorang Imam Belanda yang gemar menghisap rokok commodore, suatu ketika dengan kedua telapak tangan memegang kepala Wegig dan mengarahkan ke muka cermin. “Kalau sisiran yang rapi. Jangan seperti jalan semut”, katanya sembari meletakkan jari telunjuk ke garis belahan rambut yang berkelok. Atau Romo Waskito, juga seorang Imam Belanda yang mempunyai nama asli Joseph Vossen, yang selalu mengingatkan untuk tidak mengikat lengan jubah pada pinggang. Suatu hal yang selalu dilakukan oleh messdiener berbadan besar untuk menyiasati jubah yang kekecilan sebelum ditutup dengan pakaian putih yang menutupi badan dari leher atas hingga batas lutut. Peraturan serba tertib, rapi, dan disiplin. Tampaknya di mata Romo-romo itu seorang pelayan bukanlah hamba. Pelayan adalah salahsatu jenis pekerjaan. Setara dengan pekerjaan sebagai arsitek yang dijalani Wegig saat ini.

Terdengar gema yang muncul dari sebuah pengeras suara di stasiun. Mengabarkan rangkaian kereta api yang baru datang. Wegig tersadar. Lamunannya buyar. "Ah, sudah hampir sampai rupanya", gumamnya. Di depannya tampak kesibukan sebuah stasiun. Diliriknya arloji. Masih lama. Kereta api yang ditumpanginya akan berangkat tiga jam lagi. Masih banyak waktu baginya untuk berjalan ke wilayah tua Menteng. Mampir ke sebuah kafe kecil bernuansa kolonial sembari meneguk coklat panas tanpa krim dengan dark chocolate di mulut sangat mengasyikkan. Tetapi entah kenapa dirinya lebih memilih menunggu di stasiun. Maka jadilah dia naik ke lantai atas menuju teras yang diperuntukkan bagi penumpang rangkaian kereta yang akan dinaikinya. Dipandangnya teras di seberang. Dulu, tempat dimana dia berdiri khusus diperuntukkan bagi penumpang eksekutif, dan yang diseberang diperuntukkan bagi penumpang dengan kelas di bawahnya. Sekarang sudah tidak lagi. Tetapi bukan berarti pemerataan sudah terjadi. Yang dia tahu penumpang dengan kelas di bawah eksekutif ditempatkan di stasiun lain di wilayah kecamatan Senen yang padat dan rawan. Bangunannyapun kusam dan tidak terawat. Terkesan miskin dan terlantar.

***
Pukul tiga lebih dini hari. Kereta baru melewati stasiun Purwokerto. Berhenti sebentar menurunkan penumpang dan memberi sedikit kesempatan kepada penjual makanan untuk sekedar melongokkan kepala melalui pintu gerbong. Tidak ada penumpang yang tertarik. Kebanyakan dari mereka masih tenggelam dalam selimut tipis masing-masing. Hanya beberapa orang yang terjaga termasuk Wegig. Duduk selonjoran di kursi. Setengah mukanya tertutup kain selimut yang melindungi hidungnya dari serbuan gas pengharum ruangan. Matanya menatap ke luar di balik kaca jendela, tetapi pikirannya tidak seirama dengan apa yang dilihatnya. Di otaknya masih terbayang Eyang Waras. Eyang yang sederhana dan saleh itu hidupnya tidak selalu indah dan beroleh penghormatan sebagai orang yang berbakti dengan tulus kepada gereja dan masyarakat. Sudah biasa didengarnya gunjingan yang mengatakan bahwa dirinya kerap mengundang para lelaki muda, termasuk para messdiener didikannya yang sedang tumbuh dewasa ke dalam kamarnya secara pribadi. Dalihnya adalah semacam memberi bekal kepada anak-anak yang sedang tumbuh agar lebih siap dalam menjalani dunia dewasa dengan lebih terbuka secara benar. Pun almarhumah Ibu Wegig yang sangat menyayangi, dan selalu memandang Eyang Waras secara positif sempat menanyakan hal itu suatu ketika.
“Tadi dipanggil Eyang?”
“Iya Bu. Dari jam tiga sore”.
“Oh. Ngobrol apa aja?” Ada seuntai senyum di bibirnya. Tampak santai, tetapi matanya yang teduh menyiratkan rasa takut bercampur sikap hati-hati demi menghormati Wegig, anaknya yang mulai tumbuh dewasa. Atau masih ada harapan dalam hati yang membuat dirinya tetap percaya bahwa Eyang Waras tetap ‘waras’ dan bisa dia percaya.
“ngg … Eyang ngomong banyak soal psikologi. Eyang juga cerita bahwa Eyang Putri adalah istri yang baik dan seorang malaikat. Bisa memahami keadaannya. Tadi di kamarnya aku juga membaca kitab Talmud. Hebat!! Darimana Eyang bisa punya kitab itu ya ..”.
"Tapi kamu ... eh .. dia tidak minta macam-macam kan?". Seperti ada beban besar terangkat setelah berani mengungkapkan pertanyaan ini.
"Ah tidak Bu. Sejujurnya, Eyang Waras sempat meminta hal itu. Tapi aku tegas katakan tidak. Dan untuk itu dia sangat hormat dan berjanji untuk berbuat macam-macam". Lega.
"Syukur. Syukur kalau begitu. Ibu juga percaya bahwa Eyang itu baik. Yang penting kamu bisa jaga diri saja".

Eyang Waras adalah laki-laki pintar. Tutur katanya yang sopan selalu menarik hati orang yang mendengarnya. Dia fasih dalam ilmu psikologi dan seksologi. Menguasai lima bahasa dengan sempurna : Inggris, Jerman, Belanda, Jawa, dan Latin. Kemampuan ilmu filsafat dan teologinya? Sebagai bekas seminaris tak diragukan. Berbekal talenta tersebut dia mampu menjalankan peran sebagai guru dengan baik. Menjadi mata air bagi jiwa yang kering dan ketakutan. Sayang, hanya satu yang menjadi ganjalan dalam hidupnya. Dia seorang homoseksual dan tinggal di kampung yang masih memegang pandangan lama. Dan sebagai orang yang dekat dengannya Wegig tahu bahwa gunjingan itu memang benar adanya. Tetapi, untuk meyakinkan diri suatu kali dengan berani dia menanyakan secara langsung hal itu. Dan Eyang Waras dengan jujur menyatakan kebenaran berita tersebut.

Tak urung ada rasa khawatir juga dalam diri Wegig. Ada ketakutan jangan-jangan semua diskusi dengannya selama ini hanya sebuah perangkap meskipun hatinya tetap mengakui ada nilai-nilai positif di dalamnya dan sangat membantu dirinya yang sedang beranjak dewasa. Tak apalah. Toh dirinya sudah menunjukkan sikap. Lihat saja nanti apakah dalam perjumpaan berikutnya Eyang Waras konsisten dengan apa yang diucapkannya. Tapi satu sikap Eyang Waras yang sangat dipujinya; kerendahan hati untuk mengakui kelemahannya. Tidak menampik hujatan yang ditujukan kepadanya. Sebaliknya senyum selalu ada pada wajahnya dan konsisten betul akan pelayanan terhadap gereja dan Tuhan.

***
Di kerkop, begitu orang Yogya dulu menyebut kata kerkhoft, kompleks pemakaman dalam bahasa Belanda. Dengan hati-hati Wegig memegang duapuluhan batang dupa. Posisi tubuhnya sedikit meringkuk untuk melindungi api dari terpaan angin. Tak lama kemudian ujung batang-batang dupa tersebut cerah menjadi bara. Asapnya halus meliuk mengikuti aliran angin, dan aroma musk segera menyebar. Aroma yang sangat digemari oleh Ibu. Sekian detik dirinya dibawa mundur ke suatu sore hari ketika sedang memasukkan batang dupa pada sebuah dudukan terbuat dari belahan bambu dan kemudian diletakkan pada permukaan piano rusak yang difungsikan sebagai meja untuk menampung benda-benda dekorasi ruangan. Ibu duduk di sofa. Kami berbincang santai sembari menikmati suara rengeng-rengeng gesekan rebab Pak Sukar di rumah sebelah. Teduh sekali. Damai, pulang, menjadi murni dan apa adanya.
"Ah Ibu, aku kangen.", desahnya

Pemakaman ini ada sejak jaman Belanda. Kondisinya seperti pemakaman di Jawa pada umumnya. Ada makam yang cukup berbalut tanah, ada yang ditutup dengan nisan dengan bentuk yang beragam. Banyak pohon tua terutama jambu air dan pace. Tetapi dekat makam Ibu ada pohon kamboja yang tumbuh seperti tidak disengaja. Di bawahnya ada makam seorang pahlawan. Sederhana sekali. Hanya berupa gundukan tanah dengan penanda berupa tongkat bambu runcing dan bendera kecil yang selalu berkibar. Keduanya terbuat dari besi dan seng yang dicat dengan semacam cat minyak. Jalan setapak sulit ditemukan di sini. Mungkin dulu ada tetapi akhirnya digunakan untuk makam-makam baru. Sangat padat dan tidak teratur. Tetapi entah kenapa selalu ada rasa teduh ketika Wegig berada di dalamnya. Mungkin karena ada makam Ibu di sini, atau bisa juga karena dia sudah mengenal tempat ini sejak kecil. Bermain perang-perangan bersama Aditya, seorang sahabat yang sekarang menjadi seorang perwira polisi. Tempat persembunyiannya adalah gundukan makam, pohon, sumur, atau batu nisan. Senapannya adalah batang kayu dengan pelontar peluru terbuat dari tali karet. Pelurunya adalah potongan tangkai daun pepaya.

Hening. Angin bertiup terasa sejuk di muka membuat mata semakin ingin lama terpejam. Bau harum kamboja yang luruh ke tanah, berbaur dengan harum dupa, melati, dan kanthil. Tanah kering-panas yang baru saja disiram. Aromanya meneduhkan hati.

"Sendirian saja to Mas?"
Wegig sedikit terkejut tapi tak lama roman mukanya berubah cerah setelah mengetahui bahwa pemilik suara berat dengan nada sopan tersebut adalah Pak Bejo, seorang tukang becak bersahaja dari desa Sedayu Bantul yang sudah bertahun-tahun mengabdi pada keluarganya, terutama Ibu. Baginya, Pak Bejo sudah seperti saudara sendiri. Maka tidak ada rasa beban dalam hatinya ketika pengayuh becak tersebut undur diri setelah menyapa dan berbincang sejenak, sekedar untuk memberi kesempatan berdoa. Dan Wegig menjanjikan untuk bertemu sepulang dari nyekar nanti.

***
HERMAN sudah jauh-jauh hari berjanji kepada Wegig untuk bertemu di Yogya. Dan janji itu ditepati. Pukul lima lebih delapan menit dia datang ke pemakaman. "Walah aku telat!! Maaf maaf!!", teriaknya dari kejauhan sambil tergopoh-gopoh menyusuri jalan setapak makam. Raut mukanya terlihat gembira. Dengan sengaja diinjaknya beberapa nisan untuk memotong jalur sembari keluar kata maaf dari mulutnya. Kedua sahabat itu berjabat tangan. Sudah lama betul mereka tidak bertemu terlebih setelah Herman menikah dan bermukim di Semarang. Bagi Wegig Herman benar-benar sahabat. Tidak sekedar teman. Memang dulu semasa kuliah mereka sering mabuk dan bolos besama. Tapi sekarang Herman bekerja menangani pemukiman rakyat miskin sedang dirinya bekerja di sebuah konsultan yang menangani proyek-proyek besar. Sahabatnya itu sudah menikah dan dirinya belum. Pun kalau kebetulan berada dalam satu kota mereka belum tentu dapat bertemu dengan alasan kesibukan. Tapi satu hal yang dicatat oleh Wegig, yaitu ketika sekali waktu dapat bertemu, meskipun sejenak, mereka betul-betul berbagi dan saling menguatkan. Seperti juga saat ini dia seakan tahu apa yang menjadi kegelisahan Wegig dalam menjalani kehidupan sebagai arsitek di kota besar. Sarat dengan mengikuti nilai-nilai pasar. Pasar yang menciptakan persaingan dan membawa para arsitek berlomba untuk mencari popularitas. Pasar yang membawa arsitektur ( yang seharusnya mengemban nilai sosial, budaya, kemanusiaan secara jujur ) ke dalam satu nilai yang dibentuk oleh lifestyle model kapitalis. Pasar yang menempatkan orang-orang yang tidak mampu mengikuti pola permainnya berada di pinggir. Pasar yang ramai tetapi kehilangan semangat keramaian sesungguhnya.

"Nah, lantas kamu sendiri bagaimana? tanya Herman. Lanjutnya lagi, "Sama saja. Kamu pikir pekerjaanku yang seakan penuh nilai moral dan kemanusiaan menyenangkan? Sebaliknya Gig, tidak gampang kerja untuk orang-orang miskin. Di satu sisi mencoba untuk selalu mempunyai perhatian untuk mereka, tetapi kalau tidak hati-hati malah bisa membuat mereka manja, merasa selalu benar sebagai orang tertindas meskipun kenyataannya sering juga mereka nakal. Juga apakah kamu pikir dengan menyandang judul membantu orang kecil lantas beroleh ucapan terimakasih dengan tulus? Belum lagi masalah internal sesama tim. Dimanapun itu, apapun judulnya, pekerjaan pastilah sama. Kukira kamu tahu betul itu."

Sejenak diam.

Herman benar. Aku tidak ingin membandingkan secara hitam-putih. Kedua sisi itu sama-sama punya nilai positif. "Mungkin aku cuma lelah", katanya. Kecewa karena tidak mampu mengikuti mainstream. Yang bisa dilakukan adalah mengikuti logika aliran hidup; harus membiayai diri sendiri, juga Bapak dan Adik. Selebihnya, ibarat orang menunggu di halte bis, bertemu dan ngobrol dengan orang lain. Syukur bisa membantu kalau orang itu punya kesulitan. Pendeknya menjadi arsitek adalah membuat orang lain gembira. Tidak peduli apakah namanya muncul ke permukaan atau tidak. Sepertinya bodoh memang. Tetapi biarlah, masih banyak peran dalam hidup jika kita menyetel pada gelombang memberi kegembiraan untuk sesama.

Pernyataannya ini menimbulkan rasa lega dalam diri Wegig. Serasa ada beban besar yang terangkat. Merasa menjadi manusia baru nan segar dengan mau mengakui sebagaimana dirinya. Dan entah mengapa tiba-tiba muncul semangat baru untuk berani menghadapi arus hidup. Apapun itu.

Herman tersenyum. Pembicaraan kali ini tidak sertamerta dapat membuat semua masalah hilang. Tetapi bersama sahabatnya ini pembicaraan terasa seperti saling menguatkan. "Sudah sore. Kamu harus balik ke Jakarta to? Sampai ketemu lagi kalau begitu," Herman membuka suara.

Makam sebentar lagi tutup. Tapi Wegig belum sempat nyekar ke makam Eyang Waras. Tempatnya saja lupa. Seingatnya makamnya ada di barisan sebelah timur di dekat makam-makam tua yang tidak terurus. Tapi tak apalah. Lainkali saja, karena sore ini Wegig secara batin sudah bertemu dengannya. Belajar darinya untuk menerima diri apa adanya. Menjadi diri sendiri dan menghadapi hidup dengan senyum dan kerendahan hati. Menjadi pelayan.

Sejenak terbayang posturnya yang kecil dengan rambut putih berdiri dengan penuh percaya diri. Mengajarkan bagaimana mempersembahkan dupa di altar. "Pelan-pelan cah bagus ... ya, pegang rantainya dengan tangan kanan ... angkat tangan kananmu ke depan ... ayunkan pedupaan dengan pelan. Mata ke satu arah. Jangan jelalatan! Yang anggun ... bawa semua umat ke dalam hening kepada Tuhan ...".

Dan asap dupa yang harum itu membumbung tinggi ke langit-langit altar yang terbuat dari kayu berbentuk kubah.
Te Deum Laudamus
Te Dominum Confitemur
....

No comments: